FB

FB


Ads

Jumat, 13 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 137

Tukang sapu mengangguk dan sekali berkelebat lenyaplah keduanya itu dari halaman. Setelah mereka pergi, Pendekar Super Sakti memandang Ceng Ceng penuh perhatian dan bertanya,

“Nona, semenjak pertemuan kita di warung itu, tak kusangka akan bertemu lagi dengan kau disini. Sahabatmu yang bertopeng itu hebat sekali. Siapakah dia?”

“Dia adalah sahabat dan pelindungku, Locianpwe. Dia adalah Paman Topeng Setan.”

“Paman? Hemm, kukira dia belum setua itu. Tadinya kami kira dia itu suamimu. Kepandaiannya hebat. Akan tetapi mengapa kalian sampai di Istana Gurun Pasir ini? Tidak sembarang manusia dapat sampai di tempat berbahaya ini.”

“Saya.... saya mencari.... seorang musuh besar saya,” kata Ceng Ceng gagap.

Jantungnya berdebar dan dia merasa jerih sekali berhadapan dengan pendekar yang hebat ini, yang juga masih terhitung kakek tirinya! Segala sesuatunya dari pendekar ini demikian berwibawa dan amat kuat pengaruhnya sehingga dia merasa tidak enak, takut dan sungkan.

“Hemm, jadi itukah yang kau katakan urusan pribadi dahulu itu? Kasihan, semuda ini sudah dicengkeram oleh dendam yang begitu hebat....” Ucapan ini dikeluarkan oleh pendekar itu dengan lirih seperti bicara kepada dirinya sendiri. “Dan bocah perempuan yang naik rajawali hitam itu, siapa dia? Engkau tadi berseru kepadanya.”

“Dia.... dia itu Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo....”

“Eh! Ketua Pulau Neraka?” Suma Han kelihatan tercengang juga.

“Benar, Locianpwe, dan dia.... dia menjadi murid saya.”

Jawaban ini tentu saja membuat Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang tidak tahu akan duduknya perkara menjadi terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu, Topeng Setan dan kakek tukang sapu sudah muncul lagi sehingga percakapan mereka terhenti.

“Dia tidak ada lagi di sini, dan di kamarnya aku menemukan suratnya ini,” kata Topeng Setan kepada Ceng Ceng, sedangkan kakek tukang sapu tadi hanya mengangguk membenarkan.

“Benar, Nona. Surat itu ditujukan kepada saya,” katanya.

Ceng Ceng menerima surat itu dan membaca huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan tergesa-gesa, mengatakan bahwa penulisnya hendak pergi menyusul gurunya ke selatan, ke Yin-san untuk membantu gurunya menghadapi para datuk lainnya.

“Kalau begitu, kita susul ke Yin-san!” Ceng Ceng berteriak, penuh kekecewaan dan kemarahan.

“Akan tetapi Yin-san bukan tempat yang dekat dari sini....” Topeng Setan berkata.

“Tidak peduli, aku harus menyusulnya!” Ceng Ceng berkata penasaran.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas,
“Subo.... celaka, dua ekor pek-tiauw (rajawali putih) itu mengejar-ngejar burungku! Aku terpaksa mendarat!”

Dari atas menyambar turun burung rajawali hitam dan Hwee Li cepat meloncat turun, merangkul leher burungnya dan berkata,

“Tenanglah, hek-tiauw, semua ini sahabat, kau tidak boleh nakal.”

Dengan susah payah Hwee Li menenangkan burungnya yang kelihatan marah dan gelisah melihat orang-orang asing itu. Tiba-tiba Hwee Li menahan jeritnya ketika menoleh dan melihat Suma Han. Dia menudingkan telunjuknya kepada pendekar itu dan berkata gagap,

“Celaka.... aku.... aku pernah mendengar.... kau.... kau Pendekar Super Sakti....”

Suma Han tersenyum dan mengangguk.
“Anak baik, kau puteri Ketua Pulau Neraka? Sungguh bahagia sekali ayahmu memiliki seorang puteri seperti engkau.”

Hwee Li memainkan matanya yang jeli.
“Ehh? Kau.... kau tidak benci padaku, tidak membunuh aku....?”

Suma Han tersenyum dan menggeleng kepalanya.

“....tapi rajawali putih menyerang rajawaliku. Mereka itu tentu rajawali-rajawali dari Pulau Neraka dahulu, yang sekarang sudah menjadi besar dan lebih tangkas daripada hek-tiauw ini.”

Suma Han bersuit panjang dan dua ekor rajawali putih itu menyambar turun, akan tetapi mereka itu mendekam di belakang Suma Han tanpa berani bergerak, sedangkan rajawali hitam dirangkul Hwee Li karena kelihatan gelisah dan gemetaran.

“Memang ini dua ekor pek-tiauw dari Pulau Neraka yang dahulu menerbangkan kedua orang puteraku dari Pulau Neraka.” Kemudian dia menoleh kepada Ceng Ceng dan Topeng Setan. “Agaknya kita semua mempunyai niat yang sama yaitu ke Yin-san. Aku pun hendak menyusul Kian Lee yang pergi bersama Dewa Bongkok ke Yin-san, kalau kalian hendak ke sana, mari pergunakan pek-tiauwku yang seekor lagi. Nona dapat boncengan dengan muridmu ini di punggung hek-tiauw dan Saudara Topeng Setan ini boleh memakai pek-tiauw jantan ini.”

Tentu saja Ceng Ceng dan Topeng Setan menerima penawaran itu dengan gembira. Ceng Ceng lalu meloncat ke atas punggung hek-tiauw bersama Hwee Li, sedangkan Topeng Setan meloncat ke punggung pek-tiauw jantan setelah Suma Han naik ke punggung pek-tiauw betina.






Suma Han menerbangkan pek-tiauw betina itu di depan dan burung yang ditunggangi Topeng Setan segera mengejarnya. Hwee Li yang gembira sekali memboncengkan gurunya lalu memerintahkan rajawali hitamnya untuk mengikuti sepasang rajawali putih itu.

Memang hebat sekali Pendekar Super Sakti. Menunggang burung rajawali saja sudah merupakan hal yang amat mendebarkan hati penuh ketegangan, apalagi di waktu malam! Hwee Li sudah biasa sejak kecil menunggang burungnya, seperti menunggang kuda saja.

Akan tetapi Ceng Ceng merasa ngeri, bahkan Topeng Setan sendiri mau tidak mau kadang-kadang menahan napas saking tegangnya. Namun Pendekar Super Sakti dengan enak saja melanjutkan penerbangan itu dan baru pada keesokan harinya menyuruh rajawalinya menukik turun ke atas sebuah bukit yang sunyi.

Mereka memberi kesempatan kepada tiga ekor burung rajawali untuk beristirahat, dan juga mereka mencari tempat teduh untuk mengaso dan mengisi perut dengan roti kering yang dibawa sebagai bekal oleh Topeng Setan dan Ceng Ceng.

Saat beristirahat, setelah makan, dipergunakan oleh Pendekar Super Sakti untuk bersamadhi. Melihat ini, Topeng Setan, Ceng Ceng, dan Hwee Li tidak berani mengganggu, bahkan Topeng Setan mengajak mereka agak menjauhi di mana Topeng Setan memberi petunjuk kepada Ceng Ceng untuk menyempurnakan penguasaan tenaga sin-kangnya, sedangkan Ceng Ceng juga mulai mengajarkan semacam ilmu pukulan kepada Hwee Li.

Akan tetapi diam-diam Majikan Pulau Es itu melihat betapa Topeng Setan kadang-kadang melakukan latihan yang aneh, dengan tubuh hampir menelungkup dan begitu Topeng Setan melakukan gerak silat, batang-batang pohon di sekelilingnya bergoncang seperti diamuk badai, daun-daun rontok berhamburan. Pendekar Super Sakti terkejut dan maklum bahwa Topeng Setan benar-benar merupakan seorang yang amat lihai.

Dia tidak tahu bahwa itu adalah ilmu yang paling mujijat dari Istana Gurun Pasir, yaitu Ilmu Sin-liong-hok-te yang sedang dilatih dan disempurnakan oleh Topeng Setan, yang akhirnya menguasai ilmu mujijat itu setelah lengan kirinya buntung. Juga sering sekali Suma Han yang memiliki penglihatan waspada itu melihat sikap termangu-mangu dan tenggelam dalam kedukaan hebat dari orang yang wajahnya disembunyikan di balik topeng itu.

Dia tahu bahwa Topeng Setan masih muda dan dia makin kagum, juga makin heran karena antara Ceng Ceng dan manusia aneh ini terselubung rahasia yang luar biasa. Akan tetapi karena dia merasa tidak ada sangkut pautnya dengan mereka, pendekar besar yang hanya sedang mencari puteranya ini tidak menaruh perhatian, apalagi menanyakan.

Beberapa hari kemudian, menjelang tengah hari, tibalah mereka di atas Pegunungan Yin-san. Tiga ekor burung rajawali itu berputaran di atas pegunungan dan tiba-tiba Hwee Li yang bermata tajam melihat gerakan orang-orang di atas sebuah di antara puncak pegunungan itu.

“Subo, itu di sana ada orang bertempur!” serunya.

Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk muridnya.
“Kalau begitu kita melihat ke sana. Biar mereka nanti pun mengikuti kita kalau melihat kita turun.”

Hwee Li lalu menepuk-nepuk leher rajawali hitam yang mengerti akan perintah ini. Dia menukik turun dan melayang cepat sekali.

Akan tetapi Suma Han atau Pendekar Super Sakti melihat hal lain lagi yang menarik hatinya, maka rajawali yang ditungganginya disuruhnya turun pula di tempat yang tidak jauh dari puncak di mana Hwee Li dan Ceng Ceng melihat orang-orang bertempur itu.

Karena rajawali yang ditunggangi Topeng Setan, yaitu pek-tiauw jantan, selalu mengikuti pek-tiauw betina, maka burung ini pun menukik turun mengikuti burung yang ditunggangi Pendekar Super Sakti.

Tak lama kemudian, Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat turun dari punggung dua ekor rajawali itu yang segera beterbangan lagi ke atas, agaknya maklum bahwa mereka telah bebas tugas dan hanya tinggal menanti panggilan majikan mereka. Selama bebas tugas mereka lebih suka terbang ke atas dan mengintai korban, yaitu binatang-binatang hutan untuk menjadi mangsa mereka.

Pendekar Super Sakti berloncatan dengan kaki tunggalnya, menuju ke sebuah telaga kecil, diikuti oleh Topeng Setan. Baru sekarang Topeng Setan mengerti mengapa pendekar besar itu mendarat di situ. Kiranya di dalam telaga itu terdapat seseorang yang sedang merendam tubuhnya di dalam air, kelihatannya sedang bersamadhi. Seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah. Suma Kian Lee!

Pendekar Super Sakti melangkah maju mendekati puteranya, mengerutkan alisnya dan berkata halus,

“Kian Lee, keluarlah kau dan biar kuobati lukamu itu.”

Mendengar suara ayahnya yang diucapkan dengan pengerahan khi-kang sehingga suara itu langsung memasuki telinganya dan menggugahnya, Kian Lee membuka mata. Sebelum menoleh, dia sudah berbisik girang.

“Ayah....!”

Lalu ia menoleh, mengambil pakaian dan mengenakan pakaiannya lalu naik ke tepi telaga, gerakannya agak lemah dan ternyata setelah dia keluar dari air telaga nampak tanda telapak jari kehijauan di punggungnya.

Topeng Setan terkejut sekali dan diam-diam dia kagum. Kenapa Pendekar Super Sakti sudah tahu bahwa puteranya itu terluka hebat? Dia sendiri sebelum melihat telapak jari di punggung itu tidak akan mgngetahuinya. Dengan hanya mengenakan celananya, Kian Lee berlutut di depan ayahnya.

Pendekar Super Sakti memeriksa punggung puteranya itu.
“Hemmm.... pukulan dengan dasar yang-kang akan tetapi beracun. Tidak berbahaya akan tetapi kalau disembuhkan disini memakan waktu lama,”

Kata pendekar itu, lalu dia berloncatan dengan cepat di sekeliling tubuh puteranya, jari tangannya menotok dan menampar di beberapa bagian tubuh pemuda itu, kemudian dia pun duduk bersila di belakang puteranya, menempelkan tangan kirinya ke punggung yang terpukul, menyalurkan tenaganya yang mujijat dan tak lama kemudian, ketika dia telah melepaskan tangannya, tanda telapak tangan kehijauan itu telah lenyap!

Makin kagumlah Topeng Setan menyaksikan ini, karena dari peristiwa ini saja dia sudah dapat membayangkan betapa hebatnya tenaga sin-kang dari kakek buntung ini!

“Sekarang, pakai bajumu dan ceritakan dengan singkat bagaimana kau sampai tiba di tempat ini dan terluka,” kata Pendekar Super Sakti.

Kian Lee menceritakan bahwa sesungguhnya dia ingin pulang ke Pulau Es, akan tetapi berputar-putar di daerah utara, katanya hendak mencari adiknya yang terpisah darinya. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang sakit hati atau patah hatinya karena gagal dalam bercinta ketika dia mendapat kenyataan bahwa Ceng Ceng yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri!

“Saya bertemu dengan Locianpwe Go-bi Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi)....”

“Siapa dia?”

“Orang-orang mengenal beliau sebagai Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir....”

“Oh, dia? Lalu bagaimana?”

“Ketika beliau mendengar nama Ayah, beliau suka sekali kepada saya dan mengajak saya ke istananya di gurun pasir. Akan tetapi setibanya di sana, Locianpwe itu menerima undangan pertemuan para datuk besar di Yin-san, maka beliau lalu datang ke sini dan saya yang ingin meluaskan pengalaman lalu ikut. Beliau sudah memesan agar saya tidak mencampuri urusan para datuk. Akan tetapi, Ayah, para datuk yang tiga orang itu bermain curang! Mereka tidak mengadu ilmu untuk menentukan orang terpandai seperti biasa, melainkan mengeroyok Locianpwe Go-bi Bu-beng Lojin. Tentu saja saya tidak mau tinggal diam melihat kecurangan itu dan saya maju membantu. Akibatnya saya terkena pukulan ini dan Locianpwe itu menasihatkan saya untuk merendam tubuh di sini, karena hawa dingin air telaga ini akan banyak menolong.”

“Hemmm.... dia benar. Akan tetapi kurang dingin. Kau sudah terbebas dari hawa beracun sekarang, akan tetapi untuk memulihkan kesehatan dan semangatmu yang kulihat melayu dan muram, sebaiknya kau pulang dulu dan melatih diri dengan Swat-im Sin-kang di rumah.”

“Baik, Ayah!”

Pendekar Super Sakti bersuit keras dan dua ekor burung pek-tiauw itu melayang turun.
“Kau bawa pek-tiauw betina pulang ke Pulau Es.”

“Tapi Ayah....”

“Biar aku yang akan membantunya.”

Kian Lee maklum dari tegangan suara ayahnya bahwa dia tidak boleh menawar lagi, maka dia lalu memberi hormat, juga menjura kepada Topeng Setan yang dia tidak mengerti bagaimana bisa datang bersama ayahnya, kemudian dia meloncat ke atas punggung pek-tiauw betina yang segera terbang melayang tinggi sekali. Pek-tiauw jantan mengeluarkan suara aneh, seperti hendak menyusul, akan tetapi Pendekar Super Sakti menepuk punggungnya dan berkata,

“Kau pergilah cari majikanmu, Kian Bu!”

Burung itu seperti mengerti perintah ini, dan dia pun memekik keras dan terbang melayang, meninggalkan angin yang membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang.

“Mari kita melihat pertemuan itu,” kata Pendekar Super Sakti kepada Topeng Setan dan mereka bergerak cepat menuju ke puncak gunung.

Ketika mereka tiba di puncak, mereka melihat Dewa Bongkok sedang bertempur dengan hebatnya melawan seorang nenek yang juga amat lihai. Ceng Ceng dan Hwee Li sudah berada di situ pula, menonton pertempuran dari jarak agak jauh karena gerakan dua orang itu mendatangkan angin dahsyat sekali sehingga pohon-pohon yang berdekatan pada tumbang!

Tak jauh dari situ terdapat dua orang kakek yang duduk bersila, agaknya mereka itu terluka dan sedang mengusahakan pengobatan dengan sin-kang. Begitu muncul di situ, terdengar suara bisikan dekat telinga Si Pendekar Super Sakti dan Topeng Setan.

“Ini adalah urusan kami di luar tembok besar, harap kalian jangan mencampuri.”

Suma Han mengangguk-angguk, dan kagum kepada kakek tua renta bongkok yang terkenal sebagai Si Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir dan yang memperkenalkan diri sendirl sebagai Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi itu.

Biarpun dikeroyok tiga, dan sudah melukai dua orang lawan, akan tetapi dia sendiri pun telah lemah gerakannya, agaknya sudah mengeluarkan tenaga terlalu banyak, dan lawannya, nenek yang bermata biru dan rambutnya kuning emas, juga amat lihai sekali, namun toh Si Dewa Bongkok itu masih sempat minta kepada dia dan Topeng Setan agar jangan mencampuri! Padahal, biarpun yang mengadakan pertemuan adalah datuk-datuk di luar tembok besar, namun jelas bahwa tiga orang di antara mereka adalah orang-orang yang menggunakan kecurangan mengeroyok Si Dewa Bongkok.

“Kenalkah kau kepada mereka?”

Suma Han berbisik kepada Topeng Setan, karena sesungguhnya selama hidupnya dia belum pernah bertemu dengan empat orang ini, sungguhpun pernah dia mendengar nama Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir.

Topeng Setan mengangguk, dan hal ini tidak mengherankan hati Suma Han karena dia maklum bahwa orang ini pun bukan orang sembarangan dan dia melihat kini betapa gerakan Si Dewa Bongkok yang lengan kirinya juga buntung seperti lengan kiri Topeng Setan itu mirip sekali dengan latihan yang dilakukan oleh Topeng Setan di waktu mereka berhenti dan beristirahat dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yin-san ini. Maka dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan erat antara Topeng Setan dan Dewa Bongkok.

“Locianpwe, saya sendiri pun baru pernah mendengar nama dan gambaran tentang mereka. Yang berambut pirang bermata biru, nenek lihai itu adalah datuk dari daerah barat, sedangkan yang dua orang lagi dan agaknya sedang bersamadhi itu, adalah datuk-datuk dari kutub utara dan datuk pantai timur. Nama-nama mereka tidak dikenal orang, dan mereka itu adalah datuk-datuk di luar tembok besar yang tidak pernah menyeberang tembok besar maka tidak terkenal di pedalaman.”

Suma Han mengangguk-angguk dan memperhatikan jalannya pertandingan. Dia terkejut karena mendapatkan kenyataan bahwa dua orang yang sedang bertanding itu benar-benar memiliki tingkat kepandaian yang sudah sempurna dan dia sendiri pun agaknya hanya dapat mengimbangi mereka saja.

“Dan yang gagah perkasa dikeroyok dan kini menandingi nenek itu tentu Si Dewa Bongkok majikan dari Istana Gurun Pasir, bukan?” tiba-tiba Suma Han bertanya sambil menoleh dan memandang Topeng Setan dengan penuh selidik.

Diteropong oleh dua mata yang amat tajam penglihatannya seolah-olah dapat menembus topengnya, bahkan menjenguk ke dalam dadanya itu, Topeng Setan mengangguk dan menunduk.

Pada saat itu, terdengar lengkingan keras sekali. Suma Han dan Topeng Setan terkejut memandang. Kiranya dua orang datuk yang tadi duduk bersila, kini sudah meloncat dan menyerang Si Dewa Bongkok dari dua jurusan.

Suma Han dan Topeng Setan mengeluarkan teriakan kaget, namun betapa pun lihainya mereka, karena tadi mereka mengalihkan perhatian, mereka itu terlambat dan tidak dapat turun tangan mencegah lagi. Dua orang datuk itu sudah menyerang dari kanan kiri, dan Si Dewa Bongkok yang hanya berlengan satu itu memutar tubuh menyambut.

“Bresss....!” Dewa Bongkok terlempar, berputaran dan roboh.

Seperti menerima komando saja, Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat ke depan, Suma Han menggunakan tongkatnya menghadang nenek berambut pirang sedangkan Topeng Setan sudah menerjang dua orang yang tadi secara pengecut membokong Dewa Bongkok.

“He-he-he-heiiik! Orang berkaki buntung berambut putih.... heiiii, matamu itu.... bukankah kau Pendekar Siluman dari Pulau Es?” bentak Si Nenek sambil mencelat mundur ketika ujung tongkat Suma Han berkelebat.

“Dan kau seorang nenek dari barat yang amat curang, bertiga mengeroyok seorang saja.”

“Hi-hi-hik, kau tahu apa? Kau melindungi Dewa Bongkok?”

“Aku tidak melindungi siapa-siapa, hanya menentang yang lalim dan curang,” jawab Suma Han dengan tenang.

“Kalau begitu mampuslah kau!”

Nenek itu sudah menerjang lagi, didahului dua sinar emas dan perak yang melayang-layang ke arah kepala dan dada Suma Han. Pendekar Super Sakti cepat menggerakkan tongkatnya menghalau sinar emas dan perak itu.

“Tinggg! Tinggg!”

Dua buah benda itu ternyata adalah dua buah gelang dari emas dan perak dan kini setelah kena ditangkis, dua benda itu melayang kembali kepada pemiliknya, yang cepat menyambarnya dan kini menggunakan dua buah gelang itu di tangannya untuk menyerang dengan gerakan seperti kilat cepatnya dan yang nampak hanya sinar emas dan perak berkilauan mengerikan.

Namun Pendekar Super Sakti sudah siap dengan tongkatnya dan karena dia maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang memiliki kesaktian hebat, Suma Han segera menggunakan ilmunya yang dahsyat, yaitu Soan-hong-lui-kun yang membuat tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti menyambarnya halilintar, sukar diduga perkembangan gerakannya sehingga beberapa kali nenek itu terpekik kaget.

Memang benar seperti yang diceritakan secara singkat oleh Topeng Setan kepada Pendekar Super Sakti tadi. Di luar tembok besar sebelah utara Tiongkok, di luar perbatasan tanah Mongol, terdapat banyak pertapa dan tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dan yang paling tinggi kepandaiannya adalah empat orang datuk-datuk luar tembok besar itu.

Lima tahun sekali, empat orang ini selalu mengadakan pertemuan di tempat-tempat sunyi, untuk saling menambah pengetahuan dan sekedar menguji hasil ciptaan masing-masing. Akan tetapi, setelah tiga kali berturut-turut Si Dewa Bongkok selalu unggul, tiga orang itu menjadi iri hati dan diam-diam mereka bersepakat untuk dalam pertemuan berikutnya, merobohkan Si Dewa Bongkok, lalu mengambil pusaka-pusakanya dan mempelajari ilmu-ilmu yang diciptakannya.

Untuk itu, mereka bertiga telah mengutus anak-anak murid mereka menyelidiki ke Istana Gurun Pasir selagi Dewa Bongkok mereka undang ke Yin-san. Untung bahwa usaha murid-murid mereka itu digagalkan berkat bantuan Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti. Dan di Yin-san, mereka ternyata berhasil merobohkan Si Dewa bongkok dengan siasat pengeroyokan yang curang, dan baiknya dalam saat terakhir itu muncul pula Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti.

Akan tetapi, kalau Pendekar Super Sakti dapat mengimbangi kelihaian nenek berambut pirang yang bersenjatakan sepasang gelang emas dan perak, adalah Topeng Setan yang sibuk sekali menghadapi pengeroyokan dua orang datuk yang tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan tingkat para datuk lainnya itu.

Dia sendiri belum dapat menguasai Sin-liong-hok-te secara sempurna, maka biarpun kedua lawannya itu telah terluka oleh Si Dewa Bongkok, akan tetapi tetap saja Topeng Setan terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali.

Ceng Ceng yang menonton pertandingan itu, hanya memandang terbelalak. Dia dan Hwee Li tidak berani bergerak, karena dari tempat jauh saja sudah terasa oleh mereka sambaran hawa pukulan yang amat mujijat dari kalangan pertempuran. Melihat ini, Hwee Li menjadi tidak sabar lagi. Dia bersuit keras dan burung rajawali hitamnya menyambar turun.

“Hek-tiauw, kau bantulah Paman Topeng Setan, cakar dan patuk dua orang kakek itu, hayo cepat!” teriaknya kepada burungnya.

Hek-tiauw itu mengeluarkan suara memekik nyaring dan melayang ke atas, kelihatannya takut-takut dan ragu-ragu untuk turun karena naluri binatang ini agaknya memberi tahu kepadanya bahwa orang-orang yang bertanding di bawah itu bukanlah manusia-manusia biasa.

“Hayo, hek-tiauw....!”

Hwee Li berteriak-teriak dan terpaksa burung itu menyambar ke bawah, langsung mencengkeram ke arah kepala seorang kakek yang kepalanya gundul licin mengkilap mengeluarkan uap dingin.

Dia adalah datuk dari kutub utara dan melihat sambaran bayangan hitam, tangan kirinya menyampok, sedangkan tangan kanannya tetap saja menghantam ke arah Topeng Setan, dibarengi dari kiri oleh temannya. Mereka menyerang Topeng Setan dengan persatuan tenaga seperti yang mereka lakukan ketika merobohkan Si Dewa Bongkok tadi.

“Plak....! Bresss....!”

Dalam sedetik itu terjadi banyak hal. Rajawali hitam kena ditangkis oleh tangan yang ampuh itu, terlempar mencelat jauh dan terbanting menabrak batang pohon lalu terjatuh sambil mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing digebuk.

Sedangkan Topeng Setan yang tadi menangkis pukulan dari dua jurusan itu, terhuyung-huyung kemudian roboh, dari balik topengnya mengalir darah segar yang agaknya keluar dari dalam mulutnya. Akan tetapi dua orang kakek itu yang terkena tangkisan Topeng Setan yang mengerahkan tenaga sakti Sin-liong-hok-te, juga terhuyung-huyung, memuntahkan darah segar dan mereka pun terluka hebat.

“Paman....!”

“Hek-tiauw....!”

Kalau Hwee Li lari menghampiri burungnya Ceng Ceng lari menghampiri Topeng Setan, akan tetapi dua orang kakek itu mengira bahwa Ceng Ceng akan membela Topeng Setan dan menyerang mereka karena mereka melihat betapa loncatan Ceng Ceng menandakan bahwa dara itu mempunyai kepandaian istimewa. Seorang diantara mereka mengebutkan ujung bajunya.

“Prattt....!”

Ceng Ceng kena disambar ujung baju pundaknya dan dia terguling roboh pingsan di dekat Topeng Setan.

Melihat ini, Suma Han menjadi tidak senang hatinya. Dia mengeluarkan pekik melengking yang luar biasa dahsyatnya, dan kini tubuhnya berubah menjadi tiga orang Suma Han, dan dia bersama dua bayangannya itu menyerang tiga orang datuk itu kalang-kabut.

Nenek berambut pirang berteriak kaget dan kesakitan, darah mengucur dari lehernya yang kena serempet tongkat, sedangkan dua orang datuk yang sudah terluka ketika mengadu tenaga dengan Topeng Setan, juga mundur-mundur dengan jerih. Akhirnya ketiganya maklum bahwa dalam keadaan terluka, mereka tidak akan menang menghadapi Dewa Bongkok dan para pembantunya yang istimewa itu, maka dengan teriakan nyaring melampiaskan kekecewaan hati mereka, tiga orang datuk itu lalu melarikan diri.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar