FB

FB


Ads

Kamis, 19 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 144

Puteri Milana, Gak Bun Beng, Panglima Jayin dan para panglima lainnya malam itu mengadakan perundingan. Bentrokan dengan pihak musuh secara terbuka, ternyata tidak menguntungkan mereka. Biarpun dalam perang pertama kali itu kalau dihitung jatuhnya korban, mereka dapat dikata menang karena jumlah musuh yang menjadi korban jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tentara mereka, akan tetapi robohnya para korban di pihak mereka itu berarti berkurangnya jumlah mereka sehingga pertahanan mereka menjadi makin lemah, sedangkan pihak musuh yang mengurung di luar tentu saja dapat menyusun kembali kekuatan dengan mendatangkan bala bantuan dari luar!

Mereka semua merasa bingung dan kehabisan akal. Akan tetapi Puteri Milana yang sudah biasa dengan siasat perang, dalam keadaan segawat itu tidak menjadi putus asa dan dia berkata,

“Kalau mengandalkan perang terbuka, jumlah kita yang belum tentu ada separuh jumlah mereka tentu akan menderita kerugian. Maka sebaiknya kita menggunakan siasat, menyerang mereka dari luar.”

“Menyerang mereka dari luar?” tanya Jayin bingung. “Apa yang paduka maksudkan?”

“Sepasukan pengawal pilihan yang dipimpin oleh Sangita dan Tek Hoat telah menanti saat baik di luar dan mereka tentu akan bergerak setelah kita beri tanda lagi. Kalau kita menyelundupkan pasukan-pasukan keluar, kemudian menyerang mereka dari berbagai jurusan, tentu mereka akan menjadi kacau-balau. Benteng kita cukup kuat, dan tidak perlu dijaga terlalu banyak tentara. Kalau banyak terjadi penyerangan oleh pihak kita dari luar, tentu mereka menyangka bahwa penyerang-penyerang dari luar itu merupakan bala bantuan yang datang dari berbagai pihak dan hal ini pasti akan melemahkan semangat mereka. Barisan yang dipimpin Tambolon bukan merupakan suatu suku bangsa yang bersatu, melainkan dari banyak suku bangsa. Sekali semangat mereka dipatahkan, mereka tentu akan cerai-berai.”

Semua orang tidak ada yang dapat membantah siasat yang dikemukakan oleh Milana.
“Biar aku memimpin pasukan menyelundup dan menerobos keluar dari kepungan musuh,” kata Bun Beng.

Milana mengangguk.
“Memang penerobosan keluar ini saya percayakan kepadamu, Gak-suheng. Kita memilih bagian yang paling lemah dijaga musuh, yaitu di bagian barat karena kini bagian selatan diperkuat, kemudian setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, harus dapat berpencar menjadi pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh perwira masing-masing, kemudian mencari tempat persembunyian yang baik di empat penjuru dan mengadakan serangan-serangan gangguan di waktu malam agar pihak musuh tak dapat beristirahat dan mengalami kekacauan.”

Puteri Milana lalu mengemukakan rencana siasatnya, didengarkan penuh perhatian oleh para pembantunya. Sampai lewat tengah malam mereka berunding dan mengantar persiapan karena menurut rencana mereka, pada malam itu juga, menjelang pagi sehingga keadaan para penjaga pihak musuh sedang lelah-lelahnya, mereka akan melakukan penyelundupan atau penerobosan keluar itu.

Semua pasukan yang jumlahnya empat ribu orang, yang kemudian akan dipecah menjadi empat kelompok, sudah siap di pintu gerbang barat, menanti saat dibukanya pintu gerbang dan menanti isyarat yang akan diberikan oleh Sang Puteri Milana sendiri.

Pasukan itu dipimpin oleh Gak Bun Beng yang berpakaian biasa, bahkan banyak sekali, sebagian besar di antara anak buah pasukan, mengenakan pakaian biasa seperti yang telah diatur dalam rencana siasat Puteri Milana sehingga oleh pihak musuh akan disangka bahwa pasukan-pasukan itu adalah bala bantuan dari luar.

Akan tetapi sebelum isyarat diberikan oleh Puteri Milana, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar tembok. Penjaga segera datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar tembok benteng, di sebelah timur terjadi kekacauan di pihak musuh dan nampak api berkobar seperti terjadi kebakaran besar dan terdengar teriakan-teriakan dan tanda-tanda persiapan dan perang!

Peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangka ini membuat Puteri Milana terpaksa menunda gerakan penerobosan itu.

“Kita harus tahu lebih dulu apa artinya peristiwa itu,” katanya kepada Gak Bun Beng. “Penerobosan dapat ditunda sampai besok malam.... aku khawatir kalau-kalau Tek Hoat melakukan sesuatu di luar rencana.”

Semua orang berkumpul di atas benteng dan memandang ke tempat terjadinya kebakaran dan melihat perang yang hanya mereka ketahui dari suaranya saja. Akan tetapi tak lama kemudian, sinar matahari pagi menerangi keadaan di bawah dan tak jauh dari tembok benteng, pandang mata Bun Beng dan Milana melihat seorang laki-laki yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak tentara musuh.

Biarpun dari atas menara masih agak jauh tempat pertempuran itu, dan orang-orang yang bertempur itu kelihatan kecil-kecil saja, namun melihat gerakan silat orang yang dikepung di tengah-tengah itu membuat Bun Beng terkejut bukan main.

“Dia Tek Hoat....!” serunya.

“Eh, benarkah?” tanya Milana.

“Aku tidak lupa gerakan silatnya!”






“Hemm, seperti yang kukhawatirkan. Anak itu lancang sekali.”

“Dan terlalu berani. Lihat, mungkin semua pasukannya sudah terbasmi habis. Yang bertanding tinggal dia seorang diri. Aku harus menolongnya. Milana, harap kau perintahkan penjaga pintu gerbang untuk siap menolongku masuk...., aku harus menolongnya.”

“Tapi....”

“Tidak ada tapi....”

“Gak-taihiap, itu terlalu berbahaya.” Sri Baginda yang juga ikut pula meninjau keadaan keributan di bawah itu berkata, “Lebih baik suruh sepasukan pengawal untuk keluar membantunya.”

“Kita tidak boleh kehilangan banyak anggauta pasukan, Sri Baginda. Saya dapat menolong dia. Sumoi, aku pergi!”

Dengan cekatan Gak Bun Beng lalu meloncat turun dari atas menara itu ke tembok tingkat yang lebih rendah, kemudian terus dia berloncatan dengan gerakan berjungkir-balik, cepat sekali sehingga sukar bagi mata biasa untuk mengikuti gerakan tubuhnya yang seolah-olah terbang itu dan tak lama kemudian dia telah tiba di atas tanah di luar tembok benteng.

Terdengar teriakan-teriakan dan anak-anak panah meluncur dari berbagai jurusan. Akan tetapi Puteri Milana yang mengikuti gerakan kekasihnya dengan penuh perhatian itu telah memerintahkan barisan panah untuk menyerang dan melindungi Bun Beng yang meruntuhkan semua anak panah dengan gerakan kedua lengannya, kemudian pendekar ini terus berloncatan maju ke arah Tek Hoat yang dikepung oleh banyak musuh.

Puteri Milana sendiri cepat turun dan mengatur pasukan penjaga pintu gerbang untuk bersiap-siap melindungi Bun Beng dan Tek Hoat kalau mereka nanti sudah mundur sampai di pintu gerbang.

Dugaan Bun Beng memang tepat sekali. Menjelang pagi itu, atau lebih tepat lewat tengah malam, Tek Hoat memimpin pasukannya untuk membakar perkemahan Tambolon dan mengamuk. Mula-mula Panglima Sangita tidak setuju akan niat pemuda itu.

“Kita harus menanti isyarat dari Puteri Milana,” kata panglima itu. “Sungguh tidak baik kalau bertindak sendiri tanpa menanti perintah atasan.”

