FB

FB


Ads

Jumat, 13 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 135

Namun ternyata Hwee Li tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan keributan dalam perjalanan itu. Kalau malam tiba dan melihat subonya dan Topeng Setan beristirahat, dia pun menyuruh burungnya turun agak jauh dari situ, lalu membebaskan burungnya dan dia sendiri lalu menghampiri subonya, membantu subonya membuat api unggun, mencari binatang hutan untuk dipanggang dan dimakan bersama.

Keesokan harinya, setelah subonya dan Topeng Setan berangkat, dia memanggil hek-tiauwnya dan kembali naik ke atas punggung burung yang segera menerbangkannya mengikuti gurunya.

Akhirnya, pada suatu siang, tibalah Ceng Ceng dan Topeng Setan di depan sebuah istana setelah melalui perjalanan melintasi gurun pasir selama setengah hari lamanya. Sungguh aneh sekali, di tengah gurun seperti ini, di tengah lautan pasir, terdapat sebuah bangunan besar yang begitu megah, kelihatan sunyi sekali dan karenanya kelihatan “angker” dan keramat.

“Hati-hati, Paman.” Ceng Ceng berbisik sambil melambaikan tangan ke atas. Hwee Li menyuruh burungnya menukik turun, kemudian setelah dekat Ceng Ceng berkata kepada muridnya sambil mengisyaratkan dengan tangannya, “Kau pergi agak jauh, jangan ikut turun di sini! Tunggu sampai kami keluar!”

“Baik, Subo.!”

Hwee Li menjawab dengan suara agak mengkal karena dari atas, istana itu kelihatan aneh dan indah, dan sebetulnya dia ingin sekali turun masuk. Akan tetapi karena dilarang subonya, maka dia lalu menyuruh burungnya terbang tinggi di atas dan berputaran di sekeliling istana itu.

“Mari kita masuk, Paman.”

Ceng Ceng berkata kepada Topeng Setan setelah melihat burung dan muridnya itu melayang tinggi dan jauh. Topeng Setan mengangguk dan mengikuti gadis itu yang melangkah masuk dengan hati-hati sekali.

Istana itu kuno sekali, akan tetapi buatannya kokoh kuat dan amat indah, terbuat dari batu-batu berwarna sehingga kelihatan aneh dan mencolok di tengah gurun pasir yang tandus. Akan tetapi anehnya pula, di belakang dan samping kiri istana itu terdapat tanaman-tanaman berupa pohon-pohon dan bunga-bunga, cukup segar dan indah!

Mereka berdua memasuki gang-gang dan lorong-lorong di dalam istana itu. Berliku-liku jalannya lorong-lorong itu, diapit-apit tembok tinggi yang penuh ukir-ukiran, berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf yang tidak dimengerti artinya oleh Ceng Ceng.

Istana ini ternyata luar biasa luasnya, akan tetapi sungguh mengherankan hati Ceng Ceng mengapa dia tidak bertemu dengan seorang pun di dalamnya. Padahal istana itu mempunyai banyak sekali kamar-kamar, ruangan-ruangan dan halaman-halaman dimana terdapat tanaman-tanaman aneh, pohon-pohon yang tua sekali akan tetapi kate, tingginya hanya dua tiga kaki, diatur seperti sebuah taman yang indah dan di tengahnya terdapat kolam ikan emas dengan air memancar dari tengah-tengahnya! Dan melihat betapa bersihnya tempat itu, terawat baik, mustahil kalau tidak ada penghuninya.

“Heran sekali, mengapa kosong, Paman? Apakah penghuninya sedang pergi?” Ceng Ceng berbisik.

“Hemm.... mungkin begitu....”

Jawab Topeng Setan, suaranya juga lirih setengah berbisik. Ceng Ceng bergidik. Topeng Setan biasanya begitu tabah menghadapi apa pun, akan tetapi sekarang mendengar suaranya seperti seorang yang merasa ngeri dan jerih! Apalagi dia. Dia sudah merasa serem dan longak-longok memandang ke sana-sini.

“Sregggg....! Sregggg....!”

Ceng Ceng terperanjat sampai terloncat ketika kesunyian melengang itu tiba-tiba dipecahkan suara yang amat nyaring ini, suara orang menyapu lantai dengan sapu lidi. Suara itu terdengar dari halaman yang baru saja mereka lewati, halaman di depan gedung perpustakaan, seperti yang tertulis di depan pintunya tadi.

Mendengar suara ini, giranglah hati Ceng Ceng. Tentu itu seorang perawat atau pelayan rumah besar ini dan dapat ditanyai tentang Kok Cu si pemuda laknat. Maka otomatis kakinya bergerak, berlari cepat menuju ke halaman depan gedung perpustakaan itu.

Akan tetapi begitu dia tiba di tempat itu, suara sapuan itu berhenti dan di situ kosong tidak nampak seorang pun manusia. Hanya dia melihat onggokan daun dan debu di sudut, bekas sapuan, padahal tadi ketika dia lewat di sini, daun-daun itu masih berserakan,






Ceng Ceng berdiri termangu-mangu dan memandang ke kanan kiri. Tampak jelas bekas goresan sapu lidi di halaman yang cukup luas itu. Sungguh aneh bukan main! Halaman seluas itu, bagaimana mungkin disapu dalam waktu secepat itu? Dia baru saja mendengar suara menyapu dan terus lari menghampiri, akan tetapi tempat itu telah selesai disapu orang dan si penyapu ajaib itu telah lenyap. Bulu tengkuknya meremang. Hanya iblis saja yang mampu bekerja secepat ini, atau kalau manusia, tentu memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya.

Keadaan yang sunyi itu, peristiwa yang amat aneh itu, menambah keseraman tempat yang demikian luas dan kosong. Ceng Ceng terlongong dan memandang ke arah bekas tempat yang disapu. Corat-coretan bekas sapuan itu aneh, tidak seperti biasa, melainkan malang melintang akan tetapi sangat teratur, setiap goresan bekas sapu lidi demikian panjang dan rata, lalu ujung-ujung goresan itu makin menipis dan lenyap akan tetapi semua tempat bersih seolah-olah semua kotaran itu terdorong oleh tenaga mujijat, bukan oleh lidi-lidi yang dijadikan satu menjadi sebatang sapu.

Melihat jarak goresan-goresan itu, awal dan akhir gerakannya, Ceng Ceng terkejut karena gerakan-gerakan itu bukanlah gerakan orang menyapu biasa sambil membongkok sedikit, melainkan gerakan orang bermain silat yang aneh! Agaknya orang atau setan yang menyapu halaman ini tadi menyapu sambil bersilat! Dan semua “serangan” ditujukan ke sudut halaman sehingga semua kotoran berkumpul dan menumpuk secara tepat di tempat itu. Bukan main!

“Sreggg! Sreggg!”

Ceng Ceng terloncat kaget dan kini lebih cepat dari tadi, dia meloncat dan berlarian ke arah suara orang menyapu di bagian depan, di halaman depan ruangan samadhi. Akan tetapi setibanya di tempat itu, dia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali meninggalkan lapangan yang sudah disapu itu!

Dia hendak mengejar, akan tetapi kembali sudah terdengar suara orang menyapu, kini di sebelah kiri. Dia lari mengejar ke tempat itu, hanya untuk mendapatkan halaman lain yang sudah bersih dan hanya tinggal ada bekas-bekasnya saja seperti tadi.

Sampai lima enam kali dia dipermainkan suara orang menyapu ini sehingga dia merasa mendongkol bukan main. Agaknya orang itu bukannya menyapu, melainkan sengaja mempermainkan aku, demikian bisik hatinya yang panas. Dan dibandingkan dengan orang itu, kepandaiannya sendiri agaknya tidak ada artinya.

Akan tetapi dia tidak takut. Kalau dia bertemu dengan pemuda laknat musuh besarnya itu di sini, dia sudah siap untuk menghadapinya dan menyerangnya mati-matian. Dia kini telah memiliki tenaga mujijat, khasiat anak naga itu. Di dalam perjalanan, dia sudah memperoleh petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan sehingga kini sedikit demi sedikit Ceng Ceng sudah mampu memanfaatkan tenaga mujijatnya itu, sungguhpun belum seluruhnya dan belum sempurna. Menurut keterangan Topeng Setan, kalau dia sudah mampu menguasai seluruh tenaga mujijat itu, maka di dunia ini jarang ada yang akan mampu menandingi kekuatan sin-kangnya.

“Paman....” Dan Ceng Ceng terkejut sekali, baru teringat sekarang bahwa sejak tadi dia meninggalkan Topeng Setan dan sejak tadi kawannya itu tidak ada lagi di belakangnya!
“Ahh, di mana dia....?”

Ceng Ceng memandang ke kanan kiri. Dia sampai lupa kepada Topeng Setan karena dia digoda oleh tukang sapu yang dikejarnya ke sana ke mari. Dia lalu mencari ke mana-mana, akan tetapi istana itu luas bukan main, banyak sekali lorongnya sehingga dia sudah lupa lagi di mana tempat dia meninggalkan kawannya itu tadi.

Dia seolah-olah telah “dipancing” untuk meninggalkan Tapeng Setan. Celaka, pikirnya, tentu pihak musuh sengaja menggunakan siasat memecah-belah mereka berdua sehingga tidak dapat saling menjaga dan saling menolong!

“Paman....!”

Dia mulai berteriak memanggil sambil berlari ke sana-sini, hatinya penuh ketegangan. Dia memasuki setiap lorong, membuka setiap kamar yang amat banyak jumlahnya. Akan tetapi semua kamar kosong. Kosong dan sunyi melengang. Dia merasa panik dan serem, bulu tengkuknya meremang. Hari sudah mulai gelap agaknya, ataukah karena istana itu amat tinggi maka matahari yang sudah mulai condong ke barat itu terhalang sinarnya? Dia sendirian saja di istana yang angker ini, dan menghadapi tembok-tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu, dia merasa dirinya amat kecil.

Dia terus lari mencari-cari dan kini hatinya penuh rasa takut dan juga kagum. Kiranya di sebelah dalam istana ini luasnya bukan main, seperti sebuah kota saja. Ada tamannya, ada anak sungai dengan jembatan yang artistik, bangunan-bangunan kecil yang aneh bentuknya namun indah.

Ceng Ceng mulai terengah-engah. Lalu dia mengambil keputusan untuk keluar saja dari istana yang menyeramkan ini. Di luar sana setidaknya ada muridnya, Hwee Li dan burung rajawali hitam itu. Dan di luar dia akan menanti Topeng Setan, atau mungkin sekali Topeng Setan sudah keluar lebih dulu karena melihat istana itu kosong dan menanti dia di luar.

Mulailah Ceng Ceng berlarian mencari jalan keluar. Akan tetapi celaka! Lorong mana pun yang diambilnya, tidak membawanya ke luar! Jalan-jalan di situ amat aneh, berputar-putar dan dia tidak dapat keluar, bahkan memasuki bagian-bagian yang tadi belum pernah dilalui. Dia tersesat di dalam istana luas kosong itu!

“Paman Topeng Setan....!”

Dia berteriak-teriak karena hari makin gelap, suasananya makin menyeramkan. Akan tetapi, teriakannya itu kini bergema dan yang terdengar kembali hanya gema suara terakhir, “....setaaaann....!” sehingga makin meremang bulu tengkuknya. Tengkuknya terasa dingin, seolah-olah setiap saat tengkuknya akan diraba dan dicekik tangan setan yang dingin!

Ceng Ceng makin panik dan baru sekali ini dia merasa takut, takut karena jalan pikirannya yang mencipta yang bukan-bukan. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang dalam beberapa tahun telah digembleng oleh pengalaman-pengalaman aneh mengerikan, bahkan beberapa kali dia menghadapi bahaya maut.

Namun baru satu kali ini dia merasakan ketakutan yang lain lagi sifatnya, rasa takut yang timbul karena menghadapi hal yang membingungkan dan tidak dimengertinya. Lebih baik dia menghadapi seratus orang lawan yang mengeroyoknya dan dapat dilihatnya. Sekarang ini, dia tidak dapat keluar, seorang diri dan tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Padahal malam agaknya mulai tiba dan cuaca menjadi makin gelap.

Ceng Ceng hampir saja menangis. Cuaca menjadi demikian gelapnya sehingga dia tidak berani lagi berlari-larian, hanya berjalan dengan mata terbelalak seperti mata seekor kelinci yang terkurung oleh jebakan.

Tiba-tiba dia menahan napas. Tampak olehnya bayangan orang di seberang jembatan di depan sana, bayangan hitam yang memegang sebatang lilin bernyala. Cahaya lilin itu terlalu kecil sehingga dia tidak dapat melihat wajah pemegangnya.

Rasa ngeri dan takutnya lenyap. Pasti bukan setan yang memegang lilin bernyala itu. Bayangan itu menggunakan api lilin, menyalakan lampu-lampu minyak yang berdiri di setiap sudut. Gerakannya ketika membuka penutup lampu, menyulut dan menutupnya kembali amat cepatnya dan api lilin itu bergerak-gerak.

Ceng Ceng cepat menggerakkan kakinya mengejar. Akan tetapi orang itu makin cepat pula gerakannya, meloncat ke sana-sini, sulut sana-sini, lari ke depan, sulut lagi sana-sini, terus dikejar oleh Ceng Ceng dan akhirnya, setelah menyalakan lampu terakhir, orang itu meniup padam lilinnya dan lenyap!

Ceng Ceng terpaksa berhenti, memandang ke sana ke mari. Sunyi melengang dan cahaya lampu-lampu minyak di sekitar tempat itu yang telah disulut oleh orang aneh tadi menciptakan suasana yang makin menyeramkan. Akan tetapi sedikitnya ancaman kegelapan sudah tidak ada lagi dan Ceng Ceng berbesar hati. Andaikata muncul apa pun musuh atau siluman, dia masih dapat menjaga diri di bawah sinar-sinar lampu yang muram akan tetapi cukup terang itu.

Selagi dia termangu-mangu, tidak tahu betul apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di sebelah kanan, suara orang bertempur! Ceng Ceng cepat berlari ke arah suara itu, dan akhirnya dia tiba di bawah sebuah bangunan tingkat dua.

Dia melihat ke atas dan ternyata ada dua orang bertempur saling serang dengan serunya di atas genteng bangunan tingkat dua itu. Yang seorang adalah kakek-kakek yang bertongkat, melawan seorang laki-laki bermantel lebar yang menutupi hampir sekujur badannya yang tinggi besar.

Agaknya laki-laki tinggi besar itu maklum akan kedatangan Ceng Ceng. Dia menoleh dan.... hampir saja Ceng Ceng menjerit. Itulah dia! Laki-laki berjubah lebar itu! Si pemuda laknat, tak salah lagi!

“Keparat....!”

Mulutnya mendesis dan Ceng Ceng hendak meloncat ke atas. Akan tetapi pemuda itu yang menoleh dan melihat Ceng Ceng, nampak terkejut lalu meloncat jauh ke depan melarikan diri, dikejar oleh musuhnya, kakek bertongkat. Melihat ini, Ceng Ceng terus melayang ke atas genteng dan mengejar pula ke arah kedua orang itu tadi berkejaran. Akan tetapi, gerakan mereka cepat bukan main dan di atas genteng-genteng istana, cuaca tidaklah seterang di bagian bawah yang sudah diterangi banyak lampu.

Ceng Ceng terpaksa berhenti ketika dia kehilangan dua bayangan yang dikejarnya itu. Dia mengerahkan seluruh ketajaman telinga untuk mendengarkan. Benar, di kejauhan dia mendengar lagi suara orang bertempur. Cepat dia meloncat dan dari atas dia melihat ada satu orang dikeroyok tiga orang.

Yang dikeroyok adalah seorang yang berjubah lebar tadi, si pemuda laknat, musuh besarnya. Karena Ceng Ceng tidak mempedulikan lain-lainnya, hanya mencurahkan seluruh perhatian terhadap si pemuda laknat, maka dia tidak peduli siapa yang mengeroyok itu dan dia langsung meloncat dari atas dengan maksud menyerang musuh besarnya sambil memaki,

“Hendak lari kemana kau?”

Orang berselubung mantel atau jubah lebar itu menengok dan sekali ini Ceng Ceng dapat mengenal betul wajah yang gagah perkasa itu, wajah yang dahulu di dalam guha kelihatan kemerahan dan beringas, akan tetapi sekarang kelihatan terkejut.

Orang itu mengeluarkan suara aneh di lehernya lalu meloncat dan melarikan diri lagi, dikejar oleh tiga orang musuhnya yang juga amat lihai dan memiliki gerakan-gerakan cepat bukan main sehingga kembali Ceng Ceng tertinggal jauh ketika mencoba mengejarnya dan sebentar saja sudah kehilangan bayangan mereka.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar