FB

FB


Ads

Kamis, 19 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 146

“Ceng Ceng, kau mundurlah dan jangan tolol membela Tambolon!” beberapa kali Tek Hoat berseru kepadanya.

Ceng Ceng maklum bahwa Tek Hoat membela Bhutan dan salah menduga dia menjadi kaki tangan Tambolon. Akan tetapi dia tidak peduli. Dengan Tek Hoat dia mempunyai urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Bhutan atau Tambolon, dan dia tidak mau membela diri dari tuduhan itu.

Dia tidak takut mati, bahkan kalau dia tidak dapat menangkap Tek Hoat, biarlah dia mati menyusul Topeng Setan. Coba kalau ada Topeng Setan di sisinya, Tek Hoat ini tentu tidak berani banyak lagak terhadap dirinya! Teringat akan Topeng Setan, hatinya berduka sekali dan dia menjadi makin nekat!

Tek Hoat merasa kewalahan juga ketika Ceng Ceng menyerangnya lebih hebat dan lebih nekat, seolah-olah dara itu tidak mempedulikan keselamatan dirinya sendiri.

“Ceng Ceng, jangan bodoh kau, mundurlah! Kalau tidak, terpaksa aku akan membunuhmu!”

“Sombong, keparat keji! Siapa takut mampus?”

Ceng Ceng membentak marah sekali, lalu menerjang seperti seekor singa betina menghantam kepala Tek Hoat dengan tangan kanannya.

“Plakkk....!”

Tek Hoat cepat menyambar pergelangan tangan Ceng Ceng dan ketika tangan kiri Ceng Ceng menampar, dia cepat menangkis sedemikian kuatnya sehingga pasangan kuda-kuda kaki Ceng Ceng tergempur dan saat itu digunakan oleh Tek Hoat yang masih memegang pergelangan tangan Ceng Ceng dengan tangan kirinya untuk menghantamkan tangan kanannya yang terbuka dan yang mengandung penyaluran sin-kang Inti Bumi ke arah kepala Ceng Ceng.

Hantaman ini kalau mengenai kepala dara itu tentu akan menghancurkannya dan membinasakan, karena tenaga yang terkandung amat kuatnya, cukup kuat untuk membikin remuk batu karang.

“Tek Hoat, jangan....!”

Seruan Gak Bun Beng ini dibarengi dengan dorongan tangan kiri sehingga ada hawa pukulan menyentuh punggung Tek Hoat. Pemuda ini terkejut sekali, dan sekaligus dia pun sadar akan apa yang akan dilakukannya terhadap dara yang sebetulnya amat disukanya itu, bahkan andaikata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi, besar sekali kemungkinannya dia akan jatuh cinta kepada Ceng Ceng.

Dan sekarang, karena desakan Ceng Ceng yang sudah nekat, hampir saja dia membunuh gadis ini! Dia cepat meloncat mundur dan melepaskan pegangannya sehingga Ceng Ceng terhuyung-huyung.

“Tek Hoat, apakah kau sudah gila?” Gak Bun Beng membentaknya. “Tidak tahukah engkau, Ceng Ceng, bahwa kalian sebetulnya adalah saudara-saudara seayah?”

Akan tetapi ucapan itu hampir tidak kedengaran karena pada saat itu Ceng Ceng sudah memaki-maki Tek Hoat,

“Manusia sombong, manusia curang dan jahat. Kalau.... kalau Paman Topeng Setan tidak mati.... kalau dia ada.... kau tidak akan berani menjual lagak....!”

Dan segera dara ini menangis terisak-isak karena teringat kepada Topeng Setan yang begitu baik, yang jauh sekali bedanya dengan Tek Hoat ini! Akan tetapi Tek Hoat mendengar ucapan Gak Bun Beng tadi dan dia berseru,

“Apa....? Dia.... Ceng Ceng ini.... saudaraku sendiri?”

Mendengar ini, Ceng Ceng terbelalak, lalu berjebi.
“Huh, aku saudaramu? Siapa bilang? Tak sudi aku mempunyai saudara macam engkau!”

“Ceng Ceng, jangan kau berkata demikian. Tek Hoat ini pun putera dari ayah kandungmu, Wan Keng In, hanya bedanya, kalau ibumu adalah Lu Kim Bwee, ibu Tek Hoat adalah Ang Siok Bi. Kalian masih kakak beradik, seayah.”

Tek Hoat menjadi bengong.
“Pantas....” bisiknya lirih. “Pantas aku mempunyai perasaan yang aneh terhadap dia.... aku suka sekali padanya....”

“Hah, kau suka dan baru saja engkau hendak membunuhku?” Ceng Ceng berseru marah. “Kakak macam apakah kau ini?”

“Ceng Ceng...., maafkan aku.... karena engkau begitu nekat dan kepandaianmu hebat sekali sehingga amat berbahaya....”

“Sudahlah, nanti kita bicara. Musuh masih banyak,” kata Gak Bun Beng yang sudah cepat melerai mereka. “Ceng Ceng, bagaimana kau bisa tiba di sini?”

“Saya datang bersama Locianpwe Pendekar Super Sakti.”

“Ahhh....?” Gak Bun Beng terkejut dan berseru girang. “Di mana beliau?”

Ketika Ceng Ceng menunjuk dengan jarinya ke arah perginya Pendekar Super Sakti, Bun Beng cepat pergi untuk mencari gurunya sambil berkata,

“Tek Hoat, kau harus melindungi adikmu itu.”

Setelah Gak Bun Beng pergi, dua orang muda itu saling pandang, Tek Hoat tersenyum dan wajahnya berseri karena sungguh girang hatinya mendengar bahwa gadis yang amat disukanya ini ternyata adalah adiknya! Akan tetapi Ceng Ceng tetap cemberut, masih panas hatinya teringat betapa tadi hampir saja dia dibunuh oleh Tek Hoat.

“Ceng Ceng, engkau.... engkau adikku....”

“Huh, belum tentu! Ibu kita berlainan, siapa tahu kalau-kalau aku yang lahir lebih dulu daripada engkau. Mungkin aku malah encimu!”






“Adik atau enci, pokoknya kita bersaudara, dan aku girang sekali. Eh, Ceng Ceng, aku tahu bahwa sejak kecil engkau di Bhutan, mari kita berlomba untuk membunuh Tambolon!”

Ceng Ceng hanya mengangguk karena untuk membunuh musuh besar itu, tentu saja dia tidak dapat membantah.

“Hayo ikut dengan aku!”

Tek Hoat cepat merobohkan dua orang sambil meloncat, diikuti oleh Ceng Ceng yang juga membuka jalan sambil merobohkan anak buah Tambolon. Mereka mencari-cari dan akhirnya mereka melihat Tambolon sedang mengamuk, dikeroyok oleh Panglima Jayin dan beberapa orang perwira Bhutan, akan tetapi mereka ini terdesak hebat oleh Tambolon yang mengamuk dengan kemarahan meluap-luap karena gurunya telah dilarikan oleh Kakek See-thian Hoat-su dan pasukannya telah kocar-kacir. Raja liar ini menggunakan senjata golok gagang panjang dan sepak-terjangnya dahsyat sekali.

“Ciangkun, minggirlah, biar kami berdua yang akan menghadapinya!”

Tek Hoat berseru dan melihat pemuda ini, Panglima Jayin menjadi girang dan memerintahkan para pembantunya untuk mundur. Akan tetapi dia melihat Ceng Ceng dan dengan girang sekali dia berseru,

“Sumoi....!”

Seperti kita ketahui, Panglima Jayin ini adalah murid dari mendiang kakek Lu Kiong dan sejak dahulu dia memanggil Ceng Ceng sumoi.

“Suheng, biarlah aku menghadapi raja liar itu.”

Ceng Ceng berkata sambil melompat ke depan. Panglima Jayin tentu saja meragu dan khawatir sekali karena dia tahu bahwa tingkat kepandaian sumoinya ini tidak jauh dengan tingkatnya, bahkan dia masih lebih tinggi sedikit.

Akan tetapi melihat loncatan Ceng Ceng yang seperti burung walet terbang itu, dia terkejut dan girang, maklum bahwa sumoinya itu tidak boleh dibandingkan dengan sumoinya di waktu belum meninggalkan Bhutan dahulu.

Melihat majunya Tek Hoat dan Ceng Ceng, Tambolon terkejut bukan main karena dia maklum akan kelihaian pemuda itu, dan teringat betapa dahulu nona ini pernah membebaskan diri dengan memperlihatkan tenaga mujijat, dia pun maklum bahwa nona yang telah memperoleh khasiat dari anak ular naga ini telah memiliki tenaga sakti yang juga amat hebat.

Akan tetapi karena dia sendiri percaya penuh akan dirinya sendiri, juga agar tidak menurunkan semangat anak buahnya, dia tertawa bergelak dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar bunyi “karakk!” dan gagang goloknya yang panjang itu telah dipatahkannya sehingga berubah menjadi sebatang golok gagang biasa. Kemudian tangan kirinya meraba pinggangnya.

“Singgg....!” tercabutlah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar yang mujijat dan menyeramkan.

“Ha-ha-ha, bocah perempuan setan! Engkau akan mampus di ujung pedangmu sendiri!”

Ceng Ceng terkejut dan marah ketika mengenal Ban-tok-kiam, yaitu pedang pemberian Ban-tok Mo-li yang telah dirampas dari tangannya oleh raja liar itu.

“Tambolon keparat! Aku harus membunuhmu!”

Ceng Ceng yang sudah nekat itu menubruk ke depan dengan tangan kosong, mengirim pukulan yang dahsyat. Tambolon menggerakkan pedang itu memapaki.

“Ceng Ceng, hati-hatilah....!”

Tek Hoat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang nekat itu dan cepat dia pun mengirim pukulan dahsyat ke arah Tambolon. Raja liar ini terpaksa menggunakan goloknya menyambut serangan Tek Hoat.

Tentu saja Ceng Ceng tidak membiarkan dirinya dimakan pedangnya sendiri begitu saja, tubuhnya sudah cepat mengelak dan dari bawah kakinya menyambar ganas ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi Tambolon dapat menarik tangannya dan pada saat itu, Tek Hoat yang sudah mengelak pula telah menghantam dengan pukulan jarak jauh.

“Desss....!”

Tambolon terpaksa menerima hawa pukulan itu dengan bahunya dan dia terhuyung. Bukan main kagetnya dan kini dia menggerakkan pedang dan golok itu, diputar-putar sehingga tampaklah dua sinar saling membelit dan bergulung-gulung mengelilingi tubuhnya.

“Taihiap, pakailah ini! Sumoi, pakailah senjata ini!”

Tiba-tiba terdengar Panglima Jayin berseru dan dua batang pedang melayang ke arah Tek Hoat dan Ceng Ceng yang cepat menyambarnya.

Ceng Ceng girang melihat pedang di tangannya karena dia mengenal pedang mendiang kakeknya yang dihadiahkan kepada suhengnya itu, sedangkan pedang yang diberikan kepada Tek Hoat itu pun merupakan pedang pusaka Bhutan karena pedang itu adalah pedang kebesaran tanda pangkat Jayin yang diterimanya dari rajanya. Biarpun kedua pedang itu tidak dapat dibandingkan dengan Ban-tok-kiam yang mujijat dan beracun, akan tetapi keduanya terhitung pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan.

Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, Tek Hoat dan Ceng Ceng cukup cerdik untuk mengenal keampuhan pedang Ban-tok-kiam maka mereka tidak mau mengadu pedang mereka dengan Ban-tok-kiam, akan tetapi ketika golok di tangan kanan Tambolon menyambar, seperti telah bersepakat lebih dahulu, pemuda dan gadis itu menggerakkan pedang yang menggunting dari kanan kiri.

“Krekkk!”

Patahlah golok itu dan Tambolon terpaksa meloncat mundur sambil memutar Ban-tok-kiam di tangan kirinya.

Ceng Ceng meloncat dan mengejar, diikuti oleh Tek Hoat. Keduanya mengurung dan menghimpit sehingga biarpun tangannya memegang pedang yang ampuh, tetap saja Tambolon terdesak hebat dan mulai merasa cemas.

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan muncullah dua orang lawan tangguh, yaitu Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut, dua orang pengawal pribadi dari Tambolon. Si Petani Maut telah memutar batang pikulannya dan Yu Ci Pok sudah menggerakkan siang-koan-pit secara hebat.

Melihat hal ini, tentu saja Jayin dan teman-temannya tidak tinggal diam, akan tetapi mereka didahului oleh bentakan halus nyaring,

“Harap kalian minggir!”

Panglima Jayin terkejut dan girang mengenal Puteri Milana. Kiranya panglima yang memimpin seluruh pertahanan Bhutan itu sendiri yang berkenan turun tangan menghadapi dua orang lihai ini.

“Bibi Milana....!” Ceng Ceng berseru girang melihat Milana.

Milana yang sudah menggerakkan pedangnya menyambut sinar pikulan dan siang-koan-pit itu, tersenyum kepada Ceng Ceng.

“Engkau membantu saudaramu? Bagus!”

Tek Hoat juga girang melihat puteri ini, karena hal itu hanya menandakan bahwa pasukan mereka telah menang. Kalau tidak, tentu puteri ini tidak sempat turun tangan sendiri.

“Ceng Ceng, kau bantulah Sang Puteri!” katanya.

“Hushh, Sang Puteri itu adalah bibi kita, tolol. Ayah kita adalah juga kakak tirinya.” Ceng Ceng menegur, akan tetapi dia tetap mendesak Tambolon.

“Kepala batu! Aku tidak suka kau bantu! Aku ingin menghadapi Tambolon sendiri!”

Tek Hoat berseru karena dia maklum bahwa betapapun juga, masih amat berbahaya bagi Ceng Ceng untuk menghadapi Tambolon yang amat lihai itu. Puteri Milana mengerti akan isi hati Tek Hoat, maka melihat bahwa pemuda itu cukup tangguh untuk menghadapi Tambolon, dia berkata,

“Ceng Ceng, kau bantulah aku. Aku sudah lelah.”

Mendengar ini, tentu saja Ceng Ceng meloncat seperti kilat dan dia sudah menerjang Yu Ci Pok dan mendesak siucai ini dengan gerakan pedangnya yang mengandung tenaga mujijat sehingga tangkisan siucai itu membuat tangannya tergetar dan siucai itu pun terkejut bukan main.

Pertandingan terpecah menjadi tiga dan kini tempat itu dikurung oleh pasukan Bhutan yang ingin menonton pertandingan hebat ini, juga Jayin dan teman-temannya ikut pula menonton karena kini pihak musuh sudah kocar-kacir dan kemenangan sudah di depan mata. Keadaan tidak berbahaya lagi maka “tontonan” yang demikian hebatnya tidak akan mereka lepaskan begitu saja.

Tanpa diketahui orang lain, Milana berbisik kepada Ceng Ceng,
“Jangan robohkan lawan, biar mereka semua ini dirobohkan oleh saudaramu yang akan menjadi calon mantu Raja Bhutan.”

Mendengar ini, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, jantungnya berdebar dan diam-diam dia merasa terharu sekali. Kakak angkatnya, Puteri Syanti Dewi akan menjadi isteri Tek Hoat! Dan Tek Hoat adalah saudaranya, satu ayah! Dia tidak mampu menjawab, hanya mengangguk dan bersama Puteri Milana dia melayani lawannya seperti main-main saja. Kalau mereka mau, apalagi Puteri Milana yang menghadapi Si Petani Maut, tentu dengan amat mudahnya mereka mengalahkan lawan mereka itu.

Yang bertanding secara sungguh-sungguh dan mati-matian adalah Tek Hoat. Hebat sekali pemuda ini menyerang dan mendesak Raja Liar Tambolon. Raja liar ini pun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena dia maklum bahwa dia tersudut dan tidak dapat melarikan diri lagi. Jalan satu-satunya hanya mempertahankan diri sampai saat terakhir dan kalau mungkin membunuh musuh sebanyaknya. Akan tetapi pemuda ini terlalu tangguh baginya.

Setelah bertanding hampir seratus jurus, Tambolon makin terdesak dan mukanya sudah basah oleh keringat. Baiknya dia memiliki pedang Ban-tok-kiam, karena kalau tidak demikian, tentu sudah tadi dia roboh oleh pemuda yang luar biasa ilmu silatnya ini.

Tiba-tiba ketika kakinya menendang, ujung kakinya dapat menyerempet paha Tek Hoat dan pemuda itu terguling jatuh. Semua orang menjerit, kecuali Puteri Milana yang berpemandangan tajam dan yang melayani Si Petani Maut sambil menonton!

Tambolon mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah, pedang Ban-tok-kiam menyambar ketika dia menubruk lawan yang sudah roboh di tanah itu. Akan tetapi tiba-tiba kaki Tek Hoat bergerak dan hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar.

“Bresss....!”

Tambolon memekik kaget dan kesakitan, pedang Ban-tok-kiam terlempar jauh dan dia terdorong sampai bergulingan. Kiranya Tek Hoat yang sengaja menjatuhkan diri itu telah menggunakan kekuatan Inti Bumi yang paling ampuh, yang diambilnya dari tenaga bumi ketika dia rebah, dan kakinya telah menyerang dengan kekuatan luar biasa, yang kiri menendang pergelangan tangan lawan sehingga pedang Ban-tok-kiam terlempar, kaki kanan menendang ke arah dada dan biarpun sudah ditangkis oleh tangan kiri Tambolon, tetap saja tubuh raja yang tinggi besar seperti raksasa itu terlempar dan bergulingan.

Tek Hoat sudah meloncat dan mengejar. Tambolon mengeluarkan senjata jala yang ketika digerakkan berubah seperti uap, akan tetapi Tek Hoat yang sudah mengenal senjata ini tidak menjadi gentar. Bahkan dengan sengaja dia memapaki jala itu dengan pedangnya.

Tambolon menjadi girang, jalanya berhasil menangkap dan membelit pedang. Dia menyangka bahwa seperti biasa, tentu pemuda itu akan berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Tek Hoat memang sengaja membiarkan pedangnya terampas dan secepat kilat, dia melepaskan gagang pedang dan menggunakan kedua tangannya untuk menyerang dengan pukulan tangan terbuka yang mengandung tenaga Inti Bumi, yang kiri ke arah pusar sedangkan yang kanan ke arah pelipis.

Tambolon terkejut, berusaha menangkis dan memang berhasil menangkis pukulan ke pusarnya, akan tetapi tangan kanan Tek Hoat sudah menyambar pelipisnya.

“Desss....!” Tambolon terpelanting dan roboh dengan mata mendelik, tubuhnya kaku dan dia tewas seketika!

Jayin dan para pembantunya bersorak. Panglima ini cepat menyambar pedang, memenggal kepala Tambolon yang dipasangnya di atas tombak dan diangkat tinggi-tinggi ke atas agar kelihatan oleh semua orang dan untuk melenyapkan semangat tentara musuh.

“Tek Hoat, kau bantulah kami!” Puteri Milana berseru.

Tek Hoat memandang dengan terheran-heran melihat betapa Puteti Milana yang dia tahu amat lihai itu dan Ceng Ceng belum juga mampu merobohkan Si Petani Maut dan Si Siucai Maut. Dia memekik keras dan dengan tangan kosong dia menerjang Si Petani Maut Liauw Kui yang memang sudah jerih sekali karena dia bukan tidak tahu betapa Puteri Milana mempermainkannya, menyambut terjangan Tek Hoat dengan pikulannya.

Namun, dengan mudah Tek Hoat menangkap batang pikulan itu, dengan pengerahan tenaga dia memaksa batang pikulan itu membalik dan robohlah Si Petani Maut, batang pikulan memasuki perutnya menembus ke punggung.

Tek Hoat yang sudah beringas seperti harimau yang haus darah itu lalu menubruk ke arah Siucai Maut sambil berseru,

“Ceng Ceng minggirlah!”

Yu Ci Pok menyambut dengan totokan dua senjata siang-koan-pit, akan tetapi Tek Hoat yang sudah melindungi tubuhnya dengan kekuatan tenaga sakti Inti Bumi dan menghentikan jalan darah di bagian yang tertotok, menerima dua totokan itu dan membarengi dengan gerakan jari tangannya dipergunakan seperti sebatang pedang menusuk ke depan.

“Craattt!”

Jari-jari tangan kanannya memasuki dada Yu Ci Pok seperti sebatang pedang dan robohlah pengawal ke dua dari Tambolon ini, berkelojotan dan tewas.

Puteri Milana dan Ceng Ceng bertepuk tangan memuji, kemudian mereka bertiga terus mengamuk sehingga pihak musuh makin kacau dan akhirnya larilah sisa pasukan dari suku-suku bangsa liar itu, apalagi setelah mereka semua mendengar bahwa Raja Tambolon telah tewas.

Berakhirlah perang itu dengan kemenangan gemilang di pihak Bhutan. Panglima Jayin mengarak Tek Hoat sebagai seorang pahlawan gagah perkasa karena dia sendiri telah menyaksikan betapa pemuda yang gagah perkasa ini telah berhasil membunuh Tambolon yang demikian lihainya, berarti bahwa pemuda ini memang telah membuat jasa besar sekali dan patut diperlakukan sebagai seorang pahlawan yang dengan setia telah membela Kerajaan Bhutan.

Gak Bun Beng yang telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, cepat berlutut di medan perang itu, memberi hormat dengan hati terharu karena dia tadinya sudah tidak mengira akan dapat bertemu dengan pendekar sakti yang dianggap sebagai gurunya ini.

Sejenak Pendekar Super Sakti juga menunduk dan memandang, kemudian mengangguk-angguk dan bertanya,

“Bun Beng, aku sudah mendengar bahwa Kerajaan Bhutan dibantu oleh engkau dan Milana. Di mana sekarang dia?”

“Sumoi Milana sedang memimpin pasukan untuk membasmi barisan pemberontak, Suhu. Bagaimana keadaan Suhu dan Subo di Pulau Es? Mudah-mudahan dalam keadaan sehat.”

“Kami baik-baik saja, Bun Beng. Aku meninggalkan Pulau Es untuk pergi menyusul dan mencari kedua orang sutemu. Kian Lee telah kujumpai dan sudah kusuruh pulang, akan tetapi Kian Bu masih kucari-cari. Apakah engkau melihat dia?”

Bun Beng menggeleng kepala.
“Teecu pernah bersama dengan Sute Kian Bu ketika membantu pemerintah menghadapi para pemberontak yang dipimpin oleh dua orang Pangeran Liong, akan tetapi setelah itu, Sute Kian Bu pergi meninggalkan kota raja, kemudian terdengar beritanya ketika dia menolong Puteri Syanti Dewi dari penghadangan Tambolon dan Durganini, lalu dia pergi lagi tanpa ada yang mengetahui kemana, Suhu.”

“Hemmm, mari kita mencari Milana, mungkin dia tahu tentang adiknya itu.”

Bun Beng hanya mengangguk, tidak berani menceritakan betapa sejak dari kota raja, kekasihnya itu melakukan perjalanan bersama dia dan tentu saja pengetahuan Milana tentang Kian Bu tidak ada bedanya dengan apa yang telah dia ketahui. Bahkan dia masih merasa sungkan dan khawatir kalau-kalau pendekar sakti ini tidak akan senang hatinya mendengar akan keputusan mereka berdua untuk hidup bersama setelah Milana menjadi janda. Tentu saja orang tua sakti ini tidak tahu bahwa puterinya itu sebetulnya telah menjadi janda yang masih perawan!

Ketika mereka tiba di tempat pertempuran di mana Milana yang dibantu oleh Ceng Ceng dan Tek Hoat mengamuk, pertempuran telah selesai dan musuh telah terbasmi, yang melarikan diri dikejar oleh pasukan-pasukan Bhutan.

“Ayah....!”

Milana lari menyambut Pendekar Super Sakti dan di lain saat dia telah memeluk orang tua itu, air mata puteri yang perkasa ini membasahi baju di dada ayahnya. Pendekar Super Sakti mengelus rambut puterinya penuh kasih sayang.

“Milana...., mana suamimu?”

Mendengar pertanyaan yang seolah-olah merupakan sebatang pedang yang langsung menikam ulu hatinya, Milana mengguguk tangisnya. Akhirnya dapat juga dia menjawab lirih,

“....dia.... dia telah tewas....”

Pendekar Super Sakti Suma Han adalah seorang manusia yang sudah dapat mengatasi segala perasaan, maka dia biasa saja mendengar berita hebat ini, hanya bertanya,

“Bagaimana terjadinya hal itu?”

“Ayah, marilah kita memasuki kota raja dan bicara di sana dengan jelas.”

Pada saat itu, Raja Bhutan sendiri keluar menyambut dan dengan penuh kehormatan semua tamu agung yang sudah berjasa membantu Bhutan, terutama Tek Hoat, diarak masuk ke kota raja. Pendekar Siluman tidak menolak karena dia ingin mendengar cerita Milana tentang Kian Bu dan tentang Han Wi Kong, mantunya yang dikabarkan tewas itu.

Semua orang di kota raja menyambut para tamu agung, terutama sekali mereka menyanjung-nyanjung Puteri Milana dan Tek Hoat. Bahkan Tek Hoat sekaligus telah dikenal oleh mereka sebagai calon mantu raja!

Istana telah cepat sekali mempersiapkan penyambutan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Syanti Dewi sehingga ketika rombongan pemenang ini memasuki kota raja dan tiba di depan istana, tempat ini telah dihias dengan meriah dan penari-penari serta musik menyambut mereka.

Pertemuan yang amat menggembirakan, semua orang tersenyum dan tertawa, semua wajah berseri-seri dan semua mata bersinar-sinar. Akan tetapi, suasana menjadi sangat mengharukan ketika tanpa disangka-sangkanya Puteri Syanti Dewi melihat Ceng Ceng diantara rombongan itu. Puteri ini terbelalak seperti mimpi saja dia melihat adik angkatnya, kemudian kedua orang cantik itu menjerit dan saling menubruk.

“Candra....!”

“Enci Syanti....!”

Mereka berangkulan dan menangis, saling berciuman karena semenjak berpisah di tengah malapetaka ketika perahu mereka terguling, baru satu kali ini mereka dapat saling bertemu kembali dan pertemuan ini terjadi di Bhutan!

Sungguh merupakan hal yang aneh dan tidak tersangka-sangka oleh Syanti Dewi. Betapa hebat pengalaman mereka semenjak saling berpisah. Dan betapa cepatnya waktu berlalu karena begitu saling bertemu dan berpelukan, mereka merasa seolah-olah baru kemarin saja mereka saling berpisah.

Saling bergandeng tangan karena tidak sempat bicara di depan banyak orang, Syanti Dewi dan Ceng Ceng bersama semua rombongan itu memasuki istana dimana Raja Bhutan mengadakan penyambutan dengan pesta untuk merayakan kemenangan yang gemilang itu.