FB

FB


Ads

Sabtu, 25 April 2015

Jodoh Rajawali Jilid 011

Gegerlah seluruh istana Kerajaan Bhutan dengan berita tentang siluman yang memasuki istana itu. Tentu saja sebagian besar orang tidak percaya, dan raja sendiri pun tidak percaya. Namun betapapun juga, para panglima mengerahkan pengawal-pengawal istana untuk melakukan penjagaan dan perondaan yang ketat untuk menjaga keselamatan keluarga istana raja. Juga para pendeta Buddha dikerahkan untuk mengusir “roh” jahat atau siluman yang mengganggu istana.

Kalau saja tidak ada pengerahan pendeta-pendeta untuk mengusir roh-roh jahat, kiranya tidak akan terjadi hal-hal yang menghebohkan. Malam itu juga, seorang pendeta Buddha yang terkenal sebagai seorang ahli roh-roh jahat dan siluman yang bernama Nalanda, seorang yang bertubuh tinggi besar, berusia lima puluh tahun berwajah angker dan serius, dengan membawa tempat pedupaan yang terisi dupa wangi mengebul, berjalan mengelilingi istana. Asap dupa mengebul dari tempat pedupaan, baunya semerbak sampai ke sudut-sudut, dan Pendeta Nalanda berkemak-kemik membaca mantera untuk mengusir roh jahat.

Pada saat itu, sesosok bayangan menyelinap diantara bayangan-bayangan gedung istana. Bayangan ini bukan lain adalah dara cantik jelita yang tadi telah menggegerkan luar istana. Kini payungnya telah ditutup dan dikempit di bawah ketiak kirinya, dan dengan gerakan kaki yang ringan dan gesit, tanda bahwa gadis “siluman” ini memiliki kepandaian tinggi, dan menyelinap ke sana ke mari mencari-cari. Dara itu sudah mulai kelihatan gelisah dan jengkel karena dia tidak mengenal jalan dan selalu tersesat bertemu dengan lorong buntu di komleks istana yang luas itu.

“Siaalan....!” Berulang kali dia mengumpat dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari.

Tiba-tiba hidung yang cupingnya tipis itu bergerak-gerak, seperti hidung kelinci mencium bau harimau yang berbahaya, matanya berkilat dan kepalanya menoleh ke sana-sini mencari-cari sumber bau dupa harum itu yang makin lama makin keras.

Akhirnya dia bergerak menyelinap di antara pot-pot bunga antik yang besar, bersembuyi di balik pot bunga dan mengintai ke arah Pendeta Nalanda yang melangkah datang perlahan-lahan dengan tangan memegang pedupaan yang mengebulkan asap putih dan bibirnya berkemak-kemik membaca mantera pengusir roh jahat.

Dara itu tersenyum geli. Sekelebat mata giginya yang putih seperti mutiara itu berkilat tertimpa cahaya lampu yang banyak bergantung di lorong-lorong istana. Dara itu mengerti mengapa pendeta ini membakar dupa dan berdoa mengusir roh jahat. Matanya yang cerdik itu berkilauan dan wajahnya yang jelita berseri gembira. Dia memperoleh seorang petunjuk jalan, pikirnya! Maka dengan gerakan yang ringan menandakan bahwa dia memiliki ginkang yang tinggi, dara itu lalu menyelinap dan membayangi pendeta itu dari belakang.

Pendeta Nalanda memasuki taman bunga istana, di istana bagian puteri yang terjaga ketat. Penjagaan di sekitar taman ini ketat bukan main dan dara cantik itu hanya bersembunyi di luar taman, akan tetapi dia dapat mengintai dari luar, melihat pendeta itu memasuki taman, tiba di tengah taman yang luas dan dari jauh dia melihat pendeta itu bicara kepada seorang wanita yang agaknya duduk di dalam taman, lalu pendeta itu mengelilingi taman dengan pedupaannya dan keluar lagi.

Si Dara terus membayanginya dan akhirnya dia melihat pendeta itu memasuki sebuah kamar kosong, meletakkan pedupaan di atas lantai di tengah kamar, kemudian dia berjalan mengelilingi pendupaan, kedua tangan dirangkap di depan dada, mulutnya tiada hentinya berkemak-kemik membaca mantera.

