FB

FB


Ads

Sabtu, 25 April 2015

Jodoh Rajawali Jilid 015

Melihat namanya, perkumpulan ini didirikan oleh Tang Hun dengan maksud mengangkat diri sendiri sebagai majikan atau ketua perkumpulan orang-orang gagah yang berhati naga!

Akan tetapi, sudah menjadi kelajiman di dunia bagian mana pun juga, baik dalam bentuk pangkat, kedudukan, dan kepintaran, harta benda, maupun kekuatan, selalu mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan inilah yang menimbulkan kesombongan, kesewenang-wenangan dan penindasan. Maka tidak lama kemudian, nama Liong-simpang menjadi tersohor dan ditakuti orang karena para anak buahnya mengandalkan kekuasaan itu untuk menang sendiri terhadap fihak lain.

Hwa-i-kongcu Tang Hun sendiri tentu saja merasa dirinya terlalu tinggi untuk melakuan hal-hal yang remeh. Dia sudah kaya raya, maka tidak pernah dia melakukan pemerasan atau merampas harta. Akan tetapi, dia memiliki kesenangan lain, yaitu wanita cantik!

Dengan menggunakan berbagai jalan, baik menggunakan kekayaannya, atau ketampanannya, atau kalau perlu kepandaiannya, dia mengumpulkan banyak wanita cantik di dalam gedungnya dan celakanya, pemuda mata keranjang dan hidung belang ini adalah seorang pembosan sehingga kumpulan wanita di gedungnya selalu berganti.

Yang sudah membosankan, dan biasanya hal ini takkan pernah terjadi lebih dari beberapa bulan saja, lalu dipulangkan begitu saja dan dia mulai berkeliaran mencari penggantinya. Kamar-kamarnya selalu penuh dengan wanita cantik yang jumlahnya paling sedlkit ada sepuluh orang!

Hwa-i-kongcu sendiri biarpun usianya sudah tiga puluh tahun namun dia kelihatan amat muda, seperti seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun, wajahnya tampan dan selalu putih karena dibedaki dengan bedak harum. Dia pesolek sekali, dengan pakaian seperti seorang sastrawan yang selalu berwarna-warni dan berbunga-bunga, pakaian dari sutera yang mahal dan mewah.

Karena kelihatan masih amat muda, tampan dan ganteng, kaya raya, pandai ilmu sastra dan silat, maka tentu saja dengan mudah dia dapat memikat hati wanita-wanita cantik. Akan tetapi, begitu wanita-wanita itu berhasil diperolehnya dan dibawa ke dalam gedungnya, wanita-wanita itu menyesal bukan main dan barulah mereka sadar bahwa mereka telah memasuki neraka karena pria yang tampan itu memiliki watak yang amat aneh dan kejam, yang suka menyiksa wanita demi untuk memuaskan nafsu berahinya dan menganggap wanita hanya sebagai barang permainan belaka, sebagai pemuas nafsu belaka!

Sampai berusia tiga puluh tahun, Hwa-i-kongcu ini tidak pernah menikah. Hal ini adalah karena dia berwatak pembosan dan terutama sekali karena dia amat tinggi hati, merasa bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang cukup berharga untuk menjadi isterinya yang sah! Semua wanita itu hanya mau menjadi barang permainannya untuk sementara saja.

Demikianlah, di luar kesadaran atau dugaan mereka, kini Siang In dan Syanti Dewi sedang mendaki bukit itu menuju ke tempat seperti itu! Tentu saja para penjaga di atas tembok yang seperti benteng itu sudah melihat akan adanya dua orang yang mendaki bukit, maka sepasukan anak buah Liong-sim-pang yang jumlahnya selosin orang segera bergegas turun dari puncak untuk menghadang dua orang yang berani lancang naik ke puncak itu.

Siang In dan Syanti Dewi sudah tidak bergurau lagi karena mendaki jalan naik itu cukup melelahkan, membuat mereka terutama Syanti Dewi menjadi kecapaian, keringatnya membasahi seluruh tubuh dan nafasnya agak memburu.

“Ihhhhh....“ Puteri itu mengeluh. “Kelihatan dekat, kalau dijalani kenapa tidak juga sampai-sampai!”

Siang In tertawa.
“Enci, kita sudah melewati gunung-gunung yang jauh lebih tinggi dan sukar daripada bukit kecil ini, akan tetapi kau tidak pernah mengeluh. Hal itu adalah karena kau tergesa-gesa ingin lekas-lekas tiba di puncak itu maka menjadi lama dan kelihatan jauh....“

Tiba-tiba Siang In menghentikan kata-katanya, memegang tangan puteri itu dan menghentikan langkahnya. Syanti Dewi terkejut dan memandang ke depan. Tampak olehnya serombongan orang berjalan cepat turun dari atas.

Bukan rombongan orang, melainkan sepasukan orang karena mereka itu berjalan dengan berbaris rapi seperti pasukan saja! Dan pakaian mereka juga seragam. Setelah mereka datang agak dekat, nampaklah bahwa pakaian mereka itu seragam dengan baju kuning dan celana hitam, dan di dada mereka terdapat lukisan seekor naga.

Syanti Dewi menjadi gelisah dan memegang tangan Siang In, akan tetapi gadis ini hanya tersenyum dan berkata lirih.

“Tenanglah, Enci, biar aku menghadapi badut-badut itu.”

Pasukan itu berhenti di depan mereka dan Si Tinggi Kurus yang agaknya menjadi komandan pasukan menyerukan aba-aba dan mereka lalu berpencar menghadang ke depan dua orang dara itu, berdiri berjajar memenuhi jalan.

Mereka memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran ketika melihat bahwa dua orang yang naik dan mereka curigai itu ternyata adalah dua orang dara yang memiliki bentuk badan dan wajah yang aduhai! Sampai bengong mereka memandang, karena sesungguhnya, selama mereka hidup, belum pernah mereka bertemu dengan dua orang dara yang begini cantik jelitanya! Seolah-olah dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan!.

Melihat dua orang wanita cantik, komandan pasukan segera pasang aksi. Dia mengebut-ngebutkan pakaian seragamnya, membusungkan dadanya yang tipis sehingga tubuhnya menjadi melengkung seperti huruf S atau seperti seekor ular sendok bergaya kemudian melangkah maju dengan langkah seorang jenderal dan dia berdehem dua kali sebelum bicara. Suaranya lantang dibesar-besarkan akan tetapi tetap saja sumbang karena memang si jangkung ini suaranya kecil parau.

“Heiiiii! Kalian dua orang Nona Muda siapakah, dari mana dan hendak ke mana?”

Si jangkung ini bertanya dengan suara mengandung nada-nada seperti orang bernyanyi, nyanyian sumbang!

Melihat lagak orang ini, mau tidak mau Syanti Dewi merasa geli hatinya dan dia menutupi mulutnya untuk menyembunyikan senyumnya. Akan tetapi Siang In tersenyum lebar, bahkan tidak menahan suaranya terkekeh kecil.






Inilah perbedaan antara dua orang dara cantik itu. Syanti Dewi sejak kecil sudah dikurung oleh semacam kebiasaan, tradisi, dan sopan santun sehingga setiap gerak-geriknya terbentuk oleh suasana di dalam istana. Di lain fihak, Siang In sudah biasa hidup bebas, maka dia tidak merasa kurang sopan untuk tersenyum atau tertawa sesuka hatinya.

“Kami adalah dua orang pelancong, dari belakang hendak ke depan, hik-hik!” Siang In menjawab sambil terkekeh.

“Ha-ha-ha, Nona ini lucu!”

“Lucu dan manis, heh-heh.”

“Kedua-duanya cantik jelita!”

“Hussshhh, diam kalian!”

Si jangkung membentak ke belakangnya dan para anak buahnya berhenti bicara. Sungguhpun mereka masih menyeringai gembira dan pandangan mata mereka kadang-kadang melayang mengagumi wajah dua orang dara itu, kemudian pandang mata mereka meraba-raba ke seluruh anggauta tubuh yang menggairahkan itu. Hal ini terasa sekali oleh Syanti Dewi yang cepat menundukkan muka dengan alis berkerut.

“Nona, jangan kau main-main! Kalian berdua berhadapan dengan Jiu Koan, seorang tokoh Liong-sim-pang! Hayo lekas mengaku baik-baik, jangan sampai aku terhadap kalian dua orang dara-dara muda bertindak kasar.”

“Nanti dulu, mengaku ya mengaku, akan tetapi kalian ini mau apakah? Kami tidak melakukan apa-apa yang merugikan kalian, mengapa kalian menghadang perjalanan kami? Kami hendak pergi ke kota di puncak itu.”

“Ha-ha-ha-ha-ha!”

Semua anggota pasukan tertawa dan Siang In mengerutkan alisnya, lalu memandang ke arah kota berdinding tembok itu.

“Mengapa kalian tertawa!?” tanyanya.

“Di atas itu bukan kota Nona, melainkan markas dari perkumpulan kami, Liong-sim-pang. Dan kalian berdua telah melanggar wilayah kami, tentu saja kami menghadang kalian”

Kata pula si jangkung bernama Jiu Koan dan mengaku tokoh Liong-sim-pang itu. Padahal tentu saja dia hanya seorang petugas rendahan yang paling tinggi berpangkat kopral.

Siang In dan Syanti Dewi saling pandang dan merasa terkejut dan kecewa. Kiranya mereka telah salah duga! Akan tetapi mendengar bahwa mereka itu adalah anak buah perkumpulan yang bernama Hati Naga, dia merasa dadanya lapang.

Hati Naga berarti keberanian, dan hanya orang-orang gagah saja yang mau menggunakan nama seperti itu. Dan orang gagah tentu bukan orang-orang jahat. Maka cepat dia menjura dan berkata,

“Aih, kalau begitu harap Cu-wi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami yang salah terka dan salah jalan. Kami kira yang di atas itu sebuah kota atau dusun. Setelah kami mengetahui akan kesalahan kami, biarlah kami kembali dan harap maafkan kami.”

“Eh-eh, nanti dulu, Nona!”

Jiu Koan membentak ketika melihat Siang In dan Syanti Dewi hendak pergi dan membalikkan tubuh mereka. Dia memberi isyarat dan dua belas orang pasukannya itu berpencar lalu membentuk lingkaran mengurung dua orang dara itu.

“Hemmm.... kalian mau apa?” Siang In tersenyum menyembunyikan kemarahannya dibalik senyum manis.

“Kalian sudah melanggar wilayah kami, tidak boleh begitu saja sebelum ikut dengan kami untuk menghadap Kongcu.”

“Hemmm, siapa itu Kongcu?” tanya Siang In.

“Kongcu adalah majikan dan ketua kami.”

“Kongcu pasti akan senang sekali melihat kalian, heh-heh!”

“Tentu saja, dan kita akan mendapatkan hadiah!”

Mereka tertawa-tawa dan lenyaplah keyakinan di hati Siang In bahwa dia berhadapan dengan anggauta-anggauta perkumpulan orang gagah. Lagak mereka ini tiada bedanya dengan penjahat-penjahat kecil atau sebangsa perampok liar saja.

“Kalau kami tidak mau?” tanyanya.

“Ha-ha, mau tidak mau kalian harus ikut bersama kami”, jawab Jiu Koan.

Siang In melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Jiu Koan dan bertanya,
“Eh, siapa namamu tadi? Jiu Koan?”

“Benar.”

“Jadi engkau ini seorang jagoan Liong-sim-pang? Nah, sekarang begini saja orang she Jiu. Kalau kau memang jagoan, aku tantang kau untuk bertanding. Kalau aku kalah, biar kami akan menyerah dan ikut bersama kalian ke atas sana. Akan tetapi kalau aku menang kalian harus membiarkan aku pergi. Bagaimana?”

Jiu Koan memandang dengan mata terbelalak. Gadis ini menantangnya? Akan tetapi dia seorang yang cerdik pula. Kalau gadis ini berani menantangnya, agaknya gadis yang membawa payung ini memiliki kepandaian dan kalau dia mempertaruhkan kebebasan mereka, amatlah berbahaya. Akan tetapi gadis ke dua itu, yang kelihatan lemah lembut, tentu tidak bisa silat.

“Baik, akan tetapi karena kalian berdua, maka haruslah kalian berdua pula yang maju, masing-masing melawan seorang pembantuku dan aku. Kalau kalian berdua menang, biarlah kalian boleh pergi. Akan tetapi, seorang saja yang kalah, dia harus ikut kami ke atas untuk menghadap Kongcu.”

“Baiklah,” jawab Siang In sambil berkedip kepada Syanti Dewi yang ingin membantu. “Kau ajukan jagomu biar dilawan temanku ini.”

Dan dia menggunakan ilmunya, sehingga hanya Syanti Dewi saja yang mendengar bisikannya,
“Enci, kau lawanlah saja, aku akan membantumu dan tidak mungkin kau kalah.”

Syanti Dewi mengangguk. Memang dia telah mempelajari ilmu, bahkan ilmu silatnya pernah memperoleh kemajuan hebat ketika dia memperoleh petunjuk-petunjuk dari pendekar sakti Gak Bun Beng beberapa tahun yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali).

Akan tetapi selama bertahun-tahun ini, dia tidak pernah berlatih karena semangatnya seperti telah hilang terbawa pergi oleh Tek Hoat. Maka, untuk bertanding tentu saja gerakannya kaku dan memang puteri ini bukan seorang yang suka berkelahi!

Jiu Koan lalu memberl isyarat dan majulah seorang laki-laki tinggi besar bermata lebar, usianya tentu belum ada empat puluh tahun dan kedua lengannya nampak penuh dengan lingkaran otot-otot besar karena dengan bajunya digulung sebatas siku. Dia ini tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan dara cantik seperti bidadari itu. Sudah terbayang dalam benaknya betapa dia akan memperoleh kesempatan untuk memeluk dara itu.

Syanti Dewi merasa agak ngeri berhadapan dengan raksasa ini, akan tetapi dia pun bersiap sedia dan memasang kuda-kuda. Ketika Si Tinggi Besar melihat betapa dara cantik ini dapat memasang kuda-kuda ilmu silat, dia bersikap hati-hati dan berkata,

“Nona manis, lebih baik kau menyerah dan mengaku kalah.”

“Tidak perlu banyak cakap, majulah!” Syanti Dewi berkata.

“Ha-ha, hendak kulihat apakah kau akan mampu bergerak dalam dekapanku!”

Raksasa itu tertawa dan menubruk cepat sekali ke arah Syanti Dewi. Puteri ini terkejut, tak disangkanya orang tinggi besar itu dapat bergerak demikian cepatnya. Namun dia dapat mengelak dengan meloncat ke kanan sambil mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Dalam perjalanan yang jauh ini, puteri Bhutan itu sengaja memakai sepatu kulit yang dipasangi besi di ujungya, maka tendangannya itu bukanlah tidak berbahaya.

“Ehhh!”

Lawannya berseru kaget juga karena hampir saja lambungnya tercium sepatu. Dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki itu, akan tetapi Syanti Dewi sudah menarik kembali kakinya. Raksasa itu kini menyerang dengan marah, tidak lagi hanya berusaha menangkap Sang Puteri, melainkan juga menggunakan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Karena kaki dan lengannya memang besar dan panjang, repot jugalah Syanti Dewi mengelak ke sana ke mari.

“Kau hendak lari ke mana sekarang?”

Raksasa itu berseru keras, tangan kanannya diulur untuk mencengkeram ke arah rambut kepala Syanti Dewi. Puteri ini cepat merendahkan tubuh mengelak, dan selagi dia membalas dengan pukulan ke arah muka raksasa itu, lawannya sama sekali tidak menangkis atau mengelak, agaknya akan menerima pukulan itu begitu saja, akan tetapi kedua tangannya kini mencengkeram ke arah kedua buah dada Sang Puteri!

“Aihhhg....!”

Syanti Dewi menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang. Dia berjungkir-balik dan terbebas dari serangan yang kasar itu, akan tetapi karena kurang latihan, ketika berjungkir-balik itu tubuhnya terhuyung-huyung hampir jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh Si raksasa untuk menyerbu ke depan. Pada saat itu, Siang In menggerak-gerakkan tangannya ke arah Si raksasa dan berseru,

“Laki-laki tidak sopan jangan main curang dan kurang ajar!”

Suaranya melengking nyaring dan mengandung daya tarik luar biasa sehingga Si raksasa itu memandang kepadanya. Inilah kesalahannya karena begitu dia bertemu pandang dengan dara itu, otomatis dia telah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Siang In.

“Eh.... eh.... mana....?”

Raksasa itu bingung karena secara tiba-tiba saja dia tidak melihat lagi dara cantik yang menjadi lawannya.

“Plak! Plak!”

Dua kali pipinya ditampar orang, ditampar oleh tangan yang tidak kelihatan sampai menjadi merah terasa panas dan dia terhuyung ke belakang.

Syanti Dewi sendiri merasa telapak tangannya panas ketika menampar muka orang itu. Dia melihat lawannya berdiri bingung dan tahulah puteri ini bahwa Siang In mulai membantunya, maka dia lalu melangkah maju, dan memukul ke arah dada orang dengan tinju tangannya yang kecil.

“Buk-buk-bukkk!”

Tiga kali dia memukul dan raksasa itu berteriak kaget dan terhuyung-huyung lagi ke belakang. Semua temannya menjadi bengong. Apa yang terjadi dengan raksasa itu? Tadi jelas tampak oleh mereka bahwa nona cantik itu yang terdesak hebat, kenapa kini kawan mereka itu seperti orang bingung dan dengan mudah saja ditampar dan ditonjok?

Si raksasa itu memang bingung dan ngeri. Jelas bahwa dia ditampar dan ditonjok, akan tetapi dia sama sekali tidak dapat melihat lawan yang menampar dan menonjoknya itu. Dia masih berusaha untuk menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk memukul sana-sini, mencengkeram sana-sini, namun hanya menngenai angin saja karena Syanti Dewi sudah menjauhkan diri. Teman-teman orang itu menjadi makin kaget dan heran melihat raksasa itu memukul dan mencengkeram tempat kosong di depannya, padahal lawannya berada di sebelah kirinya!

“Takkk! Aughhhhh.... aduhhhhh....!”

Raksasa itu mengangkat kaki kirinya, memegangi tulang kakinya dengan tangan dan berloncatan dengan kaki kanan. Hanya orang yang pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang keringnya saja akan mengerti bagaimana perasaan si raksasa di saat itu. Tulang kering kakinya dicium oleh ujung besi sepatu Syanti Dewi, tentu saja nyeri bukan main, kiut-miut rasanya, bernyut-nyutan sampai terasa di dalam sumsum.

“Dukkk....! Aduhhh....!”

Dan si raksasa roboh terpelanting ketika tulang kering kaki kanannya yang berloncatan itu ditendang lagi oleh Syanti Dewi. Dia mengelus-elus dua kakinya yang sudah menjadi biru dan bengkak itu.

Siang In menggerakkan tangannya dan kini si raksasa telah dapat melihat lagi Syanti Dewi yang berdiri di depannya, bertolak pinggang dengan bangga karena kemenangannya yang amat mudah itu.

Siang In meloncat ke depan sambil tersenyum.
“Nah, jelas bahwa temanku memperoleh kemenangan! Hayo, orang she Jiu. Sekarang kau majulah!”

Jiu Koan masih terheran-heran oleh kekalahan temannya. Dia memandang ke arah Syanti Dewi dengan pandang mata penuh selidik. Apakah yang terjadi, pikirnya. Temannya itu bukan seorang lemah atau tolol, akan tetapi dalam pertandingan tadi, temannya telah bersikap lebih daripada tolol! Setelah dia memberi isyarat dan si raksasa itu oleh teman-temannya diangkat minggir, Jiu Koan lalu berkata,

“Kemenangan temanmu mencurigakan!”

“Eh-eh-eh, sudah jelas kawanmu kalah, engkau masih mencari alasan!” Siang In mengejek.

“Benar, akan tetapi sungguh tidak wajar! Tendangan-tendangan yang dilakukan temanmu tadi sebetulnya bukan apa-apa, sungguh tidak mungkin bisa mengalahkan kawanku itu kalau dia dalam keadaan wajar. Mungkin dia sedang sakit atau ada sesuatu yang mengganggunya“

”Ah, omong kosong! Sudah kalah masih mencari-cari alasan kosong. Orang she Jiu, ketahuilah bahwa kami berdua adalah ahli-ahli menggunakan kaki untuk mengalahkan lawan! Temanku tadi menggunakan keahliannya itu dan telah merobohkan kawanmu, maka jangan banyak alasan. Kalah ya kalah saja, habis perkara!”

Muka Jiu Koan menjadi merah sekali.
“Bagus!” bentaknya marah. “Kalau begitu coba kau kalahkan aku dengan keahlian kakimu itu!”

Diam-diam Siang In harus mengakui kecerdikan orang ini, akan tetapi dia tersenyum dan menjawab,

“Baik, engkau lihat saja, aku tidak akan menggunakan kedua tanganku untuk mengalahkanmu, cukup dengan kedua kakiku saja!”

Ucapan dara ini dianggap terlalu sombong oleh Jiu Koan, maka kemarahannya meluap dan dia membentak,

“Bocah sombong, kau boleh lihat betapa aku akan menangkap kedua kakimu dan merobek celanamu agar kau tidak bersikap sombong lagi!”

Baru saja orang ini berkata demikian, tiba-tiba kaki kiri Siang In yang menjadi marah mendengar kata-kata itu sudah melayang dengan kecepatan yang tidak terduga-duga.

“Plakkk!”

Kaki itu sudah menendang dagu Jiu Koan sehingga orang ini terhuyung ke belakang sambil memegangi dagunya, matanya terbelalak kaget dan juga marah. Dia lalu menggereng seperti seekor harimau terluka, kemudian dia menyerbu ke depan dengan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri, menghujamkan pukulan dan cengkeraman bertubi-tubi.

Namun, kini Siang In sudah mengetahui bahwa lawannya itu lebih besar lagak daripada kepandaiannya, maka dengan mudah saja dia menggunakan ginkangnya yang istimewa untuk mengelak ke kanan kiri.

Menghadapi seorang lawan seperti ini saja, memang baginya tidak perlu menggunakan kedua tangan, apalagi menggunakan sihirnya. Dia mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya dan setiap kali kakinya bergerak, kalau tidak ada bagian tubuh yang tertendang, tentu lawannya itu terhuyung ketika menangkis, karena tendangan kaki dara itu mengandung kekuatan yang amat hebat.

Baru saja berjalan belasan jurus pertandingan itu, Jiu Koan sudah terdesak terus dan tidak mampu menyerang lagi karena kedua kaki lawannya bergerak seperti kilat cepatnya, bergantian kanan kiri menyambar dan menghajarnya.

Memang Siang In tadi tidak berkata berlebihan bahwa dia adalah seorang ahli menggunakan sepasang kakinya. Oleh gurunya dia telah diberi ilmu silat yang mendasarkan atas permainan kaki yang dinamakan ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) dan kedua kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang bertubi-tubi.

Terdengar bunyi bertubi-tubi ketika tubuh Jiu Koan dihajar oleh tendangan-tendangan kaki yang kecil mungil itu. Tentu saja kini keadaannya berbeda dengan ketika Syanti Dewi melawan raksasa tadi.

Syanti Dewi yang pernah belajar ilmu silat tentu saja mengerti pula bagaimana untuk menggunakan kaki menendang, namun dia sama sekali bukanlah ahli seperti Siang In. Tadi dia dengan mudah menendangi tulang kering kaki lawannya karena lawannya itu tidak dapat melihatnya oleh kekuatan sihir Siang In.

Kini, biarpun Jiu Koan berusaha mengelak dan menangkis, namun datangnya tendangan-tendangan yang bertubi dan amat cepat itu sukar dihindarkan dan akhirnya, sebuah tendangan kilat bersarang di perutnya.

“Bukkk!”

Dan kini tubuh Jiu Koan terjengkang, terbanting ke atas tanah di mana dia meringis dan mengaduh-aduh, memegangi perutnya yang menjadi mulas dan nyeri bukan main.

“Tangkap mereka! Bunuh....!”

Jiu Koan berteriak-teriak sambil bangkit memegangi perutnya, kemudian tangan kanannya mencabut golok yang tergantung di pinggangnya. Juga semua anak buahnya mencabut senjata masing-masing. Melihat ini, Syanti Dewi menjadi cemas juga dan cepat dia mendekati Siang In.

Akan tetapi Siang In malah melangkah maju.
“Kalian ini anggauta-anggauta Perkumpulan Hati Naga, apakah tidak mengenal seekor naga asli? Lihat baik-baik siapa aku!”

Syanti Dewi memandang penuh perhatian kepada tiga belas orang itu dan terjadilah keanehan. Tiga belas orang itu terbelalak memandang kepada Siang In, muka mereka menjadi pucat sekali, kemudian didahului oleh Jiu Koan mereka membuang senjata mereka dan lari tunggang langgang!

Syanti Dewi cepat menoleh dan dia melihat betapa dara itu masih biasa saja tubuhnya, akan tetapi kepalanya yang cantik jelita itu kini telah berubah menjadi kepala seekor naga yang menyeramkan!

Tentu saja Syanti Dewi juga ketakutan dan menjauhkan dirinya. Karena dia tidak langsung dikuasai sihir, maka dia hanya melihat kepala Siang In saja yang berubah menjadi naga, tidak seperti tiga belas orang itu yang melihat seekor naga yang lengkap, yang mengancam untuk menerkam mereka.

“Enci, kesinilah, aku tidak apa-apa,” kata Siang In tersenyum lucu dan ketika Syanti Dewi menoleh, ternyata Siang In sudah biasa kembali.

“Aihhh, kau menakutkan aku....“ katanya.

Pada saat itu terdengar suara melengking panjang dan suara ini disusul bentakan,
“Kembalilah kalian penakut-penakut menjemukan!”

Mendengar suara ini, Jiu Koan dan dua belas orang anak buahnya berhenti dan mereka cepat menjura kepada seorang pemuda yang baru muncul.

“Ampun, Kongcu.... ada.... ada siluman....”

Jiu Koan berkata akan tetapi dia menoleh dan memandang ke arah dua orang gadis itu, ternyata mereka adalah dua orang gadis cantik yang tadi dan tidak nampak ada naga di situ. Pemuda tampan itu tidak mempedulikan Jiu Koan dan dia segera bertindak menghampiri Siang In dan Syanti Dewi.

Dua orang dara itu pun memandang penuh perhatian dan mereka dapat menduga bahwa tentulah orang ini yang disebut kongcu dan menjadi majikan atau ketua dari Perkumpulan Liong-sim-pang yang markasnya seperti benteng di puncak bukit itu.