FB

FB


Ads

Kamis, 19 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 142

Kita tinggalkan dahulu kota raja Bhutan yang dikepung musuh, yaitu pasukan yang terdiri dari suku-suku bangsa Nomad yang dapat dibujuk oleh Tambolon sehingga terkumpul menjadi barisan yang amat besar jumlahnya dan yang mengancam keselamatan Kerajaan Bhutan, dan mari kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang mengalami pukulan batin di Pegunungan Yin-san itu.

Setelah terbukanya topeng yang menutupi muka Topeng Setan, yang telah tidak bernyawa dan sekaligus membuka rahasia pendekar itu bahwa Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadanya yang telah berkorban untuknya, yang dipercaya dan disayangnya itu bukan lain adalah Kok Cu pemuda laknat yang memperkosanya, yang dibencinya dan yang hendak dibunuhnya, maka seketika lenyaplah segala arti kehidupan bagi Ceng Ceng.

Musuh besar yang paling dibencinya itu ternyata juga merupakan penolong yang paling disayangnya, dan kini telah mati! Baru terasa olehnya betapa selama ini dia hidup berdasarkan hati benci dan sayang. Dan begitu orang yang dibenci dan disayangnya mati, mati pula dasar hidupnya. Ceng Ceng menjadi seorang yang seolah-olah tidak bersemangat lagi, seperti boneka hidup!

Keinginannya hanya satu, kalau boleh dinamakan keinginan, yaitu kembali ke tempat asalnya, dimana dia dibesarkan dan untuk.... mati di tempat itu, di pegunungan luar kota raja Bhutan, bekas tempat tinggal kakeknya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, perjalanannya ini disertai oleh Kim Hwee Li, gadis cilik yang nekat minta menjadi muridnya dan ditemani pula oleh Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es.

Sungguh merupakan kelompok yang aneh sekali! Seorang pendekar besar yang namanya mengguncangkan dunia persilatan, yang namanya saja sudah cukup membuat orang-orang jahat menjadi gentar dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi kagum, kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang sudah lenyap gairah hidupnya, dan seorang anak perempuan yang lincah, bengal, puteri dari seorang datuk sesat yang amat kejam, yaitu Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.

Karena ditemani oleh Pendekar Super Sakti, perjalanan ke barat daya itu berjalan lancar dan tidak ada yang berani mengganggu mereka. Kadang-kadang, kalau melalui daerah berbahaya, Suma Han menggandeng tangan kedua orang gadis itu dan membawa mereka berjalan seperti terbang berloncatan melewati jurang-jurang dalam dan lebar sehingga diam-diam Ceng Ceng yang seperti boneka hidup itu menjadi kagum bukan main, sedangkan Hwee Li bersorak-sorak girang kalau mendapatkan dirinya dapat pula “terbang” tanpa duduk di atas punggung rajawalinya.

Perjalanan itu lancar dan cepat. Dan pada suatu hari tibalah mereka di suatu daerah padang rumput yang sudah dekat dengan kota raja Bhutan, karena daerah ini sebetulnya sudah termasuk wilayah Bhutan, dekat dengan perbatasan di timur.

Dan pada sore harinya, di tepi daerah padang rumput ini, tibalah mereka di sebuah perkampungan suku bangsa Nomad yang menggembala ternak. Mereka ini adalah peternak-peternak Nomad yang selalu berpindah tempat dan selalu hidup di dekat padang-padang rumput dimana mereka dapat membiarkan ternak kambing mereka makan sekenyangnya.

Untung bagi Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu bahwa yang berada di perkampungan peternak itu adalah suku bangsa yang tidak liar dan yang suka hidup damai. Maka mereka bertiga diterima oleh mereka sebagai tamu-tamu dan dipersilakan duduk ikut makan minum bersama mereka.

Ternyata malam itu suku bangsa peternak Nomad ini sedang mengadakan keramaian untuk merayakan pahlawan-pahlawan mereka yang menang perang. Tentu saja Pendekar Super Sakti tidak tahu bahwa kepala suku bangsa ini bersama puluhan anak buahnya, terbujuk pula oleh Tambolon dan ikut menggabungkan diri untuk memerangi Bhutan! Dan malam hari itu, suku bangsa ini merayakan kemenangan para pahlawan mereka yang kabarnya telah mengepung kota raja Bhutan dan yang dianggapnya sebagai suatu kemenangan gemilang.

Sukarnya, diantara suku bangsa ini, hanya ada beberapa orang saja yang dapat berbahasa Han, itu pun tidak lengkap sehingga sukar sekali bagi Suma Han dan dua orang gadis itu untuk bicara dengan mereka.

Dengan bahasa tangan yang serba tidak lengkap, tiga orang tamu ini hanya dapat menangkap bahwa suku bangsa itu sedang merayakan pesta “menang perang”, akan tetapi tidak jelas perang dengan siapa dan dimana! Akan tetapi, Suma Han yang tidak mau mencampuri urusan mereka dan merasa sudah untung diterima sebagai tamu, tidak ingin menyelidiki lebih lanjut dan ikut pula berpesta makan minum sekenyangnya.

Hwee Li yang bengal itu tidak mau tinggal diam. Setelah kenyang makan minum, melihat kegembiraan suku bangsa itu, dia meninggalkan dua orang teman seperjalanannya untuk menonton keramaian. Bermacam-macam pertunjukan diadakan. Ada pertunjukan adu gulat, ada pula adu domba, tari-tarian, nyanyian dan lain-lain.

Akan tetapi yang paling menarik hati Hwee Li adalah pertunjukan yang dilakukan oleh seorang yang agaknya berasal dari India, memakai sorban kuning dan orang ini meniup sebatang suling mengiringi gerakan seekor ular cobra yang meliak-liukkan tubuhnya seperti seorang penari yang genit. Para penonton merasa ngeri karena maklum akan bahayanya gigitan ular cobra yang amat beracun ini maka mereka menonton agak menjauh dan tempat pertunjukan ini pun berada di sudut perkampungan, dekat pintu pagar yang mengitari perkampungan itu.

Tentu saja Kim Hwee Li tertarik sekali karena gadis cilik ini memang sejak kecil biasa bermain-main dengan segala macam ular, dari yang kecil sampai yang paling besar, dari yang jinak sampai yang paling buas dan beracun.

Yang membuat dia terheran dan geli hatinya adalah suara suling yang ditiup oleh orang bersorban itu. Suara suling itu melengking tidak pernah ada putusnya, seolah-olah orang itu tidak pernah menarik napas, dan lucunya, lenggak-lenggok ular itu tepat dengan irama suling seolah-olah ular itu mengerti pula akan lagu yang ditiup melalui suling.

Karena amat tertarik, tanpa disadarinya, Hwee Li melangkah dekat, bahkan memasuki lingkaran penonton yang berjongkok agak jauh. Beberapa orang berseru dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Hwee Li, akan tetapi jelas bahwa nadanya melarang gadis itu mendekat.

Mereka itu kelihatan khawatir, akan tetapi Hwee Li menoleh kepada mereka, tersenyum dan mengangkat tangan memberi isyarat agar mereka tidak mengkhawatirkan dia. Lalu dia pun berjongkok di dekat orang bersorban sambil mengawasi gerak-gerik ular itu.

Orang India bersorban itu menggunakan tangan kirinya untuk memberi isyarat mengusir Hwee Li sedangkan tangan kanannya tetap memegang dan mempermainkan lubang-lubang suling yang ditiupnya.

Akan tetapi Hwee Li yang sudah tertarik sekali dan timbul rasa gembiranya bertemu “kawan lama”, yaitu seekor ular berbisa seperti cobra itu, sama sekali tidak mempedulikan orang India itu. Bahkan kini Hwee Li menggerak-gerakkan kedua lengannya yang kecil panjang, digerak-gerakkan dengan amat lemasnya seperti dua ekor ular menari-nari! Tangannya dibentuk seperti kepala ular dan lengannya seperti badan ular, melenggak-lenggok dan meliuk-liuk amat lemasnya.

Para penonton yang mula-mula merasa khawatir, kini menjadi geli dan tertarik, bahkan ada yang memuji karena memang indah sekali gerakan kedua lengan tangan Hwee Li, seolah-olah gadis cilik itu seorang penari ular yang amat pandai.






Akan tetapi seruan-seruan pujian menjadi seruan-seruan keheranan bercampur kekhawatiran ketika mendadak ular cobra itu kini meninggalkan keranjang, meninggalkan orang India dan menghampiri Hwee Li sambil menari-nari, matanya mencorong dan mulutnya mendesis-desis, lehernya mekar makin lebar.

Orang bersorban itu terbelalak, matanya melotot saking heran dan penasaran melihat betapa ularnya, ular yang dipeliharanya bertahun-tahun dan selalu taat kepada sulingnya itu sekarang mendadak saja meninggalkan dia dan suara sulingnya tidak lagi mempengaruhinya. Dia menjadi penasaran, sulingnya ditiup makin kuat sehingga lehernya menggembung besar seperti leher cobra itu, matanya melotot karena dia menahan napas terlalu lama. Benar saja, ular itu terkejut dan menengok, lalu bergerak kembali ke tukang suling.

“Trak-trak.... cek-cek-cek....!”

Tiba-tiba Hwee Li membunyikan jari-jari tangannya dengan jalan menjentrekkan jari tengah dan ibu jarinya, disusul suara lidah dan bibirnya dan suara itu membuat si ular cobra kembali menengok kepadanya.

Terjadilah “adu kekuatan” antara suara suling dan suara jari tangan dan mulut Hwee Li, saling menarik ular itu yang kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi akhirnya ular itu bergerak ke arah Hwee Li, lalu lehernya ditangkap tangan Hwee Li dan ular itu dengan sikap manja lalu melingkarkan tubuhnya pada tangan gadis cantik itu, lidahnya menjilat-jilat dan nampaknya jinak bukan main!

Orang bersorban itu bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis cilik ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang “pawang ular” yang hebat, maka dia menghentikan tiupan sulingnya, bangkit berdiri dan menjura ke arah Hwee Li sebagai penghormatan, kemudian menyodorkan keranjang ular, agaknya minta agar Hwee Li mengembalikan ular itu kepadanya.

Para penonton juga menjadi kagum, ada yang bertepuk tangan dan tempat itu menjadi berisik sekali karena semua orang membicarakan kelihaian gadis cilik ini dan menduga-duga siapa adanya pawang ular cilik yang hebat ini.

Akan tetapi Hwee Li memandang kepada orang bersorban itu dengan sinar mata tidak senang dan menghina, apalagi ketika melihat banyak diantara penonton memberi mata uang dan barang-barang hadiah lain kepada Si Pemilik Ular itu. Dia membiarkan ular cobra itu melingkar di lengan dan lehernya, kemudian dia berkata,

“Kau orang yang kejam dan tak tahu malu, menggunakan ular untuk mencari uang! Kau menyiksa ular ini dengan sulingmu, memaksanya menari-nari agar kau mendapatkan uang. Huh, tak tahu malu!”

Setelah berkata demikian, Hwee Li lalu meninggalkannya sambil membawa pergi ular cobra itu. Tentu saja orang bersorban menjadi marah. Dia sudah pernah merantau ke timur dan sedikit-sedikit dia dapat juga berbahasa Han.

“Nona, tunggu....! Kau kembalikan ularku!” katanya marah.

Hwee Li berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya.
“Apa? Siapa bilang ini ularmu? Dia tentu ular yang bebas dan kau tangkap lalu kau paksa mencarikan uang untukmu!”

“Kembalikan!” Orang India itu membentak.

“Tidak!”

Hwee Li juga membentak dan kini dia lalu melepaskan ular itu dan menggebahnya dengan suara tertentu. Ular itu terkejut dan menghilang di dalam semak-semak yang tebal.

“Kurang ajar!”

Orang bersorban itu marah sekali, lalu dia mengeluarkan seekor ular dari dalam saku bajunya. Ular ini kecil saja, sebesar kelingking dan panjangnya hanya satu jengkal, kulitnya belang-belang merah hitam. Dengan ular ini di tangan, jari-jari tangannya yang coklat panjang menjepit leher ular, orang bersorban itu menyerang Hwee Li!

Gadis cilik ini tersenyum mengejek, membiarkan ular itu menggigit lengannya, kemudian dengan gerakan cepat dia menotok pergelangan tangan orang India itu. Dia adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo, tentu saja lihai sekali dan totokannya membuat tangan orang India itu menjadi lumpuh, jepitan jarinya pada leher ular terlepas dan ular kecil itu membalik dan menggigit ibu jari tangannya.

