FB

FB


Ads

Jumat, 13 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 140

Melihat ini, diam-diam Puteri Milana melolos sabuknya dan pada saat untuk ke sekian kalinya Tek Hoat mengadu tenaga dengan Bun Beng dan pendekar ini menggunakan tenaga saktinya untuk membuat kedua tangan pemuda itu melekat pada tangannya, tiba-tiba Milana menggerakkan sabuknya dan sabuk itu seperti hidup membelit-belit dan mengikat tubuh dan kedua tangannya sehingga Tek Hoat tidak mampu bergerak lagi.

“Lepaskan aku dan mari kita bertempur sampai mati! Atau bunuh saja aku!” Tek Hoat meronta-ronta. “Gak Bun Beng manusia busuk! Engkau yang telah membuat ibuku menderita selama hidupnya! Terkutuk engkau...!”

Syanti Dewi menubruk dan memegang kedua lengan Tek Hoat.
“Tek Hoat, ingat. Siapa aku? Aku minta kau diam dan mendengarkan penjelasan. Kemanakah perginya sifatmu yang baik itu? Apakah kau ingin membuat aku berduka, Tek Hoat?”

Pemuda itu memandang wajah Sang Puteri, mukanya menjadi pucat, dua titik air mata meloncat turun dan dia menunduk.

“Dewi...” Dia memejamkan matanya dan menggigit bibirnya.

Mereka kini duduk di dalam kuil, sedangkan Jayin dan pasukannya menanti di luar. Dengan sabar dan tenang Gak Bun Beng bercerita kepada Tek Hoat yang telah dilepas ikatannya dan lengannya dipegang oleh Syanti Dewi.

Pegangan puteri ini sebetulnya malah lebih kuat dari pada ikatan sabuk Puteri Milana, karena Tek Hoat menjadi jinak dan tidak mengamuk lagi. Dia menunduk dan mendengarkan penuturan Gak Bun Beng dengan hati tidak karuan rasanya.

Setelah Gak Bun Beng menceritakan bahwa dia bukanlah musuhnya seperti yang diduga oleh Ang Siok Bi, ibunya, Milana juga lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ang Siok Bi dan betapa ibunya kini pun sudah insyaf akan kekeliruannya yang amat besar dan mendatangkan akibat yang hebat itu.

“Akan tetapi... masa ibuku begitu bodoh sehingga mudah saja ditipu oleh penjahat yang bernama Wan Keng In itu...?” Tek Hoat membantah dengan ragu-ragu.

“Tek Hoat, kau lihatlah aku!” Puteri Milana tiba-tiba berkata. “Kau sedikit banyak sudah mengenal aku, bukan? Apakah aku seorang yang mudah ditipu? Dan aku masih terhitung saudara tiri dari Wan Keng In, juga aku adalah masih sumoi dari Gak-suheng. Akan tetapi toh aku juga tertipu seperti ibumu sehingga aku sendiri, bersama ibumu dan wanita lain yang juga menjadi korban Wan Keng In, kami mengeroyok Gak-suheng sehingga Gak-suheng terjerumus ke dalam jurang dan disangka mati oleh ibumu. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali, tak pernah bertemu dengan kami sehingga belum juga tahu akan kekeliruan sangka itu. Sampai engkau muncul dan melakukan tindakan yang menjadi akibat fitnah itu.”

“Tek Hoat, sudah kukatakan kepadamu bahwa Paman Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berhati mulia, tidak mungkin melakukan kekejaman seperti itu. Kau telah salah sangka dan ibumu pun demikian...,” kata Syanti Dewi.

Tiba-tiba Tek Hoat menutupi mukanya, lalu menjambak-jambak rambutnya.
“Dan aku... aku telah... menodai namanya..., persis seperti yang dilakukan oleh... oleh ayahku yang jahanam itu!” Dia bangkit dan melotot. “Aku tidak layak hidup! Dewi, aku tidak layak hidup, apa lagi berdekatan denganmu.”

“Tek Hoat...!” Melihat pemuda itu seperti orang beringas, Syanti Dewi menubruknya. “Tek Hoat, jangan... jangan nekat... kau... adalah sebaik-baiknya orang bagiku...”

“Tidak, Dewi. Aku orang jahat...” Dia masih meronta.

Bun Beng bangkit dan memegang kedua pundak pemuda itu, mengguncangnya dan berkata dengan nada keras,

“Tek Hoat, beginikah sikap seorang jantan? Apakah kau begini pengecut sehingga kau menjadi putus harapan? Semua orang di dunia ini pasti pernah melakukan penyelewengan. Siapakah diantara kita yang tidak pernah keliru dalam tindakan dalam hidup kita? Yang penting adalah menyadari kesalahan itu, karena hanya kesadaran saja yang akan dapat mendatangkan perubahan. Bersikaplah gagah, tenagamu yang muda masih dibutuhkan oleh manusia dan dunia, dan terutama sekali, kau lihat, Puteri Syanti Dewi amat membutuhkanmu.”

Tek Hoat terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng, kemudian menoleh ke arah Syanti Dewi, dan lemaslah seluruh tubuhnya. Dia mengangguk-angguk, menarik napas panjang.

“Baiklah... baiklah..., aku menyerah dan menurut... tapi aku harus mendengar sendiri keterangan itu dari ibuku...”

Bagaikan seekor harimau yang telah berubah menjadi seekor domba jinak, Tek Hoat menurut saja diajak keluar menemui Jayin dan pasukannya, dan dia tidak pernah membantah ketika diajak oleh Syanti Dewi untuk menemui ayahnya yang menanti dengan cemas di dalam perkemahannya di hutan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan ini telah tiba di perkemahan Raja Bhutan. Mendengar bahwa puterinya sudah ditemukan dalam keadaan selamat, Raja Bhutan menjadi girang dan tergopoh-gopoh dia keluar dari tendanya menyambut sendiri.

Syanti Dewi menjerit dan lari menghampiri ayahnya. Mereka berpelukan dan Syanti Dewi tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, sedangkan Sri Baginda juga mengusap air matanya dan mengelus-elus kepala puterinya, mendekapnya ketat seolah-olah takut kehilangan puterinya lagi.

Setelah mendengar penuturan Panglima Jayin bahwa tiga orang dari timur itu, ialah Puteri Milana, Gak Bun Beng, dan Ang Tek Hoat telah banyak berjasa dalam usaha menyelamatkan Puteri Syanti Dewi, Sri Baginda Kerajaan Bhutan merasa berterima kasih sekali. Dengan wajah berseri dia menghaturkan terima kasih dan mengundang mereka bertiga untuk berkunjung dan menjadi tamu kehormatan di Kerajaan Bhutan.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Raja Bhutan yang amat berterima kasih itu, Gak Bun Beng dan Puteri Milana merasa sungkan untuk menolak, sedangkan Tek Hoat yang hanya tunduk kepada pandang mata Puteri Syanti Dewi juga tidak banyak cakap lagi.






Pada keesokan harinya, berangkatlah rombongan Raja Bhutan ini, hendak kembali ke kota raja, diiringkan oleh tiga orang tamu itu. Gak Bun Beng dan Puteri Milana saling bermufakat untuk singgah beberapa hari di kota raja Bhutan dan kemudian melanjutkan usaha mereka mencari Kian Bu yang lenyap jejaknya itu, kemudian setelah dapat bertemu dengan adik itu, bersama-sama akan pergi menghadap ke Pulau Es.

Akan tetapi, jauh di luar dugaan mereka dan dugaan Raja Bhutan sendiri, perjalanan yang diliputi kegembiraan oleh karena Sang Puteri telah bertemu dengan ayahnya itu ternyata menghadapi ancaman yang hebat!

Rombongan megah yang sedang bergerak perlahan dan tidak tergesa-gesa melalui sebuah daerah terbuka, dan Raja Bhutan yang berkuda di sebelah puterinya itu, tiba-tiba terkejut melihat datangnya seorang prajurit yang berlari-larian dari depan dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di tengah jalan menghadang rombongan itu!

Mula-mula Panglima Jayin yang menghampiri dan dengan marah menegur prajurit Bhutan yang membawa tombak itu, akan tetapi begitu mendengar pelaporan prajurit yang ternyata merupakan seorang kurir atau utusan dari komandan pasukan penjaga kota raja, Panglima Jayin terkejut sekali dan membawa kurir itu menghadap Sri Baginda sendiri.

“Mohon paduka mengampunkan hamba yang datang mengganggu tanpa dipanggil,” utusan itu berlutut kemudian menjawab pertanyaan Sri Baginda. “Hamba diutus oleh komandan untuk mengabarkan bahwa kota raja kini sedang dikurung oleh pasukan-pasukan besar dari para kepala suku liar dan dipimpin sendiri oleh Tambolon. Jumlah pasukan mereka besar sekali dan kota raja telah dikurung sehingga rombongan paduka hendaknya tidak melanjutkan perjalanan ke sana karena pintu masuk telah dikurung semua oleh pihak musuh.”

“Hemm, Si Tambolon keparat!” Sri Baginda berseru marah. “Apa kehendaknya sekali ini?”

“Maaf, Sri Baginda. Dengan terang-terangan Tambolon menyatakan bahwa kini dia menuntut agar Sang Puteri diserahkan kepadanya.”

“Ayah... kedatanganku ternyata hanya mendatangkan mala petaka saja...!” Syanti Dewi berseru kaget.

“Hemm, jangan kau berkata demikian, anakku. Jayin, hentikan rombongan dan segera kumpulkan semua panglima dan perwira, juga undang tiga orang tamu agung kita untuk diajak berunding.”

Rombongan berhenti dan perkemahan didirikan di tempat itu. Kemudian Raja Bhutan mengadakan perundingan dengan para panglimanya, juga dihadiri oleh Puteri Syanti Dewi, Puteri Milana, Gak Bun Beng dan Tek Hoat.

Dengan wajah serius Sri Baginda membicarakan ancaman bahaya yang mengepung Bhutan itu, kemudian berkata kepada tiga orang tamunya,

“Untuk menyelamatkan kerajaan, kami sangat mengharapkan bantuan Anda bertiga.”

“Bibi Milana, Paman Gak Bun Beng, saya harap Bibi dan Paman dapat membantu Ayah,” Syanti Dewi juga berkata dengan suara khawatir melihat ayahnya begitu gelisah.

Puteri Milana adalah seorang yang ahli dalam hal perang, maka dengan tenang dia lalu bertanya kepada Panglima Jayin,

“Menurut pelaporan, berapakah kira-kira jumlah para pengepung dan bagaimana keadaan kekuatan para penjaga di kota raja?”

“Menurut pelaporan, para pengepung berjumlah banyak sekali dan sudah menduduki empat penjuru menutup pintu-pintu gerbang yang menghubungkan kota raja dengan daerah luar,” jawab Panglima Jayin. “Sayang bahwa Panglima Sangita juga berada di sini mengawal Sri Baginda sehingga para pasukan di kota raja kehilangan panglima tertinggi. Oleh karena itu, biarlah saya akan berusaha menyelundup ke kota raja agar dapat memimpin pasukan di sebelah dalam.”

“Usul itu tepat,” kata Panglima Sangita yang tua. “Biar pun pasukan yang sekarang mengawal Sri Baginda tidak besar, namun ini merupakan pasukan pengawal istimewa. Dengan menggempur mereka dari luar dan dalam, biar pun jumlah pasukan kita kalah besar, akan tetapi tentu akan dapat mengacaukan mereka.”

“Kalau menurut pendapat saya, yang terpenting adalah menjamin keselamatan keluarga Sri Baginda dan pertahanan kota raja lebih dulu.” Puteri Milana berkata dengan tenang. “Kehadiran Sri Baginda di kota raja amat diperlukan, karena hal itu tentu akan dapat menambah semangat para pasukan. Maka, jika usul saya dapat diterima, kita harus mengusahakan agar Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi dapat diselundupkan masuk ke dalam kota raja sehingga dapat memperbesar semangat pasukan.”

“Akan tetapi, hal itu tentu akan terlalu berbahaya bagi keselamatan Sri Baginda!” Panglima Sangita membantah dengan nada khawatir.