“Ciangkun, keadaan musuh makin kuat saja dan pihak musuh dengan mudah dapat memperkuat kedudukan dengan mendatangkan bala bantuan dari suku-suku bangsa liar. Akan tetapi kota raja terkurung dan dari mana diharapkan bantuan? Jalan satu-satunya hanyalah mengacaukan keadaan mereka, menyerbu di tengah malam selagi mereka tidak menyangka, melakukan pembakaran perkemahan mereka sebanyaknya dan kita menyergap di dalam kegelapan malam. Pembakaran-pembakaran yang kita lakukan merupakan pertanda bagi para pasukan kota raja untuk bertindak pula. Aku tidak tahan kalau harus berdiam diri menyaksikan kota raja dikurung dan diancam bahaya.”

Demikian Tek Hoat bicara penuh semangat, didengarkan oleh semua pasukan yang segera menyatakan persetujuan dan kegembiraan mereka. Pasukan pengawal itu adalah pasukan pilihan yang gagah perkasa, maka mereka pun merasa gelisah harus bersembunyi dan diam saja menyaksikan kota raja dikepung musuh.

Akhirnya Sangita, yang juga merupakan seorang panglima setia dan gagah perkasa, menyetujui dan setelah lewat tengah malam, bergeraklah mereka menyerbu dan membakar perkemahan pihak musuh.

Tentu saja pasukan Tambolon menjadi terkejut. Datangnya serbuan itu amat tidak mereka sangka dan sepak-terjang Tek Hoat dan Sangita bersama pasukannya amat hebat, sehingga mereka kalang kabut dan banyak terjatuh korban di pihak musuh. Perang mati-matian dan hebat sekali di dalam gelap terjadilah, namun tentu saja pihak penyerbu lebih untung karena mereka sudah memperhitungkan segala-galanya, sedangkan pihak pasukan Tambolon yang terkejut dan panik itu tidak tahu sampai di mana kekuatan pihak penyerbu sehingga banyak di antara mereka yang saling serang antara kawan sendiri.

Akan tetapi, Tambolon yang menjadi marah oleh gangguan dari luar ini, sudah mengumpulkan pasukan besar dan mengurung hutan itu sehingga pasukan pengawal pimpinan Sangita dan Tek Hoat itu kini tidak mempunyai jalan mundur lagi. Terpaksa mereka mengamuk dengan mati-matian dan biarpun mereka telah merobohkan banyak sekali jumlah lawan, setiap orang perajurit paling sedikit membunuh lima orang musuh namun setelah pagi tiba mereka terkurung, terhimpit dan mulailah mereka berjatuhan satu demi satu karena kelelahan dan terlalu banyak musuh yang mengeroyok.

Sangita yang sudah tua mengamuk dengan sepasang goloknya seperti seekor singa tua. Entah berapa puluh orang musuh menjadi korban sepasang goloknya, akan tetapi akhirnya dia pun roboh di bawah serangan puluhan senjata sehingga tubuhnya menjadi hancur lebur, kematian yang amat gagah dari seorang perajurit, akan tetapi juga kematian yang amat menyedihkan.

Serbuan dan pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya ini benar-benar berhasil baik, selain membunuh banyak sekali musuh, juga membikin mereka panik, kacau dan menurun semangat mereka. Akan tetapi, pasukan itu sendiri pun terbasmi, roboh satu demi satu sampai akhirnya tinggal Tek Hoat sendiri yang masih mengamuk.

Tak terhitung banyaknya lawan yang roboh oleh pemuda perkasa ini. Pedang rampasan di tangannya sudah menjadi merah sampai ke gagangnya oleh darah musuh, akan tetapi dia sendiri pun tidak terhindar dari luka-luka yang dideritanya karena hujan senjata musuh. Dengan pakaian compang-camping, tubuh luka-luka dan berlumuran darah sendiri bercampur dengan darah lawan, pemuda ini masih mengamuk hebat ketika Bun Beng muncul.

Betapapun gagahnya pemuda ini, menghadapi jumlah musuh yang amat banyak, yang roboh sepuluh datang dua puluh, yang seperti gelombang samudera hebatnya, dapat dipastikan bahwa melihat dari luka-lukanya, tak lama lagi Tek Hoat tentu akan roboh pula seperti Sangita kalau pertandingan itu dilanjutkan.

“Plak-plak-desss....!”

Enam orang diantara para pengeroyok Tek Hoat terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir ketika Gak Bun Beng menyerbu. Tek Hoat mengerling ke arah Bun Beng dan melanjutkan amukannya dengan pedang rampasannya.

“Tek Hoat, mari kita mundur ke pintu gerbang....!” Bun Beng berteriak sambil bergerak merobohkan dua orang pengeroyok lagi.

“Tidak!” Tek Hoat menjawab tegas. “Semua anak buahku telah tewas, aku harus melawan sampai titik darah terakhir membela mereka!”

Pedangnya yang tadinya sudah agak lemah gerakannya karena kelelahan itu seperti memperoleh tenaga baru, berkelebat dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang sekaligus merobohkan enam orang lawan!

“Tidak ada gunanya, musuh terlampau banyak....” Bun Beng membujuk.

“Kalau kau takut, kembalilah!” Tek Hoat berteriak marah.

Bun Beng menarik napas panjang. Pemuda ini berhati keras sekali dan membujuknya tidak akan ada gunanya. Akan tetapi membiarkan dia mati pun sayang sekali. Pemuda ini gagah perkasa dan tidak memalukan menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti, dan biarpun pernah melakukan penyelewengan, namun pemuda inilah yang kelak akan dapat menjunjung tinggi nama ayahnya yang tersesat.

“Kalau begitu biarlah kita mati bersama!”

Gak Bun Beng berkata dan dia pun mengamuk di dekat Tek Hoat. Hatinya lega melihat pemuda itu tidak menaruh kecurigaan kepadanya dan bahwa pemuda itu sudah lelah sekali, hampir kehabisan tenaga dan menjadi lemah karena luka-lukanya yang amat banyak itu. Diam-diam dia merasa terharu dan dapat menyelami hati pemuda ini. Tentu pemuda ini merasa malu dan menyesal akan semua penyelewengannya dan kini hendak menebus semua itu dengan darah dan nyawanya!

Dia bertempur makin dekat dengan Tek Hoat dan pada saat Tek Hoat lengah karena harus menghadapi serbuan dari depan dan kanan kiri, tiba-tiba Gak Bun Beng menggunakan totokan satu jari dengan pengerahan tenaga sin-kangnya yang amat kuat.

Biarpun Tek Hoat memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi, dalam keadaan lengah tak mungkin dia akan dapat menahan totokan dahsyat ini. Dia mengeluh, tubuhnya lemas dan pedangnya terlepas dari tangannya. Bun Beng menyambar tubuhnya terus dipanggulnya, menyambar pedang lalu meloncat ke belakang. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga setiap senjata lawan yang menyerangnya tentu patah-patah, dan banyak pula musuh roboh. Kehebatan pendekar ini membuat jerih para perajurit musuh.

“Tangkap dia! Kejar! Kurung....!”

Tambolon berteriak sambil berlari cepat mengejar, dan kini dia sendiri ikut menyerang. Akan tetapi, tangkisan pedang itu yang digerakkan oleh lengan tangan Bun Beng yang luar biasa kuatnya, membuat golok besar di tangan Tambolon menyeleweng. Raja liar ini terkejut dan jerih, akan tetapi dia masih memimpin orang-orangnya untuk mengepung dan selalu mengejar apabila Bun Beng meloncat makin mendekati pintu gerbang.

“Hujani anak panah!” Tambolon berteriak.

Teriakan ini melegakan hati Bun Beng. Dia tidak khawatir akan keroyokan anak panah dan sambil berlari mendekati pintu gerbang, dia memutar pedangnya. Semua anak panah runtuh dan dia terus berlari, dikejar oleh Tambolon dan anak buahnya sampai ke pintu gerbang.

Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dan terdengar aba-aba yang nyaring dari Puteri Milana, maka hujanlah anak panah dan batu dari atas benteng, juga Puteri Milana sendiri menyambut kedatangan Gak Bun Beng itu dengan pedang di tangan melindunginya.

Akhirnya pendekar itu berhasil memasuki pintu gerbang sambil memondong Tek Hoat, dan pintu gerbang ditutup kembali, tentara Tambolon dipaksa mundur oleh hujan anak panah dari atas benteng.

Puteri Milana girang sekali dan di depan Sri Baginda dia memuji-muji Tek Hoat. Serbuan pemuda itu dengan pasukannya secara nekat, membunuh banyak musuh dan menurunkan semangat mereka, benar-benar amat menguntungkan karena di dalam keributan tadi, Puteri Milana dapat melaksanakan siasatnya dengan baik sekali, berhasil menyelundupkan keluar empat ribu orang pasukan, hanya ada sedikit perubahan, yaitu Gak Bun Beng terpaksa tidak ikut karena pendekar ini tadi menyelamatkan Tek Hoat.

Tempatnya diwakili oleh Panglima Jayin yang sudah berhasil membawa keluar pasukannya, kemudian memecahnya menjadi empat bagian dan mereka berpencar ke empat penjuru, bersembunyi di hutan-hutan sambil menanti isyarat selanjutnya.

Puteri Syanti Dewi yang mendengar akan keadaan Tek Hoat, cepat berlari ke luar dan sambil menangis melihat tubuh pemuda itu penuh luka yang berlumuran darah, dia lalu memaksa ayahnya untuk mengijinkan dia sendiri merawat pemuda yang disebutnya sebagai penolongnya dan penyelamat nyawanya.

Sri Baginda maklum akan keadaan hati puterinya, dan karena dia sendiri pun kagum dan suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa, yang dengan semangat luar biasa membela Bhutan, bahkan dengan rela hampir mengorbankan nyawanya. Seluruh prajurit Bhutan membicarakan kegagahan Tek Hoat ini dan memuji-muji.

Pihak musuh benar-benar mengalami kerugian hebat sekali. Pembakaran-pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya mengakibatkan kebakaran besar dan baru dapat dipadamkan setelah malam terganti pagi sampai hampir siang. Hampir semua peralatan dan ransum perang rusak oleh kebakaran itu. Banyak pula yang tewas oleh penyerbuan tiba-tiba itu, banyak juga yang terluka oleh amukan api.

Yang lebih merugikan lagi, peristiwa itu mendatangkan rasa panik diantara mereka sehingga menurunkan semangat juang mereka sungguhpun Tambolon sendiri sudah berusaha membangunkan semangat mereka dan mengatakan bahwa setelah mengumpulkan kekuatan dan mendatangkan bala bantuan yang akan memakan waktu satu minggu, mereka akan melakukan serangan besar dan menduduki kota raja Bhutan!

Dengan berdiri di atas panggung sehingga tampak oleh para pimpinan suku dan para pembantunya, Tambolon mengajak gurunya, Nenek Durganini yang baru muncul, berkata dengan lantang,

“Kita memang telah disergap di waktu malam dan mengalami sedikit kerugian. Akan tetapi tunggu sampai satu minggu, kita akan melakukan pembalasan! Jangan khawatir, di dalam tembok benteng itu terdapat harta berlimpahan, dan wanita-wanita yang cantik untuk kalian semua. Dan jangan takut menghadapi Puteri Mancu dan para pembantunya, karena sekarang kita dibantu oleh guruku sendiri yang menguasai ilmu gaib.”

Durganini terkekeh, kedua tangannya bergerak-gerak, mulutnya ternganga dan semua orang memandang takjub dan ngeri ketika dari kedua tangan dan dari mulut nenek itu keluar api berkobar-kobar! Tak lama kemudian nenek itu “menelan” kembali semua api itu dan Tambolon berkata,

“Lihat betapa guruku akan dapat membakar seluruh kota raja Bhutan dengan api mujijat dari mulutnya. Dan dapat pula menutup matahari menimbulkan kegelapan!”

Nenek itu lalu mengangkat kedua lengan ke atas, berkemak-kemik diikuti oleh semua mata orang-orang yang menonton dari bawah. Dan mulailah cuaca menjadi gelap, makin lama makin gelap.

Semua orang menjadi panik, ada yang menjerit-jerit dan ada yang berlutut dan minta-minta ampun kepada nenek yang memiliki ilmu seperti dewa itu! Nenek itu menyudahi permainan sihirnya dan dengan cara ini, Tambolon berusaha membangkitkan kembali semangat para pembantunya yang terdiri dari bermacam suku bangsa liar itu.

**** 144 ****