FB

FB


Ads

Kamis, 19 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilild 141

Milana telah meloncat turun disusul oleh Bun Beng yang sudah berhasil menyelamatkan Raja Bhutan. Kini giliran Syanti Dewi dipondong oleh Milana, dan dilindungi oleh Gak Bun Beng yang membantu Jayin naik pula ke tembok benteng.

Berkat perlindungan Bun Beng, semua anak panah dari bawah dapat diruntuhkan dan akhirnya mereka semua berhasil tiba di atas benteng dengan selamat. Sorak sorai gemuruh menyambut kedatangan Raja, puteri dan Panglima Jayin di atas benteng dan bangkitlah semangat semua prajurit Bhutan, apalagi setelah menyaksikan kelihaian Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Malam itu juga Sri Baginda lalu mengajak dua orang tamu agungnya itu berunding, dan pimpinan bala tentara diserahkan kepada Puteri Milana yang memang ahli dalam soal perang. Panglima Jayin menjadi pembantunya dan Milana lalu mengatur bagaimana penjagaan harus dilakukan menghadapi pengepungan pihak musuh.

Dia juga minta kepada Panglima Jayin agar melepas mata-mata dan penyelidik untuk mengetahui keadaan musuh, di bagian mana adanya pengepungan yang paling kuat dan di mana pula yang paling lemah, berapa banyak adanya kekuatan musuh dibandingkan dengan kekuatan sendiri.

Kerajaan Bhutan adalah sebuah kerajaan yang beragama Buddha, maka banyak pendeta Buddha yang bertugas di istana. Mereka ini oleh Milana dimanfaatkan untuk menghibur para penduduk kota raja, dan juga semua laki-laki yang berada di kota raja diharuskan ikut pula menjadi tentara sukarela, sedangkan yang wanita diharuskan mengatur agar ransum yang terdapat di kota raja dapat dihemat pemakaiannya. Pendeknya, segala persiapan untuk menghadapi musuh yang telah mengurung benteng kota raja dipersiapkan dengan teliti oleh Puteri Milana dan diatur malam hari itu juga.

Ternyata berita bahwa Raja Bhutan dan puterinya secara luar biasa malam tadi dapat menyelundup ke dalam kota raja, terdengar pula oleh Tambolon yang kehilangan seorang pembantu cakap yang semalam tewas ketika berusaha menghalangi Bun Beng dan raja liar ini menjadi marah bukan main.

Dia sendiri lalu memimpin pasukan-pasukannya, mendekati pintu gerbang utama dan berteriak-teriak menantang perang kalau Raja Bhutan tidak mau menyerahkan puterinya. Tentu saja Sang Puteri itu hanya untuk menjadi alasan saja, sedangkan tentu saja Tambolon sebetulnya ingin menguasai Bhutan!

Dari atas menara benteng, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, juga Panglima Jayin dan para panglima lain, memandang ke bawah. Mereka melihat bahwa Tambolon masih disertai dua orang pembantunya yang setia, yaitu Si Petani Maut Liauw Ki, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, di samping ada pula di situ Hek-tiauw Lo-mo.

Dan biar pun tidak nampak, Milana dan Gak Bun Bung dapat menduga bahwa tentu guru dari Tambolon, Nenek Durganini yang akhir-akhir ini selalu muncul membantu muridnya, ada pula diantara barisan musuh itu.

Karena pihak musuh menantang untuk mengadakan perang terbuka di luar tembok kota raja, tentu saja pihak Kerajaan Bhutan tidak dapat menolak, maka Gak Bun Beng sendiri bersama Panglima Jayin dan beberapa orang panglima memimpin pasukan keluar dari pintu gerbang untuk menyambut musuh. Puteri Milana yang memimpin pertahanan itu tetap berada di menara benteng untuk melihat keadaan dan mengatur kendali gerakan barisan Bhutan dari tempat tinggi itu.

Beberapa orang Panglima Kerajaan Bhutan maju berkuda, disambut oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Dalam puluhan jurus saja para Panglima Bhutan ini roboh dari kuda mereka. Panglima Jayin dengan marah, setelah mendapat perkenan Gak Bun Beng, maju sendiri. Dia menangkan beberapa orang panglima musuh, akan tetapi ketika berhadapan dengan Lauw Ki Si Petani Maut, baru bertempur dua puluh jurus saja pundaknya sudah terpukul pikulan dan kalau dia tidak cepat mengundurkan diri tentu akan tewas pula!

Bun Beng menjadi penasaran dan marah. Majulah pendekar ini dan segera dia dikeroyok dua oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Akan tetapi, dengan mudah saja Bun Beng mempermainkan mereka.

Bahkan ketika Hek-tiauw Lo-mo yang kini tahu-tahu sudah bergabung dan membantu Tambolon itu maju pula mengeroyok, tetap saja Gak Bun Beng mengamuk hebat dan membuat Hek-tiauw Lo-mo sendiri terdesak hebat. Ketua Pulau Neraka itu terkejut bukan main. Apalagi ketika beberapa kali dia mengadu tenaga, dia memperoleh kenyataan betapa pendekar ini memiliki tenaga Hui-yang Sin-kang, Swat-im Sin-kang dan juga tenaga mujijat Inti Bumi!

“Kau siapakah?” bentaknya berulang-ulang.

Sudah banyak dia bertemu lawan lihai, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang yang memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Pulau Neraka sedemikian sempurnanya, seolah-olah Pendekar Super Sakti sendiri!






“Hemm, Hek-tiauw Lo-mo. Engkau merendahkan nama Pulau Neraka dengan menjadi antek dari Tambolon si pemberontak!”

Gak Bun Beng berseru sambil menangkap sambaran pikulan yang dipukulkan oleh Liauw Ki, kemudian sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara “krakkk!” dan pikulan itu pun patah-patah. Tentu saja Liauw Kui menjadi pucat dan meloncat mundur.

“Namaku adalah Gak Bun Beng.”

Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Pernah dia mendengar nama ini.
“Apamukah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”

“Beliau boleh dibilang adalah guruku!”

Bun Beng memutar tubuh dan dorongan telapak tangannya membuat Yu Ci Pok terpental dan terhuyung-huyung.

Pada saat itu, Milana yang melihat Bun Beng dikeroyok dan melihat betapa sudah tiba saatnya memberi perintah menyerbu, mengisyaratkan kepada peniup terompet tanduk binatang. Terdengarlah perintah penyerbuan ini dan dipimpin oleh Jayin yang terluka pundaknya, menyerbulah bala tentara Bhutan dan terjadilah perang campuh yang hebat.

Gak Bun Beng kini bertanding dengan hebat melawan Hek-tiauw Lo-mo. Tidak ada orang dari kedua pihak yang berani mendekati dua orang ini, karena sambaran hawa pukulan dari tangan mereka sedemikian hebatnya sehingga dalam jarak dua meter saja orang yang terkena hawa pukulan bisa roboh dan tewas.

Hek-tiauw Lo-mo mainkan sebatang tombak tulang ikan yang ampuh, akan tetapi dengan tenang Gak Bun Beng yang masih bertangan kosong itu menghadapinya. Tombak tulang ikan itu ditangkisnya begitu saja dengan kedua tangannya dan dalam pertandingan mati-matian selama lima puluh jurus lebih, akhirnya Bun Beng berhasil memukul tombak itu sehingga patah menjadi empat potong!

“Keparat!”

Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah dan dia mencabut senjatanya yang lebih mengerikan lagi, yaitu sebatang golok gergaji yang amat tebal dan berat. Dengan penasaran dia menyerang mati-matian, namun Gak Bun Beng dapat menghindarkan diri dengan gesit dan tubuhnya berkelebatan diantara gulungan sinar golok.

“Mampuslah!”

Tiba-tiba Hek-tiauw Lomo berseru, tangan kirinya terbuka dan segumpal uap tipis menyambar. Bun Beng terkejut karena tahu-tahu dirinya telah tertutup oleh sehelai jala tipis sekali yang ternyata amat kuat karena betapa pun dia meronta, dia tidak mampu membebaskan diri dari jala tipis itu.

“Ha-ha-ha, baru kau tahu kelihaian Hek-tiauw Lo-mo!” Ketua Pulau Neraka itu tertawa, goloknya bergerak menyambar.

“Haiiit....!”

Gak Bun Beng mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergulingan dan Hek-tiauw Lo-mo tidak kuat mempertahankan tali jalanya yang ikut terbawa bergulingan. Kembali Gak Bun Beng mengeluarkan lengking panjang, terdengar suara keras dan.... jala itu putus-putus semua dan si pendekar sakti meloncat keluar dari dalam jala.

Hek-tiauw Lo-mo terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang mampu membebaskan diri dari jalanya. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng sudah memiliki tingkat yang amat tinggi dalam pengerahan tenaga sakti. Tadi pendekar ini mengerahkan seluruh tenaganya dengan tenaga Hui-yang Sin-kang (Tenaga Inti Api) yang amat panas dan ternyata jala itu kalah oleh hawa panas yang mujijat ini sehingga dapat dibikin putus.

Dengan marah Gak Bun Beng meloncat dan menerjang, kedua tangannya bergerak dengan pukulan yang didasari dua tenaga yang berlawanan, yaitu tenaga Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang.

“Trakkk....!”

Golok gergaji itu pun patah terpukul telapak tangan kanan Bun Beng dan pada saat itu, tangan kiri Hek-tiauw Lo-mo melakukan pukulan dengan ilmu keji Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Inilah kesalahan Hek-tiauw Lo-mo. Kalau dia mempergunakan ilmu keji ini terhadap lawan lain, biasanya dia berhasil baik, dan bahkan Ceng Ceng pernah menderita hebat oleh pukulan keji ini.

Akan tetapi dia berhadapan dengan Gak Bun Beng, seorang pendekar sakti yang selain telah memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, juga memiliki pengalaman yang luas, maka Bun Beng cepat menerima pukulan itu dengan telapak tangan sambil mengerahkan Swat-im Sin-kang.

Ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat dingin ini selain kuat juga amat baik untuk menghadapi pukulan-pukulan lawan yang beracun, karena hawa beracun membeku begitu bertemu dengan Tenaga Inti Salju ini.

“Desss....!”

Hek-tiauw Lo-mo memekik dan tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Pada saat itu, Tambolon menerjang maju dengan pedangnya disertai dua orang pembantunya.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar tiupan terompet dari atas menara, tanda bahwa pasukan Bhutan harus mundur dan masuk kembali ke dalam benteng. Mendengar ini, Gak Bun Beng terkejut dan cepat dia pun mengatur pasukan itu bersama Jayin untuk mundur, meninggalkan pasukan musuh yang mengejar sambil bersorak-sorak.

Akhirnya semua pasukan dapat ditarik ke dalam benteng dan pintu gerbang segera ditutup rapat dan penjagaan dilakukan ketat, anak panah dan batu-batu dihujankan keluar sehingga pihak musuh yang mengejar terpaksa mundur kembali.

Bun Beng segera menemui Puteri Milana. Puteri ini merasa agak gelisah karena ternyata bahwa pihak lawan amat kuat. Tadi dia menarik pasukan karena selagi pasukan induk berperang di luar, di empat penjuru benteng pihak musuh berusaha menyerbu. Maka terpaksa dia menarik pasukan dan memperkuat penjagaan sehingga usaha penyerbuan dari empat penjuru dapat digagalkan dengan menghujankan anak panah dan batu-batu.

Ketika dicacahkan, dalam perang tadi ada seperempat bagian pasukan yang tewas atau tertawan musuh. Biarpun pihak musuh juga banyak kehilangan pasukan, akan tetapi tetap saja jumlah mereka masih amat banyak, dan Tambolon tentu masih dapat mendatangkan bala bantuan dari luar, sedangkan pihak Bhutan sudah terkurung dan tidak dapat mengharapkan bantuan dari mana pun karena Kerajaan Ceng di timur terlalu jauh letaknya, sedangkan negara-negara tetangga tidak ada yang mau mencampuri urusan itu. Sayang bahwa Kerajaan Bhutan tidak pernah berhubungan terlalu baik dengan Tibet, kalau tidak, tentu Tibet dapat membantu mereka.

“Besok harus ada penentuan,” Puteri Milana berkata ketika mereka berunding. “Kalau dibiarkan musuh mengepung lebih lama, tentu mereka akan dapat memperkuat keadaan, mendatangkan bala bantuan dan hal itu akan berbahaya sekali. Yang penting, Tambolon harus dapat ditewaskan. Dialah yang menjadi biang keladi. Kalau tidak ada orang yang mempunyai wibawa dan pengaruh besar diantara suku-suku bangsa petualang itu, pasti persatuan mereka akan membuyar.”

“Akan tetapi, kekuatan pasukan kita kalah banyak”, Gak Bun Beng berkata.

“Karena itu, besok kita harus mengerahkan semua tenaga dan besok kita memberi isyarat kepada Panglima Sangita dan Tek Hoat agar mereka menyergap dan memecah kekuatan dan perhatian musuh.”

“Bagaimana dengan siasat kita semula yang telah kita bicarakan dengan Tek Hoat?”

Bun Beng mengingatkan kepada kekasihnya dan juga sumoinya itu. Milana tersenyum.

“Malam nanti, menjelang pagi, siasat itu boleh dilaksanakan. Dan pagi-pagi sekali, selagi mereka kacau-balau, kita menyerbu. Mudah-mudahan saja sergapan selagi mereka kacau itu akan mampu menghancurkan jumlah mereka yang lebih besar.”

Malam itu sunyi. Pihak musuh memang beberapa kali mencoba untuk menerobos melalui berbagai jurusan, namun karena penjagaan dilakukan ketat sekali, semua usaha mereka gagal dan banyak diantara mereka yang menjadi korban anak panah dan batu-batu yang disambitkan dari atas.

Mereka berusaha melepas anak panah berapi ke dalam kota raja melalui tembok benteng, akan tetapi tembok itu terlalu tinggi dan usaha membakar kota raja itu dapat digagalkan oleh regu-regu pemadam kebakaran yang memang sudah dipersiapkan oleh pihak Bhutan sebelumnya.

Malam itu, para pimpinan di Bhutan tidak ada yang tidur, hanya mengaso sambil duduk di tempat masing-masing. Lewat tengah malam, menjelang pagi, Puteri Milana dan Gak Bun Beng keluar dari kamar dan dua orang sakti ini lalu mementang gendewa.

Terdengar tali gendewa menjepret dan tampaklah beberapa kali sinar kemerahan meluncur di angkasa seperti bintang-bintang pindah tempat. Itulah isyarat yang mereka berikan kepada Tek Hoat dan pasukannya untuk mulai dengan siasat mereka, untuk turun tangan.

Sesudah itu mereka menanti. Tidak lama kemudian, menjelang pagi, mulailah terdengar keributan di bawah sana, di luar tembok kota raja dan mulailah nampak api besar bernyala-nyala dan asap di dalam sinar api merah membubung ke angkasa. Makin lama makin banyaklah api yang mengamuk, kemudian terdengar teriakan-teriakan dan suara perang di antara api dan di waktu menjelang pagi itu. Pasukan pengawal istimewa yang dipimpin oleh Tek Hoat dan Sangita telah mulai bergerak! Puteri Milana tersenyum memandang keluar.

“Pemuda itu memang hebat,” bisiknya lirih akan tetapi cukup terdengar oleh Bun Beng.

“Tidak mengecewakan menjadi cucu tiri Suhu....”

Kata pula Bun Beng dan mereka bersiap-siap bersama para penglima untuk menyerbu ke luar bersama pasukan mereka begitu saatnya tiba.

**** 141 ****