Kemudian pendeta itu berdiri tegak di tengah kamar, pendupaan mengebul di dekat kakinya, dan terdengar dia berkata,

“Wahai semua roh penasaran yang berkeliaran di sekitar istana Bhutan, dengarlah perintahku! Aku adalah yang terkasih, Pendeta Nalanda, yang telah memperoleh penerangan dan kekuasaan untuk mengusir kalian! Jangan kalian berani mendekati dan mengganggu istana, atau aku akan menggunakan kekuasaan untuk menghukum kalian!”

Ucapan itu dilanjutkan dengan doa-doa dan mantera lagi dan pada saat itulah, selagi Pendeta Nalanda melakukan upacara pengusiran roh jahat, tiba-tiba saja pandang mata pendeta itu terbelalak menatap bayangan yang muncul dari pintu kamarnya! Bayangan seorang wanita yang cantik jelita, yang mengempit sebuah payung!

Pendeta yang selamanya menjadi pengusir roh ini hanya mengusir siluman-siluman dalam khayalnya saja, kini melihat pemandangan itu, merasa tengkuknya dingin dan tebal, semua bulu di tubuhnya, dan banyak memang bulu ini karena semua tubuhnya berbulu, berdiri satu-satu!

Makin diperhebat doa dan manteranya, kulit di antara alisnya berkerut ketika dia memusatkan kekuatan batinnya. Akan tetapi, ketika dia melirik ke depan, “roh jahat” itu masih berdiri di situ, malah makin mendekat memasuki kamar dan tersenyum-senyum!

“Wahai, roh yang keras kepala!” bentaknya menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung “roh” itu. “Pergilah kau kalau tidak ingin merasakan ampuhnya pusakaku!”

“Roh” cantik itu tersenyum, manisnya bukan main, membuat tangan pendeta yang mencabut keluar sebatang pedang kayu itu gemetar. Tersenyum lagi dan mengerling dengan sikap menggoda dan mempermainkan.

“Siluman jahat.... pedang pusakaku akan menghukummu!”

Dengan suara gemetar pula pendeta Nalanda itu menggerakkan pedang kayu yang berbau harum itu, terbuat dari semacam kayu cendana yang berkhasiat melumpuhkan siluman, menusuk ke arah dada wanita cantik itu.

“Plakkkkk!”

Sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang kayu telah dirampasnya, kemudian pedang itu bergerak dua kali menotok dan tubuh pendeta yang tinggi besar itu jatuh bertekuk lutut!

Dara jelita itu terkekeh, menutupi mulutnya, kemudian menggunakan pedang kayu yang dia oles-oleskan abu pendupaan untuk mencoret-coret muka pendeta itu dengan arang hitam! Setelah melakukan kenakalan ini sambil tertawa, dia lalu merenggut lepas jubah pendeta itu, menyelimutkan di atas tubuhnya sendiri, menyambar kopyah pendeta dan menaruhnya di atas kepala, lalu diambilnya pendupaan itu dan keluarlah dia dari kamar itu, mengepit payung dan memegang pendupaan, lalu menuju ke taman istana yang tadi pernah dikunjungi oleh Pendeta Nalanda!

“Eh, Losuhu, kenapa kembali lagi?” Penjaga taman itu berseru heran dan menghadang di tengah pintu taman.

“Minggir, ada siluman di dalam taman!” kata dara itu dengan suara dibesarkan, dan dia cepat membaca mantera dengan ngawur dan berjalan masuk.

Para penjaga sudah menjadi ketakutan mendengar itu, maka mereka tidak begitu memperhatikan di dalam kegelapan malam yang mulai tiba itu bahwa si pendeta kini tiba-tiba berubah kecil tubuhnya, dan kini mengempit payung di bawah ketiaknya!






Dara itu terus memasuki taman. Setelah para penjaga tidak kelihatan lagi, dia melemparkan pendupaan, kopyah dan jubah ke belakang semak-semak dan dia cepat menyelinap ke belakang pohon-pohon dan semak-semak, menuju ke tengah taman.

Seperti telah diceritakan di bagian terdahulu, pada saat itu Puteri Syanti Dewi tengah duduk melamun seorang diri di dalam taman, termenung memandangi bunga teratai merah di dalam empang. Bunga teratai.... engkau jauh lebih bahagia daripada manusia, demikian keluhan hati Sang Puteri. Dia teringat akan kekasihnya.

Betapa sukarnya menjadi manusia. Kotor atau bersihnya manusia ditentukan oleh keadaan, oleh lingkungan, dan terutama oleh pendapat orang lain atau umum. Sebelum pergi meninggalkan Bhutan, Tek Hoat dikenal sebagai seorang pahlawan, seorang calon mantu raja, seorang yang patut dihormati dan dimuliakan. Akan tetapi sekali saja suara orang lain dijatuhkan, Tek Hoat menjadi orang yang direndahkan.

“Tidak....!” bantah hatinya. “Bagiku, engkau masih bersih, Tek Hoat. Seperti bunga teratai itu biar direndam ke dalam lumpur masih tetap bersih dan cemerlang. Dan selamanya aku akan menganggapmu begitu“

Dia menghela napas panjang dan teringat akan pesan pendeta Nalanda tadi. Pendeta itu memasuki taman dan menasihati agar dia masuk ke kamarnya karena ada “hawa siluman” mengotori istana dan pendeta itu tengah berusaha untuk mengusir roh jahat.

Akan tetapi Syanti Dewi tidak merasa takut! Puteri ini telah terlepas dari ketahyulan semenjak dia terjun di dunia bebas dahulu, setelah dia mengalami banyak sekali hal-hal hebat sehingga membuka matanya bahwa segala macam ketahyulan itu hanyalah kebohongan semata (baca Kisah Sepasang Rajawali).

Dia telah mengalami hal-hal yang nyata, dan dalam keadaan bagaimanapun juga, dia tidak pernah mengalami hal-hal aneh seperti yang dipercaya oleh orang-orang yang suka menerima ketahyulan sebagai sesuatu yang benar. Maka, nasihat pendeta itu tidak dipedulikannya dan puteri ini masih saja duduk seorang diri di dalam taman itu.

“Selamat malam, Adinda Syanti Dewi!”

Puteri itu menengok dan hatinya berbisik mencela,
“Hemmm, kalau memang di dunia ini ada siluman, dia inilah siluman bagiku.”

Akan tetapi Syanti Dewi adalah seorang yang berperangai halus, dan biarpun hatinya tidak senang kepada Panglima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa senyum dan menjawab,

“Selamat malam, Panglima Mohinta.”

Mohinta menyeringai dan kumis tipisnya yang membuat wajahnya tampan menarik itu bergerak sedikit. Dia kecewa karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini selalu menyebutnya “panglima”, dan hanya dalam pertemuan resmi yang disaksikan oleh keluarga istana saja puteri itu mentaati ayahnya dan menyebut “kakanda” kepada tunangannya ini! Sebutan “panglima” sungguh sama sekali tidak mesra, bahkan membayangkan kedudukan puteri itu yang lebih tinggi, seorang puteri yang bicara dengan seorang panglima kerajaan, seorang bawahan!

“Mengapa Adinda masih di sini? Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin.”

“Biarlah, Panglima Mohinta. Aku sedang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang menemuiku di sini ada urusan apakah?”

Kembali panglima muda itu menyeringai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap tunangannya ini, melebihi dinginnya hawa udara di waktu itu.

“Saya.... saya.... hanya menjenguk, khawatir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya.... hemmm.... ada siluman berkeliaran.... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu....“

“Hemmm, apakah seorang panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut. Sudahlah, Panglima, tinggalkan aku sendiri menikmati kesunyian.”

Akan tetapi panglima itu tidak pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan mesra. Alangkah cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu, putih halus wajah dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu tanpa diminta dia duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi.

“Adinda Syanti Dewi....“

“Panglima, aku ingin sendirian!”

“Aduhai, Adinda sayang. Bukankah sudah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah calon suami isteri. Apakah aku tidak boleh mendekati calon isteriku yang tercinta? Adinda Syanti, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan menunda-nunda pernikahan kita?”

“Panglima, aku tidak ingin bicara tentang itu!”

“Adinda, itu adalah urusan kita berdua, urusan pribadiku dan pribadi....“

“Sudahlah. Kalau kau mau bicara tentang itu, bicara dengan Sri Baginda. Beliau sebagai Ayahku yang berhak membicarakan soal itu, bukan aku.”

“Adinda.... aku.... aku cinta padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku menyatakan ini....?”

“Sudah terlalu sering sampai membosankan!”

“Duhai, Adinda.... jangan begitu“

Panglima Mohinta memegang tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih sayang hatinya. Syanti Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya menjadi merah dan matanya berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya.

“Panglima, bukan aku tidak kasihan kepadamu. Akan tetapi.... aku tidak suka membicarakan hal itu. Pergilah!”

“Adinda.... Syanti Dewi, kau kasihanilah aku....!” Panglima itu kini menjatuhkan diri berlutut!

Pada saat itu, dara cantik jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan keluar dari tempat sembunyinya, melangkah ringan sampai dekat. Syanti Dewi melihatnya, memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang sedang mabuk asmara dan berlutut itu tidak melihatnya.

“Siapa kau....?” Syanti Dewi bertanya suaranya halus nyaring.

Panglima Mohinta menengok kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah sebuah arca batu sebesar manusia di dekat empang, lalu tangannya yang agak tergetar bergerak ke arah Panglima Mohinta.

Syanti Dewi terbelalak pucat melihat sesuatu yang amat luar biasa. Dia melihat Panglima Mohinta memandang seperti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit berdiri, menghampiri arca batu dan mencumbu-rayu arca itu, menyebutnya

“Adinda Syanti Dewi”!

Jelas bahwa Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan kini panglima itu merayu arca, merangkul dan menciumi Wajah Syanti Dewi yang pucat menjadi merah sekali dan kembali dia memandang dara yang cantik dan aneh itu. Dara itu melangkah dekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil tersenyum manis, berbisik,

“Puteri, lupakah engkau padaku?”

Syanti Dewi memandang penuh selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik yang bersikap jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi kapan dan di mana.

“Aku Siang In.... eh, yang dulu pernah membantumu.... guruku adalah See-thian Hoat-su yang pernah menolongmu “

Berseri wajah Syanti Dewi.
“Aihhh, Si tukang sulap itu....?” teriaknya.

“Sssttttt....!” Dara itu tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mohinta yang masih merayu arca. “Mari kita bicara di dalam. Aku sengaja datang untuk menjengukmu, Puteri Syanti Dewi.”

Siang In, dara itu, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mereka berdua lalu melangkah keluar dari taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghubungkan taman dengan gedung istana tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang penjaga.

Melihat ini, Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In memberi isyarat dengan kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng tangan Syanti Dewi sambil mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung rambutnya yang panjang dan memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah hidungnya, seolah-olah dia hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian, dengan lenggang gagah dan lucu sambil menggandeng Syanti Dewi, dia lewat di pintu.

“Heh, semua penjaga jangan lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?” bentaknya dengan suara dibesarkan dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis suara Panglima Mohinta!

Tujuh orang penjaga berdiri dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka menjawab “perintah” dara itu,

“Siap, Panglima!”

Setelah mereka memasuki kamar Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi yang juga tersenyum geli akan tetapi keheranan itu bertanya,

“Eh, apa yang telah kau lakukan tadi? Mengapa Panglima Mohinta merayu patung dan para penjaga itu menyebut engkau panglima?”

Siang In melempar payungnya ke atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah yang penuh bantal dan meneliti kamar yang amat indah itu.

“Aaahhhhh, nyamannya di kamar ini!”

Dia mengeluh panjang dan memejamkan matanya sejenak, dipandang oleh Syanti Dewi yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu.

“Hi-hik, masih mending merayu arca batu yang dingin daripada merayu seorang gadis yang bersikap dingin seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira bahwa aku adalah panglima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?”

“Tapi.... tapi mengapa bisa begitu? Bingung aku.... apa sih yang sebetulnya telah terjadi?”

“Aihhhhh.... kau tadi bilang sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu saja pandai main sulap juga.”

Syanti Dewi terbelalak, kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara ha-ha-hi-hi keduanya tertawa dan baru sekarang selama bertahun-tahun ini Syanti Dewi dapat tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main.

“Ah-he-heh-hi-hik, jadi kau.... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu, panglima itu.... hik, hik, dia menganggap arca tadi?”

“Disangkanya engkau, maka dipeluk dan diciumnya, ah, dia tampan dan ganteng juga, eh!”

Syanti Dewi bersungut-sungut.
“Huh, siapa sudi? Kalau aku yang dibegitukan, kutampar dia! Kusuruh tangkap pengawal dan kusuruh gantung....!”

“Ee-eeeiiiiittt, mengapa begitu? Puteri Syanti Dewi, aku mendengar dari luaran bahwa Panglima Mohinta itu adalah tunanganmu, bukan?”

Tiba-tiba hati puteri itu menjadi nelangsa lagi, diingatkan akan kenyataan yang tidak disukanya itu. Dia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan muka di bantal.

Siang In meloncat dan duduk mendekatinya, merangkul dan menariknya bangun. Pipi yang halus itu basah. Siang In tersenyum, menghibur dan menghapus air mata itu. Dua orang dara ini memang sama-sama cantik jelita, hanya bedanya, bagaikan bunga, Syanti Dewi adalah bunga halus yang terpelihara di dalam taman, kelihatan lembut dan lunak, sebaliknya Siang In seperti setangkai bunga di hutan, cantik jelita kuat, bebas, liar dan memiliki daya tarik tersendiri. Melihat kemesraan yang diperlihatkan Siang In, Syanti Dewi teringat akan adik angkatnya, yaitu Candra Dewi atau Ceng Ceng, yang amat dicintanya maka dia merangkul leher Siang In.

“Engkau cantik sekali, Puteri,” Siang In berkata.

Syanti Dewi mengambung pipi dara itu.
“Terima kasih, Siang In, engkau pun manis sekali dan engkau mengingatkan aku kepada adik angkatku yang tercinta, Ceng Ceng.”

Sejenak mereka saling pandang, mengagumi kecantikan masing-masing. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa puteri itu mempunyai seorang adik angkat yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau juga disebut Candra Dewi. Ceng Ceng kini telah menjadi isteri dari pendekar sakti yang terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu Kao Kok Cu putera sulung dari Jenderal Kao Liang.

Dan siapakah dara cantik jelita, jenaka dan aneh yang bernama Teng Siang In itu? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali juga diceritakan dengan jelas tentang dara ini yang pada waktu itu baru berusia lima belas tahun.

Teng Siang In adalah seorang dara berasal dari Lembah Pek-thouw-san (Gunung Kepala Putih), dan dia adalah puteri dari mendiang Yok-sian (Dewa Obat), seorang ahli pengobatan yang amat terkenal. Dalam keadaan sebatangkara, karena orang tuanya telah meninggal, dan juga encinya yang merupakan satu-satunya keluarganya juga mati terbunuh (baca Kisah Sepasang Rajawali), akhirnya dara jelita ini bertemu dengan seorang kakek aneh yang berilmu tinggi dan pandai ilmu sihir. Kakek itu bernama See-thian Hoat-su dan Siang In lalu diambilnya sebagai murid.

Selama empat tahun lamanya Siang In digembleng oleh gurunya itu, tidak hanya menerima pelajaran ilmu silat tinggi, melainkan juga menerima pelajaran ilmu sihir sehingga kini Siang In muncul sebagai seorang dara yang dewasa, cantik jelita, lihai ilmu silatnya dan lebih hebat lagi ilmu sihirnya!

Demikianlah sedikit riwayat Teng Siang In, dara cantik yang menggegerkan Bhutan karena begitu dia muncul, terjadilah geger dan tersiar berita bahwa Kerajaan Bhutan kemasukan siluman cantik!

Tidak lama setelah Syanti Dewi dan Siang In meninggalkan taman, sedikit demi sedikit buyarlah pengaruh sihir yang dilakukan oleh dara itu atas diri Panglima Mohinta. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati panglima muda ini ketika dia sadar dan mendapatkan dirinya memeluk dan menciumi arca batu, sedangkan ketika dia menengok ke arah bangku, Puteri Syanti Dewi telah tidak berada di tempat itu lagi!

Dia merasa serem dan ngeri, juga bingung. Sejenak dia memandang ke kanan kiri, mengingat-ingat dan tengkuknya terasa dingin, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan berita tentang siluman!

Tadi jelas bahwa Syanti Dewi duduk di bangku itu, dan dia berusaha untuk merayu tunangannya yang bersikap dingin itu. Entah bagaimana, dia tadi melihat seolah-olah Syanti Dewi menyambut cumbu rayunya, bahkan membalas pelukannya, dan membalas pula ciuman-ciumannya penuh gairah. Akan tetapi ternyata bahwa yang dipeluk ciumnya itu adalah arca batu yang kotor dan Syanti Dewi sudah lenyap!

“Uhhhhh....!”

Panglima Mohinta menggigil dan meraba tengkuknya. Dia adalah seorang panglima muda yang berani, namun sekarang dia merasa ngeri dan takut juga berada seorang diri di dalam taman yang sepi itu.

Penerangan di dalam taman itu yang hanya datang dari dua buah lentera yang tergantung di bawah pohon, tertiup angin bergerak-gerak, menghidupkan bayang-bayang di sekelilingnya, menambah serem keadaan. Suara belalang, jengkerik dan burung malam yang mengasyikkan bagi mereka, menambah serem suasana dan Panglima Mohinta yang pemberani itu kini bergegas setengah lari melangkah keluar dari taman.

“Siap....!”

Teriakan dan gerakan tujuh orang penjaga taman itu membuat Panglima Mohinta hampir menjerit dan panglima muda ini terloncat kaget memandang kepada tujuh orang itu. Akan tetapi sebaliknya, tujuh orang penjaga itu pun memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh keheranan.

Panglima Mohinta mengerutkan alisnya. Mengapa mereka memandang kepadanya seperti itu? Adakah sesuatu yang aneh pada mukanya? Dia meraba-raba mukanya dan menghapus-hapus muka itu, kalau-kalau ada coreng-moreng di situ. Akan tetapi tujuh orang itu tetap saja memandang kepadanya dengan mata aneh dan bingung.

“Heh, kalian melihat apa?” bentaknya marah, hampir memukul kepala penjaga yang menjadi ketakutan.

“Ah, maaf, Panglima.... eh, kapankah Panglima masuk lagi ke taman? Baru saja kami melihat Panglima keluar“

“Heh, apa maksudmu? Bicara yang benar!” Panglima Mohinta membentak.

“Kami bertujuh baru saja melihat Panglima keluar, menggandeng Puteri memasuki istana dan.... dan panglima menggandeng Puteri dengan mesra, dan mengempit payung“

“Mengempit payung? Gilakah kalian?” Panglima Mohinta membentak, akan tetapi kembali tengkuknya terasa dingin karena dia sudah merasa ngeri.

Pada saat itu terdengar teriakan mengerikan dari istana. Panglima Mohinta dan para penjaga terlonjak kaget, akan tetapi, mereka dipimpin oleh panglima segera lari cepat ke arah istana dan di jalan mereka bertemu dengan para penjaga dan pengawal yang juga sudah berlari-larian menuju ke arah datangnya teriakan itu.

“Tolong.... aduhhh, tolooonggg.... si.... siluman.... ssssetannnnn....!” terdengar teriakan itu.

Ketika mereka semua tiba di tempat suara, ternyata yang berteriak-teriak itu adalah Pendeta Nalanda, pendeta tinggi besar yang tidak mengenakan jubah lagi, juga kopyahnya hilang dan sebagai gantinya, mukanya coreng-coreng hitam. Dia berteriak-teriak ketakutan, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri.

Seorang pengawal cepat mengambil air, dan ketika pendeta yang akan diberi minum itu masih berteriak-teriak dan tidak mau minum, air itu disiramkan ke atas kepalanya yang gundul. Pendeta Nalanda gelagapan dan sadar.

“Ah.... eh.... ya ampun.... ada.... setan.... wanita cantik....”

Dia lalu menceritakan munculnya siluman cantik yang membuatnya tidak berdaya, merampas jubah dan kopyahnya, dan mencoreng mukanya dengan pedang kayu yang dilumuri abu pendupaan. Seorang siluman cantik yang memegang payung.

“Membawa payung?”

Panglima Mohinta bertanya dengan mata terbelalak dan punggungnya terasa dingin. Tidak salah lagi, tentu ada siluman yang membawa payung, karena tadi pun para penjaga melihat dia membawa payung. Tentu siluman itu! Dan siluman itu menyamar sebagai dia menggandeng tangan Syanti Dewi!

“Celaka, kita harus melapor kepada Sri Baginda!” teriaknya dan dia bergegas memasuki istana.

Sementara itu, di dalam kamar Syanti Dewi, puteri itu masih tertawa-tawa bersama Siang In yang menceritakan betapa dia telah menggoda para penjaga.