FB

FB


Ads

Sabtu, 25 April 2015

Jodoh Rajawali Jilid 012

“Apakah mereka di pintu gerbang tidak menyerangmu?” tanya Syanti Dewi dengan senyum lebar selalu menghias bibirnya, senyum yang selama ini hampir dilupakannya.

Berdekatan dengan Siang In, mendengar penuturan dara itu, telah membuat Sang Puteri timbul kembali kegembiraannya dan membawa dia kembali ke alam bebas, alam liar seperti ketika dia berkelana dahulu.

“Tentu saja mereka mengejarku, dan aku cepat mengenakan sesuatu dan ketika mereka sudah dekat, aku membalik seperti ini....“

“Ihhhhh....!”

Syanti Dewi menjerit, terbelalak menatap wajah yang tadinya begitu cantik manis, akan tetapi sekarang telah berubah menjadi wajah yang luar biasa mengerikan, wajah yang halus polos tanpa tonjolan, tanpa mata hidung atau mulut!

“Hik-hik, kau juga ngeri!”

Siang In melepaskan kedoknya dan Syanti Dewi terkekeh-kekeh saking geli hatinya, mengambil kedok itu dari tangan Siang In dan memandanginya. Kedok itu hanya sehelai penutup muka seperti karet yang halus sekali, entah dibuat dari apa.

“Dan pendeta gundul yang lucu itu, hi-hik.”

“Kau maksudkan Pendeta Nalanda? Kau apakan pula dia?” Syanti Dewi makin tertarik dan bertanya.

“Tidak apa-apa, hanya kucoreng-moreng mukanya.” Siang In lalu menceritakan pertemuannya dengan pendeta itu dan berderailah suara ketawa Syanti Dewi.

Dua orang dara yang sedang bergembira itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Sri Baginda Raja Bhutan sendiri sedang berdiri di luar kamar Syanti Dewi dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar suara ketawa puterinya.

Tentu saja hati raja ini senang mendengar suara ketawa puterinya, suara yang beberapa tahun lamanya tidak pernah didengarnya lagi. Akan tetapi karena suara ketawa ini dilakukan puterinya yang berada sendirian di dalam kamar, tentu saja menimbulkan perasaan bimbang dan khawatir, juga ngeri. Hanya seorang gila saja yang tertawa-tawa geli seperti itu seorang diri saja di dalam kamar.

Empat orang pengawal Sri Baginda, dua orang kepala pendeta, dan Panglima Mohinta yang menemani raja juga terbelalak dan saling pandang penuh kengerian. Jelaslah bagi mereka yang sedang panik oleh berita siluman, bahwa Sang Puteri tentulah diganggu siluman!

“Syanti....! Buka pintu....!”

Ketukan pintu dan suara Sri Baginda ini membuat Syanti Dewi terlonjak kaget. Mukanya menjadi pucat ketika dia memandang kepada Siang In. Akan tetapi Siang In hanya tenang-tenang saja, malah tersenyum dan berbisik,

“Bukalah pintu dan anggap saja aku tidak ada di kamar ini.”

Syanti Dewi bimbang. Dia khawatir sekali karena tentu Siang In akan ditangkap dan dihukum karena dianggap mengacau istana. Akan tetapi dengan gerakan kepala dan tangan Siang In mendesaknya untuk membuka pintu karena ketukan pada pintu makin gencar dan suara Sri Baginda makin mendesak.

Syanti Dewi melangkah, menghampiri pintu dan sekali lagi dia menengok dan dia melihat Siang In sudah duduk bersila di atas lantai dekat pembaringannya. Gadis itu tersenyum dan kelihatan tenang saja sehingga mau tak mau Syanti Dewi menjadi kagum dan juga terheran-heran.

Dia menurunkan ganjal pintu dan membuka daun pintu. Serentak masuklah Sri Baginda yang ditemani oleh Panglim Mohinta, empat orang pengawal dan dua orang pendeta. Semua mata memandang ke seluruh kamar dan Syanti Dewi sudah menanti dengan hati berdebar akan seruan mereka melihat Siang In yang duduk bersila di lantai.

Akan tetapi, aneh bin ajaib! Tidak ada seorang pun yang menyinggung-nyinggung kehadiran gadis asing itu di dalam kamarnya. Padahal dia melihat sendiri betapa semua mata tentu dapat melihat gadis itu yang masih duduk tersenyum setelah tadi tangan kiri nya diangkat dan digerakkan seperti memberi salam kepada mereka yang baru memasuki kamar!

“Syanti, dengan siapa engkau di kamarmu ini?”

Sri Baginda bertanya sedangkan Panglima Mohinta berjalan hilir mudik dengan mata mencari-cari, bahkan kakinya lewat dekat sekali dengan tubuh Siang In.

“Tidak dengan siapa-siapa, Ayah. Saya sedang tidur, mengapa Ayah dan semua orang ini datang mengganggu dan membangunkan saya?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara tidak senang.

“Hemmm.... tidur? Akan tetapi tadi dari luar kami mendengar engkau tertawa-tawa, Syanti. Jangan engkau membohongi Ayahmu.”

“Sungguh saya sedang tidur dan kalau saya tertawa, agaknya itu terjadi dalam mimpi.”

“Ah, engkau mimpi? Mimpi apa? Bertemu dengan silum...., dengan siapa?” Sri Baginda yang sudah dicekam rasa ngeri yang meliputi seluruh istana itu bertanya.

Syanti Dewi menjadi bingung dan melirik ke arah Siang In. Gadis ini menudingkan telunjuknya ke arah Panglima Mohinta yang masih hilir mudik.

“Saya mimpi bertemu dengan.... Panglima Mohinta....“






“Ah, jadi Adinda mimpi bertemu dengan saya?” Panglima muda itu bertanya dengan wajah berseri.

Syanti Dewi mengangguk.
“Di dalam mimpi, saya melihat.... Kakanda Mohinta menjadi seorang badut yang sangat lucu, maka saya tertawa....“

Wajah yang tadinya berseri itu berubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang In yang sedang duduk bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga menujukan pandang matanya kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Agaknya mereka kini telah dapat melihat gadis itu, pikirnya khawatir.

“Syanti Dewi, sejak kapan ada kursi bagus ini di dalam kamarmu?”

Sri Baginda tiba-tiba bertanya sambil menuding ke arah Siang In yang duduk bersila. Syanti Dewi terkejut dan terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu adalah seorang ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat menduga bahwa tentu Siang In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya seperti sebuah kursi!

“Kursi....? Eh, inikah, Ayah? Ini adalah kursi hadiah yang saya terima dari seorang pelayan, katanya kursi antik.... “

“Memang bagus sekali, tentu enak diduduki....“

Panglima Mohinta kini menghampiri Siang In, siap untuk duduk di atas kepala gadis itu! Pantatnya sudah dipasang hendak duduk. Tentu saja Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak sudi membiarkan kepalanya diduduki orang. Cepat dia menggerakkan payungnya yang tadi telah disambarnya dari atas meja ketika rombongan raja masuk dan ujung payungnya digerakkan menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki kepalanya.

“Cusssss.... aduhhhhh....!” Panglima Mohinta terloncat kaget ketika merasa betapa pantatnya ditusuk ujung payung. “Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!”

Akan tetapi diam-diam panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku di kursi itu!

Setelah melihat jelas bahwa kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman di situ, Sri Baginda lalu berkata,

“Syukurlah kalau tidak ada apa-apa, anakku. Tidurlah dengan tenang.”

Dia lalu keluar lagi dari kamar Puteri Syanti Dewi, diikuti oleh rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa untuk melindungi puteri dari gangguan siluman.

Setelah Syanti Dewi menutupkan kembali daun pintu kamarnya, dia dan Siang In tertawa-tawa lagi, akan tetapi Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona itu agar jangan tertawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan kembali kegembiraan hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk bersanding di atas pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih amat muda akan tetapi sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh.

“Siang In, engkau sungguh hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka, menjadi sebuah kursi?” tanya puteri itu, memandang kagum.

Siang In mengangguk dan cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja kelihatan manis,

“Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biarpun orangnya tunanganmu yang tampan dan ganteng itu, Puteri....“

“Hushhh, jangan berkata demikian, aku.... aku benci padanya!”

“Eihhhhh? Aku mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta, dan melihat tadi rayuan maut di taman....“

“Sudahlah, Siang In.” Syanti Dewi menghela napas panjang. “Aku tidak ingin bicara tentang dia. Sekarang katakan, apakah kehendakmu maka engkau bersusah payah menggunakan kepandaian menempuh bahaya mencari aku di sini?”

“Aku sedang mencari seseorang, Puteri. Dan karena aku merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga mengenal Panglima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan mendengar bahwa engkau masih belum menikah, Puteri akan tetapi sudah bertunangan dengan Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran, karena bukankah.... eh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu dahulu....“

Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari puteri itu menjadi pucat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat dia menyebut nama pemuda itu.

“Adik yang baik.” Syanti Dewi kini memandang dara itu. “Apakah yang telah kau dengar tentang Ang Tek Hoat?”

“Aku dahulu mendengar bahwa Ang Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bahkan diangkat menjadi panglima dan dijadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau sekarang menjadi tunangan Panglima Mohinta?”

Ditanya begini, tiba-tiba Puteri Syanti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tidak pernah menangis lagi, seolah-olah air matanya sudah mengering akan tetapi kegembiraan tadi, tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengembalikan pula kemampuannya untuk menangis.

Melihat puteri yang keadaan hidupnya dilimpahi kemuliaan itu agaknya menderita kesengsaraan batin, Siang In memegang tangannya dengan sikap menghibur dan berkata lembut,

“Puteri, jangan terlalu membiarkan diri terseret oleh arus kesedihan. Segala kesukaran di dunia ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus berusaha, tidak hanya cukup untuk ditangisi dan disedihkan belaka. Ceritakanlah kepada adikmu ini, apakah yang terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek Hoat dan menjadi tunangan panglima yang tidak kau cinta itu?” Dia mengangguk-angguk meyakinkan.“Ceritakan dan aku akan menolongmu sedapat mungkin, Puteri.”

Karena baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang memperhatikan nasibnya, yang tidak akan mungkin dilupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi dan berceritalah dia tentang kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa kemudian dia dipaksa untuk menjadi tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai saat ini, setelah lewat empat tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan karena sampai kini dia masih menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih pemuda itu.

“Aku tidak percaya kalau dia pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku yakin pasti ada sesuatu terjadi. Kalau saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang terjadi, dan andaikata dia memutuskan cinta secara terus terang, tentu aku tidak akan menderita dalam keadaan yang serba tidak menentu ini. Adik Siang In“ Puteri mengakhiri ceritanya.

Siang In mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang dara yang sejak kecilnya biasa hidup bebas, tidak pernah terkekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi, seperti juga burung yang bebas, kadang-kadang dia harus menderita kekurangan makan, menderita kepanasan dan kehujanan, namun semua itu tidak mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas.

Tidak seperti Syanti Dewi yang andaikata seekor burung hidup di dalam sangkar, biarpun sangkar itu terbuat daripada emas dan dihias permata, biarpun di dalam sangkar itu penuh dengan makanan berlimpah.

“Puteri....“

“In-moi (Adik In), setelah semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka janganlah kau menyebut Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak).”

“Baiklah Enci Syanti Dewi,” jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri. “Aihhhhh, siapa sangka aku akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini, Enci Syanti Dewi. Terus terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini. Mengapa selama bertahun-tahun ini engkau diam saja, menenggelamkan diri dalam air mata dan kedukaan? Mengapa engkau tidak mau bertindak?”

“Bertindak? Tindakan apa yang dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah mengambil keputusan itu tentu demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat membantah kehendak Ayah?”

“Hemmm.... mencintamu? Terus terang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin tidak enak didengar ini. Akan tetapi.... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja itu, tidak mencintamu, Enci.”

Dengan wajahnya yang agak pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat mukanya memandang wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu.

“Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan seperti juga semua ayah di dunia ini, dia melakukan semua itu demi cintanya kepadaku.”

“Hemmm, pendapat yang kolot dan keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, seperti juga kebanyakan ayah di dunia ini, pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan tetapi cinta pada dirinya sendiri ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih mencinta anak-anaknya! Semua tindakannya terhadap dirimu itu sama sekali bukan karena cintanya kepadamu, melainkan karena cintanya kepada diri sendiri!”

“Eh, bagaimana kau bisa bilang begitu Siang In?”

“Coba saja renungkan. Orang yang mencinta tentu selalu menunjukkan tindakan-tindakannya untuk membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta, bukan?”

Syanti Dewi mengangguk.

“Nah, tindakan Ayahmu memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksamu berjodoh dengan Mohinta ini, apakah tindakan ini membahagiakan dan menyenangkan hatimu?”

“Tidak, akan tetapi dia maksudkan demi kebaikanku.”

“Itulah kepalsuanya, itulah tutup-tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya. Sebetulnya semua itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya sendiri! Betapa banyaknya, bahkan hampir semua, orang-orang tua yang menujukan segala tindakan demi untuk memenuhi kehendaknya sendiri, demi untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi mereka menggunakan dalih membahagiakan anak, padahal si anak hanya dijadikan alat untuk dia mencapai keinginan hatinya itulah! Si anak tidak penting lagi, yang penting adalah rencananya untuk membahagiakan anak, sungguhpun pada hakekatnya si anak tidak bahagia dengan rencananya itu!”

“In-moi....!” Syanti Dewi berseru dengan mata terbelalak. “Apakah kau hendak mengatakan bahwa Ayahku jahat....?”

Dara itu menggeleng kepala,
“Siapapun adanya dia itu, kalau dia masih belum sadar akan kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa tindakanya itu benar belaka dan semua tindakan yang dianggap benar itu hanya akan mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan, seperti yang kau alami ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh cinta kasih terhadapmu. Enci, apakah tindakan cinta kasih menimbulkan kesengsaraan dan kedukaan?”

Syanti Dewi memegangi kedua pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng kepalanya.
“Ah, aku tidak tahu.... semua kata-katamu membuat aku bingung sekali, Adik In! Habis, apa yang harus kulakukan?”

“Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan kalau memang Enci yakin bahwa dia mencintamu....“

“Aku yakin benar akan cintanya!”

“Kalau begitu, mengapa Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih Eci itu, daripada menerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon jodoh yang tidak Enci cinta?”

“Pergi....? Kau maksudkan minggat dari istana?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih. “Aihhh, In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos saja dari sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu menjagaku dan istana ini siang malam dikepung oleh ratusan orang pengawal.”

“Hal itu tidak penting. Yang penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi mencari Tek Hoat?”

“Tentu saja aku mau!”

“Meninggalkan kedudukan Enci sebagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan ini, mungkin menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan....?”

“Tentu aku mau dan aku berani menghadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek Hoat.”

“Bagus!” Siang In berseru girang. “Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sangkar emas ini, Enci.”

Syanti Dewi girang sekali dan dia merangkul dara itu. Sejenak mereka berangkulan, lalu Siang In berkata,

“Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman dalam perantauan“

“Siapa bilang belum berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah merantau dan menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama sekali tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran seperti itu.”

“Bagus, akan tetapi betapapun juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya perjalananmu ke timur. Besok aku akan mencari akal untuk membawamu keluar dari sini dengan aman.”

Syanti Dewi lalu berkemas, hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu berseri. Membayangkan betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran dalam mencari kekasihnya, mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa pun demi pertemuannya kembali dengan Tek Hoat! Dan malam itu, tidak seperti malam yang sudah, puteri ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang In.

Mereka tidak tahu bahwa setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa curiga lalu mengerahkan jagoan-jagoan istana untuk mengurung dan menjaga kamar sang puteri. Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri tunangannya itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia sendiri pun melakukan penjagaan di sekitar istana tunangannya.

Oleh karena penjagaan yang diperketat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang hendak memeriksa keadaan keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi sekali pada keesokan harinya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang membentak nyaring,

“Siluman jahat!, jangan lari!”

Siang In terkejut. Tak disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agaknya memiliki kepandaian lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat keluar dari semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam runcing dari kanan kiri ke arah lambungnya!

Siang In tersenyum manis sekali sambil menoleh ke kanan kiri memandangi kedua orang perwira itu yang menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka todong adalah seorang dara remaja yang sedemikian cantik jelitanya. Akan tetapi mereka telah mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda bahwa mereka tidak boleh sekali-kali terbujuk dan tertipu oleh seorang dara remaja yang cantik, karena dia itu adalah siluman!

“Eh-eh, kalian ini mau apakah?”

Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang matanya yang indah jeli itu menyambar keluar sinar yang amat kuat dan aneh, sedangkan tangannya bergerak-gerak.

“Menyerahlah engkau, siluman, kalau tidak, pedang kami akan menembus tubuhmu!” bentak di sebelah kirinya.

“Berlututlah engkau!” perwira di sebelah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung pedangnya pada pinggang yang ramping itu.

Siang In tertawa dan berkata dengan suara meyakinkan,
“Ihhh, kalian berdua ini apakah sudah gila? Mana pedang kalian? Dan mengapa kalian berdua memegang dan bermain-main dengan ular? Awas, kalian akan digigit oleh ular-ular itu!”

Dua orang perwira itu terkejut dan memandang pedang mereka. Wajah mereka menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata benar-benar bukanlah sebatang pedang melainkan seekor ular cobra! Mereka memegang ular itu pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka, lehernya menggembung dan mulutnya mengeluarkan desis mengerikan, matanya bersinar-sinar, siap untuk mematuk.

“Ihhhhh.... ularrrrr....!”

“Hiiiiihhhhh.... aih, celaka....!”

Mereka berdua berusaha untuk membuang ular-ular itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang mereka genggam itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat dilepaskan lagi! Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apalagi ketika ular-ular itu makin mendekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting meninggalkan taman itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat kembali ke dalam istana Syanti Dewi.

“Siapakah yang berteriak-teriak itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?” Syanti Dewi menyambut kedatangan dara itu dengan hati tegang.

“Dua orang pengawal. Wah, benar seperti yang kau ceritakan, Enci, tempat ini penuh dengan penjagaan pengawal.”

“Habis, bagaimana kita dapat lolos dari sini? Apakah engkau tidak bisa mempergunakan ilmu sihirmu itu, In-moi?”

Syanti Dewi makin gelisah ketika mendengar suara ribut-ribut di luar dan agaknya dua orang pengawal yang berteriak-teriak tadi sudah menyebarkan cerita tentang siluman cantik yang mempermainkan mereka.

Siang In duduk dan menopang dagunya yang manis itu, kedua alis matanya yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis itu berkerut merut. Dia menggeleng kepala menjawab pertanyaan puteri itu.

“Aku dapat mempengaruhi belasan orang dengan permainan sihir, akan tetapi sukar sekali mempengaruhi ratusan orang pengawal sekaligus, Enci. Pula di antara mereka terdapat banyak orang-orang yang berkemauan dan berbatin kuat sehingga belum tentu usahaku akan berhasil. Bagi aku sendiri, tentu saja dapat lolos dengan mudah. Akan tetapi kalau membawamu, kurasa akan sukar sekali hasilnya. Sebaiknya diatur begini saja, Enci. Aku akan menimbulkan geger, menggoda dan mempermainkan mereka, memancing mereka agar seluruh pengawal yang berjaga di sini akan tertarik ke suatu jurusan. Dalam saat itu, selagi semua pengawal ribut mengurungku, engkau meloloskan diri dari istana ini. Kemudian kita bertemu di luar istana dan aku selanjutnya akan membawamu melarikan diri. Bagaimana?”

Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian dua orang dara itu mengatur rencana pelarian itu yang akan mereka lakukan malam nanti, Syanti Dewi menggambar peta dari istana itu dan memberi tahu di mana letaknya pintu rahasia dari mana dia akan meloloskan, dan Siang In mengatur rencana untuk menarik semua pengawal menjauhi pintu rahasia itu.

Sehari itu Siang In tidak lagi pernah keluar dari kamar sang puteri dan memang sudah lama Syanti Dewi tidak pernah membolehkan pelayan-pelayannya untuk menemaninya di dalam kamar.

Semenjak Tek Hoat lolos dari istana, puteri ini lebih suka menyendiri sehingga pelayan-pelayannya hanya memasuki kamarnya di waktu perlu saja. Dengan demikian, lebih leluasalah bagi Siang In untuk bersembunyi di dalam kamarnya.

Malam itu hawanya masih dingin seperti malam-malam yang lewat. Udara yang dingin ditambah cuaca yang gelap membuat suasana yang sudah seram karena dongeng-dongeng yang tersiar tentang gangguan siluman, dongeng yang dari mulut ke mulut mengalami perubahan dan penambahan banyak sekali, menjadi makin menyeramkan.

Hampir seluruh penghuni Kota Raja Bhutan yang semua telah mendengar akan gangguan siluman itu, tidak ada yang berani keluar dari rumah masing-masing. Mereka menerima dengan penuh kepercayaan berita angin yang mengatakan bahwa malam itu iblis, setan dan siluman-siluman berkeliaran mencari mangsa! Demikian pula para penghuni istana sendiri juga sejak senja hari sudah menyembunyikan diri di dalam kamar masing-masing.