FB

FB


Ads

Jumat, 13 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 139

Sudah terlalu lama kita meninggalkan para tokoh lain, maka biarlah kita lebih dulu meninggalkan Ceng Ceng yang melakukan perjalanan ke Bhutan bersama Pendekar Super Sakti dan Hwee Li, dan mari kita menengok pengalaman apa yang ditempuh oleh para tokoh lainnya dalam cerita ini.

Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, ada pasukan pengawal dari Bhutan yang mengawal Puteri Syanti Dewi secara rahasia kembali ke Bhutan. Pengawalan dilakukan secara rahasia dan Sang Puteri bersembunyi dalam kereta untuk mencegah terjadinya hambatan-hambatan dan serbuan-serbuan musuh. Tetapi tetap saja pasukan itu mengalami penyerbuan Tambolon dan kaki tangannya, dan secara kebetulan saja Tek Hoat yang membantu pasukan itu dapat bertemu dengan Puteri Syanti Dewi.

Telah kita ketahui pula betapa Suma Kian Bu tanpa setahu enci-nya, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, diam-diam juga melakukan perjalanan ke barat dan dia berhasil menyelamatkan Puteri Syanti Dewi dari ancaman Tambolon dan Durganini, akan tetapi begitu melihat kemesraan antara puteri itu dan Tek Hoat, untuk kedua kalinya hatinya patah dan dia pergi lagi dengan diam-diam dan dengan hati penuh duka.

Dia tidak berani menghampiri rombongan pasukan Bhutan karena di situ terdapat Teng Siang In, dara remaja cantik jenaka yang baru saja diciumnya karena dia tidak dapat menahan diri melihat kecantikan dara bengal yang menggodanya itu. Diam-diam putera Pendekar Super Sakti itu pergi jauh meninggalkan hutan itu.

Teng Sian In juga tidak lama berada di situ, lalu diajak pergi oleh gurunya, yaitu See-thian Hoat-su, kakek rambut putih bekas suami Durganini yang lihai. Mereka berdua tak begitu mempedulikan akan hilangnya Puteri Syanti Dewi, karena kehadiran mereka itu sesungguhnya semata-mata hanya ingin menghalangi sepak terjang Durganini belaka, yang timbul dari rasa sayang di hati See-thian Hoat-su yang hendak mencegah bekas isterinya itu melakukan hal-hal yang jahat!

Akan tetapi, Panglima Jayin dan semua pasukan Bhutan menjadi sibuk dan bingung sekali karena tidak melihat Sang Puteri. Selagi keadaan mereka menjadi sibuk dan bingung, tiba-tiba muncullah dua orang yang segera disambut oleh Panglima Jayin yang telah mengenal mereka, disambut dengan penuh penghormatan karena mereka itu bukan lain adalah Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Akan tetapi ketika Puteri Milana dan Gak Bun Beng mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan lenyap, mereka terkejut bukan main.

“Ah, bagaimana hal itu bisa terjadi?” Puteri Milana menegur.

Panglima Jayin lalu menceritakan tentang penyerbuan Tambolon dan pasukannya, betapa keadaan mereka amat terancam akan tetapi berkat bantuan Ang Tek Hoat yang gagah perkasa, keadaan Sang Puteri masih dapat diselamatkan. Kemudian mereka tertolong oleh pasukan dari Bhutan dan dalam keributan perang itu, tahu-tahu Ang Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi telah lenyap.

“Hemmm...!” Puteri Milana berkata sambil mengerutkan alis dan dia bertukar pandang dengan Gak Bun Beng. “Pemuda itu benar-benar mencurigakan sekali.”

“Kami pun berpikir demikian,” Panglima Jayin berkata kepada Gak Bun Beng. “Agaknya kalau Sang Puteri tidak tertawan oleh Tambolon, tentu dilarikan oleh pemuda itu.”

“Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan dahulu,” kata Gak Bun Beng. “Kita harus menyelidiki persoalan ini, akan tetapi yang terpenting adalah mencari jejak Sang Puteri.”

“Aku pun akan membantu mencarinya,” kata Puteri Milana.

“Terima kasih atas segala kebaikan paduka Puteri dan Taihiap. Tadi pun telah datang adik paduka Puteri dan agaknya dia pun sedang ikut mencari Sang Puteri Syanti Dewi.”

Mendengar ucapan Jayin ini, Milana dan Bun Beng tercengang.
“Apa? Kau maksudkan siapa?” Milana mendesak.

“Adik paduka, tuan muda Suma Kian Bu.”

“Aihh, anak itu!” Milana mengomel. “Disuruh pulang malah mendahului kesini.”

Gak Bun Beng lalu mengajak Milana ke sisi untuk dapat bicara empat mata.
“Moi-moi, kau tentu sudah dapat menduga bahwa sesungguhnya adik kita itu telah jatuh cinta kepada Syanti Dewi.”

Milana mengerutkan alisnya.
“Hemm, dia akan menjadi manusia yang bodoh sekali kalau nekat mencinta seorang yang tidak membalas perasaannya itu. Sebaiknya kita mencari mereka, mencari jejak Syanti Dewi dan juga jejak Kian Bu. Aku khawatir mereka terkena perangkap Tambolon yang cerdik dan keji.”

Mereka lalu menghampiri Panglima Jayin lagi yang tengah mengatur anak buahnya untuk melanjutkan usaha pencarian mereka. Malam sudah hampir tiba dan keadaan sudah menjadi gelap, namun usaha pencarian itu masih belum ada hasilnya.

“Sukar mencari di malam gelap. Akan tetapi harus menyebar anak buah membawa obor dan mencari terus,” kata Milana. “Kami berdua akan mencari mereka besok pagi. Mereka harus ditemukan, kalau tidak aku khawatir akan terjadi apa-apa atas diri Puteri Syanti Dewi.”

Selagi mereka mengadakan perundingan, tiba-tiba datang penjaga berlarian melapor bahwa dari jauh mendatangi sepasukan berkuda yang besar jumlahnya. Tentu saja keadaan menjadi panik seketika. Pasukan itu sedang disebar melakukan usaha mencari Puteri Syanti Dewi, maka kini Panglima Jayin memerintahkan para pembantunya untuk cepat memanggil kembali mereka, siap menghadapi penyerbuan musuh. Terdengarlah terompet-terompet tanduk ditiup memanggil para prajurit.

Akan tetapi, ketika pasukan yang baru datang itu tiba, segera ternyata bahwa mereka itu sama sekali bukanlah pihak musuh, melainkan pasukan besar yang mengawal Raja Bhutan sendiri yang menjadi tidak sabar setelah mendengar bahwa puterinya itu telah dapat ditemukan dan dikawal pulang sudah tiba di perbatasan Bhutan.






Pasukan raja itu terdiri dari pengawal-pengawal pilihan, dan juga Raja diiringkan oleh belasan orang pendeta hwesio yang bertugas di istana Bhutan. Ada pun pasukan itu dipimpin sendiri oleh Panglima Sangita yang sudah tua.

Tentu saja Panglima Jayin tergopoh-gopoh menyambut rajanya, diikuti juga oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng. Ketika kedua orang pendekar ini diperkenalkan oleh Jayin sebagai puteri cucu Kaisar dan pendekar besar yang telah menyelamatkan Syanti Dewi, Raja Bhutan menjadi girang sekali dan berkenalan dengan kedua orang lihai itu.

Akan tetapi ketika Jayin membuat laporan panjang lebar tentang bagaimana dia berhasil mengawal Sang Puteri sampai di situ, lalu terjadi keributan karena serbuan Tambolon dan pasukannya, kemudian betapa Sang Puteri lenyap bersama Ang Tek Hoat, Sri Baginda menjadi marah sekali. Mereka semua menyangka bahwa tentu pemuda aneh itulah yang sudah melarikan Sang Puteri.

“Kerahkan semua tenaga! Sebar di daerah ini dan cari mereka sampai dapat!”

Sri Baginda mengeluarkan perintah dengan hati kecewa sekali karena tadinya dia sudah merasa girang akan dapat menyambut kembali puterinya yang hilang.

Kemudian Sri Baginda mengajak Puteri Milana dan Gak Bun Beng untuk beristirahat dan dijamu di dalam kemahnya. Namun dengan halus Milana dan Bun Beng menolak, dan menyatakan bahwa mereka sayang datang terlambat sehingga tidak sempat melindungi Sang Puteri dan bahwa mereka pun akan membantu untuk menemukan kembali Sang Puteri yang hilang.

Sri Baginda merasa berterima kasih sekali dan dua orang itu pun lalu mengundurkan diri dan mulailah mencari-cari jejak Sang Puteri, dan juga jejak Suma Kian Bu seperti yang diceritakan oleh Jayin betapa pemuda itu pun malah sudah mendahului mereka tiba di tempat itu.

Ke manakah perginya Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi? Seperti telah kita ketahui, dalam keadaan terluka parah, di tengah-tengah medan pertandingan yang kacau-balau, Syanti Dewi yang mengkhawatirkan keadaan Tek Hoat lalu diam-diam setengah menyeret tubuh pemuda ini menyembunyikan diri di dalam hutan. Dia maklum bahwa Tambolon hendak menangkapnya, maka tentu saja tidak sudi dia menjadi tawanan Tambolon lagi dan dia harus melarikan diri dari tempat berbahaya itu.

Akan tetapi, dia tidak tega meninggalkan pemuda yang mati-matian membelanya dan yang menderita luka hebat itu, maka betapa pun sukarnya, akhirnya dia berhasil juga membawa dan menyeret pemuda itu memasuki hutan lebat.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, untung sekali bagi Tek Hoat yang menderita luka-luka dalam akibat pukulan beracun, dia bertemu dengan Si Dewa Bongkok dan diobati hingga seketika dia sembuh sama sekali, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja. Dan yang terakhir puteri itu bersama Tek Hoat berada di dalam sebuah kuil rusak yang berada di tengah hutan lebat, dimana Syanti Dewi merawat Tek Hoat yang sudah sembuh hanya perlu beristirahat saja untuk memulihkan tenaganya.

Tentu saja Tek Hoat tidak tahu betapa nyawa dia dan Syanti Dewi telah tertolong oleh Suma Kian Bu yang berhasil mengusir Tambolon dan Durganini, sedangkan Syanti Dewi juga tidak mau menceritakan tentang Kian Bu kepada pemuda itu.

Sebetulnya Tek Hoat menderita pukulan yang amat hebat, pukulan lahir batin. Lahirnya, dia telah bertubi-tubi menerima pukulan-pukulan beracun dari lawan-lawan tangguh, tetapi dengan kemukjijatan dan keampuhan tangan Dewa Bongkok, semua lukanya sudah sembuh dan racun yang menguasai tubuhnya pun sudah lenyap. Hanya pukulan batin yang dideritanya ketika dia mendengar cerita Syanti Dewi tentang Gak Bun Beng, membuat tubuhnya lemas, pikirannya bingung, kesadarannya tergoncang hebat dan hatinya merasa kecewa penuh penyesalan.

Betapa dia tak akan menyesal mengingat bahwa dia telah melakukan segala kekejaman itu untuk memburukkan nama musuh besarnya, Gak Bun Beng, dan kini dia mendengar bahwa Gak Bun Beng itu bukan musuhnya? Hampir saja dia berputus asa, apa lagi kalau teringat betapa dia telah melakukan penyelewengan-penyelewengan hebat di dalam hidupnya, dia merasa tidak patut untuk bersanding dengan Puteri Syanti Dewi, apa lagi mencintanya.

Betapa pun juga, sikap yang amat manis, perawatan yang dilakukan oleh puteri itu dengan kesungguhan hati, meluluhkan semua kekerasan hati Tek Hoat akan tetapi sekaligus juga mengobati luka di batinnya.

Jika saja gadis ini bukan puteri Raja Bhutan! Alangkah akan bahagianya hidup menjadi suami puteri ini. Akan tetapi, dia seorang pemuda jahat, Si Jari Maut, orang yang rendah dan hina dan jahat, mana mungkin saling cinta dengan seorang dara seperti Syanti Dewi? Tidak! Hal itu berarti akan menyeret setangkai bunga yang indah bersih ke dalam lumpur! Dan belum tentu cerita tentang Gak Bun Beng itu benar. Sebelum dia mendengar sendiri dari ibunya....

Sudah beberapa hari mereka bersembunyi di dalam kuil tua itu. Dan tenaga Tek Hoat sudah mulai pulih kembali. Pada pagi hari itu, Syanti Dewi memasuki kuil membawa beberapa tangkai bunga hutan berwarna kuning. Melihat dara itu memasuki kuil, di latar belakangi sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui genteng-genteng kuil yang pecah, Tek Hoat terbelalak dan memandang seperti orang terkena sihir.

Dara itu nampak segar, jelas bahwa puteri itu baru saja mencuci dan menggosok mukanya dengan air sumber di belakang kuil. Kedua pipinya kemerahan dan masih agak basah, rambutnya masih agak awut-awutan dengan anak rambut halus berjuntai dan melintang di sekitar pelipis dan dahinya, sepasang matanya bening dan berkilauan, bibirnya kelihatan basah dan merah sekali, penuh dan tersenyum ditahan, nampak lesung pipit di ujung bibir kiri dan sedikit lekuk di dagunya menambah daya tarik. Seperti bidadari pagi yang turun melalui tangga sinar matahari!

“Hi-hikk...” Syanti Dewi menutupi mulutnya. “Tek Hoat, kau kenapa? Apakah kau masih dalam mimpi?” Puteri itu menegur sambil tersenyum. “Kau memandang aku seperti selama hidup baru sekali ini kita saling bertemu.”

Tek Hoat tersadar, menarik napas panjang namun tidak mampu melepaskan pandang matanya yang melekat pada wajah itu.

“Kau... kau cantik jelita luar biasa, Dewi...,” katanya dengan sejujurnya.

Warna merah menjalar naik dari leher yang berkulit putih halus itu, terus menjalar ke pipi dan akhirnya seluruh muka puteri itu menjadi kemerahan.

“Ihh! Kau memang perayu!” celanya sambil jalan menghampiri. “Kau sekarang sudah kelihatan sehat, Tek Hoat. Mukamu sudah merah, tidak pucat lagi seperti kemarin.”

Tek Hoat tersenyum dan turun dari atas jerami kering yang ditumpuknya di situ dan selama ini dijadikan tempat tidurnya, sedangkan tempat tidur Sang Puteri berada di sebelah dalam sehingga dia dapat menjaganya. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dalam gerakan silat sehingga terdengar suara angin menyambar-nyambar dahsyat.

“Aku memang sudah sembuh, berkat perawatanmu yang amat teliti, Dewi. Ahh, betapa besar budimu dan entah bagaimana aku akan dapat membalasnya. Kalau dalam kehidupan sekarang aku tidak akan mampu membalasmu, biarlah dalam kehidupanku yang lain kelak, aku akan menjelma menjadi anjing atau pun kuda untuk mengabdi kepadamu.”

Syanti Dewi tertawa dan menutup mulutnya.
“Wah, lagu lama itu! Apakah kau percaya bahwa di dalam kehidupanmu yang lain kelak engkau akan menjelma menjadi anjing atau kuda? Bagaimana kalau kau menjelma menjadi... tikus misalnya? Bagaimana kau akan mengabdi kepadaku dalam bentuk tikus?”

“Wah, ini... repot kalau jadi tikus!” Tek Hoat menggaruk belakang telinganya karena bingung. “Binatang itu hanya pandai merusak!”

“Kalau begitu, lebih baik jangan janji apa-apa. Tek Hoat, kau tidak perlu berpikir yang bukan-bukan. Engkau sudah berkali-kali menolong dan menyelamatkan aku, bahkan dengan pengorbanan dirimu sampai hampir tewas. Engkau sekarang baru saja sembuh dari luka-luka yang kau derita justru ketika engkau menolongku, dan sekarang engkau bicara tentang budi?”

Tek Hoat menghela napas dan menatap wajah yang jelita itu dengan pandang mata mesra.
“Dewi, betapa pun juga aku hanyalah seorang...”

“Cucu dari Pendekar Super Sakti!”

“Hemm... kalau betul cerita itu, dan itu pun hanya cucu tiri dan putera seorang penjahat pemerkosa! Sedangkan engkau... seorang puteri raja, puteri bangsawan yang luhur dan agung...”

“Tek Hoat, apakah semua yang keluar dari mulutmu dalam kereta dahulu itu, yang keluar di waktu kau dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak mungkin kau buat-buat, apakah semua itu palsu belaka...?”

“Aihh, tidak...!”

“Kalau begitu, apakah cinta kasih itu mengenal tingkat, mengenal kedudukan, mengenal kaya miskin?”

“Aku cinta padamu! Hal ini tidak dapat kusangkal lagi, Dewi. Aku cinta padamu dan aku rela mati untukmu, akan tetapi kau...”

Syanti Dewi menarik napas panjang dan membalikkan tubuhnya.
“Sudahlah, aku tidak senang kalau kau bersikap seperti ini. Kau mandilah sana, aku akan mencari buah di sebelah kanan kuil...”

Dan puteri itu lalu berlari kecil meninggalkan Tek Hoat yang termenung sejenak, kemudian pemuda ini pun keluar dari kuil melalui pintu belakang, menuju ke sumber air di belakang kuil. Setelah membersihkan diri dia kembali ke dalam kuil.

“Dewi... pujaan hatiku...”

Tiba-tiba dia terbelalak kaget. Ketika dia memasuki kuil, dia melihat bayangan wanita dan mengira dia Syanti Dewi, akan tetapi ketika dia menegur dengan mesra dan wanita itu membalik, ternyata wanita itu sama sekali bukan Syanti Dewi, melainkan Puteri Milana!

Sang Puteri perkasa ini memandangnya dengan marah! Memang marahlah hati Puteri Milana. Dia baru saja mendengar dari Bun Beng bahwa adiknya, Suma Kian Bu, jatuh cinta kepada Syanti Dewi. Sebagai seorang kakak perempuan, tentu saja dia berharap agar adiknya bahagia dan benar-benar kelak dapat mempersunting Syanti Dewi yang dianggapnya memang sudah cukup patut menjadi isteri adiknya itu. Akan tetapi di hutan ini dia mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan oleh Tek Hoat.

Ia sudah tahu pemuda macam apa adanya Tek Hoat, yang pernah menjadi kaki tangan pemberontak, bahkan yang telah merusak nama Gak Bun Beng dengan perbuatan-perbuatan jahat dan menggunakan nama Si Jari Maut alias Gak Bun Beng.

Kini dia menemukan mereka dan begitu pemuda itu masuk, telinganya mendengar Tek Hoat mengeluarkan kata-kata seperti itu yang tentu ditujukan kepada Syanti Dewi yang sedang keluar memetik buah-buahan. Tentu saja Milana menjadi marah bukan main, marah dan cemburu demi adiknya!

“Keparat, engkau memang manusia busuk!” Puteri Milana memaki dan memandang tajam.

Ang Tek Hoat adalah seorang yang berhati keras pula. Dia sudah merasa bahwa dia memang bukan orang baik-baik, akan tetapi dia tidak mau merendah karena kenyataan itu, dan dia tidak mau orang lain menekan-nekan soal itu yang amat menyakitkan hatinya.

“Sang Puteri, kalau sudah tahu aku seorang manusia busuk, kenapa paduka datang ke sini? Aku tidak mengundangmu.”

“Jahanam, kau keturunan Wan Keng In, malah lebih jahat dari pada ayahmu! Manusia macam kau memang tidak patut dikasihani lagi!”

“Kalau paduka berpendapat begitu, dan mau membunuhku, silakan, aku pun tidak takut terhadap siapa pun, dan tidak takut untuk mati!”

Tek Hoat menjawab sambil melangkah keluar dari dalam kuil yang sempit. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu tinggi, maka dia harus mencari tempat yang lebih luas.

Mengingat betapa pemuda ini menculik puteri yang dicinta adiknya, ucapan Tek Hoat itu diterima oleh Milana yang sedang marah sebagai suatu tantangan, maka dengan cepat dia meloncat keluar pula dan langsung menerjang Tek Hoat dengan pukulan yang amat dahsyat.

“Plak... dessss...!”

Keduanya terhuyung ke belakang. Milana terkejut. Tangkisan pemuda itu benar-benar amat hebat, dan tingkat tenaga pemuda itu tidak di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Hal ini membuat dia makin penasaran dan wanita perkasa ini sudah menerjang dengan hebat sekali, gerakannya cepat laksana burung walet dan dahsyat seperti seekor naga betina mengamuk.

“Manusia busuk.!”

Milana berteriak keras saking penasaran karena belasan jurus kemudian belum juga dia memperoleh kemenangan, maka dia lalu mengerahkan Swat-im Sinkang, yaitu Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es dan dengan pengerahan tenaga mukjijat ini dia menghantam.

Jurus yang dilakukan oleh Milana ini memang dahsyat sekali sehingga tidak dapat dielakkan lagi, maka terpaksa Tek Hoat menangkisnya kembali dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang dilatihnya dari kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka.

“Bressss...!”

Kembali keduanya terpental. Tek Hoat agak menggigil karena merasa betapa hawa dingin menyusup ke dadanya, akan tetapi dengan pengerahan sinkang dia berhasil mengusirnya, sedangkan Milana terhuyung-huyung saking hebatnya getaran yang menyambut pukulan dahsyatnya. Jelas bahwa dalam pertemuan tenaga hebat barusan tadi, keadaan Puteri Milana kalah unggul!

“Sumoi, minggirlah!” Tiba-tiba terdengar suara Gak Bun Beng.

Pendekar ini tentu saja marah sekali melihat Tek Hoat bertanding dengan kekasihnya, dan pertandingan itu saja sudah meyakinkan hatinya bahwa tentu Tek Hoat sudah menculik Syanti Dewi, kalau tidak tentu Milana tidak akan menyerangnya.

Sementara itu, pada saat Tek Hoat melihat Gak Bun Beng, kebenciannya yang telah ditanamkan oleh ibunya sejak kecil, timbul kembali. Sejak kecil dia sudah yakin benar bahwa Gak Bun Beng inilah musuh besarnya, pembunuh ayahnya! Biar pun akhir-akhir ini dia mendengar hal yang sama sekali berbeda dari keterangan Syanti Dewi, namun dia masih belum dapat menerima sepenuhnya dan kini melihat Gak Bun Beng membela Milana menghadapinya, timbul kebenciannya dan wajahnya berubah beringas!

“Bagus, memang saat inilah yang kutunggu-tunggu!”

Tek Hoat menggereng dan dia segera menerjang ke depan dengan kedua lengan didorongkan, telapak tangan terbuka dan dari kedua lengannya itu menyambar hawa pukulan Inti Bumi yang amat dahsyat ke arah Bun Beng.

Bun Beng pernah mengenal hawa pukulan dari kedua tangan Tek Hoat, maka dia pun tidak berani memandang rendah. Dia lalu mengerahkan tenaga Inti Bumi dan kedua tenaga Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang, tiga tenaga mukjijat digabung menjadi satu, disalurkan kepada dua lengannya dan dia pun menangkis.

“Blarrrrr...!”

Dua tenaga mukjijat yang jauh lebih kuat dari pada ketika Tek Hoat melawan Milana tadi bertemu dan akibatnya tubuh Ang Tek Hoat terjengkang, sedangkan Bun Beng hanya melangkah mundur dua tindak. Dalam keadaan biasa pun tingkat Tek Hoat masih belum mampu menandingi tingkat Bun Beng, apalagi dalam keadaan baru saja sembuh dari luka-luka hebat.

Akan tetapi Tek Hoat yang merasa dadanya sesak itu sudah meloncat bangkit kembali dengan mata mendelik saking marahnya. Pada saat itu, terdengarlah seruan nyaring,

“Paman Gak Bun Beng...!”

Bun Beng menoleh dan berseru girang,
“Dewi...!”

Syanti Dewi menjatuhkan buah-buahan yang dibawanya, lalu berlari-larian sambil air matanya bercucuran akan tetapi mulutnya tersenyum lebar menghampiri Bun Beng yang saking girangnya melihat puteri itu selamat juga sudah menyambut dengan kedua lengan terbuka.

“Paman...!” Syanti Dewi menubruk dan mereka berangkulan.

Syanti Dewi terisak di atas dada Bun Beng dan pendekar ini mengusap-usap rambut kepala Sang Puteri. Rasa gembira yang spontan memang tak dapat dipikirkan lebih dulu sehingga Bun Beng dan Syanti Dewi lupa bahwa di situ terdapat dua orang lain yang memandang pertemuan mesra dan bahagia ini dengan hati... mendongkol!

Puteri Milana sudah maklum betapa Syanti Dewi pernah jatuh cinta kepada Gak Bun Beng, maka terasa agak panas juga perutnya melihat kekasihnya berpelukan itu, sedangkan Tek Hoat tentu saja merasa dadanya seperti dibakar, apalagi melihat bahwa yang dipeluk oleh puteri yang dicintanya itu adalah musuh besarnya!

Kalau Milana diam saja melihat adegan itu karena dia pun maklum bahwa tidak ada apa-apa yang tidak wajar dalam pertemuan antara dua orang itu, sebaliknya Tek Hoat tak dapat menahan kemarahannya.

“Gak Bun Beng manusia pengecut! Hayo kau lawan aku!”

Mendengar ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan melepaskan pelukannya, menoleh dan memandang Tek Hoat dengan mata terbelalak.

“Tek Hoat, jangan gila kau...!”

Akan tetapi kata-kata Syanti Dewi ini seperti merupakan minyak yang menyiram api kemarahan di hati Tek Hoat, karena dianggapnya Syanti Dewi membela dan memihak kepada Gak Bun Beng. Maka begitu melihat Syanti Dewi sudah terlepas dari Bun Beng, serta merta dia menyerang dengan dahsyat dan ganas.

Tentu saja Bun Beng yang telah waspada itu cepat meloncat mundur, akan tetapi Tek Hoat terus mengejar dan menyerangnya dengan dahsyat seperti seekor kerbau gila mengamuk sehingga mau tidak mau Bun Beng terpaksa harus melayaninya dan mereka pun saling pukul dan saling tangkis!

“Paman Gak... jangan bunuh dia... jangan lukai dia... dia telah menyelamatkan aku dari bahaya...”

Syanti Dewi berteriak-teriak dan kelihatan gelisah sekali melihat pertempuran antara dua orang itu.

Milana memandang tajam kepada Syanti Dewi dan naluri kewanitaannya membuat dia melihat sesuatu yang menusuk ulu hatinya. Kiranya Puteri Bhutan ini jatuh cinta kepada Tek Hoat, pikirnya. Kenyataan ini amat pahit baginya karena dia maklum bahwa adiknya sudah tidak mempunyai harapan lagi. Kebenciannya kepada Tek Hoat mereda ketika mendengar pengakuan Syanti Dewi bahwa pemuda itu tidak menculiknya, bahkan justru menolongnya.

Demikian pula Gak Bun Beng segera meloncat ke belakang.
“Orang muda, tahan dulu!”

“Lebih baik mati!”

Tek Hoat yang masih marah itu tidak peduli, melihat Gak Bun Beng meloncat mundur dia pun segera menerjang lagi dan mendesak dengan pukulan-pukulan maut.

Terpaksa Bun Beng melayaninya dengan bingung. Andai kata tidak ada seruan-seruan yang meminta kepadanya agar jangan melukai Ang Tek Hoat, tentu Bun Beng dapat merobohkan lawannya dengan pukulan-pukulan sakti.

Akan tetapi kini Bun Beng tidak mau melakukan hal itu. Dia hanya menjaga diri, menangkis atau mengelak tanpa membalas. Tentu saja dia mulai menjadi kewalahan karena pemuda itu telah menjadi nekat dan agaknya hendak mengadu nyawa. Memang Tek Hoat telah menjadi nekat.

Tadinya pun Tek Hoat sudah merasa tidak berharga berdekatan dengan puteri yang dicintanya. Kini munculnya dua orang pendekar hebat itu membuat dia merasa makin tidak berharga lagi, ditambah pula panasnya hati menyaksikan wanita yang dicintanya berpelukan demikian bahagia dengan orang yang dibencinya.

Ketika pertandingan itu masih berlangsung dengan serunya, datang pasukan yang dipimpin oleh Jayin, yang mendengar bahwa Sang Puteri telah ditemukan. Jayin dan pasukannya menjadi bingung melihat dua orang itu bertanding. Akan tetapi atas isyarat Puteri Syanti Dewi, mereka lalu mundur lagi dan tidak berani mencampuri. Berkali-kali Syanti Dewi minta kepada Tek Hoat untuk menyudahi serangannya, namun pemuda yang sudah nekat ini seperti tidak mendengar suaranya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar