FB

FB


Ads

Jumat, 13 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 132

“Paman, kenapa engkau meninggalkan aku?” Ceng Ceng menegur Topeng Setan ketika akhirnya dia dapat menyusul orang itu.

Topeng Setan diam saja, tidak menjawab, melainkan menarik napas panjang dan melangkah terus dengan lebar. Karena kakinya panjang langkahnya pun lebar sehingga sibuklah Ceng Ceng harus mengimbangi kecepatannya. Satu langkah dari kaki Topeng Setan berarti dua langkah dari Ceng Ceng, kadang-kadang malah tiga langkah karena langkahnya kecil-kecil.

“Paman, kenapakah? Apakah Paman marah kepadaku?” Ceng Ceng bertanya lagi, kini dengan khawatir dia memegang lengan Topeng Setan.

Mereka sudah pergi jauh dan tiba di tempat sunyi. Topeng Setan berhenti dan memandang Ceng Ceng, agaknya sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia menjawab,

“Bagaimana aku bisa marah kepadamu, Ceng Ceng? Tidak, aku hanya ingin meninggalkanmu, karena aku insyaf bahwa tempatmu di sanalah, bersama mereka itu. Engkau seorang gadis terhormat, seorang gadis perkasa, engkau tidak semestinya bersama dengan aku.”

“Aih, Paman, mengapa? Bukankah selama ini kita bersama-sama? Kita bersusah-payah bersama, menghadapi maut bersama dan engkau.... engkau telah melakukan segala itu untukku? Mana mungkin aku dapat kautinggalkan begitu saja. Tidak, ke mana pun engkau pergi, aku ikut, Paman. Aku tidak mau tinggal dengan siapapun juga.”

“Eh, aku mendengar tadi kau.... kau hendak diambil mantu oleh jenderal tadi....”

“Jenderal Kao? Ah, dia itu orang yang jujur dan terbuka. Mungkin dia hanya berkelakar saja.”

Tiba-tiba Topeng Setan memegang lengan gadis itu.
“Ceng Ceng, tahukah kau siapa putera sulung jenderal itu?”

“Entah, aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu! Apakah aku ini seekor anjing, kucing atau kuda saja mau dijodohkan secara demikian mudah dengan orang yang tak pernah kulihat? Tidak, aku tidak sudi, biarpun dia itu putera Jenderal Kao yang kuhormati dan kusayang itu. Dan aku tidak mau berpisah dari engkau, Paman.”

“Ehh....? Aku tidak mempunyai tempat tinggal, aku orang miskin dan perantau yang sengsara, masa engkau seorang gadis muda akan menjadi seorang terlantar seperti aku?”

“Tidak! Mari kuajak kau ke barat, Paman. Kita ke Bhutan. Puteri Syanti Dewi juga sudah pulang ke Bhutan, dan aku adalah adik angkatnya. Setidaknya, di sana aku masih mempunyai rumah peninggalan kakekku. Marilah kita ke sana, Paman....”

“Dan bagaimana dengan.... dia....?”

“Dia siapa?”

“Musuh besarmu!”

“Ohhh...., dia? Kalau aku dapat bertemu dengan dia, kubunuh dia!”

“Kalau tidak bertemu?”

“Sudah saja, kuanggap dia sudah mampus.”

“Ceng Ceng, engkau benar-benar tidak dapat menerima uluran cinta kasih dari Pangeran Yung Hwa?”

Ceng Ceng menggeleng kepala.
“Aku sudah tidak berharga lagi, dan sudah kuceritakan kepadamu, Paman. Aku mau hidup sendirian saja, ah, maksudku dengan Paman kalau Paman sudi menganggap aku sebagai anak sendiri.”

“Hemmm....”

“Bagaimana, Paman? Sukakah Paman mengantar aku ke Bhutan?”

“Ke mana pun engkau pergi, aku akan mengantarmu, Ceng Ceng.”

“Paman amat baik kepadaku, hanya karena aku mengingatkan Paman akan.... wanita itu? Apakah Paman tidak dapat melupakan dia?”

“Sampai mati pun aku tidak akan melupakan dia, Ceng Ceng.”

“Kenapa Paman membunuhnya?”

Topeng Setan menunduk dan Ceng Ceng menyesal telah mengajukan pertanyaan itu.
“Maaf, Paman. Tak perlu dijawab pertanyaanku itu.”

“Aku telah gila, aku telah mabok.... tidak sadar, akan tetapi penyesalan seumur hidup terasa, Ceng Ceng....” Suara Topeng Setan gemetar dan Ceng Ceng ikut terharu.

“Marilah kita melanjutkan perjalanan. Dunia begini indah, mengapa kita harus mengenang yang sudah-sudah?”

Di sepanjang perjalanan Ceng Ceng berusaha untuk bersikap gembira. Dia lalu menceritakan pengalaman ketika ditawan oleh Tambolon.

“Ketika itu, aku memiliki tenaga yang amat dahsyat, Paman. Entah mengapa, akan tetapi sekarang telah berkurang kedahsyatan tenaga itu. Betapapun, masih jauh lebih kuat daripada sebelum itu. Paman lihat!” Ceng Ceng menghampiri sebongkah batu dan mengayun tangannya yang halus.

“Darrr....!” Batu itu pecah berkeping-keping!






Topeng Setan mengangguk-angguk.
“Itu adalah berkat khasiat anak ular naga, Ceng Ceng. Untung sekali, engkau kehilangan racun di seluruh tubuhmu yang kau dapat dari Ban-tok Mo-li dan sebagai gantinya engkau memperoleh kekuatan sin-kang yang dahsyat dari khasiat anak ular naga itu.”

“Kau ajarkan aku ilmu silat agar aku kelak dapat membantumu kalau ada musuh kuat menentang kita, dan agar aku dapat melawan musuh besarku yang juga amat lihai itu, Paman.”

“Baik, Ceng Ceng, perlahan-lahan akan kuajarkan segala ilmuku kepadamu.”

Topeng Setan tidak mau menceritakan akan ilmu baru yang belum lama ini dikuasainya, yaitu tenaga Sin-liong-hok-te dan Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat. Ketika pada suatu hari Ceng Ceng menyatakan keheranannya melihat sinar mata Topeng Setan yang kini berbeda dari biasanya, mencorong dan berapi, dia menjawab sederhana,

“Mungkin hanya penglihatanmu saja, Ceng Ceng, atau mungkin karena aku kehilangan lenganku.”

Biarpun dia sedang menuju ke barat, akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah menghentikan kebiasaannya mencari musuh besarnya dengan cara bertanya-tanya kepada para pemilik warung atau rumah penginapan, para pelayan yang diajaknya bercakap-cakap.

Mereka melakukan perjalanan seenaknya, bahkan kadang-kadang menyimpang untuk menikmati suatu tempat di pegunungan yang terkenal indah pemandangannya. Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng dan Topeng Setan duduk makan di warung makan, kembali Ceng Ceng menggunakan kesempatan ini untuk bertanya-tanya tentang seorang pemuda tinggi besar bernama Kok Cu, barangkali para pelayan dan pemilik warung itu ada yang pernah melihatnya.

Akan tetapi tidak ada diantara mereka yang pernah melihatnya, dan pemilik warung yang melihat dara cantik jelita itu demikian ramah dan tidak pemalu, berani mengajak mereka bercakap-cakap dengan sikap manis, menjadi suka sekali dan dia lalu bercerita bahwa ada berita bahwa besok pagi rombongan pasukan Jenderal Kao akan lewat di dusun itu.

Ceng Ceng pura-pura tidak mengenal nama ini sungguhpun diam-diam dia menjadi girang pula.

“Siapakah jenderal itu dan mengapa pasukannya mau lewat di sini?” tanyanya, sedangkan Topeng Setan juga mendengarkan dengan penuh perhatian sungguhpun dia tidak ikut bicara.

“Saya sendiri pun tidak tahu jelas urusannya, hanya mendengar berita saja,” jawab pemilik warung itu.

Selanjutnya dia menceritakan tentang berita itu karena semua orang di dusun ini mengenal baik siapa adanya Jenderal Kao yang dahulu seringkali memimpin pasukan mengadakan pembersihan di daerah ini dan membasmi gerombolan-gerombolan jahat pengganggu rakyat. Menurut berita itu, karena jasa-jasanya membasmi pemberontak, Jenderal Kao diangkat menjadi panglima perang.

Akan tetapi sebelum berkedudukan di kota raja sebagai panglima besar itu, jenderal ini lebih dulu akan mentertibkan kembali pasukan-pasukan yang menjaga tapal batas, di samping memimpin sendiri pembersihan dan penumpasan sisa-sisa kaki tangan pemberontak yang melarikan diri ke pedalaman.

Selagi Ceng Ceng dan pemilik warung itu enak mengobrol didengarkan oleh Topeng Setan, tiba-tiba terdengar derap langkah orang dan dari luar warung itu masuklah seorang pemuda tampan yang bertubuh jangkung. Melihat wajah pemuda ini, Ceng Ceng seketika menjadi pucat wajahnya dan dia bangkit berdiri. Juga Topeng Setan yang melihat pemuda itu kelihatan kaget sekali.

Muka Ceng Ceng yang pucat seketika berubah merah sekarang, matanya terbelalak seperti mengeluarkan sinar bernyala penuh kebencian, tangan kanannya menekan dan mencengkeram ujung meja tanpa disadarinya. Terdengar bunyi berkerotokan dan meja itu hancur.

“Ah-ehh-ehh....!”

Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan mereka dan oleh Ceng Ceng diundang duduk semeja, terguling dan jatuh tunggang-langgang ketika terdesak meja yang miring dan matanya terbelalak melihat mejanya itu remuk.

“Keparat....!”

Ceng Ceng mengeluarkan suara lirih seperti menggereng dan tubuhnya sudah melesat ke pintu bagaikan kilat. Hati siapa tidak akan marah ketika dia melihat munculnya orang yang selama ini dicari-carinya? Pemuda yang baru masuk itu bukan lain adalah si pemuda laknat, pemuda tinggi yang dulu telah memperkosanya! Pemuda yang telah merusak hidupnya. Biarpun pemuda itu kini agak kurus, tidak setegap dulu, akan tetapi dia tidak akan pangling melihat wajahnya!

Pada saat tubuh Ceng Ceng melesat ke pintu, sesosok bayangan lain juga meluncur lebih cepat lagi. Ceng Ceng sudah menyerang ke arah pemuda itu, serangan yang amat dahsyat. Akan tetapi tiba-tiba tangannya yang sudah terulur ke depan itu tiba-tiba menjadi lemas dan tubuhnya terbanting ke kiri seperti dilanda ombak yang menghantamnya dari samping kanan.

Hampir saja dia jatuh tunggang-langgang, akan tetapi bayangan yang amat cepat dan yang menyerangnya itu kini telah menyambarnya dan merangkulnya sehingga dia tidak terbanting jatuh. Ceng Ceng marah bukan main, marah dan heran melihat bahwa yang menyerang dan kini merangkulnya itu bukan lain adalah Topeng Setan sendiri!

“Eh, kau....?”

Keheranan lebih menguasai hatinya melihat kenyataan betapa orang yang paling dipercayanya, yang selama ini membantunya, bahkan pembantunya mencarikan musuh besarnya itu, kini malah menghalang-halanginya menyerang dan membunuh musuh besarnya itu!

“Tenanglah, tenang dan telitilah lebih dulu, Ceng Ceng,” bisik Topeng Setan. “Lihatlah baik-baik, jangan sampai kau kesalahan membunuh orang lain!”

“Siapa bilang aku salah lihat? Dialah orang itu! Tak salah lagi, wajah itu sampai mati pun aku tidak akan lupa!”

“Hemm, nanti dulu. Aku pernah kau suruh melukis orang itu, katamu usianya sudah dewasa, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi pemuda itu.... hemm, masih remaja! Dan seingatku, kau bilang bibirnya agak tebal, tidak setipis bibir pemuda ini, lihatlah dulu yang benar....”

Ceng Ceng memandang lagi dengan penuh perhatian ke arah pemuda itu yang tadi menjadi kaget dan heran menyaksikan seorang wanita cantik ribut-ribut dengan seorang laki-laki yang mukanya buruk sekali. Dan baru sekarang dia harus membenarkan pendapat Topeng Setan, karena memang bukan pemuda remaja inilah pemuda yang memperkosanya dahulu.

“Akan tetapi dia juga tinggi, dan wajahnya.... wajahnya....”

Ceng Ceng tiba-tiba terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya ketika melihat seorang pemuda lain masuk pula, seorang pemuda tinggi kurus yang wajahnya juga mirip sekali dengan gambar dari musuh besarnya itu. Pemuda ini melangkah tenang ke arah meja di mana sudah duduk pemuda pertama dan pemuda yang ke dua ini masuk bersama dengan seorang kakek rambut putih panjang terurai yang kakinya cuma satu, akan tetapi gerakannya gesit sekali seolah-olah kakinya tidak buntung sebelah.

“Itu.... dia....”

Ceng Ceng menjadi beringas memandang pemuda ke dua yang baru masuk. Badannya gemetar, tangannya otomatis bergerak memukul. Topeng Setan terkejut sekali. Karena tidak disangka-sangkanya dan gerakan gadis itu cepat sekali, kini gadis ini benar-benar memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat, dan pukulan yang diarahkan kepada pemuda itu dengan tangan terbuka amat dahsyatnya.

Sin-kang mujijat yang timbul dari khasiat anak ular naga itu memang ajaib sehingga ketika Ceng Ceng mengerahkan tenaga memukul, dari tangannya yang terbuka itu menyambar uap dan angin pukulannya mengeluarkan suara bersuitan!

“Hemmm....!”

Suara ini keluar dari mulut kakek rambut putih yang kakinya buntung sebelah. Dia menengok ke arah Ceng Ceng, mengangkat tangan kiri ke atas dan.... bukan main anehnya, uap dan angin pukulan dahsyat dari tangan Ceng Ceng itu menyeleweng dan “tersedot” ke arah kakek ini dan seolah-olah amblas menghilang ke lubang lengan baju kakek itu! Ceng Ceng menjerit kaget dan menarik kembali tangannya.

Semua orang yang menyaksikan hal ini terkejut, tak terkecuali Topeng Setan karena dia maklum bahwa kepandaian kakek buntung kakinya ini benar-benar amat hebatnya, sukar diukur tingginya. Dan dia tahu pula bahwa kakek sakti ini bukan orang sembarangan, biarpun jelas bahwa Ceng Ceng melakukan serangan maut kepada pemuda yang datang bersamanya, kakek itu ternyata hanya memunahkan saja pukulan Ceng Ceng tanpa kekerasan sama sekali.

“Sabarlah.... kau.... salah lagi,” Topeng Setan memegang lengan Ceng Ceng. “Lihat baik-baik, dia itu malah lebih jauh berbeda lagi dari orang yang kugambar itu...., juga lebih muda.... jauh sekali. Kau ingatlah baik-baik....” Topeng Setan berkata berbisik-bisik.

Ceng Ceng terbelalak memandang pemuda yang kini bersama kakek itu pun berhenti melangkah dan memandang kepadanya. Setelah pemuda itu menoleh dan memandangnya, baru Ceng Ceng mengakui bahwa memang bukan ini pemuda laknat musuhnya itu. Akan tetapi wajah itu....!

“Tapi.... tapi.... ahhh, bagaimana ini....? Paman.... aku.... aku bingung....” dia merintih dengan penuh kekecewaan dan rasa penasaran.

Badannya menjadi limbung dan lemas, seluruh tenaganya habis karena kecewa mendapat kenyataan bahwa dua orang pemuda itu memang benar bukan pemuda laknat yang dicari-carinya, keringat dingin mengalir keluar dan dia mengeluh panjang lalu jatuh pingsan!

Topeng Setan menjadi bingung tidak karuan. Kalau Ceng Ceng pingsan terkena pukulan, dia tentu akan bersikap tenang dan dapat menolongnya cepat-cepat. Akan tetapi dia tahu bahwa gadis ini pingsan karena tekanan batin dan dia bukanlah seorang tabib yang dapat menyembuhkan dan mengobati penderita itu. Dengan bingung dia merebahkan tubuh Ceng Ceng di atas bangku panjang dan menggoyang-goyang tubuhnya.

Pada saat itu, selagi semua orang merubung Ceng Ceng dengan bingung, muncul seorang nenek yang agaknya masih serombongan dengan dua orang pemuda yang menimbulkan kegemparan di hati Ceng Ceng tadi, akan tetapi yang masuknya belakangan. Melihat banyak orang merubung seorang gadis yang pingsan, nenek ini segera mendekati.

“Aihh, kenapa ada orang menderita begini semua orang hanya merubung saja?” Nenek itu mengomel dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu memondong tubuh Ceng Ceng dan membawanya ke dalam. “Apakah ada kamar di sini?” tanyanya sambil melangkah masuk.

Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan jatuh kerengkangan kini cepat menghampiri.

“Ada.... ada.... mari, silakan, Toanio,” katanya mengantar.

Topeng Setan melihat cara nenek itu memondong dan melangkah, tahulah dia bahwa nenek itu pun bukan orang sembarangan. Dia khawatir akan keadaan Ceng Ceng dan melangkah untuk mengejar, akan tetapi tiba-tiba lengannya disentuh tangan orang. Ketika dia menengok, dia melihat kakek berambut putih panjang dan berkaki satu itu berkata tenang dan halus kepadanya.

“Jangan kau khawatir, biarkan isteriku mengurusnya. Isteriku lebih ahli dalam hal itu. Aku ingin bicara denganmu, Sobat.”

Topeng Setan menjadi tidak enak hati untuk memaksa. Tidak baik memperlihatkan kecurigaan kepada orang-orang yang berniat baik itu, apalagi dia maklum bahwa kakek dan nenek itu bukanlah orang sembarangan. Maka dia mengangguk dan duduk di bangku terdekat, tanpa mengeluarkan kata-kata.

Dua orang pemuda yang mukanya mirip pemuda laknat musuh besar Ceng Ceng itu adalah putera-putera Jenderal Kao Liang yang ikut dengan rombongan ayahnya. Mereka itu adalah Kao Kok Tiong, dan adiknya yang bersama Kao Kok Han, biarpun masih remaja namun memang tubuh mereka tinggi-tinggi seperti ayah mereka, dan sejak kecil putera-putera Jenderal Kao Liarg ini tentu saja telah terdidik dan memiliki ilmu silat yang lumayan.

Adapun kakek berambut putih yang buntung sebelah kakinya itu bukan lain adalah Si Pendekar Super Sakti, sedangkan nenek yang menolong Ceng Ceng itu adalah isterinya yang ke dua, yaitu Nenek Lulu. Kebetulan saja suami isteri pendekar dari Pulau Es ini bertemu dengan pasukan Jenderal Kao dalam perjalanan mereka mencari putera mereka, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu yang sudah terlalu lama meninggalkan Pulau Es tanpa ada beritanya.

Ketika suami isteri pendekar sakti ini sudah mendengar banyak keterangan tentang dua orang putera mereka yang berjasa dalam membantu pemerintah membasmi pemberontak, mereka girang sekali dan kemudian menjadi gelisah juga ketika mendengar tentang halnya puteri mereka, yaitu Puteri Milana yang kini melarikan diri dari istana. Juga bahwa dua orang puteranya mungkin sedang menuju ke barat pula untuk menyelamatkan Puteri Syanti Dewi yang akan dipulangkan ke Bhutan.

Ketika suami isteri ini hendak melanjutkan pencarian mereka, kedua orang putera Jenderal Kao Liang yang juga hendak mendahului pasukan melihat-lihat ke dusun di depan, segera mengajak suami isteri yang mereka hormati dan kagumi itu untuk mengadakan perjalanan bersama. Untuk menghormati Jenderal Kao, Pendekar Super Sakti tidak keberatan maka demikianlah, kakek dan nenek sakti ini datang ke dusun itu bersama dua orang putera Jenderal Kao.

Topeng Setan hanya mendengarkan saja penjelasan Pendekar Super Sakti. Pendekar yang berpemandangan tajam sekali ini dapat menduga bahwa orang di balik topeng ini adalah seorang yang luar biasa, yang memiliki kepandaian mujijat, kentara dari sinar matanya yang mencorong. Akan tetapi dia dapat menduga pula bahwa orang ini sedang dilanda tekanan batin yang amat hebat sehingga lebih senang menyembunyikan diri di balik topeng setan itu.

Topeng Setan merasa tidak tenang dan resah menghadapi Pendekar Super Sakti yang sinar matanya seolah-olah dapat menembus hatinya dan menjenguk isi hatinya itu. Belum pernah dia bertemu orang yang sinar matanya seperti ini. Gurunya memiliki sinar mata mencorong, akan tetapi pendekar buntung kaki ini sinar matanya seperti dapat menembus segala sesuatu!

Sebentar-sebentar dia melirik ke arah dua orang kakak beradik putera-putera Jenderal Kao Liang dan kadang-kadang dia menengok ke pintu di mana nenek tadi memasuki kamar bersama Ceng Ceng. Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan Topeng Setan segera meloncat berdiri. Nenek itu tersenyum dan biarpun usianya sudah hampir enam puluh tahun, ternyata Nenek Lulu ini masih jelas membayangkan betapa cantiknya dia di waktu mudanya.

“Apakah engkau suaminya....?” Secara langsung nenek itu bertanya kepada Topeng Setan.

Ditanya secara langsung seperti itu, Topeng Setan merasa seperti ditodong ujung pedang yang runcing dan dia gelagapan.

“Anu.... anu.... itu.... eh, benar.... ah, bukan....!”

Sungguh aneh sekali. Orang yang biasanya tenang dan kokoh kuat seperti batu karang dan yang lihainya bukan kepalang itu kelihatan tergagap menghadapi pertanyaan ini. Pendekar Super Sakti sendiri menjadi terheran-heran dan timbul kecurigaannya. Dia dapat menduga bahwa orang di balik topeng buruk itu masih belum tua, akan tetapi mengapa menyembunyikan mukanya di balik topeng? Mengapa segala macam rahasia itu? Dan mengapa pula orang ini kelihatan tertekan batinnya dan sekarang dalam menjawab pertanyaan yang mudah itu menjadi gagap?

“Jangan khawatir,” nenek itu berkata. “Dia cuma menderita kaget dan bingung, keselamatannya tidak akan terancam, sungguhpun menyesal sekali bahwa kandungannya gugur karena memang telah mati beberapa hari yang lalu. Katakan saja kepada suaminya agar dia beristirahat dan menjaga diri baik-baik, jangan biarkan terlalu lemah.”

Topeng Setan terkejut bukan main, suaranya menggigil ketika dia memotong,
“Apa.... apa.... maksud Locianpwe.?”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Menghadapi keadaan yang bagaimana pun, bagi kakek ini wajar dan biasa saja, dan dia selalu tenang.

“Isteriku hanya ingin mengatakan bahwa karena sesuatu hal yang tidak kami ketahui, kandungan wanita muda itu telah gugur, akan tetapi kesehatannya baik-baik saja. Yang penting adalah kesehatan calon ibu itu, bukan?” Nenek Lulu tersenyum dan mengangguk.

“Ya Tuhan....!”

Topeng Setan berteriak dan kakek dan nenek itu saling pandang ketika melihat Topeng Setan melesat ke dalam kamar itu seperti kilat cepatnya. Kecepatan Topeng Setan itu demikian hebatnya, hampir secepat Ilmu Soan-hong-lui-kun dari kakek yang amat terkenal sukar dicari tandingannya itu. Nenek Lulu yang melihat ini menggeleng-geleng kepalanya saking kagum.

“Suamiku, aku berani bertaruh bahwa engkau tentu akan menemui kesukaran jika seandainya harus bentrok dengan dia. Kulihat kepandaiannya tidak di sebelah bawah tingkat Bun Beng. Padahal dia masih begitu muda!”

“Engkau benar, isteriku. Heran, siapakah dia? Mari kita lihat.”

Nenek Lulu menggeleng kepala.
“Urusan mereka mana boleh kita tahu? Biar kita menanti di sini sambil memesan makan minum. Bukankah kita masuk ke warung ini untuk makan? Lihat, dua orang muda Kao sudah menanti-nanti kita.”

Mereka lalu menghampiri meja dimana Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han sudah duduk dan memandang peristiwa itu dengan penuh keheranan.

Sementara itu, dengan tubuh menggigil dan jantung berdebar tidak karuan, Topeng Setan sudah memasuki kamar itu.

“Ceng Ceng.... ah, Ceng Ceng....!” Dia berseru.

Gadis itu sudah duduk di pinggir pembaringan, mukanya pucat sekali memandang kepada gumpalan-gumpalan darah menghitam di atas lantai depan pembaringan. Ketika mendengar suara Topeng Setan, dia menengok dan memandang.

“Paman....!” Dia bangkit berdiri dan menubruk Si Buruk Rupa itu. “Paman, aku.... aku bingung sekali.... aku.... aku....” Dia menangis.

Topeng Setan gemetar menahan perasaan.
“Ceng Ceng, sungguh tak kusangka.... kau.... kau mengandung sampai keguguran.... ya Tuhan....!”

“Akan tetapi aku telah tertolong, Paman. Nenek yang baik itu menolongku, katanya keguguran ini sudah terjadi beberapa hari dan kini tinggal keluar saja. Sekarang aku ingat.... agaknya khasiat anak ular naga....”

“Ya Tuhan...., betapa hebat penderitaanmu, Ceng Ceng....” Dalam suara Topeng Setan terdengar isak tertahan.

“Tidak apa, Paman. Malah kebetulan! Siapa sih yang sudi mempunyai anak dari manusia biadab itu? Andaikata tidak gugur karena anak ular naga itu.... andaikata aku tahu bahwa aku telah mengandung selama beberapa bulan, tentu akan kugugurkan sendiri!”

“Ahhh, jadi kau.... kau sendiri tidak tahu bahwa.... bahwa kau.... mengandung, Ceng Ceng?”

“Tidak, Paman. Bagaimana aku tahu?”

Jawab dara ini yang memang masih bodoh dalam hal itu dan semenjak kecil tidak ada yang memberi tahu kepadanya karena dia hidup hanya dengan kakeknya.

“Jangan khawatir.... jangan sedih.... mari kutunjukkan padamu pemuda yang kejam dan bejat moralnya itu. Mari kuajak kau mencarinya sampai dapat. Aku bersumpah, sampai dapat!”

Topeng Setan melepaskan rangkulannya, merobek sebagian lebar jubahnya, kemudian dia menggunakan jubah itu untuk mengambil gumpalan-gumpalan darah di lantai sampai bersih.

Melihat ini, Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran.
“Aihhh, Paman. Kotor itu....! Mengapa kau lakukan itu? Untuk apa.?”

Topeng Setan membungkus rapi gumpalan darah kental yang menghitam itu, lalu menyimpannya di dalam saku jubah, suaranya sungguh-sungguh dan agak gemetar,

“Ceng Ceng, bagaimanapun juga ini adalah calon manusia, bukan? Dan dia sama sekali tidak berdosa, tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan si jahanam keji, maka dia patut dikuburkan sebagai calon manusia yang tidak berdosa.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar