FB

FB


Ads

Sabtu, 25 April 2015

Jodoh Rajawali Jilid 013

Tentu saja keadaan para penghuni itu sebaliknya dengan keadaan para pengawal yang bertugas berjaga. Setelah malam tiba penjagaan diperketat dan mereka lebih waspada lagi menjaga daripada di waktu siang, karena mereka semua mempunyai dugaan bahwa di waktu malam tentu siluman akan lebih mengganas lagi.

Kini bahkan Panglima Mohinta sendiri mengatur dan mengepalai penjagaan, seolah-olah istana menghadapi ancaman serbuan musuh yang besar jumlahnya. Keadaan di sekeliling istana itu seperti dalam perang saja karena sedikitnya ada tiga ratus orang pengawal dikerahkan oleh Mohinta untuk menjaga seluruh istana, terutama sekali sekeliling istana kecil yang menjadi tempat tinggal Syanti Dewi.

Keadaan sunyi sekali di sekeliling istana. Suasana yang sunyi dan mencekam hati ini membuat para penjaga juga merasa ngeri dan mereka bahkan tidak berani membuat suara keras untuk memecahkan kesunyian malam, seolah-olah suara keras hanya mengundang datangnya siluman! Mereka bicara bisik-bisik dan membuat api unggun sebesarnya, karena selain api unggun itu dipergunakan untuk mengusir hawa dingin dan menimbulkan kehangatan, juga menurut kata para pendeta, api dapat menjauhkan segala macam siluman.

Juga mereka berusaha untuk membicarakan urusan lain tanpa menyebut-nyebut tentang siluman, karena ada kepercayaan di antara mereka bahwa setan tidak boleh disebut-sebut, karena kalau disebut-sebut biasanya suka datang! Demikian hebatnya dongeng tentang gangguan setan dan kepercayaan tentang tahyul menghimpit hati mereka sehingga para pengawal yang biasanya galak dan pemberani itu, kini berubah menjadi seperti sekelompok anak kecil yang ketakutan.

Panglima Mohinta sendiri, diiringkan oleh dua orang pendeta, yaitu Pendeta Nalanda dan seorang pendeta lain yang terus berkemak-kemik membaca doa, dan empat orang perwira pengawal, tiada hentinya hilir mudik dari gardu ke gardu, untuk memberi semangat kepada para pengawal yang berjaga.

Malam makin larut dan keadaan makin serem. Dari balik pintu kamar, Siang In yang sudah siap melakukan siasatnya untuk meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana, mengintai ke luar. Dilihatnya banyak sekali pengawal berjaga di luar dalam keadaan terpencar. Dia mengintai dari balik jendela. Sama saja. Taman di luar kamar itu pun penuh dengan pengawal-pengawal yang menjaga ketat.

Tidak mungkin dia dapat keluar dari pintu atau jendela tanpa diketahui orang. Dan menggunakan sihirnya pun akan berbahaya karena tentu ada di antara mereka yang tidak terpengaruh dan akan dapat melihatnya. Dia tidak boleh memperlihatkan diri di dekat kamar Sang Puteri karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan dan akan mempersulit lolosnya Syanti Dewi karena tentu kamar itu tidak akan ditinggalkan para penjaganya.

“Bagaimana....?”

Syanti Dewi mendekati dan berbisik ketika melihat Siang In yang telah mengintai dari jendela itu berdiri termenung. Puteri ini sudah berpakaian ringkas dan sebuah buntalan terisi bekal pakaiannya sudah dia siapkan di atas meja.

“Sssttttt,.... banyak penjaga di luar. Aku akan keluar melalui genteng,” bisik Siang In.

Dara ini masih mengempit payungnya dan dia lalu menjejakkan kakinya di atas lantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ke arah langit-langit dan dengan payungnya dia menusuk langit-langit dan bergantungan di situ.

Dari bawah, Syanti Dewi memandang penuh kagum dan dia teringat kepada Ceng Ceng, adik angkatnya yang juga memiliki kepandaian hebat seperti Siang In. Sementara itu, Siang In telah berhasil membobol langit-langit, kemudian setelah dia menoleh ke bawah dan memberi kedipan mata yang lucu kepada Syanti Dewi, tubuhnya menyelinap ke atas dan lenyap. Dengan hati-hati sekali Siang In membuka genteng dan menyelinap ke luar. Kemudian dia mempergunakan ilmunya dan berkelebat cepat sekali di atas genteng.

“He.... apa itu....?” terdengar seruan dari bawah. Agaknya ada seorang pengawal yang sempat melihat bayangan berkelebat cepat.

Siang In segera mendekam di wuwungan yang tinggi, bersembunyi sambil memasang telinga mendengarkan. Ada gerakan-gerakan kaki orang di bawah.

“Mana? Tidak ada apa-apa!” terdengar orang lain mencela.

“Akan tetapi aku melihat bayangan orang berkelebat di atas genteng. Sungguh aku berani sumpah!”

“Hemmm, mana ada orang mampu menghilang? Kecuali setan.... ihhhhh....!”

“Sssttttt, jangan bicara yang bukan-bukan. Kita harus waspada.”

Siang In terus mendekam. Maklumlah dia bahwa kalau dia muncul begitu saja, betapapun cepatnya dia menggunakan ginkang untuk meloncat, para pengawal yang sudah memasang mata penuh perhatian di atas genteng itu akan dapat melihatnya. Dia mencari akal dan tersenyumlah gadis yang cerdik ini. Dipatahkannya sepotong genteng dan dia lalu menyambitkan tiga patahan genteng berturut-turut ke arah belakangnya.

Potongan-potongan genteng itu menimbulkan suara berisik ketika menimpa pot-pot bunga di bagian depan bangunan itu. Tentu saja semua pengawal terkejut dan semua orang menoleh ke tempat itu sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau melihat ketika Siang In cepat sekali meloncat dan terus berlari dan akhirnya melayang turun ke dalam taman.

Dengan hati lega Siang In menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak di dalam taman itu. Dia telah berhasil meninggalkan kamar Syanti Dewi tanpa diketahui orang dan kini akan menuju ke kandang kuda seperti yang telah direncanakan di dalam kamar Sang Puteri. Dari peta yang dibuat oleh Syanti Dewi, kini dia telah hafal akan keadaan dan lorong-lorong di kompleks istana itu.

“Heiiiii, berhenti....!”

Siang In terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ada dua orang pengawal yang bersembunyi di belakang batang pohon besar sehingga hampir saja dia bertumbukan dengan mereka.

“Srat! Srattt!” Dua orang pengawal itu telah mencabut pedang masing-masing.

“Aihhhhh, mengapa kalian demikian galak? Mengagetkan orang saja!”

Siang In tersenyum manis bukan main, suaranya pun merdu dan genit, matanya bersinar-sinar sehingga kedua orang pengawal itu terpesona dan dalam waktu beberapa detik tidak mampu bergerak hanya menatap wajah yang cantik jelita itu dengan bengong.






Waktu yang hanya beberapa detik ini cukuplah sudah bagi Siang In. Dua kali payungnya bergerak dan dua orang itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara atau berkutik lagi karena mereka telah tertotok secara tepat sekali oleh ujung payung di tangan Siang In yang cepat sudah menyelinap maju.

Kini dia berlaku hati-hati sekali sehingga dia tidak sampai ketahuan oleh para penjaga lain. Akhirnya tibalah dia di bagian kandang kuda dan gudang rumput, di sebelah belakang istana. Dia menyelinap dan mengintai. Dilihatnya ada empat orang penjaga di dalam gudang rumput, maka dia lalu menyambar lampu minyak yang tergantung di samping gudang, kemudian dia bersenandung!

Tentu saja empat orang penjaga yang sedang melewatkan malam dingin dengan bermain kartu, karena mereka ini pun menerima perintah agar malam itu mereka tidak tidur, menjadi terheran-heran mendengar senandung yang merdu itu. Suara wanita di tempat itu? Sungguh aneh.

“Aih, kiranya di antara kalian ada yang mempunyai simpanan wanita di sini, ya?” penjaga yang gendut tertawa. “Hayo, siapa yang menyimpan wanita yang sekarang bersenandung itu?”

“Aih, suaranya begitu merdu....” kata penjaga yang kurus.

“Aku tidak mempunyai kenalan wanita di sini,” kata yang ke tiga.

“Aku pun tidak....“ kata yang ke empat.

“Kalau begitu.... siapa....“

Mereka saling pandang dan mata mereka terbelalak karena teringatlah mereka akan dongeng tentang siluman cantik.

“Jangan-jangan dia....?”

“Ahhhhh, mana ada siluman pandai bersenandung semerdu itu. Apapun adanya dia, mari kita ke luar menyelidiki. Suaranya terdengar dekat, agaknya di depan gudang,”

Kata Si Gendut yang menjadi pemimpin dan keluarlah empat orang itu, berindap-indap keluar dari gudang, tangan mereka memegang tombak garpu yang biasanya dipakai untuk menumpuk rumput kering.

Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar pintu gudang dan celingukan karena tidak melihat sesuatu, dari jendela gudang itu ada lentera yang dilemparkan ke dalam gudang. Lentera menimpa tumpukan rumput kering dan tentu saja dalam sekejap mata rumput kering itu terbakar! Empat orang itu terkejut mendengar suara api di belakang mereka.

Cepat mereka menengok ke dalam gudang dan melihat api sudah berkobar besar di dalam gudang itu. Mereka terkejut dan juga merasa ngeri. Kalau saja mereka tadi belum keluar, agaknya akan sukar meloloskan diri dari api yang tentu mudah berkobar memakan rumput kering itu.

“Kebakaran....!”

“Tolonggg.... kebakaran....!”

Segera mereka memukul kentongan sambil berteriak-teriak dan sebentar saja suara kentongan dan berita kebakaran di gudang kandang kuda itu sudah terdengar di seluruh kompleks istana. Apalagi ketika semua kuda telah terlepas dari kandangnya dan kini berlarian ke sana-sini karena ketakutan melihat api.

Tentu Siang In pula yang telah melepaskan kuda-kuda itu dengan membuka pintu-pintu kandang dan mencambuki binatang-binatang itu ke luar kandang mereka. Panik dan gegerlah seluruh istana! Orang-orang berlari ke sana-sini, berserabutan dan bingung.

“Jangan panik! Jangan tinggalkan tempat penjagaan masing-masing!”

Panglima Mohinta dibantu oleh beberapa orang perwira berlari ke sana-sini menenangkan para pengawal.

Akan tetapi tetap saja terjadi kepanikan hebat, bukan hanya karena kebakaran itu, melainkan kepanikan lain yang terjadi mulai dari taman di belakang kamar Syanti Dewi. Selagi para pengawal di sekitar taman itu yang jumlahnya paling banyak ada lima puluh orang yang tadinya berada di mana-mana dan kini berkumpul, menjadi agak bingung mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan bunyi kentongan, tiba-tiba di tempat gelap muncul seorang wanita muda yang amat cantik, yang tersenyum-senyum kepada mereka dari jauh dan melambaikan tangan.

“Itu dia.... siluman itu!” teriak seorang diantara mereka yang pernah bertemu dengan Siang In. “Lihat dia membawa payung!”

Mendengar ini, para pengawal yang merasa tabah karena terdiri dari banyak orang itu berlari menghampiri. Akan tetapi Siang In tertawa terkekeh lalu membalikkan tubuhnya dan lari menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak.

Gerakannya amat ringan dan cepat, lincah bukan main sehingga untuk beberapa lamanya dia dapat bermain kucing-kucingan dengan mereka, kadang-kadang menghilang bersembunyi di balik semak-semak atau di balik pohon-pohon, bahkan kadang-kadang dia meloncat seperti seekor burung terbang ke dalam pohon dan ketika beberapa orang pengawal yang mencarinya lewat di bawah pohon, dia melempari mereka dengan buah-buah mentah lalu melompat ke lain pohon dan berlari lagi.

Dengan gangguan-gangguan ini, Siang In berhasil membikin kacau lima puluh orang itu dan kini mereka semua tercurah perhatiannya kepada Siang In yang sebentar muncul sebentar lenyap itu. Bahkan Siang In kini lari tidak begitu cepat meninggalkan taman, tentu saja dikejar oleh semua pengawal yang seolah-olah kini berlumba untuk menangkap siluman yang amat cantik jelita itu.

Siang In sengaja memperlambat larinya dan membiarkan dirinya hampir tersusul. Setelah dia mendengar suara derap para pengawal itu dekat di belakangnya, tiba-tiba dia berhenti, membalik sambil mengeluarkan suara melengking nyaring yang tidak menyerupai suara manusia.

Begitu dia membalik, semua pengejarnya terbelalak ngeri melihat wajah yang putih polos, wajah setan tanpa mata hidung mulut! Dan selagi mereka bengong dengan muka pucat, Siang In menubruk ke depan, menggerakkan payungnya dan robohlah enam orang sambil mengaduh-aduh karena ujung payung itu secara nakal sekali telah menusuk pundak dan paha mereka, tidak membahayakan namun cukup mendatangkan rasa nyeri.

“Hi-hi-hik!”

Siang In tertawa lagi sambil membalikkan badan melanjutkan larinya, makin menjauhi taman. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya dengan marah.

Berhasillah Siang In mengacaukan para pengawal dan Syanti Dewi yang sudah siap dan mendengar keributan kebakaran, maklum bahwa saat baginya sudah tiba. Memang tanda kebakaran itu merupakan isyarat baginya untuk mulai meloloskan diri. Maka puteri ini lalu cepat keluar dari kamarnya melalui jendela dan hal ini bukanlah merupakan hal yang sukar baginya karena Syanti Dewi bukanlah seorang puteri yang lemah, melainkan seorang yang telah mempelajari ilmu silat pula sehingga lolos dari jendela merupakan pekerjaan yang mudah.

Dia mendengar suara ribut-ribut di taman itu, maka tahulah dia bahwa Siang In sedang “mengerjakan” para pengawal yang berjaga di taman. Maka dia lalu menyelinap di belakang pohon, mengintai dari tempat gelap dan setelah suara teriakan para pengawal makin menjauhi taman, tanda bahwa Siang In yang cerdik itu sudah berhasil memancing mereka ke luar dari taman, Sang Puteri cepat berlari menyelinap di antara kegelapan pohon-pohon di taman, membawa buntalannya dan terus menuju ke luar taman melalui jalan rahasia yang menembus ke pinggir tembok kota raja!

Sementara itu, Siang In dengan lincahnya mempermainkan para pengawal yang kini makin banyak berdatangan dan mengepungnya. Ketika para pengejarnya belum begitu banyak, dia dapat menggunakan sihirnya yang mempengaruhi para pengejarnya. Kadang-kadang dia berdiri begitu saja di dekat pohon dan mereka yang mengejarnya tidak melihatnya karena mereka melihat gadis itu seperti sebatang pohon dan melewatinya begitu saja.

Kadang-kadang ketika mereka sudah mengepung gadis itu, tiba-tiba saja gadis itu lenyap berubah menjadi asap atau “terbang” begitu saja ke angkasa di depan mata mereka! Tentu saja semua ini hanyalah pengaruh sihir yang dikerjakan oleh Siang In dan menguasai pikiran mereka semua.

Akan tetapi ketika yang mengejarnya makin banyak, sihir Siang In tidak begitu manjur lagi! Ada sebagian yang melihat dia “terbang” sehingga menjadi bengong, akan tetapi sebagian lagi yang tidak terpengaruh, melihat gadis itu sebetulnya hanya menyelinap saja untuk melarikan diri dan mereka ini terus mengejar, dan tentu saja perbuatan mereka ini sekaligus menyadarkan mereka yang terkena pengaruh sihir.

Mulai sibuklah Siang In berlari ke sana ke mari dikejar oleh para pengawal yang dipimpin oleh Panglima Mohinta sendiri.

“Kejar! Tangkap dia!”

Mohinta berteriak-teriak ketika melihat betapa gadis itu kadang-kadang melawan dan merobohkan para pengeroyok dengan gerakan silat yang amat hebat.

Mulailah Siang In mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Menurut perhitungannya, saat ini Syanti Dewi tentu telah lolos. Akan tetapi celaka baginya, kini tiga ratus orang pengawal memusatkan kekuatan untuk mengurungnya dan tidak memberi kesempatan baginya untuk keluar dari dalam lingkungan istana!

Kemanapun dia lari, tentu dia bertemu dengan pasukan pengawal yang amat banyak jumlahnya! Dan dia tidak akan mungkin terus bermain kucing-kucingan seperti itu, karena kalau sampai malam berganti pagi dan dia masih berada di istana, dia akan celaka! Ilmu silatnya dan ilmu sihirnya tidak mungkin dapat dia pergunakan menghadapi bala tentara Bhutan yang tentu akan dikerahkan untuk menangkapnya!

Kemarin masih ada Syanti Dewi yang melindungi dan menyembunyikannya, akan tetapi sekarang, para pengawal sudah menduga bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa yang pandai ilmu sihir. Bahkan kini Mohinta telah mengundang jago-jago ilmu sihir yang banyak terdapat di Bhutan untuk menandinginya sehingga ketika dia mencoba menggunakan sihirnya ketika dia bertemu dengan sepasukan pengawal yang ditemani seorang pendeta, sihirnya melempem dan tidak berhasil sama sekali! Hanya berkat ilmu silatnya yang cukup tinggi sajalah dia mampu lolos!

Napasnya agak terengah dan keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya ketika Siang In menyelinap ke dalam sebuah ruangan kosong untuk beristirahat sejenak mengumpulkan kekuatan dan mencari akal.

Akan tetapi baru saja dia masuk dan menghapus peluh dengan saputangan, muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian panglima yang gagah sekali. Orang ini sudah setengah tua, usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya tegap dan gagah, tangannya memegang sebatang golok. Melihat laki-laki ini, Siang In terkejut, akan tetapi juga girang dan wajahnya berseri.

“Paman Jayin....!”

Panglima itu memang Panglima Jayin, seorang panglima yang setia kepada Kerajaan Bhutan dan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa panglima ini yang telah berhasil membawa pulang Syanti Dewi dari timur, dan panglima ini masih terhitung suheng dari Ceng Ceng karena dia pernah menerima gemblengan dari kakek pendekar wanita itu.

Panglima Jayin terkejut dan heran mendengar dara muda yang cantik, yang disangka siluman dan dikejar-kejar ratusan orang pengawal itu, menyebutnya paman. Panglima ini baru saja tiba dari tugasnya ke luar kota raja dan begitu mendengar bahwa istana dikacau oleh seorang gadis lihai yang disangka siluman, dia bergegas pergi ke istana dan ikut pula mencari “siluman” itu.

Panglima ini adalah seorang yang sudah berpengalaman. Tentu saja dia tidak percaya bahwa istana diganggu siluman. Dia menduga bahwa tentulah yang mengganggu atau mengacau itu seorang tokoh kang-ouw atau seorang penjahat. Bahkan tadinya dia menduga bahwa yang mengacau adalah Ang Tek Hoat, akan tetapi dugaan ini dilenyapkan oleh berita bahwa pengacau atau siluman itu adalah wanita.

Dengan kecerdikannya, Panglima Jayin tidak ikut mengejar-ngejar dengan ribut, melainkan dia menyelinap ke tempat-tempat sunyi karena dia mempunyai perhitungan bahwa orang jahat itu yang dikejar-kejar tentu akan mencari tempat-tempat sunyi untuk beristirahat.

Perhitungannya itu ternyata cocok sekali, dan dengan girang dia melihat seorang dara menyelinap masuk ke dalam ruangan kosong itu. Akan tetapi terkejut dan terheranlah dia ketika dara asing yang dia yakin tentulah si pengacau itu langsung saja menyebutnya paman!

Sejenak mereka berpandangan dan dara itu tersenyum manls, senyum kekanak-kanakan yang manis akan tetapi penuh dengan sifat menggoda seperti seorang anak nakal.

“Eh, Paman Panglima Jayin, sudah lupa lagikah engkau kepadaku?” kembali dara itu berkata ramah sambil tersenyum.

Kini ada sesuatu pada diri dan sikap lucu dan nakal dari dara itu yang mengingatkan kepada panglima ini bahwa dia memang pernah bertemu dengan dara ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana.

“Nona, siapakah engkau?”

“Aku adalah Teng Siang In, murid dari See-thian Hoat-su. Kami pernah membantu kalian ketika dahulu mengawal Syanti Dewi ke Bhutan”.

Jayin teringat dan dia mengangguk-angguk.
“Ah, kiranya Nona! Akan tetapi apakah Nona pula yang menggegerkan istana dan dianggap sebagai siluman?”

“Hi-hik, inilah yang disangka siluman!”

Siang In mengeluarkan kedok dan sekali tangannya mengusap muka, mukanya berubah menjadi polos mengerikan.

Jayin terbelalak lalu tersenyum.
“Aih, Nona sungguh nakal sekali! Apa perlunya Nona mempermainkan kami dan mengacau istana?”

Siang In sudah melepaskan kedoknya lagi dan kini dengan sikap serius, sungguh tidak pantas bagi wajahnya yang cantik namun jenaka sifatnya itu, dia berkata,

“Paman Jayin, apakah engkau tidak kasihan kepada Puteri Syanti Dewi? Apakah dulu Paman bersusah payah membawanya pulang ke Bhutan hanya untuk menyiksanya sehingga dia akan mati tenggelam dalam kedukaan seperti seekor burung dalam sangkar?”

“Eh, apa maksudmu berkata seperti itu, Nona?” Jayin bertanya marah dengan alis berkerut.

“Hemmm, jangan kau pura-pura tidak tahu, Paman. Tidak tahukah engkau bahwa Puteri Syanti Dewi setiap hari berduka, bahwa Sang Puteri masih mencinta Tek Hoat dan sama sekali tidak mencinta Mohinta? Tidak tahukah Paman akan hal itu?”

Jayin terkejut dan sejenak dia tak dapat menjawab. Akhirnya dia menghela napas dan berkata,
“Tentu saja aku tahu, Nona. Aku tidak buta, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan?”

“Paman Jayin, dahulu engkau adalah seorang gagah perkasa yang budiman, yang amat sayang kepada Syanti Dewi. Apakah sekarang Paman sudah berubah? Apakah Paman tidak ingin melihat dia berbahagia?”

“Bagaimana saya dapat membuat dia berbahagia?”

“Dengan membiarkan dia lolos dari istana untuk pergi mencari dan berkumpul kembali dengan kekasihnya, yaitu Ang Tek Hoat.

“Hemmm.... apakah kau menganjurkan aku berkhianat?”

“Siapa yang suruh kau berkhianat? Terus terang saja Paman Jayin, dahulu aku menganggapmu sebagai teman. Akan tetapi sekarang, aku sedang berusaha meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana. Bahkan sekarang pun dia sudah lolos. Kalau engkau hendak menghalangi, hemmm.... terpaksa aku akan menganggap engkau sebagai musuh!”

Berkata dengan demikian, gadis yang cerdik itu sudah siap dengan payungnya, akan tetapi sesungguhnya ini hanya aksi belaka, karena dia sama sekali tidak ingin melukai panglima ini, dan yang dia persiapkan adalah kekuatan sihirnya karena kalau perlu dia akan menguasai panglima ini dengan sihirnya.

Panglima Jayin tercengang. Tahulah dia sekarang mengapa gadis ini mengacau istana. Dan semenjak Tek Hoat pergi tanpa pamit dari Kota Raja Bhutan, kemudian melihat keadaan Sang Puteri, memang di dalam hati panglima yang setia ini sudah timbul penyesalan hebat.

Akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya untuk membantu Syanti Dewi. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga, muncul nona ini yang hendak menolong Syanti Dewi. Kalau dia menghalangi, sama saja artinya dengan dia hendak memaksa Syanti Dewi hidup menderita selamanya! Pada saat itu, terdengar suara hiruk-pikuk dari jauh yang makin lama makin mendekati tempat itu.

“Dia tadi berkelebat ke sini!”

“Cari sampai dapat!”

“Geledah semua tempat, semua tempat kosong!”

Jayin dan Siang In masih saling berpandangan.
“Kau yakin Puteri telah lolos dari istananya?” tiba-tiba Jayin bertanya.

“Sudah pasti!”

“Kalau begitu, aku akan memancing mereka menjauhimu menuju ke istana Syanti Dewi di utara dan kau dapat melarikan diri ke bagian selatan. Cepat kau temani Sang Puteri dan bantulah dia agar bertemu dengan kekasihnya agar dia hidup berbahagia.”

Siang In tersenyum dan menjura.
“Sungguh engkau hebat, Paman! Sudah kusangka bahwa engkau memang seorang yang gagah perkasa dan budiman.”

“Sudahlah selamat berpisah....!” kata Jayin.

“Mari selidiki di dalam sini!” terdengar suara Mohinta tiba-tiba.

“Heiiiii, siluman! Kau hendak lari ke mana?”

Tiba-tiba Jayin membentak marah, dengan golok terhunus dia menyerbu ke luar, mengejutkan Mohinta dan para anak buahnya.

“Eh, Paman. Panglima!” Mohinta berseru.

“Mohinta! Cepat, siluman itu lari ke sana! Eh, kenapa kalian mengejar-ngejar di sini? Celaka! Tentu siluman itu akan menculik Sang Puteri! Dan kalian meninggalkan istana Sang Puteri! Celaka aku melihat siluman itu tadi lari ke arah istana Sang puteri!”

Jayin mendahului yang lain-lain, melompat dan lari ke arah istana Syanti Dewi. Mohinta terkejut dan baru teringat, maka dia pun lalu berlari cepat mengejar Jayin, diikuti oleh para pengawal.

“Ini adalah pancingan!” Sambil berlari Panglima Jayin berseru. “Siluman itu memancing kalian meninggalkan penjagaan di istana Sang Puteri. Betapa bodohnya kalian!”

“Celaka....!”

Mohinta menjadi pucat dan mempercepat larinya ke arah istana kecil itu. Seperti berlomba lari saja mereka menuju ke istana, langsung ke kamar Sang Puteri dan memang semua pengawal yang menjaga di situ telah lari tadi mengejar Siang In. Mohinta bernapas lega melihat pintu kamar Sang Puteri masih terkunci dari dalam.

“Ah, syukur Adinda Syanti Dewi masih di dalam, tentu masih tidur nyenyak,” katanya sambil tersenyum lega.

“Bodoh! Coba ketuk, buka! Siapa tahu....!”

Jayin melangkah maju dan mengetuk pintu perlahan-lahan sambil memanggil. Akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketukan diperkeras dan akhirnya pintu itu digedor-gedor oleh Mohinta yang sudah menjadi pucat sekali mukanya. Namun tetap saja tidak ada jawaban.

“Bongkar pintunya!”

Jayin yang bersikap seperti orang kebingungan itu memerintah. Pintu kamar dibongkar, dipaksa terbuka dan mereka menyerbu ke dalam. Kosong!