FB

FB


Ads

Rabu, 22 April 2015

Jodoh Rajawali Jilid 007

Kita mengikuti pengalaman Jenderal Kao Liang, jenderal tua yang terlempar ke tengah sungai dan hanyut terbawa arus sungai yang kuat itu. Sampai lama jenderal itu terseret arus karena kedua kakinya tak dapat dia gerakkan, dan kalau hanya dengan kekuatan kedua tangan saja dia tidak mampu berenang ke tepi. Padahal air sungai itu makin lama makin kuat arusnya dan makin melebar, sampai akhirnya air itu tiba di Sungai Huang-ho yang amat luas.

Akan tetapi, betapapun nyawa sudah tergantung di sehelai rambut umpamanya, kalau memang belum tiba saatnya dia mati, orang akan dapat terhindar dari maut. Demikian pula, dengan Jenderal Kao Liang. Dia sudah pasrah karena tidak berdaya, pula ditambah dengan himpitan batin yang amat berat karena dia selain memikirkan keluarganya yang hilang, juga mengkhawatirkan keselamatan dua orang puteranya yang harus menghadapi musuh amat lihai itu. Dalam keadaan setengah pingsan itu tiba-tiba ada bintang penolong berupa seorang nelayan yang sedang mendayung perahunya, hendak berangkat mencari ikan.

Nelayan ini terkejut ketika melihat orang hanyut, maka cepat-cepat dia menolong Jenderal Kao yang hampir pingsan itu, dinaikkan dengan susah payah ke dalam perahunya. Begitu tubuhnya terguling ke dalam perahu, Jenderal Kao Liang pingsan. Nelayan itu cepat mendayung perahunya ke pinggir, kemudian dengan bantuan teman-temannya dia membawa jenderal itu pulang ke rumahnya di dalam sebuah dusun kecil di tepi Sungai Huang-ho.

Jenderal Kao jatuh sakit, menderita demam dan sampai dua hari dia tidak ingat apa-apa, dalam keadaan tidak sadar. Nelayan itu bersama isterinya merawatnya dengan teliti dan akhirnya, pada hari ke tiga, jenderal itu dapat bangun dari pembaringan dan dia menghaturkan terima kasih kepada nelayan itu.

Tanpa ragu-ragu lagi jenderal ini berlutut dan menghormati nelayan dan isterinya yang setengah tua itu sehingga si nelayan sederhana sibuk membangunkan Jenderal Kao Liang yang disangkanya seorang kota yang celaka di sungai itu.

Jenderal Kao Liang diam-diam merasa kagum akan perjalanan hidupnya. Dahulu dia adalah seorang jenderal besar, seorang panglima perang Kerajaan Ceng yang dihormati orang seluruh negeri. Kini, dia berlutut menghaturkan terima kasih kepada seorang nelayan melarat dan dirawat di dalam gubuknya yang miskin! Bahkan kini dia dijamu dengan makanan yang amat sederhana dan barulah dia tahu betapa miskinnya keadaan hidup seorang nelayan. Hatinya terharu bukan main.

Dibandingkan dengan makanan sehari-hari yang dia berikan kepada anjing peliharaannya dahulu saja, makanan nelayan ini masih lebih sederhana! Betapa orang-orang besar di atas seperti buta, tidak melihat keadaan rakyat jelata yang begini miskin. Orang-orang besar itu, para pembesar, para hartawan, orang-orang kota, hidup berlebih-lebihan, sedangkan mereka itu sama sekali tidak pernah tahu atau tidak mau tahu bahwa ada manusia-manusia sebangsa yang hidup begini miskin dan kekurangan.

Dan toh orang-orang itu, pembesar-pembesar, para hartawan-hartawan, dan orang-orang kota itu membanggakan diri sebagai orang-orang yang beradab, orang-orang yang berkebudayaan, orang-orang yang ber-Tuhan, yang berperikemanusiaan! Betapa palsu dan munafiknya semua itu, termasuk dia dahulu!

Setelah sehat benar, pada keesokan harinya Jenderal Kao lalu berpamit, menghaturkan terima kasih dan meninggalkan dusun itu. Dia kini mengambil keputusan untuk pergi ke utara, untuk mencari putera sulungnya, yaitu Kao Kok Cu yang memiliki kepandaian hebat, menjadi seorang sakti yang menjauhi keduniawian, hidup berbahagia di tempat sunyi bersama isterinya yang tercinta. Putera sulungnya itu terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, murid dari manusia dewa Si Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Gurun pasir Go-bi!

Kiranya hanya puteranya itu saja yang akan sanggup menolong keluarganya dan dia harus pergi ke sana karena untuk menyelidiki seorang diri, jenderal tua ini tidak sanggup lagi. Kembali dia terheran-heran betapa kehidupannya telah berubah sama sekali. Sebelum tahun lalu, sebagai seorang panglima besar, dia dapat mengerahkan laksaan perajurit untuk mencari keluarganya! Bahkan, tidak ada hal yang tak dapat dia lakukan. Akan tetapi sekarang dia hanyalah seorang tua yang mulai lemah, yang menderita tekanan batin dan merasa tidak berdaya!

Akan tetapi baru saja dia keluar dari dusun di tepi Sungai Huang-ho itu, dari jauh dia melihat dua orang laki-laki berjalan mendatangi dan setelah dekat, dia terkejut dan girang bukan main.

“Kok Tiong! Kok Han....!” Dia berteriak sambil berlari ke depan.

“Ayahhhhh....!”

Dua orang muda itu pun sudah mengenal ayah mereka dan mereka pun berlari-lari. Pertemuan itu sungguh menggirangkan hati mereka bertiga dan mereka segera duduk di tepi jalan sambil saling menceritakan pengalaman mereka.

Ketika Jenderal Kao mendengar penuturan dua orang puteranya tentang pemuda berpakaian abu-abu yang amat lihai, dan betapa pemuda itu menyatakan kepada dua orang wanita Garuda Hitam bahwa dia biasa membunuh orang dengan jari tangannya, dia menepuk pahanya.

“Aihhh! Dia itu tentu Si Jari Maut! “

“Siapa, Ayah?”.Kok Tiong dan adiknya bertanya.

“Siapa lagi kalau bukan dia! Dia tentu Ang Tek Hoat, pemuda yang memang memiliki kepandaian hebat, yang telah membunuh Tambolon dan kaki tangannya. Akan tetapi, bukankah dia diangkat menjadi Panglima Bhutan dan menikah dengan Puteri Syanti Dewi di Bhutan? Mengapa dia muncul di sini? Sungguh aneh”

“Menurut dia, yang merampas harta benda kita adalah Suma-kongcu, Ayah. Jelaslah sekarang, tepat seperti dugaanku bahwa tentu Suma-kongcu dipergunakan oleh Kaisar untuk mencelakakan kita,” kata Kok Tiong.

“Hemm.... si keparat kalau begitu!”

Jenderal Kao Liang mulai percaya dan sungguhpun hal ini amat mengherankan hatinya, namun dia menjadi marah juga, tidak mengira bahwa putera Pendekar Super Sakti mampu dan sampai hati melakukan perbuatan yang jahat itu. Kalau hanya merampas harta benda, mengapa harus menculik keluarganya? Kalau memang disuruh merampas, mengapa tidak terang-terangan saja?

“Tidak ada jalan lain, anak-anakku. Kita menghadapi keluarga Pulau Es yang amat sakti. Keluarga kita dalam bahaya, kalau tidak sudah terbasmi. Maka satu-satunya jalan hanya pergi minta bantuan kakak kalian.”






“Cu-twako (Kakak Terbesar Cu)!” kata Kok Tiong dan Kok Han berbareng.

“Benar, hanya dia saja yang akan mampu menghadapi keluarga Pulau Es!” Jenderal itu mengepal tinju dan bangkit berdiri. “Hayo kita kembali ke utara, mencari Kok Cu.”

Maka berangkatlah ayah dan anak yang prihatin dan gelisah ini, mengambil jalan kembali ke utara, jalan yang mereka lalui selama ini karena selain hendak mengunjungi Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir, juga mereka hendak menyelidiki kalau-kalau dapat menemukan jejak keluarga mereka. Mereka lalu menuju ke jalan kecil di bukit, jalan yang diapit-apit tebing tinggi dimana malapetaka itu menimpa mereka.

Ketika mereka tiba dekat jalan yang menuju ke mulut tebing itu, mereka merasa ngeri karena mengira bahwa tentu mereka akan melihat mayat-mayat yang membusuk dan berbau. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil jalan lain karena mereka hendak menyelidiki kembali. Akhirnya mereka tiba di mulut tebing dimana tadinya terdapat banyak sekali mayat orang.

Akan tetapi, betapa heran hati mereka ketika melihat tempat itu sudah bersih, tidak nampak sebuah pun mayat manusia dan sebagai gantinya, di situ terdapat gundukan tanah yang amat besar, yang merupakan sebuah kuburan raksasa! Agaknya semua mayat itu dikubur menjadi satu. Siapa yang mengubur? Tempat itu jauh dari dusun dan sunyi sekali.

Mereka tidak terlalu mempedulikan hal ini dan melanjutkan perjalanan memasuki lorong yang diapit-apit tebing tinggi, di mana juga terdapat mayat-mayat ketika mereka pergi, yaitu mayat-mayat dari para pengawal mereka dan para tukang pikul tandu.

Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka terkejut melihat seorang pemuda berpakaian putih-putih sedang mengubur mayat-mayat itu ke dalam sebuah lubang besar. Mereka terheran-heran, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera mengenal pemuda itu dan dengan marah sekali jenderal ini mencabut sebatang pedang yang diambilnya dari pinggir jalan dekat tempat pertempuran tadi, kemudian dia menyerang pemuda berpakaian putih itu sambil membentak,

“Kiranya kau.... kau keparat, penjahat muda Suma!”

Kini dua orang putera Jenderal Kao Liang juga mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Suma Kian Lee, putera Pendekar Super Sakti. Maka mereka pun cepat mencabut pedang dan menyerangnya.

Suma Kian Lee terkejut dan terheran-heran bukan main. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, apalagi mereka menyerangnya dengan penuh kemarahan itu.

“Eh.... eh.... Kao-goanswe (Jenderal Kao) ada apakah?” Dia cepat mengelak ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran tiga batang pedang itu. Gerakannya tenang, akan tetapi cepat seperti terbang. “Tahan dulu, jangan terburu nafsu”

Akan tetapi, Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah menjadi marah sekali karena mereka merasa yakin bahwa pemuda inilah yang telah melakukan penculikan keluarga mereka, sudah menyerang lagi, bahkan kini secara berbareng dari tiga jurusan, pedang mereka menusuk ke arah dada pemuda itu.

Suma Kian Lee mengenjot tubuhnya dan lenyaplah bayangannya dari kurungan tiga orang itu yang menjadl terkejut, dan ketika itu pedang mereka sudah menusuk, seakan-akan saling bertemu di tempat bekas Suma Kian Lee berdiri tadi dan tahu-tahu dari atas tubuh Suma Kian Lee sudah turun dan kini kedua kaki pemuda berpakaian putih itu menginjak tiga batang pedang tadi!

Dengan mengerahkan ginkang sehingga tubuhnya ringan, dan menggunakan sinkang disalurkan kepada kedua kakinya sehingga tiga batang pedang yang diinjaknya itu seolah-olah menempel dan melekat di kakinya, Suma Kian Lee telah berdiri di atas tiga batang pedang itu dan berkata,

“Kao-goanswe, harap sabar dulu dan mari kita bicara”

“Mau bicara apa lagi, keparat keji!” Jenderal Kao membentak dan dia lalu menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram.

“Bangsat rendah!”

Kok Tiong juga menggunakan tangan kiri mencengkeram karena seperti juga ayahnya dan adiknya, dia tidak mampu menarik kembali pedangnya.

“Mampuslah kau, setan jahat!” Kok Han juga membentak sambil memukul dengan tangan kiri ke arah kaki yang menginjak pedang.

“Ahhhhh....!”

Tubuh Suma Kian Lee mencelat dan ternyata dia sudah menghindarkan serangan-serangan tangan kiri itu dengan lompatan jauh sekali, lalu melarikan diri.

Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya cepat mengejar dengan marah, namun sia-sia belaka karena pemuda berpakaian putih itu telah menghilang. Jenderal Kao menarik napas panjang.

“Ahhhhh, betapa saktinya dia! Jelas bahwa kekuatan kita tidak akan mampu menghadapinya, hanya Kok Cu yang akan sanggup menandinginya. Percuma mengejar dia, lebih baik kita melanjutkan perjalanan mencari Kok Cu.”

Siapakah pemuda lihai berpakaian putih yang memiliki kesaktian hebat, dan yang bernama Suma Kian Lee itu? Para pembaca Kisah Sepasang Rajawali Sakti tentu mengenal baik tokoh ini pula. Suma Kian Lee adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, mukanya agak bundar, bermata lebar jernih dan sinarnya tajam namun halus, sikapnya tenang, teliti dan sabar, namun dia selalu bersikap pendiam dan serius. Inilah putera pertama dari Pendekar Super Sakti yang lahir dari isterinya yang ke dua, yaitu Lulu bekas ketua Pulau Neraka atau adik angkat sendiri dari Pendekar Super Sakti.

Sebagai putera bekas ketua Pulau Neraka yang memiliki kepandaian yang mengerikan dan putera Pendekar Siluman yang memiliki kesaktian hebat, tentu saja Suma Kia Lee juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.

Seperti telah diceritakan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Suma Kian Lee mengalami patah hati, mengalami kegagalan kasih tak sampai karena dia jatuh cinta kepada seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, yang kemudian ternyata adalah masih keponakannya sendiri karena Ceng Ceng adalah anak tidak sah dari kakak tirinya seibu, yaitu mendiang Wan Keng In, seperti halnya pemuda Ang Tek Hoat.

Tentu saja tidak mungkin dia berjodoh dengan keponakannya, yang masih sedarah dengan dia, masih keturunan ibunya. Hal ini tentu saja membikin luka perasaan hatinya yang masih muda. Cinta itu adalah cinta pertama dan dia telah gagal! Akhirnya, seperti telah dituturkan di dalam Kisah Sepasang Rajawali, dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya.

Akan tetapi, setelah dia sembuh lahir batin, dia meninggalkan Pulau Es lagi untuk merantau di daerah utara, memperdalam kepandaiannya. Beberapa tahun kemudian, dia merasa rindu kepada adiknya, yaitu Suma Kian Bu, yang masih belum pulang dan telah meninggalkan Pulau Es selama bertahun-tahun. Sudah lima tahun dia berpisah dari adiknya yang dia cinta itu, maka dia lalu pergi ke selatan untuk mencari adiknya. Seperti juga dia sendiri, lima tahun yang lalu adiknya itu telah mengalami patah hati karena cinta kasih yang gagal.

Kini usianya telah cukup dewasa, telah dua puluh dua tahun dan kalau dia mengenang masa lalu dia menjadi malu sendiri. Mengapa dia begitu bodoh, begitu mudah patah hati? Diam-diam dia malah girang bahwa dia gagal berjodoh dengan Ceng Ceng yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu, dan diam-diam dia hanya mendoakan agar Ceng Ceng yang kabarnya berjodoh dengan orang yang dikasihinya, yaitu putera Jenderal Kao, putera sulung yang amat sakti itu, hidup bahagia.

Dia akan mencari adiknya dan membayangkan pertemuannya dengan adiknya saja sudah merupakan kegembiraan tersendiri. Kini adiknya itu pun tentu telah dewasa, bukan setengah anak-anak seperti dahulu lagi. Betapa nakalnya Kian Bu! Tukang menggoda orang, tukang menggoda wanita yang akhirnya tergoda hatinya oleh seorang wanita cantik jelita, Puteri Syanti Dewi sampai hati adiknya itu menjadi remuk!

“Bu-te (Adik Bu), kasihan engkau.!”

Gerutunya setiap kali dia teringat kepada adiknya. Ketika dia teringat akan kepatahan hati adiknya, dia lalu menduga bahwa boleh jadi adiknya itu masih berkeliaran di sekitar daerah yang berdekatan dengan tempat tinggal Syanti Dewi, yaitu di Bhutan. Tidak ada petunjuk lain baginya, maka dia lalu menuju ke selatan, hendak ke Bhutan mencari Suma Kian Bu.

Ketika dia tiba di dekat Sungai Huangho di celah tebing itu dia melihat banyak sekali mayat manusia berserakan. Hatinya menjadi terharu sekali. Pemuda ini adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti, seorang pendekar yang selain sakti juga bijaksana dan budiman, maka tentu saja melihat begitu banyak mayat manusia berserakan tidak diurus, hatinya menjadi terharu dan kasihan.

Maka ia lalu turun tangan menggali lubang besar dan menanam semua mayat itu. Kemudian ketika dia melihat pula mayat-mayat di lorong yang diapit-apit tebing, dia pun cepat menggali lubang dan mengubur mayat-mayat yang hampir membusuk itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika secara tiba-tiba dia diserang oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya!

Diserang mati-matian dengan maki-makian dan agaknya dia dituduh melakukan hal-hal yang amat jahat, Suma Kian Lee menjadi bingung dan karena mereka itu tidak mau diajak bicara, terpaksa dia melarikan diri. Memang ada rasa enggan di hatinya untuk bertemu dengan keluarga Kao ini. Bukankah Ceng Ceng menjadi mantu jenderal itu, berjodoh dengan Kao Kok Cu yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Pasir? Selain enggan bertemu juga dia diserang tanpa diberi kesempatan membela diri, maka lebih baik dia menyingkir.
Akan tetapi, sejak kecilnya Kian Lee adalah seorang yang memiliki sifat sabar, tenang dan teliti. Dia selalu berpikiran cermat, maka dia pun tidak menjadi marah melihat sikap Jenderal Kao dan dua orang puteranya yang telah memaki-makinya dan menyerangnya untuk membunuh tadi. Di dalam peristiwa ini tentu ada rahasianya, dia merasa yakin. Tentu ada kesalah pahaman besar. Tentu ada sesuatu yang membuat keluarga Kao itu membencinya sehingga melakukan perbuatan itu. Dan dia harus menyelidiki hal ini!

Setelah Kian Lee kembali ke tempat tadi dan mengintai dengan sembunyi, melihat bahwa Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang mengamuk tadi benar-benar telah pergi, dia lalu melanjutkan pekerjaannya yang tadi tertunda, yaitu mengubur mayat-mayat itu di dalam sebuah lubang kemudian menimbuninya dengan tanah sampai merupakan sebuah kuburan raksasa yang terisi puluhan mayat orang.

Setelah selesai, Kian Lee hendak melanjutkan perjalanannya, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba bermunculan pasukan yang jumlahnya kurang lebih seratus orang, yang sudah mengurungnya dari depan dan belakang diapit-apit tebing tinggi itu!

“Hemmm....!”

Geramnya, akan tetapi dia masih belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah Jenderal Kao Liang benar-benar hendak mencelakakannya dan kini mengerahkan pasukannya? Kalau begitu, dia harus berkeras menuntut penjelasan mengapa jenderal itu bersikap seperti itu.

Dia berdiri di tengah-tengah, sikapnya tenang dan ketika dia melihat seorang Kakek tinggi besar yang berpakaian perwira dan agaknya menjadi pemimpin pasukan itu, Kian Lee melangkah maju menghampiri.

“Apa artinya ini?” tanyanya dengan sikap tenang, menduga bahwa perwira ini tentulah anak buah Jenderal Kao Liang yang masih belum muncul.

Perwira tinggi besar itu usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi kelihatan tubuhnya kokoh kekar penuh dengan tenaga. Mendengar pertanyaan Kian Lee, dia tertawa.

“Ha-ha-ha, kau masih menanyakan artinya? Artinya, orang muda, bahwa engkau harus menyerah kami tangkap.”

“Hemmm, mudah saja menangkap orang, Ciangkun. Akan tetapi, setiap menangkap orang harus lebih dulu jelas akan kesalahannya, bukan? Bolehkah aku tahu, apa kesalahanku maka engkau memimpin pasukan hendak menangkap aku?”

“Ho-ho, orang muda yang pandai bicara! Sudah jelas engkau membunuh banyak orang dan hendak menyembunyikan perbuatanmu dengan mengubur mereka, kini engkau masih pura-pura bertanya apa salahmu? Hayo menyerah, jangan sampai aku turun tangan dengan kekerasaan!”

Kian Lee mendengar ini dengan perasaan heran. Dia mengubur mayat-mayat yang berserakan itu karena kasihan, ternyata malah dituduh membunuh mereka itu! Akan tetapi, Jenderal Kao Liang tadi tidak menyatakan tuduhannya itu? Andaikata Jenderal Kao Liang menuduhnya demikian, mengapa jenderal itu dan dua orang puteranya serta merta menyerang tanpa bertanya lebih dulu?

“Apakah engkau diutus menangkap aku oleh Jenderal Kao?”

Perwira itu membelalakkan matanya, agaknya terheran mendengar ucapan dalam pertanyaan ini.
“Jenderal Kao? Siapa yang kau maksudkan.”

Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa yang dimaksudkan dalam pertanyaan pemuda itu adalah Panglima Besar Kao yang telah dipensiun, dan mengira bahwa pemuda itu maksudkan seorang jenderal lain yang she Kao.

“Jangan banyak cakap yang bukan-bukan, orang muda. Aku adalah Perwira Su Kiat yang bertugas menjaga daerah utara dari Propinsi Ho-nan ini. Engkau telah melakukan banyak pembunuhan, maka kami harus menangkapmu untuk kami hadapkan kepada Gubernur di Ho-nan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu.”

Diam-diam Kian Lee menjadi makin heran. Jelas bahwa perwira ini tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan Jenderal Kao Liang! Dia hendak ditangkap karena semata-mata kelihatan mengubur mayat-mayat itu dan dituduh membunuh mereka.

“Su-ciangkun, maafkan aku, akan tetapi aku tidak membunuh mereka itu! Ketahuilah, aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di sini dan melihat adanya banyak mayat manusia berserakan tak terurus, aku menjadi kasihan dan aku lalu mengubur mereka. Jangan kau menuduh aku membunuh”

“Ha-ha-ha!.... Ho-ho! Kalian dengar itu? Betapa lucunya! Mana ada orang begitu gatal tangan mengubur mayat-mayat yang begitu banyak kalau dia tidak berkepentingan langsung? Tentu kau mengubur mereka untuk menutupi perbuatanmu yang kejam. Heh, siapa namamu, orang muda?”

“Namaku adalah Suma Kian Lee.”

“Hayo kau berlutut, dan menyerah kami tangkap!”

Kian Lee mengerutkan alisnya dan mengangkat dadanya.
“Su-ciangkun, aku tidak merasa bersalah bagaimana mungkin aku harus menyerah?”

“Jadi engkau hendak melawan?” Suciangkun membentak marah.

“Aku tidak hendak melawan dan bermusuhan dengan siapapun, Ciangkun. Akan tetapi aku tidak pernah membunuh orang, maka kalau aku hendak ditangkap dengan tuduhan membunuh orang, tentu saja aku tidak mau menyerah”.

“Bagus! Engkau memang pembunuh besar dan engkau bernyali besar berani menentang perintah Perwira Su Kiat!” Perwira tinggi besar itu menengok ke kiri dimana terdapat batu menonjol dari dinding tebing. “Lihat, apakah kepalamu lebih keras daripada ini?” Dia mengayun tangan kanannya menampar ke arah batu menonjol itu.

“Prakkk!” Batu itu pecah berhamburan!

Melihat cara perwira itu menampar batu tahulah Kian Lee bahwa perwira itu adalah seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang mengandalkan kerasnya kulit dan kuatnya otot. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Entah berapa tahun lamanya engkau melatih tanganmu sehingga sekuat besi, Su-ciangkun. Akan tetapi apakah latihan bertahun itu hanya untuk memukul pecah batu dan menakut-nakuti orang? Kalau aku memang bersalah, tanpa kau gertak pun aku akan menyerahkan diri dengan sukarela. Akan tetapi aku tidak berdosa dan tidak takut akan gertakanmu.”

“Keparat, kau menantang?”

Su-ciangkun lalu menerjang ke depan, kedua tangannya menyerang dari kanan kiri sambil mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar.

Kian Lee tidak mau membuang waktu lagi. Melihat sambaran kedua tangan itu, dia memakai dengan tamparan tangannya ke arah pergelangan tangan yang besar itu.

“Plak! Plak! Aduhhhhh....!” Perwira Su Kiat mengaduh-aduh karena kedua lengannya terasa panas dan lumpuh seketika. “Hayo tangkap! Bunuh!” teriaknya sambil mengaduh-aduh.

Anak buahnya lalu mengepung dan mulai menyerbu dengan senjata mereka. Melihat ini, Kian Lee merobohkan beberapa orang dengan tamparan dan tendangannya, tanpa melukai berat, kemudian dia meloncat, tubuhnya tiba di dinding yang terjal dan dilain saat, semua orang melongo ketika melihat betapa tubuh pemuda berpakaian putih-putih itu seperti seekor cecak merayap di tembok saja. Demikian cepat gerakannya seolah-olah dia berjalan di tanah datar padahal tebing itu terjal sekali!

Melihat pemuda itu dengan mudahnya melarikan diri melalui tebing yang terjal sehingga tidak ada kemungkinan lagi bagi dia dan anak buahnya untuk mengejar, Su-ciangkun lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alat tiup dari kantung bajunya karena kedua tangannya masih lumpuh dan untuk meniup alat itu dengan keras.

Terdengar suara bersuitan berkali-kali dari lorong celah tebing itu, akan tetapi Kian Lee tidak peduli dan merayap terus sampai dia tiba di atas tebing. Akan tetapi baru saja dia melompat beberapa langkah, tiba-tiba di depannya berdiri seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambutnya yang kemerahan itu awut-awutan dan tangannya memegang sebuah guci arak, mulutnya berbau arak dan bibirnya masih basah oleh arak yang menetes-netes.

Di sebelah kakek aneh ini berdiri dua orang perwira tinggi yang usianya juga sudah enam puluhan. Kakek berambut kemerahan itu memandang Kian Lee dengan sikap acuh tak acuh, akan tetapi dua orang perwira tinggi itu memandang dengan mulut tersenyum, kemudian mereka menjura ke arah Kian Lee dengan sikap hormat.

“Tidak kelirukah pendengaran kami tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee?” Seorang diantara dua perwira tinggi itu bertanya sambil menjura.

Kian Lee yang melihat sikap hormat itu membalas dengan menjura sambil menjawab,
“Benar.”

“Ah, kalau begitu harap Taihiap sudi memaafkan akan kelancangan Su-ciangkun terhadap Taihiap. Tentu Suma-taihiap dapat memaklumi kecurigaan Su-ciangkun yang menghadapi pembunuhan besar-besaran yang terjadi di daerah ini, dan mengira Taihiap yang melakukan pembunuhan itu. Apakah Taihiap mengerti siapa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?”

Kian Lee menggeleng kepalanya.
“Saya kebetulan lewat di daerah ini dan melihat tumpukan mayat, maka saya lalu menguburnya.”

“Heh-heh, bijaksana bijaksana....”

Kakek yang berambut kemerahan itu berkata kepada diri sendiri, kemudian menenggak arak dari gucinya sampai mengeluarkan suara menggelogok. Akan tetapi dua orang perwira tinggi agaknya sudah biasa dengan sikap aneh ini, maka mereka tidak memperdulikan, melainkan berkata lagi kepada Kian Lee dengan sikap hormat.

“Kebetulan sekali Suma-taihiap lewat di daerah kami dan Paduka Gubernur kami memang memesan kepada kami agar setiap orang pendekar besar yang lewat agar dipersilakan untuk singgah, selain Paduka Gubernur hendak berkenalan dengan orang-orang handal, juga untuk menghadiri pesta yang akan diadakan untuk menyambut utusan Kaisar dari kota raja. Banyak sekali tamu yang akan hadir, juga dari kalangan kang-ouw, maka kami atas nama gubernur mengundang Taihiap untuk singgah pula.”

Kian Lee berpikir cepat. Dia menghadapi rahasia besar, keanehan sikap Jenderal Kao Liang, kematian banyak orang yang tidak diketahui siapa pembunuhnya, dan undangan Gubernur Honan yang juga aneh.

Kalau Gubernur Ho-nan yang mengadakan pesta, tentu dan pasti Jenderal Kao Liang akan hadir pula, karena jenderal ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Mungkin dia akan mendapat keterangan tentang semua rahasia ini di gubernur, dan bukan tidak mungkin pula dia akan dapat mendengar sesuatu tentang adiknya, karena dia akan bertemu dengan banyak tokoh kang-ouw di rumah Gubernur Ho-nan itu.