“Tidak lebih berbahaya dari pada berada di luar kota dan hanya dikawal oleh pasukan sebanyak ini,” Gak Bun Beng berkata. “Baiknya pihak musuh belum tahu bahwa Sri Baginda dan Sang Puteri berada di luar kota raja. Kalau sudah tahu, saya kira mereka sekarang pun sudah mengerahkan barisan untuk mengepung dan menyerbu. Tanpa adanya benteng yang melindungi, menghadapi pasukan musuh yang jauh lebih besar sungguh berbahaya sekali. Saya setuju sekali dengan usul Puteri Milana untuk menyelundupkan Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi memasuki kota raja.”

Panglima Jayin dan Panglima Sangita hanya saling pandang dengan ragu-ragu, karena mereka tahu betapa berbahaya menerobos kepungan musuh mengantar Sri Baginda memasuki kota raja yang terkepung itu.

Akan tetapi Sri Baginda yang kelihatan termenung itu segera dipeluk oleh puterinya dan berkata,
“Ayahanda harus menaruh kepercayaan yang sepenuhnya kepada Bibi Puteri Milana dan Paman Gak Bun Beng. Mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang saya percaya dapat melakukan apa pun juga.”

Sri Baginda menghela napas panjang.
“Baiklah, kami hanya mengandalkan bantuan Anda bertiga untuk membantu kami.” Dia tidak melewatkan Tek Hoat karena dia pun sudah mendengar bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa pula. “Bagaimana sebaiknya diatur hal ini, Puteri Milana?”

Puteri Milana mengerutkan alisnya dan memejamkan mata, membayangkan keadaan kota raja Bhutan yang terkepung musuh yang dipimpin oleh Tambolon, raja liar itu. Dia belum tahu bagaimana letak dan keadaan kota raja Bhutan, maka sukarlah dia membayangkan cara bertahan yang paling baik. Akhirnya dia berkata,

“Kita menanti sampai malam ini, dan saya sendiri bersama Gak-suheng dan Panglima Jayin akan menyelundupkan paduka dan Puteri Syanti Dewi ke dalam kota raja. Ada pun pasukan pengawal dipimpin oleh Panglima Sangita dan Tek Hoat secara diam-diam melakukan pengawalan sambil bersembunyi. Syukur kalau penyelundupan ke dalam kota raja itu tidak ketahuan musuh. Andai kata sampai ketahuan, pasukan pengawal harus cepat menyerbu dan membikin kacau untuk memecah perhatian musuh sehingga dapat memudahkan kita masuk ke kota raja.”

“Akan tetapi setiap pintu gerbang sudah dikepung musuh, bagaimana kita dapat masuk?” Sri Baginda menyatakan kekhawatirannya.

“Paduka akan saya pondong, dan biarlah Puteri Syanti Dewi dipondong oleh Sumoi dan kami bawa paduka berdua meloncat tembok benteng.”

“Wah, begitu tingginya...?” Sri Baginda terkejut.

“Ayah, percayalah kepada Paman Gak dan Bibi Milana. Mereka memiliki kepandaian seperti dewa,” kata Syanti Dewi gembira, sedikit pun tidak merasa takut. “Dan dengan adanya pengawalan pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat, kita boleh berbesar hati, Ayah. Kita pasti dapat memasuki kota raja dengan selamat.”

Tek Hoat tadinya ingin mengajukan keberatan karena dia tidak ingin mencampuri urusan Kerajaan Bhutan, apalagi setelah dia kini melihat kenyataan bahwa sungguh tidak mungkin baginya untuk melanjutkan cinta kasihnya terhadap seorang puteri seperti Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan yang tercinta dan berkedudukan amat tinggi. Kalau menurut keinginan hatinya, dia ingin mencari ibunya, ingin kembali kepada ibunya dan mendengar sendiri dari ibunya tentang riwayat ibunya yang sebenarnya.

Akan tetapi, mendengar ucapan Syanti Dewi dan terutama sekali ketika mereka bertemu pandang, Tek Hoat tidak mungkin dapat menolak dan dia hanya berkata,

“Hamba akan membela dengan taruhan nyawa hamba.”

“Akan tetapi engkau tidak boleh nekat, Tek Hoat,” Milana berkata mendengar ucapan pemuda itu. “Engkau sudah pernah memimpin pasukan ketika terjadi keributan di utara, maka aku percaya bahwa engkau tentu akan dapat membantu Panglima Sangita mengatur pasukan pengawal itu menjadi barisan terpendam dan hanya bergerak kalau perlu saja. Menyerbu mati-matian padahal jumlah musuh jauh lebih banyak hanya merupakan perbuatan nekat yang konyol.”

Tek Hoat tidak menjawab, akan tetapi mengangguk.

Maka bersiaplah mereka dan setelah malam tiba, berangkatlah lima orang itu berindap-indap melalui tempat-tempat gelap menuju ke kota raja yang masih agak jauh letaknya dari tempat itu. Sangita dan Tek Hoat memimpin pasukan yang disebar dan melakukan pengawalan rahasia dari kanan kiri dan belakang dan Tek Hoat sendiri mendahului perjalanan untuk mengadakan penyelidikan tentang keadaan penjagaan musuh yang mengepung kota raja.

Setelah Milana dan Gak Bun Beng yang mengawal raja dan puteri, ditemani Panglima Jayin tiba dekat tembok kota raja, Tek Hoat menyambut mereka dengan laporan bahwa menurut penyelidikannya, tak mungkin melakukan penyelundupan dekat pintu gerbang yang sudah dikurung ketat dan di setiap tempat dekat pintu gerbang musuh sudah memasang barisan yang terdiri dari regu anak panah dan bahkan regu alat-alat peledak yang tentu akan membahayakan keselamatan raja dan puterinya.

“Akan tetapi di sepanjang tembok benteng di selatan, melalui sungai yang curam, pengepungan tidaklah begitu ketat karena daerah itu amat terjal dan sukar sehingga selain melelahkan bagi musuh juga agaknya mereka anggap tidak penting. Saya kira hanya melalui tembok selatan itulah penyelundupan dapat dilakukan dengan lebih aman.”

Puteri Milana mengangguk-angguk.
“Tek Hoat, bagus sekali laporanmu ini. Kau cepat mengerahkan barisan pendam di sekitar tembok selatan dan kau lihat saja. Kalau kau melihat kami dalam kesukaran, baru kau boleh mengerahkan pasukan untuk mengacau musuh dan membagi perhatian serta kekuatan mereka. Kalau tidak perlu, jangan sekali-kali bergerak.”

“Baik,”

Kata Tek Hoat dan dia memandang ke arah Puteri Syanti Dewi yang seperti juga Sri Baginda dan yang lain telah menyamar sebagai orang-orang biasa. Sejenak, di bawah sinar bintang-bintang di angkasa yang samar-samar, mereka saling pandang, kemudian Syanti Dewi lalu digendong oleh Milana dan Raja digendong oleh Gak Bun Beng.

Tembok benteng itu bertingkat-tingkat, dan di tingkat paling atas terdapat penjaga-penjaga yang selalu siap dengan anak panah mereka. Sedangkan tembok di bagian selatan ini terlindung oleh sebatang sungai yang amat curam, dan karena sukarnya tempat ini, maka pasukan anak buah Tambolon yang mengurung kota raja hanya menjaga di tepi-tepi sungai sambil bersembunyi.

Oleh karena itu, maka dengan mudah Gak Bun Beng dan Milana yang menggendong raja dan puterinya menyusup dan menuruni sungai yang curam itu mendekati tembok, diikuti oleh Panglima Jayin yang berkepandaian tinggi itu.

Akhirnya mereka tiba juga di dekat tembok dan dengan bingung Panglima Jayin memandang ke atas. Tembok benteng itu demikian tingginya, bagaimana mungkin membawa Raja dan puteri naik ke atasnya tanpa diketahui oleh pihak musuh? Dia sendiri tidak akan sanggup untuk meloncat ke bagian tembok yang paling rendah saja, apalagi sampai ke tingkat paling tinggi.

Sunyi sekali tampaknya di sekeliling tempat itu, akan tetapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana maklum bahwa di belakang mereka, di sungai curam yang kelihatan gelap dan sunyi itu, tentu terdapat pihak musuh yang siap menyerbu dan menyerang mereka dengan anak panah kalau sampai kehadiran mereka diketahui.

“Sumoi, biar aku membawa Sri Baginda naik lebih dulu dan kau melindungi aku dari belakang. Kalau dilakukan secara berbareng, kita tidak dapat melakukan perlindungan dengan sempurna.”

“Memang aku pun berpikir demikian, Suheng. Nah, aku sudah siap. Syanti Dewi, kau bersembunyi dulu disini bersama Panglima Jayin sementara kami menyelamatkan ayahmu ke dalam benteng.”

Panglima Jayin lalu mengajak Syanti Dewi untuk bersembunyi di dalam rumpun alang-alang agak menjauh dari tempat itu. Dari tempat persembunyian ini mereka mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan.

“Sudah siap, Sumoi?”

“Sudah, Suheng,” kata Milana sambil mencabut keluar pedangnya.

Tak lama kemudian Gak Bun Beng yang menggendong Raja Bhutan meloncat ke atas tembok pertama, disusul oleh Milana yang memegang pedang. Bayangan mereka nampak seperti dua ekor burung terbang dan dengan penuh kagum Jayin dan Syanti Dewi melihat betapa mereka telah berhasil hinggap dan berdiri di atas tembok pertama. Dengan sigap seperti dua ekor kucing saja, dua orang sakti itu kembali bergerak meloncat ke atas ke tembok tingkat dua.

Tiba-tiba kelihatan sinar api dari atas tembok tingkat empat dan terdengar ribut-ribut para penjaga yang telah melihat bayangan mereka dan tentu saja para penjaga itu mengira bahwa mereka adalah pihak musuh yang hendak menyelundup masuk. Terdengar tanda bahaya dipukul dan di atas benteng muncul kepala banyak orang yang menjenguk ke bawah.

Keributan ini agaknya terlihat oleh pihak musuh. Segera tampak kesibukan di luar tembok dan anak-anak panah mulai meluncur secara gencar dari luar tembok, ditujukan kepada dua bayangan itu karena pihak pengepung maklum bahwa ada orang yang akan menyelundup ke dalam benteng.

“Hati-hati, Suheng. Aku menjaga serangan dari belakang!”

Milana berseru dan pedangnya sudah diputar cepat dan semua anak panah yang menyerang dari pihak musuh dapat ditangkisnya dengan mudah. Sedangkan Bun Beng sendiri juga sudah cepat menggerakkan kedua lengan bajunya untuk menangkis anak panah yang sudah datang pula dari atas dan depan, yaitu dari pihak penjaga Bhutan! Mereka diserang dari depan dan belakang!

“Sumoi, cepat meloncat ke tingkat tiga!”

Bun Beng berseru dan dengan pengerahan tenaga ginkang-nya, dia sudah melayang ke atas diikuti oleh Milana yang memutar pedangnya.

“Trang-tranggg...!”

Bun Beng sudah berhasil sampai di atas tembok tingkat ketiga dengan Raja Bhutan di gendongannya. Milana tetap menjaga di belakangnya dan karena kini datangnya anak panah dari bawah amat lebat, puteri ini sibuk juga melindungi Raja yang berada di punggung Bun Beng.

“Haiii... para penjaga! Yang datang adalah raja kalian!”

Bun Beng berteriak ke atas akan tetapi karena di tingkat paling atas itu para penjaga gempar dan bising, maka teriakan Bun Bung ini tidak terdengar nyata dan dari atas kini datang pula serangan anak panah dan batu!

Dengan tangkas Bun Beng menangkisi semua senjata itu, dan Raja Bhutan sendiri menyumpah-nyumpah.

“Betapa tololnya mereka!” dia memaki.

“Mereka tidak tahu bahwa paduka yang datang, Sri Baginda. Biarlah saya merayap ke atas, harap paduka berpegang kuat-kuat.”

“Naiklah, Suheng. Aku akan melindungimu dari belakang.” Milana berkata. “Cepat, karena serangan dari bawah makin gencar dan aku melihat mereka itu sudah keluar dari tempat persembunyian mereka.”

Gak Bun Beng tidak berani meloncat ke tingkat paling atas, karena selain tingkat itu tinggi, juga di situ sudah siap para penjaga yang tentu akan menyerang dengan membuta dan hal ini amat berbahaya. Maka dia lalu menggunakan sinkang-nya, dan mulailah pendekar ini memanjat tembok itu seperti seekor cecak!

Puteri Milana dengan pedang di tangan tetap melindunginya dan menangkisi semua senjata yang meluncur dari bawah, sedangkan para penjaga di atas menjadi bingung dan tidak dapat melihat Bun Beng yang merayap mepet di tembok. Dari atas mereka itu hanya menyerang Puteri Milana sehingga Sang Puteri harus memperlihatkan kehebatan permainan pedangnya yang menangkisi hujan anak panah yang datang dari bawah dan atas.

Ketika tiba di tingkat paling atas benteng itu, Gak Bun Beng menghadapi ujung-ujung tombak dan pedang yang sudah nampak dari bawah! Karena suara hiruk-pikuk para penjaga di atas dan teriakan-teriakan para musuh di bawah, maka seruan Raja Bhutan sendiri tidak terdengar oleh para penjaga.

Pada saat itu terdengarlah bentakan-bentakan nyaring dari bawah. Puteri Milana terkejut ketika melihat ada bayangan orang yang meloncat ke atas tembok tingkat pertama dengan gerakan yang ringan dan gesit sekali, terus orang itu berloncatan ke tingkat dua dan agaknya hendak mengejar Gak Bun Beng.

Karena dia dihujani anak panah dari atas dan bawah, dia tidak dapat mencegah orang itu yang kini dengan loncatan-loncatan cepat telah mengejar Bun Beng yang masih merayap sambil menggendong Raja Bhutan! Akhirnya Puteri Milana dapat juga memukul runtuh semua anak panah dan cepat dia pun meloncat ke arah bayangan itu. Namun terlambat!

Bayangan orang kurus itu telah melayang ke arah Gak Bun Beng yang masih merayap seperti cecak sambil berseru,

“Bunuh Raja Bhutan!”

Bun Beng terkejut, maklum bahwa ada lawan menyerangnya sambil meloncat ke udara, serangan yang ditujukan kepada tubuh Sang Raja di atas punggungnya. Maka dia pun cepat menoleh dan pada saat itu dia mendengar teriakan Milana,

“Suheng, lemparkan beliau ke sini!”

Bun Beng maklum akan bahaya serangan orang yang agaknya cukup lihai itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memegang kedua lengan Raja Bhutan yang merangkul lehernya, melepaskan rangkulan dan melemparkan tubuh Raja ke arah Milana.

Raja itu tentu saja terkejut sekali dan mengeluarkan keluhan panjang, karena kalau tubuhnya sampai terjatuh ke bawah sana, tentu akan hancur lebur. Akan tetapi, sepasang lengan yang kecil kuat, dengan tangan yang halus, menerima tubuhnya dengan mudah dan tahu-tahu dia sudah berdiri di atas tembok tingkat tiga, dipegangi oleh Puteri Milana. Tubuh Raja menggigil.

“Harap paduka tenang...” Milana berkata dan pedangnya menyampok beberapa batang anak panah.

Sementara itu, orang kurus yang menyerang tadi telah disambut oleh dorongan tangan Bun Beng.

“Dessss...!”

Begitu tangan mereka bertemu, orang itu terpental dan terdengar dia mengeluarkan lengking kematian yang mengerikan ketika tubuhnya terlempar ke bawah yang gelap dan amat dalam itu. Bun Beng terpaksa melanjutkan usahanya merayap ke atas. Dia dipapaki tombak dan pedang namun dengan mudah dia menangkis semua senjata itu sehingga runtuh dan dia cepat berseru keras,

“Kami adalah orang-orang sendiri! Kami mengantar Sri Baginda naik ke benteng, harap bantu beliau naik!”

Mendengar ini, barulah terkejut para penjaga. Tadinya mereka juga terheran-heran melihat ada orang berani naik ke benteng seperti itu dan melihat betapa yang berusaha naik itu diserang oleh anak panah musuh juga.

Gak Bun Beng lalu meloncat turun lagi untuk menjemput Sri Baginda dan kini dari atas benteng dihujankan senjata ke arah musuh yang menyerang dari bawah. Hujan anak panah ini membuat serangan dari bawah mereda dan dengan mudah Bun Beng membawa Sri Baginda ke atas tembok yang disambut dengan sorak girang oleh para penjaga.