FB

FB


Ads

Sabtu, 25 April 2015

Jodoh Rajawali Jilid 014

“Celaka....! Adinda.... Adinda Syanti Dewi....!”

Panglima Mohinta mencari-cari dalam kamar itu, lalu menjenguk keluar jendela, akan tetapi keadaan di luar jendela pun sunyi.

“Nah, apa kataku tadi!” Panglima Jayin marah-marah. “Sungguh tolol kalian semua, dapat dipancing meninggalkan tempat ini oleh penjahat. Jelas bahwa penjahat itu menyamar sebagai siluman, mengacau dan membakar kandang agar semua pengawal terpancing ke sana, kemudian dia dengan leluasa telah masuk ke dalam kamar ini dan menculik Sang Puteri.”

“Aduh, Paman Panglima Jayin, bagaimana baiknya sekarang?” Panglima Mohinta yang merasa cemas dan duka itu mengeluh.

“Agaknya tidak mungkin penjahat, dapat melarikan Sang Puteri keluar dari lingkungan istana. Mohinta, kau perkuat penjagaan di sekitar istana, jangan sampai ada orang dapat keluar atau masuk. Aku sendiri akan melaporkan hal ini kepada Sri Baginda sekarang juga!”

Mohinta cepat mengerahkan semua pasukan untuk berjaga-jaga dan mencari-cari, akan tetapi tentu saja tanpa hasil karena pada saat itu, Syanti Dewi dan Siang In telah pergi jauh meninggalkan tembok tebal yang mengurung Kota Raja Bhutan.

Gegerlah istana Bhutan. Sri Baginda menjadi marah sekali dan juga amat gelisah memikirkan puterinya yang untuk kedua kalinya diculik orang. Dahulu, kurang lebih lima tahun yang lalu, Sang Puteri bersama Ceng Ceng juga lenyap, sampai setahun lebih baru berhasil ditemukan. Sekarang, Sang Puteri lenyap pula, bahkan sekarang lenyap dari dalam kamarnya!

Maka, ketika Panglima Mohinta mohon perkenan Sri Baginda untuk pergi mencari Sang Puteri, Sri Baginda menyetujuinya. Panglima Mohinta lalu mengumpulkan jagoan-jagoan dari Bhutan, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi untuk menemaninya pergi mencari jejak Sang Puteri Syanti Dewi.

Keadaan Syanti Dewi benar-benar seperti seekor burung yang tadinya terkurung dalam sangkar kini terlepas dari kurungan, terbang bebas di udara. Kesehatannya pulih kembali, dalam waktu satu bulan saja melakukan perjalanan, wajahnya sudah menjadi segar kemerahan, sepasang matanya yang tadinya sayu kini bersinar-sinar penuh semangat dan gairah hidup dan biarpun pakaiannya tidak seindah dan semewah ketika dia berada di istana, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya, bahkan dia kelihatan segar dan cantik sekali, dengan mata bersinar, mulut tersenyum dan wajah berseri-seri.

Dia telah berhasil menyelinap keluar dari tembok kota raja setelah bertemu dengan Siang In di tempat yang telah dijanjikan oleh mereka, dan berkat kelihaian Siang In, Sang Puteri dapat dibawa keluar tembok kota dan dengan cepat mereka melarikan diri ke timur.

Memang bukan perjalanan yang mudah yang mereka tempuh selama sebulan ini. Naik turun gunung-gunung yang tinggi dan liar, masuk keluar hutan-hutan yang amat besar dan gelap. Namun, karena di sampingnya ada Siang In, pula karena memang puteri ini pernah mempelajari ilmu silat dan telah banyak mengalami hal-hal yang hebat, maka perjalanan ini tidaklah terlalu sukar dan sengsara baginya.

Sebaliknya malah, dia benar-benar merasa seperti hidup baru, merasa gembira dan penuh harapan yang muluk-muluk, yaitu harapan untuk dapat bertemu kembali dengan pria yang dicintanya, ialah Ang Tek Hoat.

Makin akrab saja hubungan di antara dua orang dara yang sifat dan wataknya bagaikan bumi dan langit itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut, halus budi, halus perasaan, pandai mengekang perasaan, dan memiliki keagungan seorang puteri.

Sebaliknya, Teng Siang ln adalah seorang wanita yang berwatak periang jenaka, bahkan bengal dan suka menggoda orang, suka tertawa, jujur, polos dan tidak begitu mempedulikan tentang peraturan dan sopan santun, perasaannya mengeras oleh gemblengan hidup, dan biarpun dia termasuk seorang dara yang suka berpakaian indah dan suka pula bersolek, namun pada dasarnya dia amat sederhana.

Betapapun besar perbedaan watak antara mereka, namun mereka dapat segera menjadi sahabat yang akrab sekali. Syanti Dewi benar-benar merasa seolah-olah dia mendapatkan pengganti Ceng Ceng! Memang ada persamaan antara Ceng Ceng dan Siang In, persamaan dalam hal watak periang, agak binal dan jujurnya.

Akan tetapi Ceng Ceng tidaklah sebinal Siang In! Betapapun juga, dengan adanya Siang In di sampingnya, perjalanan yang amat sukar itu tidak terasa oleh Syanti Dewi dan dia dalam waktu sebulan itu saja sudah mengenal benar-benar watak Siang In. Biarpun kelihatan binal dan terpengaruh oleh keindahan yang membawa keanehan, kadang-kadang kelihatan keras, namun pada hakekatnya dara ini memiliki watak yang amat baik, setia dan jujur!

“Enci Syanti, ajari aku nyanyian yang kemarin kau nyanyikan ketika kita mandi di telaga itu! Kau sudah berjanji“

Mereka duduk beristirahat di sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di pegunungan yang jauh dari dusun-dusun, hutan yang liar dan tentu amat jarang terinjak kaki manusia. Akan tetapi ternyata alam memiliki daya cipta yang tak dapat terukur oleh otak manusia.

Pohon-pohon besar kecil tumbuh dengan subur dan amat nyeni seolah-olah diatur saja, berkelompok dan memiliki keindahan sendirl-sendiri yang khas, namun juga merupakan suatu kesatuan yang amat indah, yang tak terpisahkan. Agaknya, sebatang pohon saja dipindahkan, akan hambarlah keindahan kesatuan itu. Kembang-kembang dan rumput-rumput seolah-olah tumbuh di tempat yang memang sudah semestinya, begitu serasi, begitu cocok sehingga suasana di hutan itu menjadi indah membahagiakan hati.

Dua orang dara yang sadar atau tidak terpengaruh oleh keindahan yang membahagiakan itu dan yang kini beristirahat melepaskan lelah di bawah sebatang pohon besar, merasa gembira pula dan bercakap-cakap dengan asyiknya sampai terdengar Siang In minta diajari nyanyian.

“Adikku yang manis, engkau sudah begini pandai, mempunyai banyak macam ilmu-ilmu yang aneh-aneh, akan tetapi kulihat engkau masih selalu haus akan pelajaran-pelajaran. Betapa rajinnya engkau, In-moi.” Syanti Dewi memuji sambil meletakkan tangannya ke atas pundak dara itu.

Siang In tersenyum.
“Selama ini, aku hanya mempelajari hal-hal yang kasar saja, Enci. Ilmu silat, ilmu memukul orang. Huh! Dan ilmu sihir, ilmu menipu orang. Wah, tidak ada yang baik dan hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Akan tetapi engkau sebagai seorang puteri benar-benar memiliki banyak kepandaian yang dapat menyenangkan orang lain, dan aku ingin sekali mempelajarinya, Enci.”

“Akan tetapi, aku mempelajari segala macam kepandaian nyanyi, tari, bermain musik dan lain-lain itu bukan untuk menyenangkan sembarang orang, adikku. Aku bukannya ingin menjadi seorang penari atau penyanyi umum“






“Aku tahu, Enci. Tentu engkau hanya mau bernyanyi atau menari di depan orang yang kau cinta. Bukankah begitu?”

Dengan kedua pipinya berubah merah, Syanti Dewi mengangguk.

“Aku pun demikian, Enci. Aku minta diajar bernyanyi, karena. aku suka mendengar senandungmu kemarin itu, dan aku.... hemmm, aku pun tidak akan sembarangan memamerkan nyanyian di depan orang lain!”

Wajah itu berseri dan mata yang halus pandangnya itu menatap wajah Siang In penuh selidik. Akan tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja.

“Aihhh, kalau begitu engkau juga sudah mempunyai seorang pilihan hati, seorang kekasih, adikku!”

Siang In menggeleng kepala.
“Belum, Enci. Pilihan hati.... hemmm, ya, mungkin saja, siapa tahu.... akan tetapi kekasih? Belum! Enci dengan Ang Tek Hoat, nah, itu baru namanya kekasih, karena saling mencinta.”

Tiba-tiba pandang mata Syanti Dewi berubah, penuh kekhawatiran.
“Adikku yang manis, apakah.... apakah cintamu hanya sepihak....?”

Kembali Siang In menggeleng dan tersenyum.
“Tidak ada cinta, baik dari fihak mana pun, Enci. Aku sendiri tidak tahu benar apakah aku telah mencinta seseorang. Banyak memang pria yang menyatakan cinta padaku, baik melalui pandangan matanya, melalui rayuannya....“

“Aku percaya. Engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari!”

“Tidak ada sepersepuluhmu dalam kecantikan, Enci. Akan tetapi kalau hanya seperti itu cinta yang diagung-agungkan itu, seperti para pria yang menyatakan cinta melalui pandang mata atau rayuan mulut penuh nafsu itu, hihhh....“ Siang In bergidik. “Lebih baik aku tidak mengenal cinta!”

Syanti Dewi memandang tajam.
“Hemmm.... jangan engkau berkata begitu, In-moi. Kalau benar engkau belum mempunyai kekasih, habis siapa yang kau cari-cari itu? Dulu di Bhutan engkau pernah bilang bahwa engkau datang ke Bhutan mencari seseorang siapakah dia itu yang kau cari-cari?”

Terjadi perubahan, akan tetapi hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi bersinar-sinar seperti orang gembira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang marah. Dia mengangguk.

“Memang aku mencari seseorang yang tadinya kusangka berada di Bhutan atau sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku salah sangka dan dia mungkin tidak berada di barat”.

“Siapakah dia, In-moi? Mungkin saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada.”

“Enci mengenalnya, tentu. Dia adalah Suma Kian Bu“

“Ehhh....? Dia....?”

Sejenak puteri itu termenung teringat akan pemuda gagah perkasa, putera Majikan Pulau Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat dan andaikata di dunia ini tidak ada Ang Tek Hoat, betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada seorang sepertli Suma Kian Bu!

“Tahukah Enci di mana adanya dia?”

Syanti Dewi dalam keadaan masih termenung menggeleng kepalanya.
“Aku tidak tahu, tentunya di Pulau Es, di ternpat tinggal orang tuanya, In-moi, Suma Kian Bu adalah seperti kakakku sendiri, seperti saudaraku sendiri. Katakanlah mengapa engkau mencari dia? Kuharap saja tidak ada permusuhan antara kalian“

Siang In menggeleng kepalanya.
“Tidak ada permusuhan apa-apa “

“Kalau begitu kalian saling mencinta! Wah, syukurlah !”

“Juga tidak, Enci. Tidak ada permusuhan, juga tidak ada ikatan itu karena selama ini kami tidak pernah saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan suatu hal agar rasa penasaran di hatiku dapat lenyap.”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.
“Penasaran? Urusan apakah itu yang membuat engkau penasaran, adikku? Bolehkah aku mengetahuinya? Aku khawatir sekali....”

“Ah, tidak apa-apa, Enci Syanti. Hanya rasa penasaran karena suatu perbuatan yang dia lakukan kepadaku, lima tahun yang lalu.” jawab Siang In dan tiba-tiba wajahnya berubah merah.

Tentu saja puteri itu menjadi makin penasaran.
“In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan kepadamu sampai membuatmu penasaran? Atau.... engkau kurang percaya kepadaku untuk memberitahu....“

“Ah, mengapa tidak percaya, Enci Syanti Dewi?” Siang In merangkul. “Tidak ada rahasia perbuatan itu hanyalah.... eh, lima tahun yang lalu dia.... eh, dia pernah mencium bibirku.”

“Ihhh....!” Syanti Dewi terkejut bukan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian jujurnya, seolah-olah itu “bukan apa-apa”!

“Kenapa kau terkejut, Enci?” Siang In memandang penuh selidik.

“Tidak apa-apa....“ Syanti Dewi mengatur napasnya yang agak memburu. “Hanya.... kalau sudah begitu.... berarti kalian saling mencinta.”

Siang In menggeleng kepala.
“Bagaimana engkau dapat memastikan begitu?”

“Ya.... karena.... pria yang mau mencium seperti itu, berarti dia mencinta, dan kau kalau kau mau menerima ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya.”

“Hemmm.... aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia cinta padaku. Akan tetapi, terus terang saja, ciuman itu membuat aku sering kali tidak bisa tidur, Enci Syanti.”

Syanti Dewi menutupi mulutnya, menahan ketawa. Anak ini benar-benar jujur bukan main, pikirnya dengan hati terharu. Jujur dan polos, murni bagaikan setangkai mawar hutan yang mulus tak pernah ternoda.

“Itulah tandanya bahwa kau jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku.”

“Ah, tidak. Belum tentu. Aku tidak yakin apakah aku cinta padanya. Aku sering kali membayangkan ciuman itu, memang, akan tetapi dengan hati penasaran. Maka aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa lima tahun yang lalu itu dia menciumku seperti itu!”

Syanti Dewi menggeleng-geleng kepalanya. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang gadis seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia bertemu dengan cerita tentang seorang gadis seperti Siang In!

“Jadi jauh-jauh engkau bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk bertanya tentang itu?”

“Benar, akan tetapi sudahlah, Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan kecewa karena kenyataannya perjalananku sia-sia belaka, tidak dapat bertemu dia. Baiknya aku bertemu denganmu dan dapat membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan itu. Sekarang kau ajarkan lagu yang kau nyanyikan kemarin itu.”

“In-moi, lagu itu adalah lagu lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk menyanyikannya harus diiringi musik dan dinyanyikan sambil menari.”

“Bagus sekali! Aku pun senang menari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kau ajarkan sekalian tariannya.”

“Musiknya?”'

“Asal kau ajarkan pada aku iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu.”

Syanti Dewi tertawa. Memang, inti dari musik adalah iramanya, dan andaikata tidak ada alat musik, asal iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu apa pun jadilah! Dia lalu mengajarkan iramanya yang sederhana saja seperti semua irama dari segala macam musik di dunia ini.

“Lagu ini bernama HARAPAN JUMPA KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan irama yang baik dan teratur, dan dengarkan nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin mempelajarinya.”

Terdengarlah ketukan-ketukan batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara halus merdu dari Syanti Dewi yang bernyanyi sambil menari. Kata-kata dalam Lagu itu memang tepat sekali dengan keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri.

“Kekasih telah lama pergi
tak tahu bila akan jumpa kembali
namun hati pantang membeku
tak mengenal putus harapan
selama hayat dikandung badan
cintaku tak pernah padam
jika tiada kesempatan jumpa di dunia
di akhirat kita akan saling bersua
harapan jumpa kekasih
kubawa sampai mati.”

“Hebat, Enci! Hebat sekali, baik nyanyiannya maupun tariannya. Cepat, kau yang mengiringi dengan irama, selagi aku masih ingat.”

Gembira bukan main hati kedua orang dara itu dan ketika Siang In belajar menyanyi dan menarikan lagu Harapan Jumpa Kekasih itu, Syanti Dewi yang bengong dan kagum! Kiranya di samping kepandaian silat dan sihirnya yang hebat, dara ini pun memiliki suara yang nyaring merdu seperti burung kenari, dan tubuhnya yang padat ramping itu memang telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah gemulai sehingga ketika dia menari, benar-benar amat indah dan mengandung daya pikat yang mempesonakan.

Gerak-gerik tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih terselubung oleh tradisi sopan santun yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan tetapi tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini bebas dari segala ikatan tradisi, gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggauta tubuhnya seolah-olah “hidup” dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang menggairahkan!

Demikianlah, dengan asyiknya dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang In belajar penuh semangat, kadang-kadang Syanti Dewi turun tangan mengajarnya bagaimana harus menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang benar, bagaimana harus menggerakkan kaki melangkah. Puteri itu memberi petunjuk dengan penuh ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai akhirnya dia dapat menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu.

Sejak kecil, Siang In mempelajari ilmu silat dan sesungguhnya orang yang berbakat pula mempelajari ilmu tari, karena di dalam gerakan ilmu silat memang terkandung inti gerakan ilmu tari pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang memang bertubuh ramping dan lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih itu.

Tiba-tiba Siang In menangkap tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke balik semak-semak belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan main, akan tetapi melihat Siang In memberi isyarat dengan jari tangan ke depan mulut, dia pun tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres. Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh dan kini setelah dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat derap kaki kuda datang dari jurusan itu.

Tidak lama mereka menanti. Derap kaki kuda makin keras dan segera kelihatan belasan orang penunggang kuda membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi ketika melihat bahwa rombongan berkuda itu dipimpin oleh Panglima Mohinta!

Seketika wajahya menjadi pucat dan tangannya yang memegang tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa dia telah terlepas dari bahaya karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa kira, ternyata dia dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ!

Setelah derap kaki kuda itu menghilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas lega dan Siang In berkata,

“Aihhh, tak kusangka monyet-monyet itu akan dapat menyusul secepat itu. Dan tunanganmu sendiri yang mengepalai pasukan pengejar.”

“Dia bukan tunanganku! Jangan menyebut-nyebut lagi dia sebagai tunanganku, In-moi. Engkau tahu bahwa tunanganku adalah Ang Tek Hoat!”

“Maaf, Enci Syanti. Sekarang kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka telah mendengar tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati untuk membeli roti kering. Kalau mereka nanti tiba di dusun depan dan tidak mendengar tentang kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di sepanjang jalan.”

“Tapi mereka hanya belasan orang banyaknya. Dengan kepandaianmu....“

“Hemmm, apakah engkau tidak melihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggang kuda di samping tunang.... eh, Panglima Mohinta itu?”

“Ya, aku melihatnya dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa, In-moi?”

“Ketika lewat tadi, aku melihat sinar matanya dan tentu dia itu seorang jagoan undangan. Agaknya dari Tibet dan melihat sinar matanya, aku dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang lihai dan tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir. Tentu saja aku tidak takut kepada mereka, akan tetapi aku harus melindungimu, Enci. Dan agaknya akan sukarlah kalau aku harus melawan mereka sambil melindungimu. Aku tidak ingin melihat usaha kita gagal setelah kita berhasil pergi sejauh ini dari Bhutan. Mari kita mengambil jalan lain saja, bukan jalan umum.”

“Terserah kepadamu, In-moi.”

Siang In lalu mengubah rencana perjalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke timur melainkan membelok ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan jurang yang amat liar akan tetapi yang menjamin mereka bahwa pasukan berkuda itu tidak akan mungkin dapat mencari jejak mereka.

Siasat Siang In berhasil baik. Memang tepat perhitungannya. Ketika Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka tidak mendengar adanya dua orang gadis itu lewat di dusun ini, Mohinta dan kawan-kawannya segera kembali dan mencari-cari di dalam hutan di mana dua orang tadi bernyanyi dan menari.

Akan tetapi Mohinta kehilangan jejak mereka dan terpaksa dia membawa rombongannya terus mengejar dan mencari ke timur. Mohinta dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya, Ang Tek Hoat, maka dengan mencari pemuda itu, dia percaya akhirnya akan dapat pula menemukan Syanti Dewi.

Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua selalu berada dalam keadaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan periang dari Siang In telah menular kepada Syanti Dewi, akhirnya pada suatu senja mereka tiba di kaki sebuah diantara pegunungan yang mempunyai banyak puncak. Itulah Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi Shen-si di barat, Ho-nan di selatan, dan Shan-si di utara.

Lebih dari sepekan mereka berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di kota Sian, yaitu ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan perjalanan darat. Tujuan mereka adalah Kota Raja Peking di utara.

Setelah berjalan beberapa hari lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki puncak dan mereka memandang ke atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi tembok, mereka merasa lelah sekali karena anehnya, setelah melakukan perjalanan sehari lamanya mereka tidak juga bertemu dengan kota atau dusun! Baru sekarang mereka melihat kota di puncak bukit itu, dan di depan agak jauh nampak mengalir Sungai Kuning yang amat lebar.

“Hari sudah gelap dan sudah dua hari kita tidak makan nasi,” kata Siang In, “Kalau melanjutkan ke depan, kita terhalang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke puncak itu? Kelihatannya di atas itu adalah sebuah kota kuno yang besar dan kita bisa mencari penginapan di sana dan makan sepuasnya di rumah makan.”

Syanti Dewi yang merasa sudah lelah sekali itu mengangguk.
“Terserah kepadamu, In-moi. Aku setuju saja. Hanya lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja. Perjalanan melalui air yang telah kita tempuh, demikian enak dan membikin malas sehingga begitu diganti dengan perjalanan darat, kaki ini menjadi seperti mau patah-patah rasanya. Padahal, sebelum itu, dipakai berjalan sampai sebulan lebih tidak apa-apa.”

Siang In tersenyum dan menggandeng puteri itu.
“Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan kedua kakimu yang mungil itu. Biasanya pergi dekat saja engkau tentu menggunakan joli atau kereta, dan biasanya kalau terasa capai, tentu ada pelayan-pelayan yang memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu“

“Hushhh, genit kau....!”

Syanti Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit minta ampun. Dengan kelakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan kelelahannya dan mereka bersendau-gurau sambil mendaki jalan naik ke puncak itu.

Sungguh kasihan kedua orang dara cantik jelita itu. Mereka tertawa-tawa bersendau-gurau, membayangkan bahwa mereka akan tiba di sebuah kota atau dusun besar dimana mereka akan dapat melepaskan lelah di rumah penginapan, mandi air hangat dan makan masakan yang lezat-lezat. Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka itu seolah-olah dua ekor anak domba yang berdaging empuk dan yang sedang menuju ke gua yang penuh dengan harimau dan naga!

Tempat apakah yang dikurung tembok di atas puncak itu? Bagi wilayah itu, bahkan hampir semua orang kang-ouw di Propinsi-propinsi Shan-si, Ho-nan dan Shen-si, tempat itu sudah amat terkenal, disegani dan tidak sembarangan orang kang-ouw berani mendatangai tempat itu, apalagi sejak beberapa tahun akhir-akhir ini.

Puncak bukit itu merupakan daerah berbahaya dan gawat, bahkan di sekitar itu, orang-orang tidak lagi berani tinggal sehingga dusun-dusun ditinggalkan orang. Inilah sebabnya mengapa selama sehari perjalanan Siang In dan Syanti Dewi tidak pernah melihat kota atau dusun.

Puncak itu dinamakan puncak Hwee-liong (Naga Api) dan yang kelihatan seperti dusun itu sesungguhnya adalah sekelompok bangunan yang dikurung dinding tembok yang kuat seperti benteng saja. Tempat itu menjadi markas sebuah perkumpulan yang amat terkenal, yaitu Perkumpulan Liong-sim-pang (Perkumpulan Hati Naga).

Yang menjadi ketuanya, atau lebih tepat menjadi pemiliknya karena sesungguhnya perkumpulan itu didirikan oleh seorang yang amat kaya raya, adalah seorang lakl-laki yang terkenal dengan julukan Hwa-i-kongcu (Pemuda Baju Kembang), bernama Tang Hun dan memang dia merupakan keturunan terakhir dari keluarga Tang yang kaya raya dan seolah-olah sejak turun-temurun menjadi raja kecil yang menguasai semua tanah di daerah itu.

Mengapa pemuda bernama Tang Hun ini sampai mendirikan Perkumpulan Liong-sim-pang? Karena selain kaya raya dia pun sejak kecil suka sekali akan ilmu silat, bahkan kini ia terkenal sebagai seorang yang amat tangguh dan lihai, apalagi setelah sejak beberapa tahun ini dia berguru kepada seorang nenek hitam yang kini tinggal di puncak itu sebagai seorang yang dipuja-puja.

Semenjak berguru kepada nenek hitam ini kabarnya kepandaian Hwa-i-kongcu menjadi hebat bukan main karena selain silat nenek itu amat tinggi, juga terutama sekali nenek itu seorang ahli sihir yang menurunkan sebagian dari kepandaian ini kepada muridnya itu! Dan selain dia sendiri amat lihai, juga Hwa-i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu yang sakti dan setia.

Sebagai seorang majikan atau ketua dari sebuah perkumpulan, apalagi karena amat kaya raya, tentu saja Hwa-i-kongcu membentuk pasukan sebagai anak buah Liong-sim-pang. Anak buahnya berjumlah lima puluh orang, dan rata-rata memiliki kepandaian lumayan, karena mereka yang masuk menjadl anggauta harus lulus melalui ujian tertentu. Bahkan setelah menjadi anak buah Liong-sim-pang mereka ini mendapat pendidikan khusus dari para pembantu Hwa-i-kongcu.