FB

FB


Ads

Jumat, 13 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 136

Ceng Ceng makin mendongkol. Terpaksa dia berdiri diam di sebuah taman, sambil mendengarkan lagi. Jantungnya berdebar tegang. Sekarang dia tidak akan keliru lagi. Tentu dialah orangnya! Selain wajahnya yang tak mungkin dia lupakan selama hidupnya itu, juga buktinya begitu melihat dia muncul, orang bermantel lebar itu melarikan diri. Padahal melihat kelihaiannya menghadapi lawan-lawannya, tidak mungkin laki-laki itu takut kepadanya. Tentu dia lari karena dia pun ingat kepadaku, pikir Ceng Ceng.

Jantungnya berdebar aneh. Ingat padaku? Dia masih ingat padaku? Ingat secara bagaimana? Kalau dia sendiri tentu saja selama hidupnya akan teringat kepada pemuda itu, ingat dengan hati penuh kebencian. Akan tetapi bagaimana perasaan pemuda itu begitu melihat dan mengenalnya? Ingin sekali dia mengetahui perasaan pemuda itu.

Kembali terdengar suara orang bertempur. Ceng Ceng menahan kakinya yang sudah hendak berlari lagi. Tidak, dia harus cerdik sekarang. Dia tidak boleh lari tergesa-gesa, karena hal ini akan membuat kehadirannya ketahuan dan si laknat itu tentu akan lari lagi. Maka kini Ceng Ceng menghampiri tempat arah datangnya suara pertempuran dengan jalan kaki, berindap-indap dan hati-hati agar jangan sampai diketahui oleh mereka yang sedang bertanding, terutama tentu saja oleh pemuda musuhnya itu.

Akan tetapi setelah tiba di tempat itu dan melihat mereka tidak melarikan diri, hatinya kecewa karena yang bertanding sekali ini bukanlah si pemuda laknat yang memakai mantel lebar tadi, melainkan seorang kakek yang memegang sebatang sapu lidi bergagang panjang, dikeroyok oleh dua orang kakek yang bersenjata kebutan dan yang seorang bersenjata tasbeh.

Dua orang kakek pengeroyok itu lihai sekali, akan tetapi kakek pembawa sapu lidi itu tidak kalah lihainya. Terutama sekali gin-kangnya, amat luar biasa sekali gerakannya, cepat seperti beterbangan sehingga pandang mata Ceng Ceng menjadi kabur melihat kakek itu berkelebatan dan sapu lidi di tangannya digerakkan menjadi gulungan sinar yang amat lebar mengelilingi dan menyelimuti dirinya.

Biarpun dua orang pengeroyoknya itu pun amat lihai sehingga gerakan senjata mereka mendatangkan angin yang bersiutan, akan tetapi kakek tukang sapu ini mampu melindungi dirinya, bahkan masih sempat pula menyumpah-nyumpah dengan suaranya yang agak parau.

“Kurang ajar sekali! Kalian ini setan-setan dari mana malam-malam begini berani mengacau di rumah orang?”

“Heh, pelayan rendah! Kedudukanmu hanya tukang sapu, jangan banyak bicara kau! Hayo antarkan kami ke gedung pusaka milik Si Bongkok kepada kami!” teriak lawannya yang bersenjata kebutan.

“Hemm, kiranya kalian ini maling-maling tak tahu malu? Benar-benar gagah perkasa, berani datang merampok selagi tuanku pergi. Kalau beliau berada di sini tak mungkin kalian berani datang. Dasar pengecut!”

“Pelayan hina bermulut lancang!” bentak lawan yang memegang tasbeh dan mereka sudah bertanding lagi makin seru.

Ceng Ceng yang sedang menonton pertempuran hebat itu dengan hati kecewa karena dia tidak melihat si pemuda laknat yang dikejarnya, tiba-tiba mendengar ada suara pertempuran yang lebih ramai di balik tembok kiri. Cepat dia lalu menyelinap dan menghampiri.

Ketika dia sudah tiba di balik tembok itu, dia melihat si pemuda laknat yang memakai jubah mantel lebar itu dikeroyok oleh lima orang yang lihai. Agaknya si pemuda itu hanya menggunakan ujung mantelnya yang lebar untuk menghadapi pengeroyokan lima orang lawannya yang bersenjata pedang.

Akan tetapi kedatangan Ceng Ceng yang sudah menyelinap hati-hati itu agaknya diketahuinya pula dan dia sudah meloncat lagi, menghilang ke dalam sebuah lorong yang agak gelap. Lima orang lawannya agaknya telah mengenal kelihaian pemuda itu maka melihat pemuda itu memasuki lorong gelap, mereka tidak berani mengejar, takut terjebak melainkan mengambil jalan atas dengan berloncatan ke atas genteng.

Akan tetapi Ceng Ceng tidak mempedulikan apa-apa lagi dan dia sudah mengejar secepatnya ke dalam lorong gelap itu. Sekali ini dia tidak akan melepaskan musuh besarnya itu, tekadnya sambil mempercepat larinya.

Akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget dan terguling di dalam lorong gelap karena ada sesuatu yang membelit kedua kakinya. Cepat dia merenggut benda itu dan ternyata benda itu adalah sehelai jubah lebar seperti yang dipakai oleh pemuda musuhnya tadi! Tentu saja tergulingnya ini memperlambat pengejarannya dan ketika ia meloncat bangun kembali, bayangan pemuda itu telah lenyap.






Ceng Ceng mendongkol dan sambil melempar mantel itu dia menyumpah-nyumpah dan melanjutkan pengejarannya sampai keluar dari lorong gelap.

Setibanya di luar lorong itu, di dalam halaman yang luas dan cukup terang, Ceng Ceng termangu-mangu, tidak tahu harus mengejar ke mana karena sudah tidak nampak lagi bayangan orang yang dicarinya sedangkan di situ terdapat banyak sekali jalan simpangan.

Selagi dia kebingungan, kembali terdengar suara orang bertanding di sebelah kiri. Cepat dia menuju ke tempat itu, berindap-indap dan setelah melewati jembatan kecil, dia melihat seorang kakek yang bersenjata cambuk sedang berhadapan dengan Topeng Setan!

Ceng Ceng memandang heran. Agaknya istana yang sunyi itu hanya dihuni oleh tukang sapu yang lihai dan murid Si Dewa Bongkok, yaitu si pemuda laknat yang memakai mantel lebar, dan malam ini istana didatangi oleh banyak sekali orang lihai yang maksudnya tentu akan merampok pusaka-pusaka Istana Gurun Pasir ini. Dan Topeng Setan agaknya membantu pihak tuan rumah menghadapi rombongan perampok! Dia sendiri menjadi bingung. Pemuda laknat musuh besarnya tinggal di istana ini, dan dia harus memusuhinya.

Akan tetapi, perampok-perampok ini, tidak mungkin dia harus bekerja sama dengan para perampok! Jelas bahwa Topeng Setan sendiri menentang para perampok dan dia tidak dapat menyalahkan Topeng Setan karena memang sudah sepatutnya bagi seorang gagah untuk mencegah perbuatan jahat seperti perampokan. Akan tetapi dia? Tak mungkin dia mau membantu musuh besarnya!

Kakek itu amat lihai menggerakkan cambuknya, namun dia bukanlah lawan berat bagi Topeng Setan sehingga ketika ujung cambuknya kena dicengkeram, ujung cambuk itu patah. Pemiliknya mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang melarikan diri. Topeng Setan bergerak mengejarnya.

“Paman....!” Ceng Ceng berteriak.

Topeng Setan berhenti, membalikkan tubuhnya dan berkata,
“Ceng Ceng, istana ini kemasukan maling-maling, aku harus membantu. Kau berdiamlah dulu di sini, aku hendak mengejar mereka.”

Setelah berkata demikian, Topeng Setan meloncat ke atas genteng dan lenyap, agaknya hendak membantu si tukang sapu.

Ceng Ceng termenung, bingung. Lalu dia cemberut. Mengapa Topeng Setan lebih mementingkan urusan istana ini, urusan tempat tinggal musuh besarnya? Mengapa Topeng Setan tidak cepat-cepat membantunya menangkap si pemuda laknat? Dengan hati panas dia lalu mengejar pula.

Terdengar pertempuran hebat di lapangan yang luas, yang terletak di belakang istana. Ceng Ceng lari menghampiri dengan penuh harapan. Kalau dia bertemu dengan musuhnya di situ, tidak peduli Topeng Setan membelanya menghadapi para perampok, dia tetap akan menyerang di pemuda laknat!

Dengan hati panas Ceng Ceng sudah mencabut pedangnya dan dengan pedang di tangan dia menghampiri tempat pertempuran itu. Akan tetapi kembali hatinya kecewa sekali. Ada sebelas orang yang lihai-lihai mengeroyok dua orang, yaitu kakek tukang sapu dan Topeng Setan, sedangkan pemuda laknat itu tidak kelihatan di situ! Masih ada empat orang musuh yang berdiri di luar tempat pertempuran dan terdengar seorang diantara mereka berkata nyaring,

“Mereka berdua telah dikurung, mari kita mencari sendiri gudang pusaka!”

Empat orang anggauta gerombolan maling itu lalu meloncat, dengan gerakan luar biasa ringannya tubuh mereka melayang ke atas genteng. Terdengar kakek tukang sapu tertawa,

“Ha-ha-ha, kalian berempat hanya mengantar nyawa!”

Ceng Ceng tidak mengerti mengapa kakek tukang sapu itu mentertawakan empat orang itu, tentu saja dia tidak mengira bahwa tukang sapu itu merasa yakin bahwa murid majikannya yang tadi menghadapi para penyerbu dan yang sekarang tidak nampak, tentu telah berlaku cerdik dan menjaga keselamatan gudang perpustakaan sehingga empat orang itu tentu akan tewas di tangan murid majikannya.

Kakek tukang sapu itu memang gagah berani. Biarpun dia yang telah dibantu oleh Topeng Setan itu berada dalam keadaan terdesak menghadapi keroyokan sebelas orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dia masih mampu mentertawakan para lawannya, sedikit pun tidak mengenal takut.

Tiba-tiba terdengar lengking aneh di atas, diikuti suara tertawa merdu nyaring, suara ketawa seorang gadis cilik yang menunggang seekor rajawali hitam. Kiranya rajawali hitam dari Pulau Neraka itu yang tadi mengeluarkan suara melengking dan kini atas dorongan dan bujukan Hwee Li, gadis itu, si rajawali hitam raksasa menyambar ke arah empat orang anggauta penyerbu yang tadi berlompatan di atas genteng!

Empat orang itu kaget bukan main, cepat mereka menggerakkan pedang menyerang ke atas. Akan tetapi sepasang cakar rajawali hitam itu besar dan kuat sekali, melebihi baja kerasnya, sehingga dua orang berteriak kaget, pedang mereka terlepas dan tangan mereka berdarah kena dihantam cakar, orang ke tiga terpelanting kena disambar sayap dan orang ke empat berteriak-teriak menutupi mata kanannya yang disambar ujung sepatu Hwee Li yang tertawa-tawa!

Empat orang itu cepat berloncatan turun lagi dan Hwee Li sambil tertawa menerbangkan rajawalinya ke atas, berputaran sambil menonton pertempuran hebat yang masih terjadi di halaman luas itu.

Pada saat itu, terdengar suara lengking nyaring berkali-kali dan rajawali yang ditunggangi Hwee Li itu menggerakkan sayapnya dan terbang tinggi sekali seperti terkejut atau ketakutan. Ceng Ceng mengkhawatirkan keselamatan muridnya dan berseru,

“Hwee Li, hati-hati kau....!”

Akan tetapi tiba-tiba nampak di angkasa dua bayangan besar hitam, lalu terdengar kelepaknya sayap-sayap burung raksasa. Kiranya dua bayangan hitam besar setelah kini tiba dekat, adalah dua ekor rajawali putih yang besar-besar dan di atas rajawali putih yang betina duduk seorang kakek yang berkaki satu dan berambut putih panjang riap-riapan.

“Hemm.... orang-orang yang tamak di mana-mana menimbulkan kekacauan saja!”

Terdengar kakek berkaki buntung sebelah itu berkata dan tiba-tiba tubuhnya melayang turun dari atas punggung rajawali itu.

“Pendekar Siluman....!”

Beberapa orang di antara para penyerbu itu berseru kaget dan kini mereka semua menjadi panik karena melihat betapa pendekar tua berkaki buntung sebelah itu ketika tiba di bawah telah terpecah-pecah menjadi sepuluh orang kembar yang menggerakkan tongkat secara hebat, tubuh sepuluh orang Pendekar Super Sakti itu mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti kilat karena dia menggunakan ilmunya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun! Melihat ini, peninglah kepala semua orang itu dan pandang mata mereka menjadi kabur.

“Lari....!”

Teriak seorang berpakaian tosu yang memegang kebutan dan tanpa diperintah dua kali, lima belas orang itu segera meninggalkan ternpat itu dengan kacau-balau dan ketakukan. Padahal mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.

Sejenak kakek tukang sapu itu berdiri terbelalak memandang kepada Pendekar Super Sakti Suma Han yang berdiri dengan tenang di depannya, kini sudah menjadi satu, tidak lagi terpecah menjadi sepuluh orang. Kemudian kakek itu membungkuk dengan penuh hormat kepada Suma Han dan berkata,

“Kiranya Taihiap yang berjuluk Pendekar Super Sakti, tocu (majikan pulau) dari Pulau Es. Hamba mewakili majikan hamba dan kongcu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap mengusir para penjahat. Juga kepada Ji-wi berdua saya menghaturkan terima kasih,” katanya lebih lanjut dan menjura ke arah Ceng Ceng dan Topeng Setan.

Pendekar Super Sakti mengangguk.
“Pelayan yang baik dan setia,” katanya. “Di manakah adanya tuanmu? Aku datang karena melihat jejak puteraku, Suma Kian Lee, menuju ke tempat ini. Apakah dia bersama dengan majikanmu?”

Tukang kebun itu kembali menjura.
“Belum lama ini majikan hamba datang bersama Suma Kongcu, kemudian majikan hamba mengajak Suma Kongcu ke selatan setelah tiba undangan dan tantangan dari tiga orang datuk lainnya yang mengadakan pertemuan di Yin-san, pegunungan sebelah selatan. Kemudian datang Kongcu (Tuan Muda) murid majikan hamba dan kami berdua diserang oleh gerombolan penjahat tadi. Untung ada Sam-wi (Anda Bertiga) yang membantu kami.”

Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat ke depan dan menodongkan pedangnya kepada kakek si tukang sapu yang menjadi terkejut sekali.

“Hayo katakan, siapa kongcumu itu? Bukankah dia yang bernama Kok Cu?”

“Benar, Nona.... kenapa....?”

“Di mana dia? Lekas suruh dia keluar!”

“Eh, hamba.... hamba kira dia menjaga di gedung pusaka, sudah pasti begitu karena dia amat cerdik, tahu bahwa para penjahat tadi hendak menyerbu gedung pusaka.”

“Nona muda, segala urusan dapat diselesaikan dengan baik, tanpa kekerasan.”

Tiba-tiba Pendekar Super Sakti berkata dan suaranya yang halus itu membuat Ceng Ceng meremang bulu tengkuknya.

“Maaf, Locianpwe,” katanya dan dia menyimpan pedangnya.

“Biar saya yang mencarinya bersama orang tua ini,” kata Topeng Setan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar