FB

FB


Ads

Kamis, 19 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 147

Rakyat dan para perajurit semua juga berpesta pora merayakan kemenangan itu. Suasana Kerajaan Bhutan gembira bukan main, sungguhpun harus diakui bahwa banyak pula yang menangis dan dilanda kedukaan hebat karena kematian suami, anak atau ayah yang menjadi perajurit Bhutan dan gugur dalam perang itu. Akan tetapi suara tangis mereka tenggelam dan hanyut oleh arus kegembiraan dari kota raja yang merayakan kemenangan.

Demikianlah adanya perang dan akibat-akibatnya! Di mana pun di bagian dunia ini, dan di jaman apapun! Para korban perang yang membantu terlaksananya kemenangan, terlupa oleh yang merayakan kemenangan, oleh yang mengecap keuntungan dalam kemenangan perang. Kalaupun para korban itu diingat oleh mereka, hal ini hanya sekilas saja, sekedar hiburan bagi keluarga si korban, atau lebih tepat, sebagai penonjolan dari yang merayakan kemenangan bahwa mereka itu tidak melupakan para korban, sungguhpun yang dikatakan tidak lupa itu hanya untuk satu kali setahun, dan itu pun hanya beberapa menit saja, lalu tidak diperdulikan lagi sama sekali sampai saatnya diperingati!

Perang merupakan bukti betapa busuknya si aku mementingkan diri pribadi, secara keji mempergunakan manusia-manusia lain, kalau perlu mengorbankan laksaan nyawa manusia lain, demi untuk mencapai cita-cita yang tak lain tak bukan hanyalah merupakan pengejaran sesuatu yang menguntungkan diri pribadi lahir maupun batin. Perang merupakan bukti pula betapa bodohnya manusia, dipermainkan oleh slogan-slogan kosong, seperti sekelompok ikan memperebutkan umpan tidak tahu bahwa di dalam umpan tersembunyi maut!

Di dalam kesempatan berpesta-pora ini, Pendekar Super Sakti mendengar semua penuturan Milana tentang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Tanpa menyembunyikan sesuatu, Milana menuturkan tentang kepatahan hati dua orang pemuda Pulau Es itu.

“Aku kasihan sekali kepada mereka, Ayah. Kian Lee jatuh cinta kepada Ceng Ceng, dan ternyata kemudian bahwa Ceng Ceng adalah keponakan sendiri karena gadis itu adalah putera Wan Keng In dan Lu Kim Bwee.”

Pendekar Super Sakti Suma Han memandang ke arah Ceng Ceng yang duduk menyendiri dengan wajah muram. Dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu, mula-mula di rumah makan ketika dia dan isterinya Lulu tiba di tempat itu dalam usaha mereka mencari putera mereka. Kiranya gadis yang kemudian melakukan perjalanan bersamanya itu adalah puteri Wan Keng In! Dengan demikian, Lulu telah menolong cucunya sendiri di dalam rumah makan itu! Lalu dia teringat akan Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti menghela napas panjang. Ternyata buah perbuatan Wan Keng In masih terasa sampai sekarang!

“Tidak perlu dikasihani, Milana. Kalau dia melihat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakan sendiri, mengapa dia harus patah hati? Dan bagaimana dengan Kian Bu?”

“Bu-te lebih parah lagi, Ayah. Dia jatuh hati kepada Syanti Dewi, akan tetapi agaknya Puteri Bhutan itu tidak membalas cintanya karena puteri itu agaknya jatuh hati kepada Tek Hoat.”

Puteri Milana mengerling dan Suma Han juga melihat betapa mesra puteri itu di dalam pesta melayani Tek Hoat yang duduk di samping Raja Bhutan dan permaisuri!

“Hemm, cinta yang menuntut balasan, kalau tidak dibalas lalu patah hati bukanlah cinta namanya....” Suma Han berkata lirih seperti kepada diri sendiri. “Kepatahan hati itu adalah salahnya sendiri, timbul dari iba diri. Di mana kiranya dia sekarang?”

“Aku tidak tahu, Ayah.”

“Biarlah, aku akan mencarinya. Dan engkau sendiri, Milana. Bagaimana engkau bisa berada di sini tanpa suamimu? Dan apa artinya ucapanmu bahwa suamimu telah tewas?”

Puteri Milana menekan perasaannya agar jangan sampai dia menangis di dalam pesta itu. Kemudian, dengan hati-hati dan lirih berceritalah dia tentang keadaannya dengan Han Wi Kong, betapa mereka itu menikah tanpa cinta kasih di pihaknya, hanya untuk memenuhi kehendak Kaisar, dan betapa Han Wi Kong telah bersikap jantan dan tidak memaksa dia memenuhi kewajiban sebagai isteri.

Kemudian tentang perbuatan Han Wi Kong yang membunuh Pangeran Liong Bin Ong sebagai tindakan “bunuh diri” untuk memberi kesempatan kepadanya berkumpul kembali dengan orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng, dan tentang surat-surat Han Wi Kong yang sengaja ditinggalkan untuk dia dan Bun Beng.

Mendengarkan semua ini, Suma Han memejamkan kedua matanya dengan alis berkerut. Milana sudah siap untuk mendengar teguran dan kemarahan ayahnya, akan tetapi setelah Suma Han membuka kembali matanya, pendekar bijaksana itu berkata perlahan,

“Nasib manusia berada di dalam tangannya sendiri, tergantung dari sepak-terjangnya sendiri dalam kehidupan. Semua pengalamanmu itu hanya menjadi bukti bahwa apa pun yang kita lakukan di dalam kehidupan ini, Milana, haruslah kita lakukan dengan cinta kasih di dalam hati. Tanpa cinta kasih, maka semua perbuatan itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan kedukaan belaka, seperti perbuatanmu menikah dengan Han Wi Kong, dan perbuatanmu bersama Bun Beng yang saling berpisah mematahkan ikatan perasaan antara kalian. Jadi sekarang, engkau dan Bun Beng....”

Milana menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
“Kami telah bersepakat untuk menghadap ke Pulau Es mohon restu dan ijin dari Ayah dan Ibu, dan karena saya telah menjadi buronan di kota raja, maka kami berdua akan pergi mengasingkan diri, entah ke mana, saya hanya akan menurut dan ikut dengan Gak-suheng....”

Suma Han mengangguk-angguk.
“Memang sebaiknya kalau kalian lebih dulu menghadap ibumu. Nah, biarlah sekarang juga aku pergi, Milana. Aku akan mencari Suma Kian Bu.”

Sebelum Puteri Milana menjawab, tampak tubuh ayahnya berkelebat dan lenyaplah pendekar itu dari tempat itu, seolah-olah menghilang begitu saja di tengah-tengah orang banyak yang sedang berpesta.

Milana maklum akan sifat ayahnya yang aneh, maka dia cepat menghadap Raja Bhutan dan mintakan maaf bahwa ayahnya telah pergi tanpa pamit karena ayahnya mempunyai urusan pribadi yang penting. Semua orang terkejut dan kagum, akan tetapi hanya mengangguk-angguk dan merasa serem melihat ada orang dapat lenyap begitu saja di tengah-tengah mereka, seperti siluman!

Tak lama kemudian, nampak Puteri Milana dan Gak Bun Beng duduk berdua menghadapi meja dan bercakap-cakap dengan mesra, berbisik-bisik karena puteri itu menceritakan kepada kekasihnya tentang reaksi ayahnya ketika mendengar pengakuannya tentang mereka.






Legalah hati Bun Beng karena tadipun, dari meja lain, dia melihat berkelebatnya gurunya itu lenyap, membuat dia khawatir sekali dan menduga bahwa pendekar itu pergi dengan marah. Kiranya tidak demikian, maka tentu saja hatinya merasa lega.

Semua orang di dalam pesta itu bergembira-ria, tenggelam dalam kebahagiaan masing-masing sehingga tentu saja melupakan orang lain. Tek Hoat yang dihujani sanjungan dan kini dilayani dengan mesra dan dengan terbuka oleh Syanti Dewi, di depan Raja dan Permaisuri Bhutan yang memandang sambil tersenyum penuh arti, tentu saja merasa bahagia sekali.

Demikian pula Syanti Dewi yang melihat betapa pria yang dicinta dan dipilihnya itu kini telah kembali dalam keadaan selamat, sebagai seorang pahlawan pula, tentu saja menjadi sangat gembira sehingga dia pun lupa akan keadaan orang lain.

Semua orang bergembira-ria, kecuali Ceng Ceng. Sebaliknya, dara ini menjadi sedih sekali karena kebahagiaan orang-orang itu mengingatkan dia akan nasib dirinya. Teringat akan Topeng Setan, satu-satunya manusia yang dicinta, dan teringat akan Kok Cu, satu-satunya manusia yang dibencinya, ternyata kedua orang itu adalah sama, dan kini mati!

Padahal, dua orang itulah yang membuat dia tadinya masih ada gairah untuk hidup di dunia yang penuh duka ini. Topeng Setan menghiburnya dan kebaikan hati Topeng Setan membuat dia jatuh cinta kepada orang yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik topeng yang amat buruk itu. Dia jatuh cinta bukan karena wajahnya, melainkan karena kebaikan yang dilimpahkan kepadanya oleh pendekar sakti itu sehingga kehadiran Topeng Setan di dalam jalan hidupnya itu menimbulkan gairah hidup yang baru.

Adapun Kok Cu yang dimusuhinya dan dibencinya karena pemuda itu telah memperkosanya, merupakan pula suatu dorongan sehingga dia tidak ingin mati dulu sebelum dan dapat membalas dendamnya. Dengan cara yang amat berlainan, bahkan dengan berlawanan, dua nama itu telah membuat dia bersemangat untuk hidup.

Akan tetapi, seperti halilintar datangnya, terbukalah kenyataan bahwa yang amat dicintanya adalah orang yang amat dibencinya, sebaliknya pula yang amat dibencinya itu ternyata adalah orang yang dicintanya, dan kini keduanya, yang sesungguhnya satu orang juga, telah mati! Apalagi yang menahannya untuk hidup di dunia penuh duka kecewa ini? Lebih baik mati saja dan rasanya mati akan jauh lebih menyenangkan daripada hidup!

Betapa banyaknya manusia di dunia ini hidup dalam duka dan kesengsaraan batin sehingga dunia ini dianggapnya sebagai tempat yang amat buruk, sebagai neraka yang amat menyiksa. Seperti juga Ceng Ceng, kita manusia selalu dirundung duka yang seribu satu macam sebabnya sehingga kita selalu haus akan kebahagiaan, selalu haus akan kesenangan dan selalu merasa bahwa di dunia ini, hanya kita sendirilah yang paling sengsara sedangkan orang-orang lain semua jauh lebih bahagia daripada kita.

Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Selama kita memperhatikan keadaan orang lain, membanding-bandingkan dengan keadaan kita, akan timbul rasa kecewa dan iri, memupuk rasa iba diri. Dan kita lupa, seperti juga Ceng Ceng, bahwa justeru kekecewaan dan kedukaan itu datang karena keinginan kita mencari yang lebih baik dan lebih menyenangkan itulah! Kita selalu menolak apa yang ada, selalu menolak kenyataan yang terjadi, membutakan mata terhadap kenyataan yang tidak menyenangkan dan mengejar-ngejar bayangan yang dianggap akan menyenangkan.

Padahal, kenyataan seperti apa adanya tidak mengandung suka maupun duka. Kenyataan apa adanya adalah kebenaran! Adapun senang atau susah bukanlah bagian dari kenyataan itu, melainkan merupakan permainan dan pikiran kita sendiri, yang selalu menonjolkan dirinya pribadi, yang selalu akan senang kalau diuntungkan lahir maupun batin, dan selalu susah, kalau dirugikan lahir maupun batin.

Pikiranlah biang keladi susah dan senang. Pikiranlah sumber segala duka dan sengsara! Dan ini merupakan suatu kenyataan, nampak dengan jelas sekali asal kita mau membuka mata dan memandang kenyataan tanpa dipengaruhi oleh segala macam pendapat, prasangka dan kesimpulan yang juga merupakan permainan dari pikiran pula.

Ceng Ceng tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan. Namun dia hendak merahasiakan semua ini, demi kebahagiaan Syanti Dewi. Dia tidak ingin mengganggu kebahagiaan kakak angkatnya itu, maka ketika Syanti Dewi teringat kepadanya dan mendatanginya, lalu menarik tangannya diajak duduk bersama satu meja dengan keluarga raja, juga bersama Puteri Milana dan Gak Bun Beng yang sudah diminta pula oleh Syanti Dewi, Ceng Ceng tidak menolak dan berusaha menyelimuti kedukaan hatinya dengan senyum manis.

Ketika Raja mengumumkan pertunanqan Tek Hoat yang masih mengaku she Ang itu dengan Puteri Syanti Dewi, semua orang menyambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, juga Ceng Ceng segera menghampiri kakak angkatnya, dipeluknya dan diciuminya Syanti Dewi sambil mengucapkan selamat. Kedua orang wanita cantik ini mengusap air mata keharuan dan Ceng Ceng lalu menghampiri Tek Hoat sambil menjura dan berkata,

“Kionghi (selamat), semoga engkau akan menjadi suami kakak angkatku yang baik.”

Tek Hoat tersenyum, menyatakan terima kasihnya dan berkata,
“Ceng Ceng, kita adalah saudara seayah, maka kita semua ternyata bukanlah orang-orang lain, bukan? Harap kau maafkan segala kesalahanku yang lalu terhadapmu.”

Ceng Ceng tidak menjawab, hanya di dalam hatinya dia masih mengkhawatirkan apakah kakak angkatnya akan bahagia kelak menjadi isteri Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang yang licik dan curang, dan jahat. Betapapun juga, dia tidak mengatakan apa-apa karena dia segera teringat akan laki-laki yang tak pernah dapat dilupakannya, biarpun telah mati itu. Topeng Setan atau Kok Cu itu, seperti juga Tek Hoat, baik atau jahatkah? Kalau dia teringat akan Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya di dalam guha, maka jelas bahwa pemuda itu amat jahat, bahkan merupakan orang yang telah menghancurkan hidupnya, menghancurkan harapannya. Sebaliknya, kalau dia teringat akan Topeng Setan, jelaslah bahwa orang itu amat baik, terlalu baik malah, telah melimpahkan budi kebaikan kepadanya, telah mengorbankan lengannya, bahkan beberapa kali hampir mengorbankan nyawa untuknya. Jadi baikkah orang itu? Atau jahatkah?

Ceng Ceng termenung. Baik atau jahat ternyata tergantung daripada penilaian kita sendiri, dan penilaian kita pun didasarkan atas kepentingan diri pribadi. Buktinya, kalau dia mengingat Kok Cu yang telah merugikan dia, maka otomatis dia menganggapnya jahat sekali. Dan kalau dia mengingat Topeng Setan yang telah menguntungkan dia, maka otomatis dia menganggapnya baik sekali. Padahal keduanya itu adalah orang yang sama!

Tentu demikian pula dengan Tek Hoat. Siapa pun orangnya yang merasa dirugikan oleh Tek Hoat, tentu akan menganggapnya jahat, sebaliknya Syanti Dewi yang tentu telah menerima budi kebaikan dari Tek Hoat seperti dia menerimanya dari Topeng Setan, tentu saja menganggap Tek Hoat sebaik-baiknya manusia!

Ceng Ceng menghela napas panjang. Kenyataan yang membuka matanya lahir batin ini membuat dia menjadi muak akan kepalsuan manusia, akan kepalsuan dirinya sendiri. Setiap orang selalu menginginkan yang menguntungkan dan menyenangkan bagi dirinya sendiri saja, dan menolak yang merugikan atau tidak menyenangkan, maka timbullah suka dan tidak suka, timbullah cinta dan benci, timbullah puas, dan kecewa dan kesemuanya itu tentu saja mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan.

Syanti Dewi yang sedang tenggelam dalam kegembiraan itu kini mulai memperhatikan Ceng Ceng. Biarpun adik angkatnya itu kelihatan tersenyum-senyum dan ikut pula berpesta, namun wajahnya pucat dan matanya muram, jelas kelihatan oleh Syanti Dewi betapa kegembiraan Ceng Ceng hanyalah pura-pura belaka untuk menyembunyikan kedukaan yang amat besar.

Perang hebat terjadi di dalam batin Ceng Ceng. Di satu pihak dia menderita pukulan batin yang membuatnya amat berduka teringat kepada Topeng Setan, ditambah menyaksikan kemesraan antara Tek Hoat dan Syanti Dewi, dan pada lahirnya dia memaksa diri untuk ikut bergembira. Arak yang manis diminumnya terasa pahit, semua hidangan yang lezat terasa seperti racun di lidahnya. Dia berusaha menahan-nahan diri, akan tetapi makin diingat makin hebatlah tekanan yang menghimpit batinnya. Akhirnya dia mengeluh dan roboh terguling dari tempat duduknya.

“Adik Candra....!” Syanti Dewi menjerit.

“Ceng Ceng, kau kenapa....?”

Tek Hoat juga berseru dan cepat pemuda ini melompat dan memondong tubuh Ceng Ceng yang pingsan, dibawanya masuk bersama Syanti Dewi dan diikuti pula oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Puteri Milana dan Gak Bun Beng cepat memeriksa keadaan Ceng Ceng, dan keduanya saling pandang, lalu Puteri Milana berkata kepada Syanti Dewi,

“Biarkan dia beristirahat. Dia mengalami tekanan batin....”

Lalu dia bersama Bun Beng keluar dari dalam kamar itu, diikuti pula oleh Tek Hoat yang membiarkan Syanti Dewi sendiri menemani Ceng Ceng yang masih rebah pingsan.

Sri Baginda sendiri juga berkenan menengok, dan Sri Baginda lalu bertanya kepada calon mantunya apa yang terjadi dengan diri Ceng Ceng, adik angkat puterinya itu. Dengan halus Tek Hoat melaporkan bahwa Ceng Ceng kelelahan dan perlu beristirahat. Sedangkan Milana sendiri berkata lirih kepada Bun Beng,

“Heran sekali apa yang menyebabkan dia begitu tertekan batinnya?”

“Dan aku pun heran ke mana perginya Topeng Setan yang dulu selalu menemaninya? Sayang Suhu tidak bercerita apa-apa sehingga kita tidak tahu bagaimana Ceng Ceng sampai berpisah dari Topeng Setan dan tahu-tahu datang bersama Suhu.”

Mereka menduga-duga, akan tetapi tidak dapat mengerti apa sebabnya dara itu sampai menderita pukulan batin demikian hebatnya, yang dapat mereka ketahui dari pemeriksaan mereka tadi.

Untuk menghormati perayaan kemenangan itu, Milana, Bun Beng, dan Tek Hoat sendiri melanjutkan kehadiran mereka dalam perayaan sungguhpun hati mereka tidak dapat melupakan keadaan Ceng Ceng. Hanya Syanti Dewi saja yang tidak muncul lagi karena puteri ini menjaga sendiri adik angkatnya dengan hati gelisah.

Malam itu pesta dilanjutkan dengan meriah. Beberapa kali secara bergantian, Tek Hoat, Milana, dan Bun Beng menengok keadaan Ceng Ceng yang masih saja rebah seperti tidur pulas dalam keadaan tidak sadar.

Bun Beng menyalurkan tenaga sin-kang yang kuat dan halus untuk membantu gadis dan memperkuat jantungnya, kemudian dia pun keluar sambil memesan kepada Syanti Dewi bahwa apabila Ceng Ceng sadar, biarkan gadis itu menangis sepuasnya karena keadaan Ceng Ceng itu hanya akan terbebas dari bencana kalau gadis itu dapat menangis atau menyalurkan beban yang menekan batinnya dengan menceritakan kepada orang lain yang dipercayanya. Syanti Dewi mengangguk dengan air mata berlinang.

Dalam keadaan tidur atau setengah pingsan itu Ceng Ceng mengigau, tubuhnya mulai panas. Syanti Dewi memperhatikan dengan gelisah dan menjadi bingung melihat sikap Ceng Ceng dalam igauannya. Kadang-kadang gadis itu memaki-maki nama “Kok Cu”, dan kadang-kadang dia memanggil-manggil “Topeng Setan” dengan mesranya.

Menjelang tengah malam, Ceng Ceng membuka mata dan tiba-tiba meloncat bangun sambil menjerit,

“Kau telah mati....!”

Akan tetapi karena tubuhnya lemah dan kepalanya pening, hampir saja dia terguling kalau tidak cepat-cepat dirangkul oleh Syanti Dewi.

“Candra.... adikku.... ingatlah, aku siapa....?”

Syanti Dewi yang merangkul itu berbisik dengan suara parau dan air matanya mengalir di kedua pipinya.

Sejenak sepasang mata Ceng Ceng yang muram itu menatap wajah Syanti Dewi seperti yang tidak mengenalnya, tatapan pandang mata yang kosong seolah-olah di balik sinar mata muram itu tidak ada semangatnya lagi. Syanti Dewi merasa seperti ditusuk jantungnya melihat tatapan pandang mata ini.

“Candra Dewi.... adikku.... kau.... kau kenapa....?” Dia merangkul lagi, menciumi pipi yang pucat seperti mayat itu.

Akhirnya Ceng Ceng sadar.
“Enci Syanti....!”

Dia merintih dan menangislah Ceng Ceng dalam pelukan Syanti Dewi, menangis sesenggukan akhirnya mengguguk dan air matanya mengalir seperti air bah membobol bendungannya. Syanti Dewi juga menangis, akan tetapi menangis dengan hati lega karena dia teringat akan pesan Bun Beng bahwa tangis akan membebaskan Ceng Ceng dari ancaman bahaya.

Maka dia merangkul dan membiarkan Ceng Ceng menangis sepuasnya. Setelah agak reda tangis adik angkatnya itu, dia lalu mengambil saputangannya dan menyusuti air mata Ceng Ceng dari pipinya, menyusuti muka yang pucat itu.

“Adikku.... adikku yang baik, kenapa kau begini berduka? Ceritakanlah kepada encimu ini dan aku bersumpah demi langit dan bumi, aku akan membantumu dengan seluruh kekuasaanku untuk melenyapkan ganjalan hatimu, Candra.”

“Ohh, Enci Syanti....”

Ceng Ceng kembali menyembunyikan mukanya di pundak puteri itu. Bagaimana dia akan dapat menceritakan persoalannya itu kepada orang lain?

“Ceritakanlah, Adikku....”

Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepala tanpa menghentikan tangisnya.

“Aihh, Candra. Kau kira aku ini siapa? Aku adalah kakakmu, tahukah kau? Lupakah engkau betapa kita bersama-sama meninggalkan Bhutan dan mengalami segala macam peristiwa hebat? Dan sekarang setelah kita bersama dapat pulang dan berkumpul lagi di sini, engkau menjadi begini. Lebih hebat lagi, agaknya engkau sudah tidak percaya lagi kepada kakakmu ini....”

“Enci Syanti....! Jangan kau berkata begitu.... jangan....” Ceng Ceng terisak, suaranya seperti orang merintih.

“Kalau begitu, kau ceritakanlah semua kedukaanmu itu kepadaku. Kita ini selain saudara angkat, juga senasib sependeritaan, kalau engkau bahagia, aku pun ikut gembira, kalau engkau sengsara, aku pun ikut berduka. Bagaimana mungkin aku akan dapat menikmati kebahagiaanku sekarang ini kalau melihat engkau sengsara, Adikku?”

Ceng Ceng memejamkan matanya. Memang tidak salah ucapan kakak angkatnya ini. Dahulu dia mempunyai kakeknya akan tetapi kini sudah tidak ada. Kemudian di dunia ini ada Topeng Setan yang dianggapnya satu-satunya orang yang paling baik dan dekat dengannya. Topeng Setan pun sudah tidak ada. Dan Syanti Dewi yang tadinya sudah terpisah dari dia dan disangkanya sudah tewas atau tertawan musuh, kini sudah kembali dan berkumpul dengan dia. Memang satu-satunya orang yang paling dekat dengan dia hanya Puteri Bhutan inilah.

Dia menarik napas panjang dan melepaskan rangkulannya.
“Baiklah, Enci Syanti. Mari kita duduk dan dengarlah ceritaku.”

Dua orang wanita muda yang cantik jelita itu duduk di atas pembaringan, saling berhadapan dan mulailah Ceng Ceng bercerita. Dia ingin menyingkat ceritanya yang amat panjang itu, hanya mengemukakan hal-hal yang membuat dia merana dan sengsara seperti yang diderita sekarang ini.

“Ketika kita saling terpisah karena perahu terguling....”

Ceng Ceng berhenti karena teringat betapa peristiwa itu terjadi gara-gara Tek Hoat yang kini menjadi calon suami puteri itu!

Syanti Dewi agaknya dapat meraba perasaan hati adik angkatnya, maka dia tersenyum dan berbisik,

“Lanjutkanlah....”

“Aku berjumpa dengan seorang pemuda yang tertawan musuh-musuhnya dan berada dalam sebuah kerangkeng. Karena kasihan kepadanya, aku melarikan dia dengan kerangkengnya, membawanya ke sebuah guha dan di situ aku membuka kerangkeng dan membebaskannya....”

Ceng Ceng berhenti lagi. Seperti tampak di depan matanya semua peristiwa itu, betapa pemuda itu dengan berkeras minta agar supaya dia tidak membebaskannya! Agaknya pemuda itu tahu bahwa dia keracunan dan akan terjadi hal yang hebat kalau sampai dia dibebaskan dari dalam kerangkeng!

“Lalu bagaimana, Adikku?” Syanti Dewi mulai tertarik oleh cerita yang dipersingkat ini.

“Setelah aku membebaskan dia.... lalu dia itu.... dia lihai sekali, dia merobohkan aku dengan totokan....”

“Ahhh....!”

“Kemudian.... kemudian.... dia memperkosaku....!”

Ceng Ceng menutupi mukanya dengan kedua tangannya seolah-olah tidak ingin melihat peristiwa yang kembali membayang di depan matanya.

“Ehhh....!” Syanti Dewi terbelalak, otomatis pandang matanya menjelahi tubuh adiknya kemudian dia bangkit berdiri di depan pembaringan, kedua tangannya dikepal dan sepasang matanya bernyala-nyala. “Dia.... dia memperkosamu? Adikku, katakan siapa jahanam itu! Aku akan menyuruh Tek Hoat mencarinya sampai dapat dan aku tidak akan mau menikah dengan dia sebelum dia dapat menyeret jahanam itu di depan kakimu! Aku juga akan mohon bantuan Paman Gak Bun Beng! Hayo katakan, siapa jahanam itu!”

Ceng Ceng menurunkan kedua tangannya, memandang puteri yang marah-marah itu dengan muka pucat, kemudian dia memegang kedua tangan puteri itu dengan perasaan berterima kasih sekali.

“Enci Syanti, ceritaku belum habis....”

Syanti Dewi duduk kembali di atas pembaringan.
“Apakah bukan peristiwa terkutuk itu yang membuatmu berduka? Kalau karena sakit hati itu, biar aku akan mengerahkan segala kemampuanku untuk membantumu membekuk jahanam itu!”

Ceng Ceng menggeleng kepalanya dengan lemas, pandang matanya muram dan sayu, lalu dia berkata,

“Aku akan melanjutkan, dengarlah, Enci Syanti. Seperti dapat kau maklumi, aku menaruh dendam kepada orang itu dan selama ini tiada hentinya aku mencari-cari dia untuk membalas sakit hatiku. Dalam perantauanku ini, aku bertemu dengan seorang lain, yaitu Topeng Setan.”

“Hemm, aku sudah mendengar tentang dia, yang kabarnya selalu membantumu dan merupakan seorang manusia ajaib dan lihai sekali yang bersembunyi di balik topengnya.”

“Benar. Dia adalah seorang manusia yang amat baik kepadaku, Enci, telah berulang kali menyelamatkan nyawaku, bahkan dia.... dia.... telah berkorban dengan lengan kirinya menjadi buntung ketika menolongku. Aku berhutang nyawa kepadanya, berhutang budi dan sudah sepatutnya kalau dia kuanggap sebagai manusia yang paling mulia di dunia ini....”

“Tentu saja! Aku pun tadinya mengalami hal seperti engkau itu dan aku sampai kini selalu menganggap Paman Gak Bun Beng sebagai seorang manusia yang paling mulia di dunia ini, tentu saja sesudah orang tuaku dan.... Tek Hoat.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk.
“Dan kemudian.... belum lama ini...., aku mendapat kenyataan yang menghancurkan seluruh perasaanku, yang membuat aku hampir gila, sebuah kenyataan yang amat hebat, Enci Syanti....” dan Ceng Ceng tak dapat menahan air matanya lagi.

Syanti Dewi memegang kedua tangan adik angkatnya.
“Kenyataan apakah, Candra? Cepat kau beritahukan kepadaku.”

“Kenyataan bahwa Topeng Setan, orang yang paling kumuliakan dan karenanya paling kucinta.... ketika topengnya terbuka.... ternyata dia.... dia.... adalah.... pemuda yang memperkosa aku dahulu....”

“Aihhhh....!” Syanti Dewi setengah menjerit dan kembali dia meloncat berdiri, mukanya menjadi pucat dan pandang matanya penuh rasa iba, lalu mulutnya komat-kamit seperti berdoa akan tetapi terdengar bisiknya. “....jadi kau.... membenci dan sekaligus mencinta orang yang sama....? Dan dia itu.... musuhmu dan sekaligus sahabatmu, pemerkosamu dan sekaligus penolongmu....? Aihhh, bagaimana ini....?”

Seperti dalam mimpi, suaranya lirih dan datar, terdengar Ceng Ceng berkata membela,
“Akan tetapi.... ketika dia memperkosaku.... dia dalam keadaan tidak sadar karena keracunan.... dan dia sudah berusaha mencegah aku membuka kerangkengnya....”

Mendengar ini, Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian merangkul adik angkatnya itu dan berkata dengan suara serius,

“Dengar baik-baik, Candra. Sekarang jawablah aku. Engkau sekarang ini, setelah semua itu terjadi, setelah semua itu lewat dan lupakan semua itu, sekarang jawablah, apakah engkau sekarang ini membencinya ataukah mencintanya?”

Ceng Ceng tertunduk lesu dan sampai lama tidak menjawab.