FB

FB


Ads

Rabu, 22 April 2015

Jodoh Rajawali Jilid 001

Kaisar pertama yang bertahta di Kerajaan Ceng-tiauw, yaitu kerajaan penjajah Mancu yang menguasai Tiongkok, merupakan kaisar yang sampai puluhan tahun dapat mempertahankan kedudukannya, mengatasi banyak pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Kaisar tua ini mulai bertahta dalam tahun 1663 dan dapat mempertahankan kedudukannya ini selama lima puluh sembilan tahun!

Pada awal tahun 1700 terjadilah pemberontakan dua orang pangeran kakak beradik, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, adik-adik tiri kaisar pertama itu, ialah Kaisar Kang Hsi.

Dua orang pangeran yang mencoba untuk berkhianat terhadap kaisar itu melakukan pemberontakan yang nyaris menggulingkan kedudukan kaisar, atau sedikitnya telah menggegerkan kota raja. Akan tetapi akhirnya berkat bantuan para menteri dan panglima yang setia, apalagi karena bantuan Puteri Milana yang terkenal gagah perkasa dan pandai, pemberontakan itu dapat digagalkan, bahkan dua orang pangeran pengkhianat itu dapat ditewaskan.

Akan tetapi, pemberontakan ini dengan segala akibatnya menggores hati kaisar yang sudah tua itu, karena, pertama dia merasa kecewa dan terkejut melihat kenyataan betapa dua orang adik tiri yang dipercayanya itu betul-betul melakukan pemberontakan terhadapnya. Ke dua, melihat bahwa dia terpaksa membiarkan dua orang adiknya itu tewas. Dan ke tiga, perpecahan-perpecahan yang diakibatkan oleh pemberontakan itu diantara ponggawa dan pembantunya.

Lima tahun telah lewat sejak pemberontakan itu dapat ditumpas. Namun, biarpun pemberontakan telah dipadamkan dan dua orang pangeran tua itu telah tewas, peristiwa yang mengakibatkan perpecahan di kalangan atas, dan mengakibatkan timbulnya sikap curiga-mencurigai diantara mereka, mempunyai pengaruh besar terhadap para pembesar atasan yang mempengaruhi pula para anak buah mereka dan terasa pula ketegangan-ketegangan yang timbul diantara kelompok satu dan kelompok lain sehingga rakyat pun merasa gelisah.

Peristiwa itu banyak mengurangi kedaulatan dan wibawa Kaisar Kang Hsi. Kaisar tua itu tidak kuat lagi mengendalikan kemudi pemerintahannya yang dilanda gelombang perpecahan itu. Banyak raja-raja muda, gubernur-gubernur dan panglima-panglima komandan barisan di perbatasan yang menguasai daerah propinsi yang jauh letaknya dari kota raja, sedikit demi sedikit dan secara halus tidak menyolok mulai memisahkan diri dari pusat.

Mereka itu masing-masing menyusun kekuatan dan berusaha mengatur daerah kekuasaan masing-masing seperti seorang raja. Semua hasil pemungutan pajak dan lain-lain mereka simpan sendiri, dan kalau pun sebagai basa-basi mereka masih mengirimkan hasil daerah mereka ke kota raja, maka yang dikirim itu tidak ada artinya dibandingkan dengan hasil yang masuk.

Tentu saja tidak semua pembesar bersikap demikian. Banyak pula yang semenjak semula berpihak kepada kaisar, masih merupakan pembesar yang setia. Oleh karena itu timbullah pertentangan diam-diam antara para pembesar dan pertentangan ini tentu saja menimbulkan keadaan yang kacau dan tidak aman.

Biarpun dari pusat sendiri tidak atau belum ada tindakan apa-apa, namun antara para pembesar yang setia kepada kaisar dan yang hendak memisahkan diri, terdapat pertentangan baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan sehingga sering pula terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara pembesar yang mempertahankan daerah kekuasaannya masing-masing hanya karena urusan perairan, urusan perdagangan dan lain-lain.

Semua bentuk permusuhan, baik dimulai dari permusuhan perorangan sampai kepada perang dunia, adalah pencetusan dari sifat mementingkan diri pribadi dan manusia. Sifat mementingkan diri pribadi ini yang didorong oleh keinginan mengejar kesenangan, menimbulkan ambisi-ambisi pribadi dan dalam pengejaran ambisi-ambisi pribadi inilah terjadi kekerasan, saling menjegal, saling merobohkan dan saling membunuh demi mencapai ambisi pribadi.

Kalau hanya begitu saja kiranya masih mending, akan tetapi yang lebih celaka lagi adalah kenyataan bahwa di dalam pengejaran ambisi pribadi itu, dalam menghadapi saingan, mereka tidak segan-segan untuk mempergunakan tenaga orang lain, bahkan tidak segan-segan mengorbankan orang-orang lain yang tak terhitung banyaknya, dengan menggunakan kedok perjuangan dan sebagainya yang muluk-muluk untuk menutupi dasar perbuatan mereka yang sesungguhnya, yaitu demi kepentingan diri mereka sendiri!

Hal seperti ini merupakan kenyataan dalam kehidupan manusia, kenyataan yang terjadi berulang-ulang selama ribuan tahun lamanya, namun sampai kini pun masih ada saja manusia yang berhati srigala bermuka domba, mengorbankan banyak orang demi tercapainya cita-cita atau ambisi mereka dan menggunakan slogan-slogan muluk, dan anehnya masih banyak pula orang-orang yang begitu bodohnya, mudah saja diperalat oleh beberapa gelintir orang dengan umpan slogan muluk-muluk.

Demikianlah, daerah-daerah yang berbatasan antara propinsi, bahkan antar karesidenan atau kabupaten, sering kali terjadi kekacauan dan permusuhan karena perpecahan itu. Dan siapakah yang menderita? Lagi-lagi rakyat jelata. Di waktu perang terlanda oleh kejamnya peperangan, dirampok dan dibakar. Di waktu damai terlanda kejamnya para pembesar atau penguasa yang korup. Demikianlah nasib rakyat kecil yang tidak berdaya.

Akibat pertentangan-pertentangan antara pembesar yang memperebutkan kebenaran mereka sendiri itu tentu saja melalaikan penjagaan dan muncullah segala macam orang yang biasa mempergunakan kekacauan untuk mengail di air keruh,yaitu kaum maling, rampok, bajak dan sebagainya. Hal seperti ini tentu saja mendatangkan perasaan prihatin dalam hati para pembesar yang berjiwa pahlawan, yang berjiwa pemimpin dan yang benar-benar mementingkan kehidupan rakyat jelata.

Akan tetapi, Kaisar Kang Hsi yang sudah tua itu sama sekali tidak menyadarinya. Bahkan kematian dua orang adik tirinya itu, pemberontakan mereka itu membuat dia merasa tidak suka kepada orang-orang yang menentang dua orang adiknya yang memberontak itu, karena dianggapnya bahwa merekalah yang membuat dua orang pangeran itu tidak suka dan memberontak. Mulailah kaisar ini menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya ini, orang-orang yang dengan gigih menentang dua orang pangeran pemberontak.

Sikap kaisar seperti ini tentu saja mengakibatkan terpecahnya para pembantu yang dekat dengannya, yaitu mereka yang prihatin melihat ulah kaisar, dan mereka yang menggunakan kesempatan ini untuk menjilat.

Penjilatan ini pun hanya merupakan percerminan dari keinginan menyenangkan diri pribadi yang ingin mencari kedudukan, dan penjilatan itu hanya merupakan “cara” mereka untuk dapat mencapai ambisi mereka. Mulailah bermunculan “jari-jari maut” dan “bibir-bibir berbisa” yang tunjuk sana-sini, bisik sana-sini untuk menjatuhkan fitnah kepada orang-orang yang dibenci.






Melihat keadaan ini, para pembesar yang setia kepada negara mulai melakukan gerakan halus, diam-diam mereka mencalonkan seorang kaisar baru untuk menggantikan kaisar yang lalim itu. Mereka ini tidak rela melihat pemerintah dan rakyat dirusak oleh ulah kaisar tua yang agaknya sudah pikun.

Akan tetapi, orang yang paling merasa sengsara hatinya adalah seorang panglima besar yang merupakan orang paling tinggi pangkatnya di dalam angkatan perang Kerajaan Ceng-tiauw. Orang ini bukan lain adalah Jenderal Kao Liang, yang diangkat menjadi panglima besar setelah pemberontakan itu dapat ditumpasnya.

Akan tetapi, melihat sepak terjang kaisar, Jenderal Kao yang jujur itu tidak rela dan tidak dapat diam saja. Pada suatu hari, dengan terang-terangan dia menghadap kaisar dan memperingatkan kaisar akan penyelewengannya.

Akibatnya hebat! Karena marah, terutama karena suara-suara hasutan dari kanan kiri, kaisar yang tidak berani menghukum panglima terkenal itu secara berterang, lalu menggunakan siasat halus. Jenderal Kao di “pensiun”! Jenderal Kao diberhentikan dengan hormat dan dipersilakan untuk “beristirahat” menikmati hari tua dan diberi bekal banyak harta benda oleh kaisar.

Sungguh kaisar tua itu telah linglung. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghentian Jenderal Kao ini membuat para panglima dan gubernur yang berkuasa di propinsi-propinsi yang berjauhan, yang menganggap diri sendiri sebagai raja-raja, bersorak kegirangan dan menjadi lega hati mereka. Betapa tidak? Jenderal Kao seoranglah yang mereka takuti sehingga mereka masih belum berani memisahkan diri secara berterang.

Mereka merasa ngeri kalau membayangkan betapa Jenderal Kao yang galak dan pandai itu membawa pasukan menghukum mereka. Akan tetapi kini Jenderal Kao sudah dihentikan dari jabatannya, sudah dipensiun dan menjadi rakyat biasa! Jenderal Kao tanpa pasukan bukan merupakan tokoh yang menakutkan lagi.

Malam itu bulan purnama tersenyum cerah di angkasa. Tiada awan nampak menghalangi sinar bulan yang lembut dan bulan yang bundar itu seperti sebuah bola emas tergantung di langit biru. Malam hening dan sejuk sungguhpun tiada angin menggerakkan daun-daun pohon yang mengapit lorong di dalam hutan itu. Dan celah-celah daun, sinar bulan menerobos dan menerangi lorong yang ditilami daun-daun kering yang lunak dan agak lembab di malam itu.

Malam sudah agak larut, akan tetapi di lorong itu masih ada serombongan orang yang bergegas jalan tanpa berkata-kata, di tengah-tengah mereka terdapat beberapa orang yang memikul tandu-tandu.

Kalau datang dari jurusan ini, lorong melalui hutan itu merupakan jalan satu-satunya yang terdekat untuk memasuki daerah Kang-lam. Melihat orang-orang yang berjalan di depan dan di belakang rombongan tandu itu berpakaian seragam, dan selalu siap memegang golok dan tombak, mudah diduga bahwa rombongan itu tentulah rombongan pembesar dan mereka itu tentu pasukan pengawal.

Dugaan ini memang tidak keliru karena rombongan itu adalah rombongan Jenderal Kao Liang dan keluarganya. Setelah dipensiun dan dihentikan dari jabatannya, jenderal ini maklum bahwa dia tidak berdaya lagi untuk bertindak sebagai jenderal, maka dia lalu mengumpulkan semua harta miliknya, dan mengajak keluarganya untuk meninggalkan kota raja, kembali ke tempat kelahirannya atau tempat kampung halamannya, yaitu di daerah Kang-lam. Dan ingin mendinginkan hati dan pikirannya yang panas, kemudian baru hendak memutuskan apa yang dapat ia lakukan untuk negara dan bangsanya dalam keadaan seperti itu.

Tiba-tiba tirai penutup tandu yang paling depan tersingkap dan terdengarlah suara yang berat dan penuh wibawa, yang ditujukan kepada seorang bertubuh tinggi kurus yang memakai pedang di pinggangnya, yaitu kepala pengawal yang jumlahnya dua losin orang itu.

“Kepala pengawal! Kita berhenti sebentar di sini agar para pemikul tandu dapat beristirahat.”

Kepala pengawal itu sambil masih berjalan mengiringkan tandu itu membungkuk dan berkata, nada suaranya sungguh-sungguh,

“Yang Mulia, tidakkah lebih baik kalau kita melanjutkan perjalanan sampai kita keluar dari hutan ini baru beristirahat? Di dalam hutan begini keadaannya amat berbahaya karena bahaya dapat muncul dari mana-mana tanpa kita ketahui, tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, berbeda kalau berada di tempat terbuka di mana kita dapat menghadapi ancaman bahaya secara terbuka. Daerah ini terkenal sebagai daerah yang sering diganggu oleh penyamun-penyamun yang berkepandaian tinggi.”

“Hemmm.... siapakah yang kau maksudkan dengan penyamun-penyamun berkepandaian tinggi? Mana ada penyamun berkepandaian tinggi kalau mereka itu bukan bekas orang-orangnya Tambolon? Ataukah dari golongan lain? Bukankah kabarnya mereka semua sudah dihalau dan dibasmi oleh Pendekar Super Sakti dan kedua anak dan mantunya, Puteri Milana dan pendekar sakti Gak Bun Beng?”

“Paduka belum mengetahui perkembangan yang terjadi di dunia hitam selama satu dua tahun ini. Di daerah ini pernah terjadi bentrokan-bentrokan hebat antara dua golongan hitam, yaitu golongan perampok Gunung Cemara di sebelah selatan lembah melawan golongan bajak di timur lembah, di sepanjang Sungai Huang-ho.”

“Hemmm, sungguh menarik ceritamu. Lalu bagaimana akhir pertempuran di antara mereka?” tanya orang tua bersuara berat dan berwibawa itu yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang sendiri.

“Pertempuran itu hebat dan makan banyak korban diantara kedua fihak, akan tetapi setelah muncul seorang Pendekar berambut putih yang sangat lihai dan melerai di antara mereka, pertempuran segera berhenti dan berakhir.”

“Pendekar rambut putih? Ho-ho, itulah Pendekar Super Sakti!” Jenderal Kao Liang berseru sambil tertawa girang.

“Bukan, Yang Mulia. Bukan beliau. Pendekar itu masih sangat muda, dan kakinya utuh, tidak buntung sebelah seperti kaki Pendekar Siluman”

“Ehhhhh? Bukan Pendekar Siluman?” Jenderal Kao makin terheran dan ingin sekali tahu.

“Benar, bukan Pendekar Siluman. Akan tetapi karena kepandaiannya juga hebat luar biasa seperti bukan manusia, apalagi rambutnya juga putih terurai bagaikan benang perak seperti rambut Pendekar Siluman, maka orang menamakan dia Pendekar Siluman Kecil.”

“Hemmm.... sungguh luar biasa. Bagaimana mukanya, apakah wajahnya tampan ataukah buruk mengerikan?”

“Itulah yang aneh, Yang Mulia. Orang tidak pernah bisa melihat wajahnya dengan jelas karena sebagian dari mukanya tertutup oleh rambutnya yang terurai itu, dan gerakannya amat cepat saperti menghilang saja.”

Jenderal Kao mengangguk-angguk, lalu menarik napas panjang seperti orang termenung.
“Bukan main! Memang di dunia ini banyak orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian hebat dan watak yang aneh-aneh.”

“Benar, Tuanku. Bahkan putera sulung Paduka sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat dan kabarnya tidak kalah dibandingkan dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Siluman itu sendiri.”

“Hemmm.... agaknya begitulah. Akan tetapi sayang dia tidak berada di sini. Sudahlah, kau hentikan perjalanan ini, jangan takut, kita tetap beristirahat di sini. Sejak dahulu aku tidak pernah bermusuhan dengan golongan sesat secara pribadi, maka perlu apa kita mengkhawatirkan gangguan mereka?”

Kepala pengawal itu tidak berani membantah lagi dan dia pun maklum akan kelihaian jenderal tua ini, apalagi di dalam rombongan itu terdapat pula dua orang puteranya yang biarpun tidak sepandai putera sulung Jenderal itu, namun juga bukanlah orang-orang lemah.

Selain itu, dia sendiri pun mempunyai dua losin anak buah yang cukup kuat, maka perlu apa mereka takut beristirahat di dalam hutan ini? Dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, mengeluarkan aba-aba yang cukup nyaring sehingga terdengar oleh semua anak buahnya,

“Berhentiiiii....! Kita beristirahat di sini....!”

Rombongan itu berhenti dan para pemikul tandu menjadi lega hatinya karena memang mereka sudah merasa lelah sekali, membutuhkan peristirahatan yang cukup untuk mengumpulkan kembali tenaga mereka.

Para pengawal lalu bergerak memenuhi perintah kepala pengawal, ada yang mencari kayu-kayu kering dan ada yang membuat api unggun, ada pula yang mulai menyedu air dan sebagian dari mereka melakukan tugas menjaga di sekitar tempat itu. Mereka adalah pengawal-pengawal yang terlatih dan semua bekerja sesuai dengan tugas mereka yang telah dibagi-bagi oleh kepala pengawal.

Jenderal Kao Liang turun dari atas tandunya yang telah diletakkan di atas tanah. Jenderal ini usianya sudah hampir enam puluh tahun, akan tetapi berdirinya tegak, dengan dadanya yang bidang itu menonjol ke depan, perutnya besar akan tetapi kokoh, rambutnya sudah setengah putih, dan biarpun dia kini bukan seorang panglima lagi, namun dari sikapnya jelas dapat dilihat bahwa dia adalah seorang yang biasa mengatur banyak orang, memiliki wibawa dan ketegasan.

Kini jenderal itu duduk di atas sebuah batu besar. Bulan purnama yang sinarnya gemilang itu sudah berada di atas kepala, sebagian sinarnya menerobos diantara daun-daun pohon menimpa tempat yang dijadikan peristirahatan rombongan ini. Dua orang pemuda yang berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah berdiri di belakang bekas jenderal ini.

Yang seorang berusia dua puluh satu tahun, bernama Kao Kok Tiong, putera ke dua dari jenderal itu, sedangkan pemuda yang ke dua berusia delapan belas tahun, bernama Kao Kok Han, putera ke tiga atau bungsu dari Jenderal Kao Liang. Agaknya dua orang putera ini maklum pula bahwa tempat itu mencurigakan dan berbahaya, maka mereka siap di dekat ayah mereka untuk sewaktu-waktu membantu apabila tenaga mereka diperlukan.

Sedangkan para keluarga wanita dan anak-anak yang ikut di dalam rombongan itu tetap berada di dalam tandu-tandu yang dikumpulkan di tempat terbuka di antara pohon-pohon di tengah-tengah tempat itu dan terlindung oleh para pengawal yang melakukan penjagaan di sebelah tempat peristirahatan itu. Segera api unggun bernyala besar, menerangi dan menghangatkan tempat itu, juga mengusir nyamuk yang mulai beterbangan menyerang mereka.

Kepala pengawal tinggi itu menghampiri Jenderal Kao, memberi hormat dan berkata,
“Karena perbekalan air habis, saya mohon perkenan Paduka untuk mencari air bersih.”

Jenderal Kao mengangguk.
“Pergilah.”

Kepala pengawal bersama lima orang anak buahnya yang membawa guci-guci tempat air, segera pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan untuk mencari air jernih dengan bantuan sinar bulan purnama yang masih terang tidak terhalang awan sedikit pun. Para pengawal lainnya, sambil berjaga-jaga, melepaskan lelah dan duduk di tempat penjagaan masing-masing mengelilingi tempat itu sambil membuat api unggun sendiri.”

“Ayah, silahkan minum.” Kao Kok Tiong mengeluarkan tempat airnya dan memberikan kepada ayahnya.

“Kok Han, kau lihat apakah ibumu baik-baik saja, dan beri ibumu minum dan tawarkan kalau-kalau dia lapar dan ingin makan atau ingin sesuatu,”

Kata Jenderal Kao Liang sambil menerima tempat minum puteranya yang ke dua, minum beberapa teguk dan mengembalikannya kepada Kok Tiong. Sedangkan Kok Han lalu menghampiri tandu ibunya dan kelihatan dia bicara dengan nyonya tua di dalam tandu, kemudian pemuda ini pun memeriksa tandu-tandu lain.

Jenderal Kao Liang ditemani dua orang puteranya lalu duduk melepaskan lelah di dekat api unggun, wajah jenderal itu muram karena dia teringat akan keadaan dirinya. Negara sedang kacau, terjadi perpecahan dan pertentangan diantara para kaki tangan pemerintah, dan dia, yang sesungguhnya amat dibutuhkan di saat negara menghadapi bayangan ancaman pemberontakan, dia malah dihentikan!

Dia mengerti bahwa penghentiannya itu adalah fitnah atau hasil bujukan mulut beracun kepada kaisar. Akan tetapi kaisar sendiri yang memutuskan itu, tentu saja dia tidak berdaya dan tidak berani atau lebih tepat, tidak mau membantah. Dia adalah seorang jenderal yang setia, yang rela mempertaruhkan jiwa raganya demi negara. Maka baginya, kehilangan kedudukan itu bukan apa-apa. Dia sama sekali tidak mementingkan diri pribadi, akan tetapi dia merasa prihatin melihat betapa kedudukan kerajaan amat lemah dan bahaya mengancam dari setiap penjuru.

Jenderal Kao Liang mengepal tinjunya yang besar dan keras. Biarpun dia sudah bukan panglima lagi, akan tetapi dia tidak akan membiarkan para pengkhianat memberontak. Kalau terjadi hal itu, dia akan membantu negara dan akan membersihkan para pemberontak! Demikian tekad hatinya.

Akan tetapi dia harus menyelamatkan keluarganya dulu, membawa mereka ke kampung halamannya dimana mereka akan hidup tenteram. Setelah itu, dia akan bebas berbuat apa saja, dan dia akan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi di kota raja.

“Ayah, sungguh mengherankan sekali, mengapa Cio-ciangkun belum juga kembali dari mencari air,”

Tiba-tiba Kok Tiong berkata dan memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut karena pemuda ini merasa tidak enak hati. Sudah hampir setengah jam kepala pengawal she Cio itu pergi mencari air bersama lima orang anak buahnya, namun belum juga kembali.

“Mungkin sukar mencari air di sini,” kata Jenderal Kao Liang.

“Akan tetapi, belum lama tadi rombongan kita melewati sebuah sumber air, dan untuk pergi mengambil air ke sana makan waktu sebentar saja,” bantah Kok Tlong.

“Hemmm, kalau begitu suruh wakilnya pergi menyusu!”

Kok Tiong lalu mencari wakil kepala pengawal dan wakil ini segera mengajak dua orang anak buahnya untuk pergi menyusul atau mencari komandan Cio yang sejak tadi pergi mencari air. Kok Tiong yang sudah mulai bercuriga itu menanti dengan hati tegang. Sampai setengah jam kemudian, wakil itu pun belum juga kembali, demikian pula Cio ciangkun belum juga kembali.

“Ayah, saya khawatir terjadi sesuatu dengan mereka,” Kok Tiong berkata dan kini Jenderal Kao juga mulai merasa curiga. “Biar saya pergi membawa pasukan pengawal untuk mencari mereka.”

Jenderal Kao Liang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
“Jangan! Kalau benar ada terjadi sesuatu yang tidak beres, jelas bahwa fihak sana hendak memecah belah kita. Agaknya selagi kita bersatu mereka tidak berani turun tangan, maka kalau kau pergi membawa pasukan, berarti siasat mereka untuk memecah kekuatan kita berhasil.”

Kok Tiong mengangguk-angguk, diam-diam kagum akan kecepatan pikiran ayahnya dalam menghadapi keadaan yang mencurigakan itu.

“Lalu bagaimana baiknya, Ayah? Ibu juga sudah menaruh curiga dan tadi sudah beberapa kali menanyakan mengapa pengawal-pengawal yang pergi mencari air belum juga kembali.”

“Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan saja, selain untuk keluar dari hutan ini, juga agar ibumu tidak menjadi gelisah. Siapkan semua pasukan pengawal, dan kau wakili Cio-ciangkun.”

Kok Tiong, dibantu oleh Kok Han adiknya, cepat melakukan perintah ayahnya dan tak lama kemudian berangkatlah rombongan itu dikawal oleh pasukan pengawal yang kini berkurang dengan sembilan orang jumlahnya.

Malam sudah agak larut, sudah hampir tengah malam, bulan sudah berada di atas kepala dan tak lama kemudian rombongan ini sudah mulai tiba di pinggir hutan karena pohon-pohon sudah mulai jarang.

Cuaca makin terang karena pohon-pohon tidak sebanyak tadi, kanan kiri lorong tidak selebat tadi. Akan tetapi karena peristiwa menghilangnya sembilan orang itu membuat semua orang merasa curiga dan tegang, mereka melakukan perjalanan dengan diam-diam dan suasana menjadi sunyi bukan main, yang terdengar hanya daun-daun kering terinjak kaki dan napas pemikul tandu.

Tiba-tiba semua orang terkejut dan Jenderal Kao cepat membuka tirai tandunya dan mengulurkan tangan ke luar sambli berseru,

“Berhenti....!”

Tanpa komando sekalipun, semua orang memang sudah berhenti dengan kaget karena mereka semua mendengar suara hiruk-pikuk, teriakan-teriakan bising seperti suara banyak orang sedang bertempur di luar hutan itu.

Jenderal Kao Liang sudah meloncat ke luar dari tandunya dan memberi isyarat dengan tangan agar semua pasukan pengawal berkumpul, mengelilingi tandu-tandu yang dikumpulkan di situ dan siap siaga. Semua pengawal mencabut golok masing--masing dan berjaga-jaga dengan hati penuh ketegangan.

Akan tetapi tentu saja mereka tidak merasa takut, karena di situ terdapat Jendera Kao Liang dan dua orang puteranya. Bagi para pengawal itu, lebih baik langsung menghadapi musuh daripada keadaan penuh rahasia seperti lenyapnya sembilan orang kawan mereka tadi.

“Ayah, biar saya pergi menyelidiki.” kata Kok Tiong.

“Saya akan menemani Tiong-ko,” kata pula Kok Han.

Jenderal Kao Liang menggeleng kepalanya.
“Jangan, kita tunggu saja di sini. Kita sudah kehilangan sembilan orang pembantu, sebaiknya kita bersatu menghadapi musuh. Biarkan mereka menyerang, kita siap saja menyambut, akan tetapi lebih dulu biar aku yang bicara dengan pemimpin musuh.”

Dua orang pemuda itu tidak membantah, akan tetapi menanti di situ sambil mendengarkan suara pertempuran yang tidak kelihatan itu menegangkan hati juga. Di dalam hati Jenderal Kao Liang sendiri, timbul berbagai pertanyaan. Dia merasa yakin bahwa pertempuran yang terjadi di luar hutan itu tentu ada hubungannya dengan lenyapnya Cio-ciangkun dan delapan orang anak buahnya, akan tetapi apa yang terjadi sesungguhnya dia tidak dapat memastikan.

Apakah pertempuran di luar hutan itu hanya merupakan pancingan belaka? Apakah memang ada golongan hitam yang mengincar rombongannya? Sebagai seorang bekas panglima besar yang pensiun dan kini menuju ke kampung halamannya, tentu saja rombongannya membawa harta benda yang cukup banyak. Mungkin saja ada golongan hitam yang memang mengincar dan hendak merampas harta yang dibawa rombongannya. Ataukah Cio ciangkun dan anak buahnya yang menghilang itu mungkin berkhianat dan bersekongkol dengan golongan hitam? Mereka itu telah menjadi korban dan tewas oleh golongan hitam, ataukah diam-diam bersekongkol dengan mereka? Dan siapa yang bertempur di luar hutan itu?

Tiba-tiba saja, seperti terdengar tadi, suara hiruk-pikuk pertempuran itu berhenti. Berhenti sama sekali dan tidak terdengar suara sedikit pun. Suasana kembali menjadi sunyi. Bahkan terasa jauh lebih sunyi daripada tadi sebelum ada suara pertempuran. Kini sunyi yang menyeramkan. Beberapa orang pengawal menggigil, sebagian karena dingin hawa malam itu, sebagian besar pula karena merasa seram.

Memang amat menyeramkan kesunyian tiba-tiba itu setelah tadi mereka dicekam ketegangan suara pertempuran di luar hutan. Jenderal Kao menanti sejenak, khawatir kalau-kalau fihak musuh memang sengaja memancing dan hendak menjebak. Akan tetapi sampai lama tidak terdengar suara apa pun dan kini daun-daun mulai berkelisik karena mulai tengah malam itu angin menggugah daun-daun pohon yang tadinya tidur.

Setelah ternyata benar-benar tidak terdengar lagi suara, Jenderal Kao lalu memanggil Kok Han, puteranya yang bungsu,

“Kok Han, kau bawa sepuluh orang perajurit pengawal dan selidiki di luar hutan depan itu. Akan tetapi jangan melibatkan diri dalam pertempuran. Kalau ada penyerangan, tarik kembali pasukanmu ke sini.”

“Baik, Ayah.”

Kok Han lalu mengajak sepuluh orang pengawal, berindap keluar dari tempat itu menuju ke tempat dari mana tadi terdengar suara pertempuran, yaitu di sebelah depan. Jenderal Kao Liang tidak mengutus puteranya yang lebih besar karena penjagaan di situ lebih penting diperkuat daripada rombongan penyelidik itu.

Kao Kok Han membawa sepuluh orang pengawal keluar dari hutan dan tak lama kemudian tibalah dia di tempat pertempuran tadi, di luar hutan. Akan tetapi tidak kelihatan seorang pun manusia di situ. Yang ada hanya bekas-bekas pertempuran yang agaknya memang hebat dan seru.

Beberapa batang pohon roboh dan darah berceceran di mana-mana, akan tetapi tidak ada sebuah pun mayat tampak di situ. Sungguh mengherankan sekali, seolah-olah yang melakukan pertempuran tadi bukan manusia, melainkan setan-setan dan siluman-siluman penghuni hutan dan yang kini semua telah menghilang kembali.

Setelah memeriksa dengan teliti, Kok Han lalu mengajak pasukan kecil itu kembali ke dalam hutan menghadap ayahnya. Jenderal Kao Liang juga merasa terheran-heran mendengar pelaporan puteranya itu.