FB

FB


Ads

Kamis, 19 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 143

“Bagaimanakah Majikan Pulau Es yang berada jauh di utara bisa tersesat sampai ke tempat ini?” Kakek See-thian Hoat-su yang tidak biasa bersikap hormat terhadap siapapun juga itu bertanya.

“Aku sedang mencari puteraku, Hoat-su. Barangkali engkau melihatnya. Dia bernama Suma Kian Bu....”

“Heee, Siang In. Bukankah kau mengenal seorang pemuda yang bernama Kian Bu?” tiba-tiba kakek itu memanggil muridnya.

Mendengar disebutnya nama itu, Siang In memandang kepada gurunya dengan kedua pipi berubah merah sekali. Akan tetapi dia meninggalkan Hwee Li dan mendekati gurunya, memandang kepada Pendekar Super Sakti dengan penuh selidik.

“Tentu saja aku mengenal dia, Suhu,” jawabnya.

“Bagus!” Suma Han berseru girang. “Dimana kau terakhir ini bertemu dengan dia, Nona?”

“Nanti dulu,” Siang In menjawab, “Sipakah Locianpwe yang aneh ini mengapa bertanya tentang dia?”

“Ha-ha-ha, bocah tolol. Yang berdiri di depanmu ini adalah Pendekar Siluman dari Pulau Es, ayah dari pemuda itu.”

Siang In terkejut sekali dan cepat dia menjura dengan hormat.
“Maafkan saya.”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Seorang dara yang cantik jenaka dan pantas menjadi murid seorang sakti seperti See-thian Hoat-su, pikirnya.

“Aku hanya ingin tahu dimana engkau bertemu dengan dia akhir-akhir ini, Nona?” Dia mengulang pertanyaannya.

“Didalam hutan.... ketika terjadi pencegatan yang dilakukan gerombolan Tambolon terhadap rombongan pengawal Puteri Bhutan.”

Gadis itu lalu bercerita, akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan betapa dia telah dicium oleh pemuda itu!

Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya.
“Kalau menurut perkiraanmu, kemana sekarang perginya anakku yang suka bertualang itu, Nona?”

“Dia agaknya diam-diam mengawal Sang Puteri Bhutan, dan tentu sekarang telah berada di tapal batas Bhutan dan....” Siang In menoleh ke kanan kiri, melihat banyak orang anggauta suku bangsa penggembala itu menonton, dia lalu berkedip dan mendekati Pendekar Super Sakti, berbisik, “Mereka ini adalah suku bangsa yang terbujuk oleh Tambolon, sekarang Tambolon sedang memerangi Bhutan dan saya berani bertaruh bahwa putera Locianpwe itu sedang ikut perang membela Bhutan.”

Melihat Siang In tadi mendekati Suma Han dan berbisik-bisik, Ceng Ceng yang menaruh curiga lalu mendekat pula. Dia terkejut mendengar bahwa Bhutan diserang oleh Tambolon, maka dia pun lalu berkata kepada Pendekar Super Sakti,

“Kalau begitu, saya harus cepat ke sana untuk membantu.”

See-thian Hoat-su tertawa.
“Ha-ha-ha, kami guru dan anak tidak mau mencari keributan, kami mempunyai urusan pribadi sendiri, maka maafkan kami yang harus pergi sekarang. Hayo, Siang In!”

Dia memegang tangan muridnya dan pergi dengan cepat. Siang In melambaikan tangan kepada mereka terutama kepada Hwee Li yang dibalas pula oleh Hwee Li.

Setelah guru dan murid itu pergi, Pendekar Super Sakti berkata kepada Ceng Ceng,
“Kita harus berhati-hati dan jangan sembrono, Nona. Lebih baik kita mendekati pimpinan suku bangsa ini dan mencari keterangan dari mereka.”

Baru saja dia berkata demikian, para penonton yang merasa kagum kepada pendekar kaki buntung ini yang tadi telah memperhatikan kehebatan ilmu sihirnya sehingga mereka yang menonton menjadi kagum dan juga takut, kini bergerak minggir dan memberi jalan dengan sikap hormat kepada tiga orang yang berpakaian jubah lebar dan lebih mewah daripada pakaian mereka semua.

Kiranya mereka ini adalah tiga orang pimpinan suku bangsa itu yang mendengar akan kehebatan ilmu sihir dari kakek berkaki buntung sebelah, juga kehebatan seorang dara muda yang mengalahkan orang India ahli bermain ular.

Dengan sikap ramah tiga orang kepala suku itu lalu mengundang Pendekar Super Sakti dan dua orang dara cantik itu sebagai tamu kehormatan. Kesempatan ini tentu saja disambut dengan baik oleh Pendekar Super Sakti. Mereka lalu diajak memasuki perkemahan dan dijamu dengan masakan-masakan yang terbuat dari daging domba, menerima minuman yang bagi mereka merupakan minuman khas dan mewah, yaitu susu domba.






Melalui seorang penerjemah, Pendekar Super Sakti, Ceng Ceng dan Hwee Li mendengar penuturan mereka bahwa memang benar mereka itu merupakan suku bangsa yang berpihak kepada Raja Tambolon yang kini sedang memerangi Bhutan.

“Kami membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti Anda,” kata kepala suku tertua sambil memandang Suma Han penuh perhatian. “Karena di pihak tentara Bhutan terdapat pemimpin-pemimpin yang amat pandai, bahkan seorang panglima wanita berada di sana memimpin pasukan pertahanan Bhutan. Kabarnya panglima wanita itu adalah puteri Kerajaan Ceng yang amat lihai. Dia dibantu oleh seorang laki-laki setengah tua yang luar biasa tinggi ilmunya, juga terdapat seorang pemuda yang luar biasa.”

Mendengar ini, Pendekar Super Sakti menduga-duga dengan hati girang. Panglima wanita Kerajaan Ceng itu siapa lagi kalau bukan Milana, anaknya sendiri? Dan pemuda lihai itu tentulah Suma Kian Bu.

“Baiklah, kami akan melihat-lihat peperangan itu kalau kalian suka membawa kami ke sana,” katanya dengan girang.

Kepala suku itu menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah serombongan orang laki-laki muda dari suku bangsa itu yang dipilih sebagai tenaga-tenaga bantuan untuk pasukan Raja Tambolon yang sedang sibuk mengurung kota raja Bhutan.

Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu ikut bersama mereka menuju ke medan peperangan. Karena suku bangsa liar itu sudah mengenal jalan dengan baik, maka perjalanan dapat dilakukan dengan amat cepatnya, dengan memotong jalan melalui pegunungan, menunggang kuda-kuda yang sudah terlatih baik.

Akan tetapi, sebelum mereka tiba di perkemahan yang didirikan oleh barisan pengurung kota raja Bhutan, ketika rombongan mereka tiba di lapangan terbuka, mereka terkejut sekali mendengar bunyi melengking tinggi dari atas, apalagi ketika mereka memandang dan melihat seekor burung rajawali yang besar dan berbulu hitam menyambar turun sambil mengeluarkan bunyi melengking keras. Bubarlah pasukan itu dan pemimpin mereka lalu mementang gendewa, membidik ke arah rajawali.

“Jangan panah....!” Pendekar Super Sakti berseru, namun terlambat, anak panah itu telah meluncur ke arah burung.

“Hek-tiauw, awas panah....!” Hwee Li yang sudah mengenal burungnya itu berseru keras.

Namun penyerangan itu terlalu ringan bagi rajawali hitam. Dengan mudahnya dia menyampok anak panah itu dengan kakinya, kemudian dia menukik dan hendak menyerang ke arah kepala suku yang memanahnya tadi. Akan tetapi, dengan sekali bergerak, Pendekar Super Sakti telah mencelat dari atas kudanya, memapaki rajawali hitam yang menyambar turun itu.

“Plak! Desss....!”

Rajawali terpental dan terdengar teriakan kaget dari atas punggungnya. Kiranya ada orang yang menunggang rajawali itu.

“Ayah....!”

Hwee Li berteriak ketika mengenal orang itu. Sedangkan Hek-tiauw Lo-mo juga terkejut mendengar suara anaknya. Dia tadi amat kaget ketika serangkum hawa yang kuat keluar dari tangan Pendekar Super Sakti, membuat burungnya terpental. Maka kini melihat puterinya berada di situ, dia menjadi girang dan juga heran dan setelah menyuruh burung rajawalinya turun, dia pun meloncat ke atas tanah.

“Ayah....! Kau sungguh terlalu, Ayah, selalu meninggalkan aku!”

Hwee Li berseru dengan wajah bersungut-sungut. Sementara itu, rombongan suku bangsa liar itu terbelalak dengan muka pucat. Tentu orang ini bukan manusia, pikir mereka, melainkan dewa yang tinggal di langit dan kini turun menunggang burung raksasa untuk menghukum. Maka dua puluh lebih orang-orang yang tidak pernah takut menghadapi lawan manusia itu kini menjatuhkan diri berlutut!

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tidak mempedulikan mereka, juga tidak mempedulikan puterinya setelah sekilas pandang melihat puterinya sehat-sehat saja, melainkan dia memandang dengan penuh perhatian kepada kakek yang sebelah kakinya buntung dan yang tadi membuat rajawalinya terpental.

Sampai lama kedua orang ini berdiri saling pandang karena Suma Han juga sudah meloncat turun dari kudanya setelah tadi menyelamatkan pimpinan rombongan yang diserang rajawali hitam. Sedangkan Hwee Li sudah lari ke dekat burung rajawalinya itu dan merangkul lehernya.

“Aih, hek-tiauw, kau sudah sembuh....?” katanya sambil membelai kepala burung rajawali itu yang mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing yang dibelai majikannya.

Hal ini membuat semua orang suku bangsa liar itu menjadi bengong dan makin ketakutan. Kiranya rombongan tiga orang yang hendak membantu mereka itu adalah golongan dewa!

“Kau.... kau.... tak salah lagi! Kau tentu Pendekar Siluman Suma Han, Majikan Pulau Es!”

Akhirnya Hek-tiauw Lo-mo berseru keras, dengan sedikit keraguan masih menempel di dalam suaranya.

“Hek-tiauw Lo-mo, engkau seharusnya berada di Pulau Neraka yang telah kau rampas dan kuasai,” kata Suma Han, nada suaranya keras dan berwibawa. “Tahukah engkau tempat apa yang kau rampas dan kuasai itu? Tempat pembuangan dan siapa sudah menetap di sana tidak boleh pergi lagi dari pulau itu, karena kepergiannya berarti hanya menyebar malapetaka. Kembalilah kau ke Pulau Neraka.”

“Ha-ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Sudah puluhan tahun aku ingin sekali bertemu dengan Pendekar Siluman sebelum aku mati dan selalu tidak pernah ada kesempatan. Siapa tahu sekarang bertemu di sini, sungguh girang sekali hatiku. Ingin aku merasakan sendiri kehebatan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang namanya menggetarkan kolong langit.”

Setelah berkata demikian, Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan dari kedua tangannya mengepul uap hitam! Agaknya karena maklum akan kelihaian Suma Han, kakek ketua Pulau Neraka ini telah mengerahkan ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan bagaikan badai mengamuk dia lalu menerjang Pendekar Super Sakti.

“Wuuuutttt.... syuuuuttt....!”

Angin yang dahsyat menyambar, membuat pasir dan debu beterbangan saking hebatnya serangan yang dilakukan oleh kakek ini. Rombongan suku bangsa liar itu terkejut dan ketakutan, cepat mereka mundur dan berusaha menenangkan kuda mereka yang meringkik ketakutan dan meronta berusaha melarikan diri.

“Hemmm....!”

Suma Han mengeluarkan seruan dan tubuhnya sudah mencelat ke kiri dengan gerak loncat Soan-hong-lui-kun menghindarkan serangan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi kakek Pulau Neraka ini sudah menyerang lagi, menubruk seperti seekor singa kelaparan dengan kedua tangan terpentang dan jari-jarinya membentuk cakar singa. Kembali Suma Han menggunakan kecepatan gerakan kaki tunggalnya, membiarkan lawan menubruk tempat kosong.

“Ayaaaah.... jangan....!” Hwee Li berteriak.

“Ssssttt, Hwee Li, jangan mencampuri urusan orang tua!”

Ceng Ceng berseru mencegah muridnya karena dia tahu betapa berbahayanya kalau muridnya itu mendekati dua orang sakti yang sedang bertanding itu. Dia maklum akan kelihaian dan bahayanya Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia pernah terluka parah oleh tokoh Pulau Neraka itu. Maka kini, berhadapan dengan Majikan Pulau Es, Ketua Pulau Neraka itu bertemu lawan dan tentu pertandingan itu akan hebat dan berbahaya sekali.

Hwee Li tidak berani bersuara lagi, lebih-lebih melihat burung rajawali hitam itu menjadi gelisah dan dia tahu bahwa kalau dia melepaskan burung itu, tentu burung itu akan membantu ayahnya dan mengeroyok Pendekar Super Sakti. Maka dia yang tidak ingin melihat pendekar yang dia tahu amat baik hati itu dikeroyok, lalu merangkul leher burungnya dan menenangkannya, seperti rombongan itu menenangkan kuda masing-masing.

“Haaaihhh.... waaahhhh!”

Hek-tiauw Lo-mo masih menyerang terus dengan dahsyat dan bertubi-tubi sampai dua puluh empat jurus dia menerjang terus menerus dan sambung menyambung tanpa memberi kesempatan sedikit pun kepada lawannya.

Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Suma Han terdesak. Sama sekali tidak, melainkan pendekar itu memang hanya mengelak saja, mengandalkan gerakan Soan-hong-lui-kun yang kecepatan gerakannya tidak ada keduanya di dunia. Pukulan-pukulan Hek-coa-tok-ciang membuat di sekeliling dua orang itu tampak uap hitam berhamburan dan bau amis memenuhi udara.

“Hemm, kau sungguh tak tahu diri, Hek-tiauw Lo-mo!”

Terdengar seruan Pendekar Super Sakti dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan mata lawan, tahu-tahu dari belakang lawan tangannya melayang dan membalas serangan-serangan itu.

Hek-tiauw Lo-mo terkejut, membalik sambil menangkis, namun tubuh lawannya berkelebat dengan kecepatan yang luar biasa dan sudah lenyap lagi, tahu-tahu menyerang dari kanan. Dia cepat mengelak dan demikianlah, Hek-tiauw Lo-mo kini hanya mengelak dan menangkis karena tubuh lawannya bergerak terlalu cepat sehingga sukar dia ikuti dengan pandang mata!

“Pendekar Siluman, jangan menggunakan ilmu siluman, hayo hadapi aku secara jantan!” teriaknya marah dan juga jerih.

“Hek-tiauw Lo-mo, apa yang kau maksudkan dengan cara jantan?”

“Heiiit!”

Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan sinar hitam tipis menyambar ke arah berkelebatnya bayangan Pendekar Super Sakti yang menunda serangan-serangannya karena melayani lawan bicara.

“Plakkk!”

Jala itu kena sambaran hawa pukulan tangan kiri Pendekar Super Sakti dan.... robek seperti terbakar. Itulah pukulan Hui-yang Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga benda pusaka yang tahan api itu masih tidak mampu bertahan menghadapi pukulan itu.

“Keparat!” Hek-tiauw Lo-mo makin marah dan dia kini menghantam sambil berteriak, “Hadapi pukulanku ini!”

“Hemm....!”

Pendekar Super Sakti berdiri tegak, mengempit tongkatnya sehingga dia hanya berdiri dengan satu kaki, kedua tangannya menerima hantaman kedua tangan lawan.

“Desss....!”

Tubuh Pendekar Super Sakti yang hanya ditopang oleh sebelah kaki seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki itu bergoyang-goyang, seperti batang padi tertiup angin, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar dan terbanting roboh lalu bergulingan.

Ketika dia meloncat bangkit lagi, matanya menjadi merah, mukanya pucat dan dia mengusap sedikit darah yang mengalir keluar di ujung bibirnya! Sejenak dia memandang penuh kebencian, penuh kemarahan, akan tetapi juga penuh takjub akan kehebatan lawan yang sudah bertahun-tahun dianggapnya sebagai musuhnya yang nomor satu di dunia ini.

Sejenak mereka berpandangan dari jarak lima meter, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menunduk, membungkuk lalu membentak,

“Pendekar Siluman, kau sambutlah ini kalau memang kau jantan....!”

Lalu tubuh Ketua Pulau Neraka itu bergerak lari ke depan dengan kepala di depan, seperti seekor kerbau menyerang dengan tanduknya. Kepalanya menuju ke arah perut Pendekar Super Sakti. Pendekar ini terkejut sekali melihat kenekatan lawan, akan tetapi dia tidak bergerak menyingkir, bahkan lalu menerima serudukan nekat itu dengan perutnya yang kecil.

“Cappp....!”

Kepala Hek-tiauw Lo-mo seolah-olah memasuki rongga perut Pendekar Super Sakti, tubuh kakek Pulau Neraka ini kaku seperti sebatang kayu sehingga kakinya lurus ke belakang. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak menghantam ke arah kedua pundak Pendekar Super Sakti, akan tetapi pendekar ini sudah menggerakkan dulu kedua tangannya menyambut hantaman itu!

“Plakkk!” Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat.

“Locianpwe, jangan bunuh ayahku....!” Tiba-tiba Hwee Li yang masih merangkul rajawali hitam itu berseru nyaring.

Sejenak Pendekar Super Sakti mengerling ke arah bocah itu, kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan bunyi melengking nyaring yang membuat semua kuda rombongan suku bangsa liar itu meringkik ketakutan dan membuat rajawali hitam juga meronta-ronta ketakutan. Berbareng dengan pekik melengking ini, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar ke arah puterinya dan terbanting jatuh.

“Aduhhh....!”

Tak tertahankan lagi Ketua Pulau Neraka ini mengeluh, kemudian menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, sekilas memandang ke arah lawan yang masih berdiri tegak dan tenang, kemudian secepat kilat dia menyambar pinggang Hwee Li, meloncat ke atas punggung rajawali hitam yang segera menggerakkan sayapnya terbang dari tempat itu.

“Hwee Li....!” Ceng Ceng berseru kaget.

“Ayah, lepaskan aku....! Aku mau ikut Subo....!”

Hwee Li meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan ayahnya dan tak lama kemudian burung itu sudah terbang tinggi dan lapat-lapat terdengar tangis Hwee Li.

“Ohh....” Ceng Ceng mengeluh.

“Dia diajak pulang ayahnya, perlu apa disesalkan? Dan anak itu memang perlu berdekatan dengan ayahnya. Agaknya hanya anaknya saja yang akan mampu merubahnya,” kata Pendekar Super Sakti.

Ceng Ceng diam saja dan memang peristiwa ini hanya sebentar saja menggores hatinya yang sudah menjadi layu. Kini pimpinan rombongan, diikuti oleh semua anak buahnya berlutut di depan Pendekar Super Sakti.

“Pendekar besar.... siapakah yang datang menunggang burung dewa tadi? Apakah dia itu dewa atau golongan iblis?” tanya pimpinan rombongan yang paling pandai berbahasa Han daripada yang lain.

Suma Han tersenyum.
“Kalau dikatakan bahwa dia itu iblis memang lebih cocok,” jawabnya.

“Ahhh, kalau begitu paduka adalah seorang dewa!”

Ucapan ini disusul oleh sikap yang amat menghormat, mereka berlutut dan menyembah-nyembah.

“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Suma Han.

Gembira karena mereka merasa dibantu oleh dewa, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Bhutan yang sedang dikurung oleh pasukan-pasukan Tambolon.

**** 143 ****