FB

FB


Ads

Jumat, 13 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 134

Betapapun juga, mungkin karena pengaruh arak wangi yang amat lezat suguhan Jenderal Thio, Ceng Ceng melirik ke arah Topeng Setan, memandang dengan tajam ke arah topeng itu, menerka-nerka bagaimana bentuk wajah di balik topeng itu. Bagaimana sih rupa di balik topeng itu? Tiba-tiba pandang matanya seperti terasa oleh Topeng Setan. Dia menoleh dan balas memandang. Dua pasang mata bertemu dan Ceng Ceng tersipu-sipu melengos ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong itu.

Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan meninggalkan benteng itu. Mereka berdua menolak ketika Jenderal Thio menawarkan dua ekor kuda untuk mereka, akan tetapi karena didesak-desak, akhirnya mereka menerima bekal buntalan yang terisi kain, roti kering, dan beberapa potong uang emas dan perak. Bekal seperti ini ada perlunya juga. Maka mereka tidak malu-malu kucing lagi untuk menerimanya, karena diberikan dengan hati yang tulus ikhlas.

Ketika mereka tiba di dusun dekat Lembah Bunga Hitam, dimana orang-orang golongan beracun yang dipimpin Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek dulu tinggal, Ceng Ceng berhenti. Hatinya terharu mengingat tempat ini. Setelah dia keluar dari sebuah sumur, yang merupakan terowongan tembusan sumur maut, dia tiba di tempat ini dan melihat seorang pemuda tinggi besar, tampan dan gagah di dalam kerangkeng! Dia menuju ke sumur itu dan duduk termangu-mangu disitu, tidak mempedulikan Topeng Setan yang memandangnya dengan sedih.

Masih terbayang oleh Ceng Ceng betapa dia menolong pemuda itu, melarikan kerangkengnya dan bersembunyi di dalam gua. Dia berusaha membebaskan pemuda itu dari dalam kerangkeng dan teringat dia betapa pemuda itu berkeras melarangnya! Betapa anehnya. Pemuda itu melarangnya membuka kerangkeng! Akan tetapi dia memaksa dan akhirnya kerangkeng terbuka dan....

“Ahhh....!”

Topeng Setan terkejut mendengar jerit tertahan ini. Dia cepat melompat mendekat dan Ceng Ceng baru sadar betapa dalam melamun tadi dia sampai mengeluarkan jeritan.

“Kenapa, Ceng Ceng?”

“Tidak apa-apa, Paman, aku hanya melamun dan teringat peristiwa dahulu. Di sinilah tempatnya, Paman. Di sinilah aku menolong pemuda laknat itu. Dia berada di sana itu, di dalam kerangkeng dan dijaga oleh beberapa orang anak buah Lembah Bunga Hitam. Aku keluar dari sumur ini dimana aku bersembunyi, dan aku melawan mereka, lalu aku membawa lari kerangkeng itu dimana pemuda laknat itu masih terkurung.”

Topeng Setan mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Tempat itu sekarang sunyi, tidak ada seorang pun manusianya dan pohon-pohon di situ tumbuhnya tidak sehat seperti dimakan penyakit atau daun-daunnya dimakan ulat. Padahal itu adalah akibat dari perang racun antara golongan Lembah Bunga Hitam dan golongan Pulau Neraka yang masing-masing mempergunakan racun-racun jahat.

“Ceng Ceng, apakah sebelumnya engkau sudah mengenal pemuda itu?”

“Sama sekali belum. Selama hidupku, baru satu kali itu aku melihat dia, di dalam kerangkeng itu.”

“Hemm.... kalau begitu.... kalau begitu mengapa engkau menolongnya? Apakah kau tahu mengapa dia di dalam kerangkeng?”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya, menyesal mengapa dia dahulu menolong pemuda itu!
“Aku tidak tahu, akan tetapi melihat dia dikerangkeng seperti binatang itu, aku.... aku merasa kasihan. Maka aku lalu menolongnya. Aku dikejar dan aku melarikan kerangkeng itu ke sana, jauh ke sana dimana aku membawa kerangkeng itu bersembunyi di dalam guha.”

Topeng Setan menggeleng kepala.
“Sunggguh aneh. Engkau baru saja mengenalnya, engkau tidak tahu pula mengapa dia dikerangkeng, dan kau sudah berani melarikannya dan menentang orang Lembah Bunga Hitam. Apakah yang mendorongmu senekat itu sehingga kau berani menentang bahaya untuk menolong orang yang tidak kau kenal?”

Ceng Ceng termangu, lalu mengangguk-angguk. Terhadap Paman Topeng Setan ini, dia tidak akan menyimpan rahasia apa-apa lagi. Semua peristiwa itu pun sudah dituturkannya. Orang ini seperti ayahnya sendiri dan dia akan menceritakan apa pun, yang paling rahasia sekalipun.

“Pertanyaanmu aneh, akan tetapi patut dipikirkan, Paman. Sudah kukatakan tadi bahwa mula-mula aku merasa kasihan kepadanya, kemudian, melihat wajahnya yang tampan dan gagah aku.... eh, terus terang saja, aku menjadi tertarik kepadanya. Dia sebetulnya gagah sekali, Paman. Belum pernah aku melihat pria segagah dia, gagah dan tampan....”

“Tampan mana dibandingkan dengan.... Suma Kian Lee atau Pangeran Yung Hwa misalnya?” tiba-tiba Topeng Setan bertanya.

“Hemmm.... Paman Kian Lee dan Pangeran Yung Hwa juga tampan sekali, akan tetapi sesungguhnya, menurut pendapat hatiku, tidak ada yang dapat melawan daya tarik pemuda itu, dia gagah dan tampan, aku tertarik sekali, akan tetapi siapa nyana, di balik ketampanan dan kegagahannya itu ternyata bersembunyi moral yang bejat!”

Hening sejenak dan Topeng Setan menundukkan mukanya, agaknya berpikir-pikir. Ceng Ceng terbenam ke dalam lamunannya sendiri. Sesaat kemudian, Topeng Setan bertanya,

“Lalu bagaimana, Ceng Ceng?”

“Setelah bersembunyi di dalam guha, aku lalu berusaha membuka kerangkengnya untuk membebaskannya, akan tetapi dia menolak dengan keras....”

“Ehhh?” Topeng Setan terkejut. “Dia menolak? Mengapa? Dia akan kau bebaskan dan dia menolak? Mengapa?”

“Dia menolak dengan keras ketika hendak kubuka kerangkeng itu. Pemuda itu mukanya merah padam dan beringas menakutkan, matanya merah dan agaknya dia berada dalam keadaan keracunan.”






“Hemmm.... lalu bagaimana?”

“Aku paksa membuka kerangkengnya. Dia terbebas dan.... dan.... dia menubrukku, dia memeluk dan menciumiku....”

“Hemmm, bedebah....!”

“Akan tetapi dia mengeluh dan meloncat bangun, dia memandangku dengan mata merah, seperti orang berjuang keras dengan dirinya sendiri, meragu dan seperti hendak menyerang diri sendiri. Akhirnya dia meloncat keluar dari dalam guha! Aku masih rebah dengan jantung berdebar dan tubuh lemas. Pemuda itu kuat bukan main sehingga ketika ditubruknya tadi aku sama sekali tidak mampu melawan....”

“Hem, dia lari katamu? Dia tidak mengganggumu lagi?”

“Itulah yang tadinya kusangka. Hatiku sudah lega. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia muncul di depan guha, lalu dia menubrukku, aku meronta dan berusaha melawan sekuat tenaga, akan tetapi sia-sia, dia amat kuat dan dia.... dia menggagahi aku, dia.... dia memperkosaku.... Paman, ahhh, Paman....”

“Anjing keparat! Jahanam busuk! Kau layak mampus!” Tiba-tiba Topeng Setan menampar kepalanya sendiri.

“Plakkk....!” Dan dia roboh terpelanting.

