FB

FB


Ads

Jumat, 13 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 138

Suma Han tidak mengejar. Dia melihat Dewa Bongkok bersila mengatur pernapasan, Ceng Ceng pingsan di samping Topeng Setan yang agaknya sudah tewas, dan Hwee Li merangkul burungnya yang terluka. Dia menarik napas panjang. Di mana pun juga, biar sudah menjadi tua bangka-tua bangka dan sudah mengasingkan diri dari keramaian manusia, tetap saja manusia merupakan makhluk-makhluk yang suka menggunakan kekerasan. Dan dia, sekali lagi terseret pula!

Melihat bahwa bagi Topeng Setan sudah tidak ada harapan lagi, dan burung hek-tiauw itu hanya terluka ringan dan menjadi buas tidak mau didekati orang lain kecuali nonanya, Suma Han kemudian menghampiri Dewa Bongkok.

“Maafkan kelancangan saya,”

Bisiknya dan dia pun duduk bersila di belakang kakek bongkok itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang bongkok sambil mengerahkan tenaga murni dari tubuhnya untuk membantu kakek itu mengobati luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya.

“Terima kasih, sahabat adalah Tocu Pulau Es, bukan?”

Suma Han mengangguk, dan keduanya lalu diam tak bergerak lagi.

Ceng Ceng siuman, kemudian ditubruknya Topeng Setan. Dirabanya tubuh yang masih hangat itu, dipegang nadinya, diraba dadanya. Akan tetapi tidak ada lagi tanda-tanda hidup pada tubuh tinggi tegap itu!

“Paman...!” Dia menjerit. “Paman Topeng Setan, jangan kau tinggalkan aku, Paman...!”

Dia menangis dan mengguncang-guncang tubuh itu, tubuh satu-satunya manusia di dunia ini yang amat disayanginya, amat baik kepadanya dan yang telah mengorbankan apa saja demi dia. Teringat betapa orang ini telah mati, barulah terasa oleh Ceng Ceng betapa dia kehilangan besar sekali, betapa dia sesungguhnya... cinta sekali kepada orang ini.

“Paman..., aku mana bisa hidup tanpa kau...?”

Ratapnya dan menangis sesenggukan sambil memeluki leher mayat itu dan meletakkan mukanya di atas punggung yang bidang itu. Tak disengajanya tangannya meraba topeng yang kasar dan Ceng Ceng lalu sadar.

Dia berlutut dan berkata lirih,
“Paman Topeng Setan, engkau telah mengorbankan segalanya untuk aku. Engkau begitu sayang dan cinta padaku, namun engkau selalu menyembunyikan wajahmu dariku. Sekarang engkau telah mati... hu-huuukkk... Paman, kau perkenankanlah aku melihat wajahmu, Paman. Kau... kau maafkan aku, Paman... hu-hu-huuukk...”

Dengan jari-jari tangan menggigil Ceng Ceng mengulurkan tangannya meraih topeng di muka yang rebah miring itu, kemudian dengan amat hati-hati seolah-olah tidak ingin menyakitkan muka mayat itu, dia menanggalkan topeng itu!

Topeng itu terbuka direnggutnya, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak memandang wajah yang kini terbuka, wajah yang rebah miring itu, wajah yang tampan dan gagah, dengan alis yang tebal, hidung yang mancung dan mulut yang tegas membayangkan kegagahan, wajah... si pemuda laknat yang selama ini dikejar-kejar, dianggap musuh besarnya, yang hendak dibunuhnya karena amat dibencinya!

“Aiiiihhhh...!”

Ceng Ceng menjerit, memandang pucat, air matanya menetes turun, tangan kiri dikepal menutup mulut, matanya terbelalak seperti tidak mau percaya, dan dikejap-kejapkannya lalu memandang lagi lebih teliti.

Akan tetapi wajah itu tetap tidak berubah, wajah yang pucat dan tak bernyawa lagi dari si pemuda laknat, yang mengerikan karena di bawah mulut, di atas tanah itu nampak darah merah yang dimuntahkan akibat hantaman pukulan dahsyat dua orang lawannya.

“Ti... tidaaaaakkk..., bukan... ohhh, bukan...!”

Ceng Ceng kembali menjerit, tubuhnya menggigil dan dia tergelimpang setelah mengeluh panjang, roboh pingsan lagi untuk kedua kalinya di samping tubuh Topeng Setan yang ternyata adalah si pemuda laknat, musuh besar yang dahulu memperkosanya di dalam goa itu.

Ceng Ceng rebah terlentang di samping tubuh Topeng Setan. Wajahnya pucat sekali tak ubahnya seperti mayat, kedua pipinya masih basah air mata. Tangan kanannya masih mencengkeram topeng, sedangkan mulutnya memperlihatkan tarikan muka yang menanggung kenyerian luar biasa, menanggung penderitaan batin yang amat hebat sehingga siapa pun yang melihat keadaannya tentu akan merasa kasihan sekali.






Memang hebat sekali penderitaan batin dara ini. Bertubi-tubi dia mengalami hal-hal yang amat menyakitkan hati, kesengsaraan dan penderitaan lahir batin yang dideritanya semenjak dia meninggalkan Bhutan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi ditumpuknya dalam ingatan, menimbulkan sakit hati dan dendam kebencian.

Sesungguhnya, nasib berada di tangan kita sendiri. Suka atau duka adalah buatan kita sendiri, buatan pikiran kita. Sebab dan akibat tidak dapat terpisah dan berada di dalam genggaman tangan kita sendiri. Adalah ingatan kita, pikiran kita yang menimbulkan kebencian terhadap sesuatu atau seseorang di dalam hati kita.

Dari mana timbulnya kebencian? Sesuatu terjadi atas diri kita, sesuatu yang merugikan kita, kerugian lahir mau pun batin. Kerugian menimbulkan kekecewaan, menimbulkan kemarahan dan terjadilah rasa benci kepada penyebab timbulnya kerugian itu. Dan sekali benci sudah menguasai hati kita, hati tidak akan puas sebelum melihat yang kita benci itu terbalas dan tertimpa mala petaka yang lebih hebat dari pada yang sudah dijatuhkannya kepada diri kita.

Pikiran yang mencacat perbuatan orang lain yang dianggap merugikan kita inilah yang menimbulkan dendam kebencian seperti yang dialami oleh Ceng Ceng. Hidupnya dicengkeram oleh kebencian kepada seorang setelah terjadi peristiwa perkosaan atas dirinya di dalam goa itu. Dasar kebencian karena dia merasa dirugikan.

Kemudian dia bertemu dengan Topeng Setan yang telah melimpahkan banyak sekali budi kebaikan kepadanya. Hal ini pun membangun suatu rasa sayang di dalam hatinya terhadap laki-laki bermuka buruk itu, rasa sayang yang juga timbul dari ingatan betapa orang ini telah banyak menguntungkannya lahir batin!

Jadi sesungguhnya tidak ada bedanya antara rasa bencinya terhadap si pemuda laknat yang dianggap telah merugikannya, dan rasa sayangnya terhadap Topeng Setan yang dianggap sudah menguntungkannya.

Rasa benci dan sayangnya itu hanyalah penonjolan dari sifat mementingkan diri pribadi. Selama kita mementingkan diri pribadi, di dalam hidup kita pasti kita akan menjadi bulan-bulanan dan permainan dari suka duka, puas kecewa, benci sayang, seperti Ceng Ceng itulah! Dan akhirnya muncullah penderitaan-penderitaan hidup dan kesengsaraan-kesengsaraan.

Benci bukanlah kebalikan dari pada cinta! Yaitu cinta sejati, karena cinta yang menjadi kebalikan benci hanyalah cinta nafsu, cinta yang timbul dari mementingkan diri pribadi. Cinta semacam ini hanya akan bertahan selama dirinya disenangkan, dipuaskan, dan dipenuhi kehendaknya. Cinta macam ini selalu mengandung bayangan benci sebagai kebalikannya, sehingga kalau tidak disenangkan, tidak dipuaskan, dapat berbalik menjadi benci. Cinta sejati tidak mempunyai sasaran seperti benci. Kalau sudah tidak ada benci di hati, sama sekali tidak ada benci, barulah mungkin cinta yang suci ini memperlihatkan mukanya di dalam batin kita.

Ceng Ceng yang menggeletak pingsan itu menjadi permainan dari suka duka, dari kekecewaan melihat bahwa orang yang paling dibencinya itu justru adalah orang yang paling dicintanya. Dia menjadi permainan dari pikiran sendiri, sehingga kini menderita pukulan batin yang amat hebat, membuatnya kecewa, penasaran, dan putus harapan.

Mula-mula dilihatnya Topeng Setan sebagai satu-satunya orang yang dicintanya tewas, kemudian melihat bahwa yang tewas itu adalah musuh besarnya! Jadi sekaligus dia kehilangan dua orang manusia yang dianggapnya paling penting di dunia ini, yang dianggapnya sebagai sebab-sebab pokok mengapa dia masih suka hidup! Sekarang dia kehilangan segala-galanya, maka hancur leburlah hatinya.

“Kasihan sekali kau, Nona muda.!”

Suara ini terdengar seperti datang dari langit oleh Ceng Ceng yang mulai siuman. Tidak terasa lagi air matanya mengalir turun sebelum dia membuka matanya. Lalu teringatlah dia akan segala hal. Mendadak dia meloncat sambil membuka matanya, menoleh ke kanan kiri mencari mayat si laknat tadi.

“Keparat busuk! Jahanam kau.!”

Dia memaki-maki dan menerjang ke sana-sini seperti orang gila! Dalam kemarahannya yang hebat, yang membanjiri rongga dadanya, membuat dadanya seperti akan meledak, Ceng Ceng mencak-mencak secara buas dan otomatis tenaga mukjijat yang didapatnya sebagai khasiat anak naga itu timbul.

“Braaaak... braaakkkk...!”

Dua batang pohon kena dihantamnya. Pohon itu batangnya sebesar tubuh manusia, akan tetapi hantaman tangan Ceng Ceng membuat dua batang pohon itu tumbang.

“Ehhh, Nona...!”

Pendekar Super Sakti yang merasa kasihan dan tadi menolong Ceng Ceng dan membuatnya sadar itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nona ini memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya.

Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah beringas dan mengamuk dengan buasnya itu tidak mendengarkan. Dia terus mencak-mencak dengan buasnya, dengan mata terbelalak dan mulutnya mengeluarkan keluhan-keluhan panjang.

“Haiiiittt... darrr! Dessss!” Dua bongkah batu yang besar hancur berhamburan terkena tendangan dan pukulannya.

“Subo...!” Hwee Li menjerit dan lari menghampiri gurunya, melihat betapa dua kepalan tangan subo-nya itu berdarah.

Memang tenaga mukjijat dari Ceng Ceng itu hebat sekali, tetapi kulit kedua tangannya yang belum terlatih baik, belum dapat dengan sempurna terlindung oleh tenaga mukjijat, menjadi berdarah ketika dia menghantami pohon dan batu.

Melihat berkelebatnya tubuh Hwee Li, Ceng Ceng yang sudah buas karena seolah-olah hendak menghantam si pemuda laknat itu, menggerakkan tangan menyerang Hwee Li!

“Plakkk... dukkkk!”

Ceng Ceng jatuh terduduk terkena tangkisan dan totokan Pendekar Super Sakti yang menolong Hwee Li tadi, dan sekaligus hal ini membuat Ceng Ceng sadar. Seperti linglung Ceng Ceng memandang ke kanan kiri, mencari-cari, dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar suaranya lirih,

“Paman... Paman Topeng Setan...?”

Lalu dia teringat akan segala peristiwa tadi dan menangislah dia, mengguguk seperti anak kecil, menutupi mukanya dengan kedua tangannya yang berdarah sehingga air matanya bercampur dengan darah dari tangannya, membentuk aliran merah muda menetes-netes ke bawah.

“Subo...!”

Hwee Li merangkul gurunya dan juga menangis, padahal tidak tahu apa yang ditangiskannya, hanya karena terharu melihat subo-nya begitu berduka.

Melihat dua orang wanita muda itu berpelukan dan bertangisan, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, lalu duduk di atas bongkahan batu membiarkan dua orang wanita itu melanjutkan tangis mereka. Tangis merupakan obat yang paling mujarab bagi orang-orang yang tertekan hatinya, karena tangis dengan air matanya merupakan pelepasan dari tekanan itu.

Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang lagi. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kesengsaraan, penuh dengan kekerasan, penuh dengan pertentangan, kebencian dan penderitaan hidup di waktu muda. Betapa bodohnya manusia, betapa bodohnya dia dahulu.

Kebahagiaan telah berada di dalam diri masing-masing manusia, keindahan terbentang luas di sekeliling manusia. Akan tetapi manusia menjadi buta, tidak melihat semua keindahan itu, tidak waspada akan kebahagiaan itu karena mata selalu ditujukan jauh ke sana, selalu mencari-cari sehingga yang berada di depan hidung tidak nampak lagi! Yang tidak ada selalu dicari-cari, dirindukan, dianggap yang paling baik, paling indah, sehingga anggapan ini membuat apa yang sudah ada kelihatan buruk, bahkan tidak kelihatan lagi!

Manusia selalu menghargai yang belum diperoleh, memandang remeh yang sudah berada di dalam tangannya. Inilah sumber dari segala pengejaran yang tidak dapat dihindarkan lagi pasti akan mendatangkan pertentangan, kekecewaan dan penderitaan. Pengejaran membuat mata buta, sehingga dalam usaha mengejar segala sesuatu yang diinginkan itu, manusia tidak lagi memperhatikan jalan, tidak lagi memperhatikan cara, bahkan segala jalan dan segala cara akan ditempuhnya demi memperoleh yang dikejar-kejarnya itu. Inilah sumber munculnya segala bentuk penyelewengan dan kejahatan.....

Setelah melihat tangis Ceng Ceng reda, Pendekar Super Sakti lalu berkata dengan mengerahkan khikang-nya sehingga suaranya dapat menembus segala suara lain dan memasuki telinga Ceng Ceng dengan getaran pengaruh kuat sekali,

“Nona, hentikan tangismu dan ingat bahwa segala sesuatu tidak cukup hanya ditangisi belaka. Hentikan pikiranmu yang meremas-remas perasaan hatimu, hentikan perasaan iba diri yang mencengkeram dirimu dan mari kita bicara dengan hati terbuka.”

Ceng Ceng terkejut dan kini dia sadar benar-benar. Didorongnya Hwee Li dengan halus, diangkatnya mukanya memandang pendekar besar itu, lalu dia memandang ke kanan kiri. Sunyi senyap di situ, tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga. Seperti mimpi saja semua peristiwa yang terjadi tadi.

“Di... mana...? Di mana mereka semua...?” tanyanya, suaranya lirih dan lemah.

Tiga orang datuk itu? Mereka telah pergi. Dan Go-bi Bu Beng Lojin, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir telah pergi pula, membawa muridnya. Membawa mayat Topeng Setan atau mayat Kok Cu. Membawa musuh besarnya, sekaligus juga mayat orang yang paling disayangnya, demikian bisik hati Ceng Ceng. Ia terisak kemudian menghela napas hanjang. Habislah segala-galanya!

Melihat gadis itu menunduk dan tak bergerak-gerak, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah hidup, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.

“Nona, sekarang bagaimana kehendakmu? Engkau hendak ke manakah?”

Sejenak Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya duduk di atas tanah dan memandang ke depan dengan pandang mata kosong. Ke mana? Dia harus ke mana? Ke mana lagi kalau tidak kembali ke Bhutan? Biarlah dia akan menghabiskan sisa hidupnya di tempat asalnya itu. Tiba-tiba saja dia merasa rindu kepada Bhutan, rindu kepada kampung halaman di mana dia dahulu tinggal bersama kakeknya.

“Saya akan pulang ke Bhutan...,” katanya perlahan.

Pendekar Super Sakti yang belum mengenal Ceng Ceng merasa heran juga mendengar jawaban ini.

“Ehhh, jadi engkau datang dari Bhutan? Siapakah engkau sebenarnya, Nona?”

Ingin Ceng Ceng berlutut di depan pendekar itu dan mengaku bahwa dia masih cucu tiri pendekar itu sendiri, akan tetapi dia menggeleng kepalanya. Tidak, tidak perlu dia memperpanjang riwayat buruk itu, riwayat buruk dari ibunya dan sekarang pun menurun kepadanya karena riwayatnya tidaklah lebih baik dari pada keadaan ibunya. Maka dia lalu menjawab dengan perlahan.

“Nama saya Lu Ceng dan saya adalah adik angkat dari Puteri Bhutan. Saya ingin pulang saja, kembali ke Bhutan, Locianpwe.”

“Subo, aku ikut!” Tiba-tiba Hwee Li berkata.

Ceng Ceng memandang anak perempuan itu.
“Hwee Li, engkau akan dicari ayahmu. Sebaiknya engkau pulang saja dulu kepada ayahmu dan mana burungmu?”

Anak itu menggeleng kepala kuat-kuat.
“Burungku terluka dan sudah kusuruh terbang pergi mencari ayah agar diobati lukanya. Tidak, Subo. Aku tidak mau kembali kepada ayah yang tidak sayang kepadaku. Aku mau ikut Subo ke Bhutan.”

Ada hawa hangat memasuki dada Ceng Ceng. Masih ada orang yang suka kepadanya, yaitu Hwee Li ini!

“Hwee Li, perjalanan ke Bhutan sangat jauh dan berbahaya, dan membawamu begitu saja tanpa perkenan ayahmu, aku akan dipersalahkan.”

“Tidak, Subo. Aku yang bertanggung jawab kalau ayah marah.”

Suma Han berkata,
“Nona Ceng, anak ini memang tidak bisa ditinggalkan seorang diri saja di sini. Biarlah dia ikut bersama kita ke Bhutan, dan kelak kalau aku pulang, akan kuantar dia kepada ayahnya. Aku tahu dimana adanya Pulau Neraka.”

“Locianpwe hendak ke Bhutan? Ahhh, saya tidak berani membuat Locianpwe repot mengantarkan kami berdua.”

“Tidak ada yang mengantar, kita hanya kebetulan saja sejalan. Aku memang ingin ke barat untuk menyusul dan mencari Kian Bu. Ibunya sudah gelisah memikirkan anak itu karena sudah terlalu lama merantau. Apalagi setelah Kian Lee kembali, Kian Bu harus pulang juga.”

Tentu saja Ceng Ceng tak berani membantah, bahkan diam-diam merasa girang karena melakukan perjalanan dengan pendekar ini merupakan jaminan keselamatannya, dan setelah Topeng Setan tidak ada lagi, dia dapat minta petunjuk dari pendekar ini untuk dapat menguasai tenaga mukjijat dalam dirinya.

Maka berangkatlah tiga orang itu menuruni Pegunungan Yin-san dan terus melakukan perjalanan menuju ke barat. Dengan adanya Hwee Li yang lincah jenaka, agak terhibur juga hati Ceng Ceng, sungguh pun kini dia berbeda sekali dengan Ceng Ceng sebelum dia tiba di Yin-san. Dia sekarang merupakan seorang wanita muda yang mukanya pucat, wajahnya muram seperti bulan tertutup awan tipis.

**** 138 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar