FB

FB


Ads

Rabu, 22 April 2015

Jodoh Rajawali Jilid 003

Akan tetapi sungguh tidak disangka, mendengar pertanyaan ini wajah Si pemilik warung menjadi berseri.

“Aih, tentu Tuan maksudkan Suma-kongcu (Tuan Muda Suma)! Memang dia sering makan di sini, dan baru saja dia pergi, setelah makan bubur panas. Lihat, mangkoknya juga masih di meja itu, belum saya bersihkan!”

Ketiganya cepat bangkit.
“Dimana dia? Kemana perginya?” Jenderal Kao bertanya, suaranya keras, mengejutkan pemilik warung.

“Eh mana saya tahu? Tadi saya lihat ke jurusan selatan sana”

Tukang warung itu menjadi bengong ketika tiga orang itu berkelebat dan lari pergi meninggalkan warungnya.

“Eh, ini bubur pesanan....!”

Akan tetapi Jenderal Kao dan anak-anaknya sudah pergi jauh dan pemilik warung itu hanya menggeleng kepala.

“Suma-kongcu orang aneh, teman-temannya pun aneh bukan main!”

Sementara itu, Jenderal Kao Liang sambil berjalan cepat bersama dua orang puteranya menuju ke selatan, berkata dengan desis terheran-heran,

“Suma-kongcu!? Tidak banyak orang di dunia ini yang ber-she Suma dan memiliki kepandaian tinggi! Siapa lagi kalau bukan keluarga Suma, Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti? Dan setahuku, ada dua orang Suma-kongcu! Akan tetapi, mengapa menculik keluarga kita? Bukankah kita bersahabat erat seperti keluarga sendiri dengan mereka?” Jenderal Kao menduga-duga dengan hati penasaran.

“Itu kan dahulu, Ayah!” kata Kok Tiong dengan suaranya mengandung kegemasan. “Dahulu ketika Ayah masih terpakai oleh Kaisar. Akan tetapi sekarang? Keadaan Ayah seperti juga disingkirkan oleh Kaisar, sungguhpun sebagai basa-basinya Ayah disuruh istirahat dan dipensiun, diberi harta benda sebagai bekal. Lihat saja betapa pasukan pengawal istana bermunculan di sini, seolah-olah menghadang perjalanan kita. Siapa tahu, tidak mustahil kalau Kaisar mengkhawatirkan keadaan Ayah, takut Ayah akan menimbulkan huru-hara. Menurut pendapat saya, agaknya Kaisar memang berusaha untuk membasmi, keluarga kita agar aman, karena Ayah adalah seorang yang tidak boleh dipandang ringan. Hemmm, tidak salah lagi, demikianlah keadaannya! Maka, Hok-ciangkun yang memimpin pasukan pengawal menyamar sebagal petani, tentu diutus oleh Kaisar untuk membasmi kita. Akan tetapi mereka tahu, keluarga kita bukanlah keluarga sembarangan. Apalagi ada Kok Cu koko, maka Kaisar tentu telah minta pertolongan keluarga Pulau Es, keluarga Suma. Bukankah keluarga Suma masih termasuk keluarga Kaisar juga? Bukankah Pendekar Super Sakti, Paman Suma Han adalah cucu mantu dari Kaisar?”

“Ehhhhh....?” Jenderal Kao Liang berteriak dan menghentikan langkahnya.

Kalau dalam keadaan biasa, tentu kata-kata Kok Tiong itu akan cukup membuat dia turun tangan menampar mulut puteranya yang berani berkata demikian, mencela kaisar, menuduh yang bukan-bukan, bahkan berani mencurigai keluarga Pulau Es. Akan tetapi dia tidak jadi menggerakkan tangan, karena kata-kata itu membangkitkan kecurigaannya pula dan dia termenung.

Suma-kongcu, kata tukang warung itu. Tentu kalau bukan Suma Kian Lee, ya Suma Kian Bu, seorang diantara dua putera Majikan Pulau Es.

Majikan Pulau Es adalah Suma Han yang terkenal sebagai Pendekar Super Sakti bagi yang memujanya dan Pendekar Siluman bagi yang membencinya, dan Suma Han ini menikah dengan Puteri Nirahai sebagai isteri pertama, Puteri Nirahai cucu kaisar! Ucapak Kok Tiong tadi biarpun agaknya tidak masuk di akal mengingat akan watak keluarga Pulau Es yang sakti dan budiman, namun beralasan juga.

Jenderal ini tahu bahwa di dalam pergolakan politik kerajaan, segala hal dapat saja terjadi. Buktinya, dua orang Pangeran Liong yang menjadi adik-adik tiri kaisar sendiri, memberontak karena politik, karena pengejaran ambisi pribadi. Siapa tahu, kaisar benar-benar menganggap dia berbahaya dan hendak menumpas keluarganya. Dan siapa tahu, mungkin pandangan putera Pendekar Super Sakti yang sudah dipengaruhi politik juga berubah terhadap dirinya!

“Akan tetapi....!” bantahnya dengan suara meragu, bantahan yang timbul langsung dari suara hatinya, “Andaikata demikian halnya, mengapa mesti mengambil cara berbelit-belit? Andaikata benar Kaisar menghendaki nyawaku, cukup beliau memerintahkan perajurit untuk menangkap aku dan menjatuhkan hukuman mati. Mengapa harus memakai cara penuh rahasia ini, dengan bermacam muslihat? Aku siap untuk menyerahkan nyawaku kalau diminta oleh Kaisar, demi negara!”

“Saya kira persoalannya tidak semudah itu, Ayah. Kalau Kaisar melakukan hal itu terhadap Ayah, tentu beliau akan banyak menerima celaan dan tentangan. Tentu beliau tidak ingin perbuatan beliau itu diketahui oleh umum. Rakyat jelata dan semua pembesar tahu belaka siapa Ayah, dan betapa besar jasa Ayah terhadap negara dan bangsa. Agaknya Kaisar ingin agar kita sekeluarga seolah-olah terbasmi oleh penyamun atau oleh golongan hitam dan hal ini pun bukan tak boleh jadi, mengingat betapa Ayah sudah banyak melakukan pembersihan terhadap mereka.”

Mendengar ucapan puteranya yang ke dua itu, Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk dan tiba-tiba hatinya menjadi berduka sekali. Dia mengepal tinjunya, giginya mengeluarkan bunyi berkerotan.

“Ini tentu hasil dari fitnah dan hasutan para pengkhianat yang hendak melemahkan kerajaan! Sri Baginda Kaisar telah tertipu!”

Kok Tiong menarik napas panjang.
“Lihat, betapa patriotnya jiwa Ayah, bahkan di waktu keluarga sendiri terancam bahaya maut, Ayah masih mementingkan kerajaan.”

Jenderal Kao termenung, sadar akan kebenaran ucapan puteranya dan dia teringat lagi akan keadaan keluarganya.

“Akan tetapi kalau memang benar dugaanmu itu, semoga saja, kuminta kepada Thian, Kaisar tidak sampai tertipu sedalam itu, andaikata benar demikian, mengapa keluarga kita tidak dibunuh saja? Kenapa diculik mereka itu? Dimana adanya ibumu, isterimu, anak-anakmu?”






“Itulah yang amat membingungkan, Ayah. Menghilangnya kepala pengawal, dan mayatnya pun tidak kita lihat, lalu disusul pertempuran di luar hutan antara orang-orang yang tidak kita kenal, yang kabur semua ketika kita dekati. Kemudian bentrokan antara tiga kekuatan di dalam celah itu, antara pasukan kita, wanita-wanita berlencana dan bercacah lukisan garuda serta orang-orangnya Hok-ciangkun. Mereka itu mati semua, tiga rombongan yang saling bertempur itu, akan tetapi keluarga kita dapat melarikan diri. Agaknya tidak mungkin pula kalau dibawa oleh sisa orang-orangnya Hok-ciangkun, karena kalau benar dugaan kita, Hok-ciangkun tentu bertugas untuk membasmi dan membunuh keluarga kita. Dan kalau harus diculik dulu, tentu terlalu merepotkan. Pula, kalau dibunuh di tempat itu, malah menimbulkan kesan seolah-olah dibasmi penyamun. Lalu kemana mereka itu? Siapa yang menculik mereka, kalau memang benar diculik? Dan mengapa pula? Benar-benar saya menjadi bingung, Ayah.”

“Agaknya oleh orang-orang yang bercacah lukisan garuda di tangannya itu. Kita belum tahu jumlah dan kekuatan mereka, belum mengenal pula siapa mereka,” kata Kok Han.

“Kurasa tidak mungkin, Han-te. Seperti kau lihat, Suma-kongcu yang lihai itu masih ada. Kalau dia, seperti kurasa begitu, ditugaskan oleh Kaisar untuk membantu pasukan Hok-ciangkun, melihat keluarga kita dibawa oleh wanita-wanita garuda itu, tentu dia akan turun tangan, tak mungkin dia diam saja tugas Hok-ciangkun digagalkan oleh wanita-wanita garuda itu. Kau lihat juga, dialah satu-satunya orang yang masih hidup di tempat tadi. Agaknya rombongan para wanita garuda itu dibunuhnya pula semua.”

“Tapi, kalau benar begitu kemana perginya ibu dan lain-lain? Kenapa dia tidak membunuh kita juga setelah dia melihat kita bertiga tadi? Aihhh, bingung aku setelah mendengar dugaan-dugaanmu Koko.!”

“Sudahlah,” Jenderal Kao menyela. “Tidak peduli itu semua, yang penting, kita harus dapat membekuk pemuda gila itu dan semuanya akan menjadi terang. Mari kita kejar dan cari dia!”

Kembali tiga orang yang sedang dicekam kegelisahan karena kehilangan keluarga itu melanjutkan pencarian mereka, keluar dari dusun menuju ke selatan. Mereka tiba di tepi sebatang sungai yang cukup besar yang menjadl cabang Sungai Huang-ho. Terhalang oleh sungai ini, Jenderal Kao termangu-mangu. Benarkah pengejaran mereka? Apakah Suma-kongcu lewat kesini?

Selagi dia bingung dan tidak tahu harus melanjutkan pengejaran kemana, tiba-tiba mereka melihat sebuah perahu meluncur di tengah sungai dan dengan cepatnya perahu itu meluncur ke pinggir, kearah dimana mereka berdiri. Seorang bertubuh tinggi kurus mendayung perahu itu dan benar-benar luar biasa tenaganya karena kekuatan mendayungnya mampu melawan arus sungai yang cukup kencang di bagian yang menikung itu.

Perahu itu bercat hitam, di ujungnya berkibar sebuah bendera kecil hitam pula. Dengan tangkas, orang tinggi kurus itu melemparkan sehelai tali yang dengan tepatnya mengait akar pohon di tepi sungai, kemudian dalam jarak yang masih ada empat tombak jauhnya, sekali menggerakkan kakinya orang tinggi kurus itu telah meloncat ke darat. Jenderal Kao Liang terkejut dan diam-diam dia memuji. Ginkang yang luar biasa!

Akan tetapi, sebelum Si Tinggi Kurus itu mengeluarkan suara, dan dia sedang memandang kepada Jenderal Kao bertiga sambil menyeringai, dari dalam perahu terdengar suara yang tinggi nyaring melengking,

“Inikah ikan-ikan itu, Hoa-gu? Mana yang lain-lain? Kelihatan ikan-ikan ini sudah kehilangan sisik-sisik dan sirip-siripnya, untuk apalagi? Tidak ada gunanya. Mungkin kita sudah didahului nelayan-nelayan lain!”

Ucapan itu seolah-olah percakapan nelayan, akan tetapi Jenderal Kao Liang yang memiliki banyak pengalaman itu maklum bahwa maksudnya bukan demikian. Pembicara itu menganggap mereka bertiga seperti ikan-ikan yang sudah kehilangan sisiknya, artinya orang-orang yang sudah tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Dan sebutan terhadap Si Tinggi Kurus itu pun aneh. Hoa-gu, berarti Kerbau Belang dan Si Tinggi Kurus itu kulit muka dan lehernya belang-belang, agaknya menderita penyakit panu yang sudah menahun dan sudah tak dapat disembuhkan lagi. Akan tetapi, biasanya orang-orang yang menggunakan julukan aneh-aneh memiliki kepandaian yang aneh pula, apalagi tadi Si Tinggi Kurus sudah mendemonstrasikan ginkang yang hebat. Maka dia berhati-hati dan memberi isyarat kepada dua orang puteranya agar berhati-hati.

“Hemmm, tidak salah lagi, agaknya wanita itu yang sudah mendahului kita, Khiu-pangcu!” kata Si Tinggi Kurus sambil menoleh ke arah perahu.

Jenderal Kao makin waspada. Orang di dalam perahu itu dipanggil pangcu, tentu seorang ketua dari perkumpulan golongan hitam.

“Ahhh, itu salahku sendiri, Hoa-gu-ji! Kenapa kau tidak becus mengalahkan perempuan itu kemarin. Tapi lebih baik kau tanyakan mereka, kemana larinya wanita-wanita itu, agar kita dapat mengejar dan mencegat mereka sebelum mereka kembali ke sarang mereka!”

Tiba-tiba ada bayangan berkelebat. Jenderal Kao Liang menjadi kaget ketika tahu-tahu bayangan yang mencelat dari dalam perahu itu telah berdiri di depannya dan ternyata orangnya tidak seberapa, hanya seorang kakek tua yang bertubuh pendek kecil dan kelihatan lemah. Agaknya dengan sekali tamparan tangannya yang kuat, tubuh si kecil tua itu akan remuk! Akan tetapi tentu saja Jenderal Kao tidak setolol itu dan dia tahu bahwa si kecil ini malah lebih berbahaya daripada Si Tinggi Kurus! Jenderal Kao pura-pura tidak mengerti akan arti percakapan mereka tadi, maka dia mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata,

“Harap maafkan, kami ingin sekali bertanya kepada Ji-wi, apakah Ji-wi ada melihat seorang pemuda berpakaian putih lewat disini? Kami sedang mencarinya.”

Kakek kecil itu tertawa dan melangkah maju.
“He-he, kami tidak melihat orang lain disini, dan bukankah engkau ini Jenderal Kao Liang yang sudah ditendang keluar dari kota raja? He-he-he!” Kata-kata dan sikap kakek ini menghina sekali.

Kok Han sudah melangkah maju hendak mendamprat, akan tetapi ayahnya melarangnya dan Jenderal Kao Liang dengan tenang menjawab,

“Aku adalah Kao Liang, tepat seperti dugaanmu, sobat. Siapakah engkau, kudengar kau disebut pangcu. Engkau ketua dari perkumpulan apakah?”

“He-he, aku orang she Khiu hanya ketua yang ke dua, mewakili Twako (Kakak) untuk mengambil hartamu yang kau bawa dari kota raja. He-he, jenderal bekas, lekas kau katakan, dimana hartamu itu dan siapa yang membawanya?”

“Iblis hina dan busuk!”

Kok Han tak dapat menahan kemarahannya lagi mendengar ayahnya dihina seperti itu dan dia sudah menerjang ke depan dengan pedangnya, menusuk kakek kecil itu dengan jurus maut Tit-ci-thian-lam (Menuding ke Arah Selatan), pedangnya langsung meluncur kearah ulu hati kakek itu dengan kecepatan kilat sehingga nampak sinar berkelebat menyilaukan mata.

“He-he, bocah, kau boleh juga!” Kakek kecil itu terkekeh, miringkan tubuhnya dan jari tangannya menyentil.

“Tringgggg....!”

“Ahhhhh!”

Kao Kok Han berseru kaget dan cepat dia meloncat ke belakang mengikuti kemana pedangnya terpental karena pedang yang kena disentil oleh kuku jari tangan kakek itu hampir saja terlepas dari pegangannya.

“Iblis tua bangka!” teriak Kok Tiong yang menjadi marah dan orang muda ini pun telah menyerang dengan pedangnya dengan hebat.

Namun dengan mudahnya kakek kecil itu mengelak, kemudian kakinya yang pendek kecil itu mengelak, hampir saja mencium lambung Kok Tiong kalau saja dari samping Jenderal Kao Liang tidak cepat menangkis dengan tangan kirinya.

“Dukkkkk!”

Jenderal Kao Liang merasa betapa lengannya yang bertemu dengan kaki itu merasa nyeri dan kesemutan, maka dia terkejut sekali, maklum bahwa kakek itu benar-benar amat lihai.

“He-he-he! Kiranya bekas Jenderal Kao masih belum kehilangan kepandaiannya! Akan tetapi seorang jenderal tanpa pasukan, mau bisa apakah?” Kakek kecil itu mengejek dan kini Jenderal Kao Liang menjadi marah sekali.

“Engkau tentu seorang pangcu dari golongan perampok busuk!” teriaknya. “Biarpun aku tidak memegang jabatan apa-apa, sudah menjadi kewajibanku untuk membebaskan rakyat dari gangguanmu!”

Jenderal itu sudah meloloskan pedangnya yang panjang, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menerjang dengan gerakan yang amat kuat dan cepat. Kakek kecil ini pun tidak berani memandang rendah, cepat dia rnengelak dan balas menyerang, akan tetapi dia masih saja terkekeh dan menghadapi jenderal tua ini dengan tangan kosong belaka.

Kok Tiong dan Kok Han menerjang maju, akan tetapi mereka dihadang oleh kakek tinggi kurus yang sudah memegang sebatang dayung. Melihat ini, dua orang muda itu cepat memutar pedang mereka dan menyerang. Si Tinggi Kurus memutar dayungnya pula menangkis.

“Cringgggg! Tranggggg....!”

Bunga api berpijar dan dua orang muda itu maklum bahwa selain kakek tinggi kurus ini bertenaga besar, juga dayungnya itu ternyata bukan dayung kayu seperti biasa, melainkan dayung baja yang amat kuat pula.

Terjadilah pertempuran hebat dan seru di tepi sungai itu. Jenderal Kao Liang memang seorang yang memilikl tenaga besar sekali, akan tetapi ilmu silatnya biarpun cukup tinggi, masih tidak selihai ilmu perangnya. Dia memutar pedangnya dengan cepat dan kuat sampai terdengar suara berdesingan dan pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung.

Akan tetapi ternyata kakek kecil itu memiliki ginkang yang luar biasa, tubuhnya berkelebatan, kadang-kadang seperti lenyap dari pandang mata Jenderal Kao sehingga membuat jenderal tua ini terkejut dan juga bingung. Betapapun juga, kakek kecil yang memandang rendah dan bersikap sombong itu, yang menghadapi Jenderal Kao Liang dengan tangan kosong belaka, juga tidak mudah merobohkan Sang Jenderal yang tubuhnya terlindung oleh sinar pedangnya.

Lima puluh jurus telah lewat dan Jenderal Kao Liang masih terus menyerang lawannya dengan kemarahan yang berkobar-kobar. Dia maklum bahwa lawannya ini sedikit banyak tahu akan semua peristiwa yang menimpa keluarganya, maka ingin dia merobohkan lawan ini, kalau bisa tidak sampai membunuhnya agar dia dapat memaksanya mengaku. Akan tetapi, tubuh lawan ini terlalu cepat bergerak.

“He-he-he, jenderal yang tidak terpakai! Kau masih berani melawan terus?”

Kakek kecil itu mengejek dan kini dia berdiri dekat sekali dengan tepi sungai, membelakangi sungai.

Melihat ini, Jenderal Kao Liang yang menjadi marah sekali melihat kesempatan baik. Lawannya sudah berada di tepi sungai, tidak ada jalan untuk mengelak lagi, maka dia lalu mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau, pedangnya menusuk dengan kuat sekali ke arah dada lawan itu.

Akan tetapi, tiba-tiba Si kakek kecil itu lenyap. Demikian cepat gerakannya ketika menjatuhkan diri sehingga tidak kelihatan oleh Jenderal Kao. Tahu-tahu kakek kecil itu dari bawah menangkap lengan tangan Jenderal Kao yang memegang pedang dan secepat itu pula kakinya dua kali bergerak menendang ke arah lutut Jenderal Kao. Jenderal ini berseru kaget, kedua kakinya terasa lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, kakek kecil itu telah menyentak tangannya, menariknya ke atas membuatnya terlempar ke atas, melampaui kepala kakek kecil itu dan terlempar ke tengah sungai!

“Byuuuuurrr....!”

Tubuh yang tinggi besar itu menimpa air yang muncrat tinggi. Jenderal yang kehilangan pedangnya itu mencoba untuk berenang akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapat kenyataan betapa dua buah kakinya belum dapat digerakkan, masih setengah lumpuh oleh totokan ujung sepatu kakek kecil itu. Terpaksa dia hanya mengguna¬kan kedua tangannya untuk digerakkan menahan agar tubuhnya tidak tenggelam dan kini tubuhnya dibawa hanyut, ter¬seret oleh arus sungai yang kuat.

“Ayahhhhh....!”

Kok Tiong berseru kaget sekali. Akan tetapi dia dan adiknya masih belum mampu mengalahkan lawan yang memegang dayung, bahkan mereka terancam oleh sinar dayung yang berkelebatan. Kiranya orang yang berjuluk Kerbau Belang ini kuat sekali, dan kadang-kadang dari tenggorokannya ke¬luar suara seperti seekor kerbau marah dan tiap kali terdengar suara ini, tenaga yang menggerakkan dayungnya menjadi berlipat ganda kuatnya, membuat dua orang saudara Kao ltu kewalahan. Na-mun dengan kerja sama yang rapi, mere¬ka berdua masih dapat saling melindungi dan menahan amukan kakek tinggi kurus yang memutar dayungnya secara istimewa.

“He-he-he, Hoa-gu-ji, engkau benar-benar mengecewakan. Masa menghadapi dua ekor ikan kecil saja masih belum mampu menangkapnya?”

Kakek kecil yang telah berhasil melontarkan tubuh Jenderal Kao Liang ke tengah sungai itu tertawa, tubuhnya berkelebat dan dengan cepat sekali, menggunakan kesempatan selagi dua orang saudara Kao itu menangkis dayung dengan pedang mereka, dia menotok jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kiri mereka sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, Kok Tiong dan Kok Han mengeluh dan roboh lemas.

Hoa-gu-ji menggerakkan dayungnya ke arah kepala mereka.
“Wuuuuutttttt.... plakkk!”

Dayung itu terpental, bertemu dengan telapak tangan Si kakek kecil.
“Gilakah kau, Hoa-gu-ji? Kita membutuhkan mereka, mengapa hendak kau bunuh?”

Hoa-gu-ji cemberut dan dia teringat, maka cepat dia mengambil tali dari perahu dan mengikat kedua tangan Kok Tiong dan Kok Han. Dia tadi marah sekali karena merasa malu bahwa dia tidak mampu merobohkan dua orang musuh itu, maka dalam kemarahannya hampir dia membunuh mereka.

“Maafkan, Pangcu, hampir saya lupa” katanya setelah mengikat mereka dan melemparkan tubuh mereka ke atas perahu.

Tak lama kemudian, perahu yang kini membawa dua orang tawanan itu sudah meluncur lagi ke tengah sungai mengikuti arus.

“Hayo katakan, di mana adanya harta benda Ayah kalian! Kalau tidak mau mengaku, terpaksa kalian akan kami jadikan makanan ikan di sungai ini!” Kakek kecil itu membentak.

“Persetan dengan kamu, iblis tua bangka!” bentak Kok Han dengan marah, sedikit pun juga tidak takut atau jerih menghadapi ancaman kakek kecil itu.

Akan tetapi, Kok Tiong yang lebih cerdik tidak ingin mati konyol begitu saja. Tidak, mereka berdua harus hidup, apalagi sekarang setelah ayah mereka pun lenyap, hanyut ditelan air sungai. Mereka harus mencari keluarga mereka lebih dulu dan tidak boleh mati begitu saja.

“Pangcu, engkau telah keliru menyerang orang,” katanya tenang. “Ayah kami memang membawa harta benda, akan tetapi kemarin kami telah diserbu orang-orang yang tidak kami ketahui siapa, keluarga kami ditawan dan harta benda itu pun ikut pula terbawa. Kami bertiga sedang mencari mereka ketika bertemu dengan engkau di tepi sungai.”

“Wah, celaka, benar-benar ada orang mendahului kita, Hoa-gu-ji. Orang muda, ceritakan semua dengan jelas.”

Kao Kok Tiong lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpanya, tentu saja tanpa menceritakan dugaannya tentang utusan kaisar dan tentang keluarga Suma. Kakek kecil itu mendengarkan dengan alis berkerut dan dia menarik napas panjang.

“Celaka, siapa lagi kalau bukan perempuan-perempuan iblis garuda hitam itu? Hoa-gu-ji, hayo cepat kita ke hilir, kita harus dapat mencari mereka!”

Perahu meluncur makin cepat karena kini selain digerakkan oleh kekuatan arus air, juga dlbantu oleh kekuatan dayung yang digerakkan oleh Hoa-gu-ji. Dua orang saudara Kao yang rebah di atas perahu dengan kedua tangan terbelenggu, merasa miris juga melihat perahu meluncur demikian cepatnya, apalagi karena mereka memang tidak biasa bermain di air. Diam-diam mereka mengkhawatirkan keadaan ayah mereka yang tadi mereka lihat terlempar ke air dalam keadaan masih hidup dan berusaha berenang namun terseret oleh arus air.

Khiu-pangcu dan Hoa-gu-jin kini kelihatan bersikap waspada dan siap siaga di atas perahu ketika perahu itu melewati sebuah hutan yang liar dan hebat. Mendadak tampak sinar berkelebat diikuti suara berdesing dan tahu-tahu sebatang anak panah menancap di kepala perahu. Anak panah itu ditempeli sebuah lencana perak bergambar garuda hitam dan di bawahnya terdapat dua buah huruf berbunyi SUI TIN (Pasukan Air).

Melihat ini dari tempat ia rebah, Kok Tiong dan Kok Han teringat akan lencana yang mereka dapatkan di dekat mayat wanita berpakaian hitam karena me¬mang sama gambar dan bentuknya, hanya lencana yang mereka temukan itu memakai huruf Pasukan Kayu, sedangkan yang menempel di anak panah ini huruf-hurufnya berbunyi Pasukan Air.

Khiu-pangcu terkekeh, lalu mencabut anak panah itu dan melemparkannya ke sungai.
“Singgggg....!”

Cepat sekali anak panah itu meluncur seperti terlepas dari gendewa dan anak panah itu menancap di batu karang di tepi sungai, masuk sampai sepertiganya ke dalam batu karang itu. Hal ini saja membuktikan betapa hebat sinkang dari kakek kecil itu, kekuatan lemparannya tadi jauh lebih kuat daripada kalau anak panah itu meluncur dari sebatang gendewa!

Kini kakek kecil ltu bangkit berdiri di atas kepala perahu, kakinya terpentang lebar dan kedua lengannya bertolak ping¬gang, lalu terdengar suaranya yang tinggi melengking nyaring, bergema di dalam hutan di seberang sungai,

“Haiiiii....! Kenapa hanya pimpinan Pasukan Air saja yang keluar menyambutku? Mana keempat pasukan yang lain? Hayo keluarlah kalian menyambut Khiu-pangcu yang sudah datang ke sini! Malam kemarin kepala Pasukan Kayu telah berani meng-hina seorang anggauta kami, hayo suruh dia keluar pula kalau berani!”

Siapakah pelempar anak panah yang menancap di perahu itu? Dan siapakah mereka yang memakai lencana garuda hitam itu? Mereka itu adalah anggauta-anggauta dari perkumpulan Hek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Hitam) yang berpusat di puncak Gunung Cemara. Perkumpulan ini terdiri dari wanita-wanita yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi, dan tangan mereka semua dicacah gambar burung garuda. Di antara mereka dibagi menjadi pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan Api, Pasukan Air, Pasukan Tanah, Pasukan Besi dan Pasukan Kayu, masing-masing memiliki keistimewaan sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu di seberang sungai,
“Kakek sombong, jangan tekebur, kau!”

Dan muncullah seorang wanita cantik berusia kurang lebih tiga puluh tahun dari balik semak-semak, seorang wanita yang pakaiannya serba hitam dan yang memegang sepasang pedang.

“Tidak perlu saudara-saudara kami maju, cukup kami saja yang akan melawanmu dan akan membunuhmu, kecuali kalau kauserahkan tawananmu itu kepadaku, kami akan membebaskan engkau!”

“He-he-he-he, perempuan cantik suaranya nyaring!”

Kakek kecil itu tertawa dan perahu lalu didayungnya ke pinggir. Kakek tinggi kurus mengikat perahu di tepi, kemudian bersama Khiu-pangcu dia lalu meloncat ke darat, dengan sikap angkuh dan tersenyum simpul.

“He-heh-heh, Nona cantik. Engkau tentu kepala dari Pasukan Air, bukan? Percuma saja kau membahayakan kulitmu yang halus, lebih baik suruh semua pasukan maju mengeroyok aku.”

Wanita itu menudingkan pedang kirinya ke arah muka kakek kecil sedangkan pedang kanannya melintang di depan dada, sambil berkata,

“Khiu-pangcu, jangan kau sombong. Saat ini aku Kim-¬hi Nio-cu (Nona Ikan Emas) yang bertugas dan berjaga di sini, maka cepat kauserahkan tawananmu itu kepadaku sebelum terpaksa aku turun tangan menggunakan kekerasan.”