Orang India itu menjerit, membuang ularnya dan dia berjingkrak-jingkrak sambil memegangi ibu jari tangannya yang tergigit ular beracun itu. Adapun Hwee Li dengan tenang saja mengobati luka di lengannya. Dia sudah kebal terhadap gigitan ular yang bagaimana beracun pun, karena di Pulau Neraka adalah pusat segala macam ular beracun maka dia pun hanya mengobati lukanya saja, bukan memunahkan racunnya yang tidak akan mengganggunya sedikitpun juga. Akan tetapi, orang India itu ketakutan setengah mati karena dia maklum bahwa gigitan ular kecil itu amat berbahaya dan dia tidak tahu bagaimana caranya mengobatinya.

Para penonton menjadi ikut sibuk karena terjadinya hal yang tidak mereka sangka itu. Karena tidak mengerti bahasanya, maka para penonton yang tadi melihat orang India itu lebih dulu menyerang, tidak ada yang menyalahkan si gadis cilik, apalagi melihat gadis cilik itu pun terkena gigitan ular kecil. Hanya yang membuat mereka terheran-heran, kalau gadis cilik itu tenang-tenang saja, mengapa orang India ini menjadi begitu ketakutan dan kini berjingkrakan sambil menangis?

Tiba-tiba diantara penonton muncul seorang gadis remaja yang menerobos masuk. Dia amat cantik jelita, sukar dikatakan siapa yang lebih cantik antara dia dan Hwee Li, karena keduanya memiliki kecantikan khas masing-masing, hanya gadis ini lebih dewasa daripada Hwee Li. Gadis ini dengan alis berkerut memandang kepada Hwee Li, kemudian menghampiri orang India itu, mengeluarkan sebungkus obat dan dengan cekatan dia menggunakan sebuah pisau kecil merobek ibu jari itu, mengeluarkan darahnya dan membubuhkan obat ke ibu jari itu, kemudian membalutnya dengan robekan baju orang India itu sendiri.

Dan orang India itu berhenti menangis, agaknya luka beracun itu seketika menjadi sembuh. Orang India itu lalu menjura dengan dalam sampai tubuhnya hampir terlipat menjadi dua kepada nona yang tanpa banyak bicara telah mengobatinya itu.

Kini, nona itu berdiri menghadapi Hwee Li, sambil bertolak pinggang, sikapnya galak bukan main seperti seorang guru memarahi muridnya!

“Kau sungguh bocah yang kejam dan perlu dihajar!” Nona itu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hwee Li. “Masih sekecil ini sudah main-main dengan ular berbisa dan melukai orang! Kalau sudah besar kelak tentu akan menjadi iblis betina!”

Hwee Li tentu saja tidak takut. Dia meruncingkan bibirnya. Lincah dan manis sekali, akan tetapi juga membayangkan kebengalannya.

“Phuih, sombongnya! Baru bisa menyembuhkan gigitan ular begitu saja lagaknya sombong seolah-olah telah menjadi Kwan Im Pouwsat! Padahal kau ini tentu hanya Nona penjual obat yang biasa berteriak-teriak di pasar-pasar. Apa sih anehnya?”

Nona muda itu bukan lain adalah Teng Siang In. Sebagai anak dari mendiang Yok-sian Si Dewa Obat, tentu saja dia adalah seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Setelah menjadi murid See-thian Hoat-su, di sepanjang perjalanan kalau melihat tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat mujarab, dia tidak dapat menahan diri untuk tidak mengambilnya dan dia lalu mengumpulkan bahan-bahan obat yang penting-penting di antaranya obat penawar luka-luka berbisa. Maka dengan mudah dia mampu mengobati orang India itu.

Seperti kita ketahui, Siang In juga memiliki watak lincah jenaka dan galak, maka kini berhadapan dengan Hwee Li yang bengal, diejek sebagai penjual obat di pasar, Siang In menjadi marah sekali. Biarpun dia belum sempat digembleng oleh See-thian Hoat-su, namun dia pernah belajar ilmu silat bersama kakaknya, maka kini dia cepat menyerang Hwee Li.

Akan tetapi, biarpun dia lebih muda, Hwee Li puteri Ketua Pulau Neraka itu jauh lebih lihai. Dengan gesit dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian di antara dua orang gadis cilik yang sama-sama cantik jelita ini, dan kejadian ini amat menarik hati dan menggembirakan hati para suku bangsa liar yang memang menganggap perkelahian sebagai tontonan yang mengasyikan, apalagi kalau dilakukan oleh dua orang gadis yang demikian cantiknya.

Setelah saling serang selama belasan jurus, Siang In mulai terdesak dan sudah beberapa kali dia menerima tamparan tangan Hwee Li. Dia menjadi marah sekali dan mulailah Siang In yang galak itu memaki-maki.

Tak lama kemudian, berkelebat bayangan yang gesit dan tahu-tahu Ceng Ceng sudah tiba di tempat perkelahian itu. Semua orang makin kagum dan gembira melihat datangnya seorang gadis dewasa yang amat cantik dan gagah perkasa, yang dengan mudah melerai dua orang gadis muda yang sedang berkelahi mati-matian itu, hanya dengan menengahi dan menangkis pukulan-pukulan mereka.

“Berhenti, jangan berkelahi!” Gadis yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu berseru. “Hwee Li, mundur kau!”

“Subo, dia kurang ajar!” Hwee Li berkata. “Mentang-mentang dia menjadi tukang obat di pasar, dia sombong dan dia yang lebih dulu menyerangku.”

“Bocah setan!” Siang In yang beberapa kali kena ditampar Hwee Li masih marah-marah sekali. “Muridnya setan gurunya tentu iblis!”

Dia kini malah memaki Ceng Ceng untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya karena dia tadi ditampari dan belum sempat membalas sudah dipisahkan.

“Hemm, apakah kau tukang obat yang pandai?”

Ceng Ceng menghampiri sambil mengerutkan alisnya, tidak senang mendengar maki-makian gadis cantik itu.

Pertanyaan yang sewajarnya ini oleh Siang In dianggap penghinaan pula, maka dia lalu menjawab,

“Aku tukang obat atau bukan, setidaknya lebih bersih daripada kalian guru dan murid iblis pengganggu orang!” Dan Siang In langsung lalu menerjang dan memukul Ceng Ceng.

Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berwatak keras, dan pada saat itu dia sedang dilanda kedukaan hebat. Maka melihat sikap Siang In dia sudah menjadi marah sekali.

“Bocah lancang dan sombong! Coba kau obati ini kalau bisa!” Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya.

“Plakkk....! Oughhh....!”

Siang In terpelanting dan roboh, pundaknya kena dipukul oleh Ceng Ceng. Biarpun tubuh Ceng Ceng sudah bersih dari hawa beracun berkat anak naga, akan tetapi gadis ini tentu saja masih menguasai pukulan beracunnya dan Siang In tentu saja tidak kuat menahan pukulan beracun ini dan dia roboh.

“Eh, Siang In, kau kenapa....?”

Tiba-tiba seorang kakek tua renta memasuki tempat itu dan para penonton menjadi makin tegang. Kakek itu memeriksa pundak Siang In dan dia mengerutkan alisnya, lalu bangkit menghadapi Ceng Ceng.

“Hemmm.... agaknya aku pernah bertemu dengan engkau, Nona yang bertangan kejam. Sungguh kejam kau menjatuhkan pukulan beracun kepada muridku. Hayo kau keluarkan obat penawarnya, jangan sampai aku orang tua menjadi hilang sabar kepadamu,” kata kakek itu yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.

“Subo, dia ini tentu pembual yang suka menjual obat di pasar-pasar, inilah macamnya tabib palsu yang beroperasi di pasar-pasar. Jangan layani dia!” Hwee Li mengejek.

Ceng Ceng memandang kakek itu.
“Muridmu yang lancang, mencampuri urusan muridku dan lebih dulu menyerang muridku, mengandalkan kepandaian mengobati. Sekarang biarlah dia atau engkau mengobati luka bekas tanganku itu. Hwee Li, mari kita pergi!”

Akan tetapi baru saja Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, terdengar kakek itu berseru,

“Tahan dulu! Lihat, apakah kalian mampu menahan serangan jubahku ini!”

Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, siap menghadapi kakek itu yang disangkanya akan menyerang mereka. Akan tetapi mereka melihat kakek itu menanggalkan jubahnya, melemparkan jubah itu ke arah mereka dan.... Ceng Ceng dan Hwee Li terkejut bukan main ketika jubah itu tiba-tiba menjadi “hidup” dan telah menyerang mereka kalang-kabut, menghantam mereka dengan lengan jubah seolah-olah digerakkan oleh setan!

“Hiiiiiihhh...., tolongggg, Subo....!”

Hwee Li menjerit-jerit dan berusaha mengelak ke sana-sini dengan perasaan tegang dan seram. Akan tetapi Ceng Ceng sendiri pun kalang-kabut oleh amukan jubah itu! Para penonton kini makin menjauh karena orang Nomad sederhana ini amat percaya tahyul dan kini melihat sehelai jubah dapat mengamuk, mereka tentu saja menjadi ketakutan.

Ceng Ceng sendiri selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti ini. Mukanya yang memang sudah muram itu menjadi makin pucat, matanya terbelalak dan beberapa kali dia bergidik dan merasa ngeri. Jubah itu benar-benar telah menjadi “hidup”! Biarpun dia pandai dan tenaganya juga amat kuat, tentu saja dia kewalahan melawan sehelai jubah yang hidup! Dipukul betapa keras pun, tentu saja jubah itu tidak merasakan apa-apa sebaliknya tamparan-tamparan ujung lengan jubah itu mendatangkan rasa panas.

“Hiiiihhhh.... tolongg.... takuttt.... Locianpwe.... tolong, Locianpweee....!”

Hwee Li menjerit-jerit dikejar oleh jubah itu yang menampari pinggulnya sampai terasa panas dan pedas.

Tiba-tiba muncul Pendekar Super Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri di situ dengan sikap tenang.

“Hemmm, menggunakan ilmu menggoda anak-anak perempuan, sungguh merupakan watak kekanak-kanakan saja!”

Dengan tongkatnya Pendekar Super Sakti menuding dan.... jubah itu seperti ketakutan, seperti seorang kanak-kanak yang ketakutan, dan lari kepada ayahnya. Jubah yang seperti hidup itu kini “memasuki” lagi tubuh dan kedua lengan See-thian Hoat-su dan telah dipakainya kembali.

Sejenak kedua orang itu saling pandang. Ceng Ceng yang masih pucat dan Hwee Li yang masih gemetaran itu memandang dari tempat jauh, sedangkan Siang In juga sudah bangkit duduk dan menonton. Orang-orang yang tadinya menjauhkan diri, kini berani lagi agak mendekat akan tetapi tetap saja agak jauh dan mereka berjongkok untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi.

Sampai lama kedua orang tua itu saling pandang. Kemudian See-thian Hoat-su tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha-ha, hampir tak dapat aku percaya. Benarkah aku berhadapan dengan Pendekar Super Sakti, tocu dari Pulau Es yang juga terkenal sebagai Pendekar Siluman yang tersohor itu?”

Pendekar Super Sakti belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar namanya, maka dengan tenang dan sikap sederhana dia menjawab,

“Saya memang datang dari Pulau Es.”

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Kalau dicari sampai mati pun belum tentu dapat jumpa! Pendekar Siluman, kabarnya engkau disamping memiliki kepandaian silat yang tak terkalahkan, juga amat kuat di dalam ilmu sihir. Nah, aku See-thian Hoat-su memang paling suka main-main dengan ilmu sihir, maka pertemuan ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Mari kita main-main untuk melihat siapa yang lebih kuat diantara kita.”

“See-thian Hoat-su, kita bukan anak kecil lagi. Perlu apa kita bersikap seperti anak kecil yang suka pamer? Kalau ada persoalan diantara kita, apakah tidak lebih baik kita selesaikan secara damai?” Suma Han berkata.

“Ha-ha-ha, justeru tidak ada persoalan! Ada pun kecil tidak berarti, dan aku tadi pun hanya main-main saja dengan mereka.” Tiba-tiba pandang mata See-thian Hoat-su mengeluarkan sinar mencorong yang aneh. “Pendekar Siluman, kulihat tongkatmu itu bukan sembarangan tongkat, lihat dia pandai terbang....!”

Pendekar Super Sakti menghela napas panjang.
“Sesukamulah, Hoat-su.”

Dan dia membiarkan tongkatnya terlepas dari tangannya dan sekali See-thian Hoat-su menggerakkan tangannya, tongkat itu benar-benar melayang di udara, diantara mereka. Pendekar Super Sakti hanya bersedakap dan bersikap tenang saja. Semua orang yang menonton menjadi melongo saking herannya, melihat tongkat butut itu melayang-layang diantara dua orang kakek itu, seolah-olah tongkat itu adalah sebuah benda hidup.

“Pendekar Siluman, lihat tongkatmu menjadi harimau yang akan menelanmu sendiri, ha-ha-ha!”

Terdengar suara See-thian Hoat-su. Dia bicara sambil tertawa-tawa, seperti orang berkelakar saja, akan tetapi di dalam suaranya itu terkandung kekuatan mujijat yang amat berwibawa.

Semua orang yang berada di situ menjadi pucat mukanya dan melotot penuh rasa ngeri dan takut ketika melihat betapa tongkat yang tadinya melayang-layang dan bergerak-gerak seperti hidup itu tiba-tiba kini telah berubah menjadi seekor harimau yang amat besar dan yang menggereng dengan suara menggetarkan tempat itu dan harimau itu meringis, memperlihatkan taringnya dan seperti hendak menyerang kakek berkaki buntung sebelah itu.

“Kau keliru, Hoat-su. Tongkatku itu tidak menjadi harimau, melainkan menjadi seekor naga yang hendak menyerangmu!”

Pendekar Super Sakti berkata, suaranya halus tenang namun juga mengandung wibawa yang amat kuat. Para penonton kini menjadi makin ketakutan, ada yang menggigil dan tidak dapat bangkit berdiri, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka makin lebar terbelalak ketika melihat betapa harimau besar itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor naga yang amat buas dan yang bersikap marah hendak menyerang Kakek See-thian Hoat-su!

See-thian Hoat-su menggerak-gerakkan kedua tanganya di udara dan bentuk naga itu berubah lagi menjadi bentuk harimau, akan tetapi tidak lama, karena segera berubah lagi menjadi bentuk naga seperti yang dikatakan oleh Pendekar Siluman tadi.

Terjadilah adu tenaga sihir yang amat aneh dan orang-orang yang menonton di situ makin lama menjadi makin ketakutan. Siapa yang tidak akan merasa ngeri melihat tongkat butut itu berubah-ubah bentuknya antara bentuk harimau dan bentuk naga, bahkan kadang-kadang “pertandingan” itu sedemikian hebatnya sehingga ada kalanya tongkat itu berubah menjadi seekor harimau yang tubuh bagian belakangnya berbentuk naga, atau seekor naga yang tubuh belakangnya berbentuk harimau! Tentu saja semua orang menjadi ketakutan dan mereka makin lama makin mundur menjauhi dua orang kakek yang mereka anggap siluman-siluman itu.

Setelah mengadu kekuatan sihir beberapa lamanya, akhirnya See-thian Hoat-su terpaksa mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti ketika tongkat itu sepenuhnya berubah menjadi seekor naga yang beterbangan dan mengancam kepala kakek dari barat itu.

“Hebat engkau, Pendekar Siluman. Biar aku mengakui keunggulanmu!” katanya sambil menghentikan pengerahan tenaga mujijat.

Suma Han mengangkat tangannya dan “naga” itu terbang kembali ke tangannya dan berubah lagi menjadi sebatang tongkat.

“See-thian Hoat-su, engkau sudah tua sekali akan tetapi masih suka main-main seperti seorang anak-anak saja.” Pendekar Super Sakti menegur.

“Ha-ha-ha-ha, memang orang tua bukan lain hanyalah anak-anak yang tubuhnya besar. Anak-anak suka bermain-main dengan barang-barang mainan, orang-orang tua juga suka bermain-main dengan pikiran dan nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Tidak begitukah?”

Suma Han tersenyum.
“Engkau benar, Hoat-su. Harap engkau orang tua suka memaafkan kalau dua orang temanku yang muda itu tadi melakukan kesalahan terhadapmu.”

Suma Han menuding ke arah Ceng Ceng dan Hwee Li, akan tetapi dia tersenyum melihat Hwee Li dan nona cantik murid kakek itu ternyata sudah duduk berdekatan dan bicara dengan asyik dan dalam suasana bersahabat!

Memang demikianlah. Hwee Li dan Siang In yang keduanya memiliki watak yang hampir sama, ternyata sudah bersahabat, bahkan Hwee Li telah setengah memaksa subonya untuk mengobati Siang In. Tentu saja tidak ada lagi persoalan diantara mereka, bahkan mereka lalu bersahabat.