“Paman....!” Ceng Ceng terkejut dan menubruk. “Eh, Paman, mengapa....? Mengapa Paman menampar kepala sendiri?”

Topeng Setan menyeringai kesakitan. Kalau saja dia tidak mempunyai tenaga mujijat dari Sin-liong-hok-te, sebelum ilmu mujijat ini dikuasainya, tentu dia sudah mampus sekarang terkena tangannya yang tadi memukul untuk membunuh! Dia sadar dan berkata,

“Tidak apa-apa. Saking marahku tadi aku sampai lupa diri! Aku bersumpah, kau akan bertemu dengan dia, kau akan berkesempatan untuk melakukan hukuman sendiri kepadanya, Ceng Ceng. Terlampau enak baginya kalau dia mampus sebelum menerima siksaan dan hukumanmu. Aku akan menyerahkan dia ke depan kakimu!”

“Tapi.... tapi.... bukankah itu sukar sekali, Paman? Dia telah dibawa pulang oleh Si Dewa Bongkok, apakah Paman mampu melawan mereka?”

“Akan kuusahakan sampai titik darah terakhir agar engkau dapat menghukum si laknat itu, Ceng Ceng!”

“Paman.... Paman.... engkaulah orang termulia di dunia ini!” Ceng Ceng menjatuhkan dirinya merangkul kaki Topeng Setan dan berlutut.

Dada yang bidang itu naik turun bergelombang ketika dia menunduk dan memandang kepala dara yang berlutut di depan kakinya itu. Kemudian dengan halus dia membangunkan Ceng Ceng.

“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan ke Istana Gurun Pasir, Ceng Ceng.”

“Nanti dulu, Paman. Aku.... aku ingin sekali.... menengok tempat itu. Sekali lagi....”

“Tempat apa? Dimana?”

“Guha itu.”

“Ya Tuhan!” Topeng Setan berteriak dan memegangi kepalanya. “Kau.... kau malah ingin melihat tempat itu, tempat dimana perbuatan terkutuk, dimana kelaknatan itu terjadi?”

“Aku ingin melihatnya sekali saja, Paman.”

Ceng Ceng mengangguk dan menunduk, malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak menjauhi tempat itu dengan jijik, sebaliknya malah hendak menengoknya, seolah-olah tempat itu merupakan tempat kenangan yang indah!

Topeng Setan menghela napas dan menurut saja, mengikuti gadis itu menuju ke guha jauh di depan. Ketika tiba di depan guha, Ceng Ceng memandang ke sekeliling, memejamkan matanya dan terbayanglah peristiwa itu. Dia menggigit bibir dan membuka kembali matanya, lalu dia melangkah perlahan-lahan memasuki guha besar itu. Tiba-tiba, dia berhenti, mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan.

“Ada apa, Ceng Ceng?”

Topeng Setan yang juga berhenti itu bertanya, suara orang ini agak gemetar, agaknya Topeng Setan yang sakti itu pun merasa serem memasuki guha ini!

“Sssttt.... Paman.... ada asap.... tentu ada orangnya, jangan-jangan dia.... harap Paman waspada dan suka membantuku!”

Ceng Ceng berindap masuk ketika melihat ada asap mengepul dari dalam guha itu. Tidak salah lagi, pikirnya. Dengan hati berdebar penuh ketegangan Ceng Ceng berindap-indap memasuki bagian yang paling dalam dari guha itu dan.... ternyata tempat itu kosong tidak ada orangnya. Hanya kelihatan ada bekas api unggun yang masih berasap dan ada beberapa potong pakaian wanita yang agaknya habis dicuci dan dibentangkan di situ.

Tiba-tiba Topeng Setan berbisik,
“Ssssttt.... mari keluar, ada suara orang di luar!”

Mendengar ini, Ceng Ceng cepat membalik dan mengikuti temannya itu keluar guha dan mereka cepat bersembunyi di balik sebuah batu besar di depan guha itu. Kini Ceng Ceng juga mendengar suara itu, suara seorang wanita,

“Aihh, kelinci gemuk, kau berani datang mengantar nyawa, ya?”

Tentu saja Ceng Ceng terkejut sekali dan sudah siap menghadapi lawan sambil melirik Topeng Setan yang kelihatan tenang-tenang saja itu. Suara wanita itu disusul suara senandung merdu dan kini suara itu makin dekat.

Tak lama kemudian, Ceng Ceng yang mengintai dengan hati tegang itu melihat seorang dara muda muncul dan sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, mulutnya tersenyum ketika dia mengenal bahwa dara itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo! Dara cilik itu berjalan sendirian sambil bersenandung, wajahnya yang cantik itu kemerah-merahan dan berseri-seri, kedua tangannya memondong seekor kelinci putih gemuk yang agaknya dia tangkap di jalan tak jauh dari tempat itu.

“Aihhh, kiranya engkau, bocah nakal!”

Ceng Ceng yang entah mengapa dia sendiri tidak tahu menjadi lega hatinya karena tidak bertemu dengan si pemuda laknat, kini keluar dan menegur, diikuti oleh Topeng Setan dari belakang.

Hwee Li terkejut bukan main sampai melemparkan kelinci ke bawah dan cepat dia menengok, sepasang matanya yang lebar jeli itu terbelalak.

“Eh, kiranya Subo!” Teriaknya dan dia lari menghampiri Ceng Ceng dan memegang tangan gadis itu dengan sikap manja. “Subo, sudah terlalu lama aku menanti, mengapa Subo tidak lekas-lekas mengajarkan ilmu tentang racun kepadaku?”

Ceng Ceng memang merasa suka kepada dara remaja ini, bukan hanya karena dia pernah ditolong dan dibebaskan, juga karena melihat dara ini cantik manis sekali dan berwatak polos dan periang serta jenaka, jauh berbeda dengan ayahnya yang kejam dan jahat. Maka dirangkulnya gadis cilik itu.

“Kelak kalau aku sudah ada waktu, Hwee Li. Bagaimana engkau bisa berada di sini? Dengan siapa? Dan apakah kau tinggal di dalam guha itu?”

Dara remaja itu cemberut, kelihatannya dia jengkel sekali.
“Ayah selalu meninggalkan aku, Subo. Aku mencari jejaknya sampai ke sini, akan tetapi dia hilang lagi. Siapa tidak menjadi gemas mempunyai ayah seperti dia yang tidak mempedulikan anaknya? Semua ini gara-gara Bibi Lauw Hong Kui yang selalu menyeret Ayah ke dalam petualangan-petualangan itu. Subo, kau ajak aku, ya.... eh, siapa dia ini? Tentu jahat sekali, Subo.” Hwee Li memandang kepada Topeng Setan dan kelihatan takut.

“Dia ini Paman Topeng Setan, tidak perlu kau takut dan jangan mengatakan jahat karena dia adalah seorang pendekar besar,” jawab Ceng Ceng.

Akan tetapi Hwee Li masih memandang dengan penuh keraguan.
“Seorang pendekar biasanya berwajah gagah, tidak seperti ini. Akan tetapi karena dia memakai topeng, aku percaya bahwa di balik topeng itu tentu tersembunyi wajah yang gagah aman, boleh aku membuka topengmu?”

Dengan sikap lincah Hwee Li menghampiri Topeng Setan dan hendak membuka topeng itu. Tentu saja Topeng Setan melangkah mundur dan melindungi topengnya.

“Hwee Li, jangan kurang ajar kau! Mundur!” Ceng Ceng membentak dan Hwee Li segera mundur dengan cemberut.

“Boleh jadi dia pendekar besar, akan tetapi dia tidak adil dan penakut!” Dara remaja ini memandang kepada Topeng Setan dengan sikap menantang.

“Hemm, Nona cilik, mengapa kau mengatakan aku tidak adil dan penakut?” Topeng Setan bertanya.

“Engkau tidak adil karena kau bisa melihat dan mengenal wajahku dan wajah semua orang, akan tetapi sebaliknya aku tidak bisa melihat wajahmu. Apakah itu adil namanya? Dan biarpun Subo mengatakan kau seorang pendekar besar, mana bisa disebut gagah dan tidak penakut kalau kau selalu bersembunyi di belakang topeng?”

Menghadapi dara cilik yang lincah dan pandai bicara ini, Topeng Setan kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ceng Ceng yang melihat ini segera maju menolong pendekar itu.

“Hwee Li, diam kau, jangan cerewet. Aku tidak akan mengajakmu kalau kau cerewet!”

Wajah dara cilik itu menjadi girang sekali. Dia cepat memegang lengan Ceng Ceng dan berkata,
“Subo mau mengajakku? Ah, terima kasih, dan aku tidak akan berani nakal dan banyak cerewet lagi!”

Ceng Ceng baru teringat bahwa dia sudah kelepasan bicara. Mengajak bocah ini hanya akan menghambat perjalanan saja. Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara, maka dia lalu membelokkan persoalan dengan bertanya,

“Jadi engkau sendirian di sini? Pakaian siapa di dalam guha itu?”

Nona cilik itu tertawa, nampak deretan giginya yang putih seperti mutiara.
“Pakaianku, Subo. Tadi kucuci, sudah kotor sih! Lalu aku merasa lapar dan.... eh, mana kelinciku yang gemuk tadi?” Dia teringat kelincinya dan mencari-cari. Tentu saja binatang itu sudah sejak tadi melarikan diri tidak dapat ditemukan lagi. “Wah, celaka, rugi besar aku....” Dara remaja itu membanting kakinya jengkel.

“Kau lapar, Nona? Kami membawa bekal roti kering dan daging dendeng kering....” kata Topeng Setan menawarkan.

“Benarkah? Wah, ternyata kau baik sekali, Paman,”

Katanya melihat Topeng Setan pergi menghampiri belakang batu besar di mana tadi dia menaruh buntalannya, dan segera kembali membawa roti kering dan dendeng.

Setelah makan roti kering dan minum air, Hwee Li lalu berkata,
“Subo, sekarang Subo hendak mengajak aku ke mana?”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah terlanjur berkata hendak mengajak bocah ini!
“Kami berdua mempunyai urusan yang amat penting dan juga amat berbahaya, Hwee Li. Oleh karena itu, kau menanti saja di guha ini untuk beberapa lamanya. Setelah urusan kami selesai, aku pasti akan menjemputmu di sini.”

“Ah, aku sudah bosan di sini sendirian saja, Subo. Ajaklah aku seperti yang sudah Subo katakan tadi!”

Ceng Ceng merangkul pundak “muridnya” itu.
“Sungguh menyesal sekali, muridku yang baik! Kami menghadapi urusan yang sangat penting dan kami tergesa-gesa, kalau engkau kuajak sekarang, tentu akan memperlambat perjalanan....”

“Wah, Subo tidak perlu memikirkan hal itu. Aku tidak akan ketinggalan biar Subo dan Paman ini menggunakan ilmu lari cepat seperti terbang sekalipun. Pendeknya, asal Subo memperbolehkan aku ikut, Subo tidak perlu menggandeng atau menggendongku, dan aku pasti akan dapat mengikuti Subo, bahkan bisa pula mendahului kalau perlu!”

Topeng Setan terkejut mendengar kata-kata yang sombong dan sikap yang jumawa itu.
“Eh, Nona cilik, jangan main-main. Benarkah engkau akan dapat mengikuti kecepatan lari kami?”

“Mengapa tidak? Eh, apa Paman pandai terbang?”

“Terbang?”

“Ya, terbang di angkasa.”

“Tentu saja tidak bisa!”

“Nah, kalau begitu apa sukarnya mengikuti Paman dan Subo? Aku akan mengkuti kalian sambil terbang!”

“Hwee Li, jangan main-main kau!” Ceng Ceng menegur. “Masa kau bisa terbang?”

Anak perempuan yang manis itu tertawa. Ceng Ceng tidak mungkin bisa marah. Bocah ini sungguh sama sekali tidak pantas menjadi puteri Hek-tiauw Lo-mo yang menyeramkan itu. Begini manis dan wajar.

“Subo, tentu saja aku tidak bisa terbang karena aku tidak mempunyai sayap. Akan tetapi burungku bisa dan ke mana-mana aku naik burungku itu.”

“Eh, mana burung itu?”

“Dia galak sekali, kalau kupanggil sekarang mungkin akan menyerang Subo dan Paman ini. Nanti kalau Subo berdua sudah pergi, dia kupanggil dan aku akan mengikuti Subo. Bolehkah?”

Ceng Ceng kini tidak dapat menolak lagi.
“Sesukamulah. Akan tetapi engkau tidak boleh nakal dan harus menurut semua omonganku.”

“Baik, Subo. Baik, ah, Subo manis sekali!”

Mau tidak mau Ceng Ceng tersenyum. Bocah ini memang menyenangkan dan andaikata dia masih memiliki ilmu-ilmunya yang beracun dari Ban-tok Mo-li pun dia tidak akan mau menurunkannya kepada bocah manis ini, karena ilmu itu terlalu keji.

“Nah, kami akan melanjutkan perjalanan. Kalau burungmu tidak dapat membayangi kami, sebaiknya kau kembali saja ke sini dan dalam perjalanan pulang aku tentu akan menjemputmu di sini.”

Gadis cilik itu hanya mengangguk dan memandang ketika subonya dan Topeng Setan melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Setelah mereka itu pergi jauh, barulah dia bersuit nyaring dan berkali-kali. Tak lama kemudian terdengar jawaban dari atas dan seekor burung rajawali hitam yang amat besar menyambar turun.

Hwee Li tadi tidak membohong ketika mengatakan bahwa burungnya ini galak dan suka menyerang orang asing. Burung itu adalah hek-tiauw (rajawali hitam) dari Pulau Neraka yang oleh ayahnya ditinggalkan kepadanya untuk melindungi puterinya itu dan untuk mengantarnya kembali ke Pulau Neraka kalau dikehendaki oleh Hwee Li. Akan tetapi ternyata bocah ini tidak suka pulang ke Pulau Neraka, lebih senang berkeliaran ke mana-mana dan mengejar-ngejar ayahnya.

Setelah mengambil pakaiannya dari dalam guha, Hwee Li meloncat ke atas punggung rajawali hitam.

“Terbanglah, hek-tiauw dan ke sana....!”

Dia menepuk leher burung itu yang segera meloncat dan membentangkan sayapnya, terbang cepat ke atas menuju ke utara, yaitu arah yang ditunjuk oleh nona cilik itu.

Ceng Ceng yang berlari cepat bersama Topeng Setan mengharap agar “muridnya” itu tidak benar-benar mengejarnya.

“Heran sekali, engkau mempunyai murid seperti dia, puteri Ketua Pulau Neraka pula. Akan tetapi memang tidak bisa dielakkan lagi karena seperti telah kau ceritakan dahulu, dia telah menolong membebaskanmu, Ceng Ceng. Kulihat dia seorang bocah yang cerdik dan luar biasa sekali.”

“Memang, akan tetapi sekarang aku tidak bisa mengajak dia, tentu hanya akan menimbulkan kelambatan dan kerepotan saja. Mudah-mudahan dia tidak benar-benar mempunyai burung dan dapat menyusul seperti yang dibualkan.”

Hening sejenak, kemudian tiba-tiba Topeng Setan tertawa.
“Kau terlalu memandang rendah muridmu itu. Lihat!”

Dia menuding ke atas. Ceng Ceng mengangkat mukanya memandang dan benar saja, di atas mereka kelihatan seekor burung rajawali hitam besar sedang terbang lewat dengan cepat sekali.

“Subo....! Hiiiii!!”

Hwee Li bersorak dan melambaikan tangannya. Burung itu terbang berputar-putar dan terus mengikuti ke arah perginya Topeng Setan dan Ceng Ceng.

“Luar biasa puteri Hek-tiauw Lo-mo itu!” Ceng Ceng berkata. “Mudah-mudahan saja dia tidak akan membikin keributan.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar