FB

FB


Ads

Jumat, 13 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 131

Panglima Jayin dan anak buahnya, juga pasukan yang baru tiba dan berhasil menyelamatkan mereka, dibantu pula oleh See-thian Hoat-su dan Teng Siang In, setelah Tambolon dan anak buahnya melarikan diri, bingung karena Puteri Syanti Dewi dan Tek Hoat tidak berada di dalam kereta!

“Celaka, kita kena diperdaya musuh!” Jayin berseru dan dia lalu menyebar orang-orangnya untuk mencari ke sana-sini.

“Hemmm, nenek gila itu sungguh keterlaluan. Tidak salah lagi, tentu mereka telah berhasil menawan Sang Puteri dan pemuda itu. Pemuda itu terluka hebat, tentu tidak mampu melawan. Awas kau, Durganini, sekali ini aku tidak akan mengampunimu kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sang Puteri!” See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya.

“Suhu, kenapa tidak tadi-tadi kau merobohkan nenek itu dan baru sekarang mengancam setelah dia pergi dan berhasil menculik Sang Puteri?”

Muridnya menegur dan kakek itu hanya menunduk dan menarik napas panjang. Harus diakuinya bahwa dia lemah terhadap bekas isterinya itu sehingga kini mengakibatkan malapetaka.

“Betapapun juga, kita harus berusaha mencari dan mengejar mereka,” Panglima Jayin yang merasa khawatir sekali akan keselamatan puteri junjungannya berkata.

Tiba-tiba terdengar Siang In berseru nyaring,
“Heiii....! Kiranya kau laki-laki genit juga berada di sini....!”

Semua orang menengok dan ternyata yang muncul adalah Suma Kian Bu! Seperti telah kita ketahui, baik Kakek See-thian Hoat-su maupun Panglima Jayin dan empat orang pembantunya pernah berkenalan dengan Kian Bu, bahkan sama-sama menjadi tawanan Tambolon, kemudian sama-sama melarikan diri di atas rakit dan melawan anak buah Tambolon.

Tentu saja kemunculan pemuda perkasa ini menggirangkan semua orang. Akan tetapi Siang In yang girang sekali bertemu kembali dengan pemuda ini, tidak memberi kesempatan kepada orang-orang lain untuk menyambut Kian Bu. Dia sudah lari menghampiri Kian Bu dengan kegembiraan meluap dan tak terbendung lagi dia memegang lengan tangan Kian Bu sambil bicara dengan asyik, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Kian Bu untuk bernapas lagi!

Siang In teringat akan pertemuannya yang pertama dengan Kian Bu, maka sambil tertawa cekikikan menutupi mulutnya dia menceritakan dengan suara nereces tiada hentinya tentang pengalamannya, betapa dia menjadi murid See-thian Hoat-su dan lain sebagainya.

“Kau ingat pertemuan kita dahulu? Wah, aku sudah kangen sekali kepada Pek-liong, kudaku yang hebat itu. Kau menyebutnya keledai, ya? Salah! Dia itu kuda, kuda peranakan keledai, jadi masih kuda juga namanya! Dan aku sekarang sudah lebih pandai meniru gayamu dahulu itu! Hayo kita ke sana, kuperlihatkan kepadamu!”

Siang In menowel dagu Kian Bu begitu saja di depan banyak orang lalu menarik tangan Kian Bu pergi dari situ. Semua orang tersenyum-senyum dan See-thian Hoat-su tertawa bergelak melihat kepolosan sikap dara remaja yang masih kekanak-kanakan itu.

Wajah Kian Bu menjadi merah sekali. Pemuda ini menyeringai dan serba salah, akan tetapi kalau dia berkeras menolak, dia merasa tidak tega. Dara itu begitu polos, begitu jenaka dan kekanak-kanakan sehingga di balik semua lagaknya itu tidak tersembunyi maksud-maksud tertentu, melainkan wajar terbawa oleh kegembiraannya. Maka dia pun membiarkan dirinya ditarik menjauhi semua orang sehingga tidak tampak lagi oleh mereka.

“Nah, kau lihat. Bukankah begini lagak wanita genit memikat itu?”

Siang In mulai beraksi, mengitari tubuh Kian Bu, berlagak, mengerling, tersenyum simpul, manisnya bukan main, melebihi orang yang ditirunya sendiri, yaitu Mauw Siauw Mo-li. Dia menowel, menyodok, mencubit dengan wajah menengadah, begitu menantang, begitu menggoda agar Kian Bu memuji kepandaiannya.

Akan tetapi, dara itu sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya sekarang ini bukanlah Kian Bu yang dahulu lagi! Bukan Kian Bu yang masih hijau dan kekanak-kanakan pula. Kian Bu yang sekarang adalah seorang laki-laki bukan kanak-kanak lagi, sudah digembleng dalam buaian asmara dan permainan cinta oleh Lauw Hong Kui si Siluman Kucing, sudah diperkenalkan dengan madunya asmara yang memabokkan, sudah pernah menghamba kepada nafsu berahi.

Kini, melihat bibir yang manis, merah merekah itu setengah terbuka menantang sekali, tersenyum simpul melihatkan sedikit gigi putih dan ujung lidah, melihat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis dan mata itu menyambar-nyambar dengan kerlingan memikat, dada yang mulai membusung itu mengalun naik turun, pinggang yang ramping berliuk dan pinggulnya bergerak-gerak memutar ke kanan kiri, dua kuncir rambut yang hitam panjang itu menari-nari di belakang pinggulnya saking panjangnya, jantung Kian Bu sudah berdebar seperti mau pecah.

“Kau.... menggemaskan....!”

Dia berbisik dan ketika dara itu dengan sikap manja dibuat-buat seperti hendak merangkul leher dengan kedua lengan, menyentuh pundaknya, dia segera menyergap, merangkul dan mencium mulut itu dengan bibirnya, dikecupnya dengan penuh kemesraan dan penuh semangat, sampai lama tidak dilepaskannya.

Siang In gelagapan seperti seekor anak ayam jatuh ke air, tak dapat bernapas dan meronta-ronta, dari kerongkongannya keluar suara ah-ah-uh-uh karena mulutnya tersumbat, kedua kakinya menyepak-nyepak seperti seekor kuda marah. Setelah akhirnya Kian Bu melepaskannya, dia memandang pemuda itu dengan sepasang mata yang terbelalak lebar, seperti mata seekor kelinci ketakutan, kemudian tangan kanannya menyambar ke depan.

“Plak-plak-plak!” Tiga kali pipi kiri Kian Bu ditamparnya sampai ada tapak tangan merah di atas pipi itu.

“Kau.... kau.... jahat! Kau menjijikkan.!” Gadis itu lalu menangis dan membalikkan tubuh lagi sambil meludah cah-cih-cuh ke kanan kiri!

Tentu saja semua orang terkejut dan terheran-heran melihat dara itu berlari keluar dari gerombolan pohon sambil menangis, kemudian menubruk dan merangkul gurunya sambil menangis tersedu-sedu.

“Eh, ada apa? Apa yang terjadi?”

See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi gadis itu hanya membanting-banting kedua kakinya tanpa mau memberi tahu dan terus menangis.

“Kenapa, Siang In? Dan di mana Suma Kongcu?” tanya pula gurunya, akan tetapi gadis cilik itu hanya menggeleng-geleng kepala dengan keras dan masih menangis, menyembunyikan mukanya di baju suhunya.






Jayin mengejar ke tempat dari mana gadis itu tadi lari keluar, akan tetapi dia tidak melihat Kian Bu lagi. Kemudian dia memperoleh keterangan dari seorang anak buahnya bahwa pemuda itu setelah mendengar keterangan darinya tentang semua peristiwa yang baru terjadi, bahwa mungkin Syanti Dewi dan Tek Hoat dilarikan oleh Tambolon dan anak buahnya karena Tek Hoat dalam keadaan terluka hebat, lalu pergi dan mengatakan hendak mengejar dan mencari mereka!

Jayin lalu kembali dan menceritakan hal ini kepada See-thian Hoat-su. Setelah Siang In mendengar bahwa Kian Bu telah pergi, barulah dia menghentikan tangisnya dan dia lalu duduk termenung-menung menunjang dagunya, dengan mulut cemberut dan bersungut-sungut, kadang-kadang menelan ludah.

Sementara itu, Kian Bu cepat lari dari tempat itu. Dia merasa malu dan menyesal sekali mengapa dia sampai lupa diri dan berbuat seperti itu terhadap seorang dara remaja seperti Siang In! Dia merasa serba salah, maka dia pergi dari situ, bertemu dengan seorang pembantu Jayin dan menanyakan urusan.

Ketika mendengar bahwa Syanti Dewi terculik musuh, dia terkejut dan khawatir sekali. Betapapun juga, cintanya terhadap Puteri Bhutan itu masih melekat di kalbunya, bahkan luka oleh penolakan puteri itu masih belum sembuh. Diam-diam dia harus mengakui bahwa luka itulah yang membuat dia mudah tergoda oleh Lauw Hong Kui.

Andaikata cinta kasihnya diterima dan dibalas oleh Syanti Dewi, jangankan baru Hong Kui, biar ada tujuh bidadari turun dari kahyangan untuk menggodanya, tentu dia tidak akan runtuh! Dan godaan Hong Kui sebagai akibat patah hatinya terhadap Syanti Dewi itu mendatangkan akibat yang hebat, membuat dia lemah menghadapi wanita sehingga di depan Siang In tadipun dia tidak dapat menahan diri!

Kini, Syanti Dewi yang dicintanya diculik orang! Dia lalu menyusup-nyusup ke dalam hutan yang lebat itu karena dia menduga bahwa agaknya menghadapi pasukan besar Bhutan, Tambolon tentu membawa lari puteri itu dan bersembunyi di dalam hutan lebat ini.

Hutan itu makin lebat dan makin gelap saja. Malam itu terpaksa Kian Bu bermalam di atas pohon besar. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi baru dia terbangun. Tubuhnya terlalu lelah sehingga tidur di atas pohon itu amat nikmat, membuat dia pulas sampai hampir siang baru terbangun oleh suara yang terdengar di bawah pohon.

Ketika dia memandang ke bawah, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Tambolon dan nenek hitam yang lihai itu berjalan perlahan dan menengok ke kanan kiri.

“Tidak salahkah kau, Tambolon?” Terdengar nenek itu mengomel. “Awas, akan kujewer telingamu kalau puteri itu tidak berada di sini.”

“Tidak mungkin salah, Subo. Di dalam keributan, puteri itu menghilang. Kemana lagi kalau tidak ke hutan lebat ini, dan tadi kita menemukan jejak mereka dan sedikit darah. Agaknya puteri itu lari bersama Tek Hoat yang sudah terluka.”

“Heh, pemuda itu memang hebat!”

“Tapi sudah terluka parah, Subo. Terkena guratan kuku Subo dua kali, mana bisa dia bertahan hidup? Dan masih terkena pukulan dan tendangan. Andaikata dia belum mampus pun, tentu tidak akan mampu melawan lagi.”

Mereka melanjutkan perjalanan, menyusup-nyusup dan perlahan-lahan sambil memandang ke kanan kiri. Dua orang itu tidak tahu betapa diam-diam Kian Bu membayangi mereka dari jauh, dengan hati-hati sekali. Kian Bu berani bergerak kalau kedua orang itu bergerak sehingga suara keresekan kaki mereka menginjak daun-daun kering menyembunyikan suara berisik dari kakinya sendiri. Kalau mereka berhenti, dia pun cepat berhenti.

Tiba-tiba nenek itu berhenti dengan mendadak.
“Aku mendengar suara orang!” bisiknya.

Tambolon terkejut, memasang telinga, akan tetapi tidak mendengar apa-apa.
“Tidak ada suara, Subo.”

“Tolol! Tadi aku mendengar, suaranya dari belakang.”

Tambolon membalik dan memandang ke belakang. Sunyi saja. Diam-diam dia mengomeli subonya yang dianggapnya sudah pikun. Mana mungkin ada orang di belakang? Kalau ada tentu sudah mereka lewati dan mereka lihat tadi.

“Tidak ada siapa-siapa, Subo. Mari kita lanjutkan. Aku dapat menduga kemana mereka pergi.”

“Kemana?”

“Aku sudah mengenal betul hutan ini. Satu-satunya sumber air di hutan ini adalah di depan, di bawah pohon pek yang besar. Dan kalau Tek Hoat terluka parah, tentu mereka membutuhkan air. Agaknya ke sanalah mereka.”

“Benarkah? Jangan salah, Tambolon, aku sudah gelisah, duri-duri ini tidak enak sekali mencakar-cakar kaki!” nenek itu mengomel lagi.

Diam-diam Kian Bu makin berhati-hati. Nenek ini boleh jadi sudah pikun, akan tetapi ternyata masih memiliki kepekaan seorang ahli silat tinggi yang biarpun tidak mendengar dengan telinganya, mampu menangkap dengan kepekaannya. Kembali dia mengikuti sampai agak jauh, makin lama makin mendalam di hutan yang amat lebat.

“Ssssttt....!”

Tiba-tiba Tambolon mengeluarkan suara desis ini. Mereka berdua mendekam dan Tambolon menuding ke depan. Dari jauh Kian Bu melihat hal ini, maka dia cepat mendaki pohon besar, tidak berani meloncat, khawatir kalau-kalau melanggar daun kering. Dia mendaki tanpa mengeluarkan suara dan dari atas dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh Tambolon.

Jantungnya berdebar tegang. Tak salah lagi, wanita cantik jelita yang menuruni jalan menurun ke arah sumber air itu, yang pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan namun masih tampak luar biasa cantiknya, adalah Syanti Dewi yang dicari-carinya. Dara bangsawan itu menuruni jalan berbatu yang licin sambil membawa sebuah periuk air butut dari tanah, sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya mengancam di belakangnya.

Tentu saja Tambolon menjadi girang sekali melihat Puteri Bhutan ini. Puteri ini merupakan orang yang sangat berharga baginya, karena kalau puteri ini berada di tangannya, seolah-olah dia memegang kekuasaan atas Raja Bhutan di dalam tangannya. Maka dia lalu berjalan berindap-indap menuruni jalan itu, lupa kepada gurunya yang ditinggalkan begitu saja dan Nenek Durganini yang pikun itu telah mulai melenggut dan mengantuk di tempatnya karena dia memang sudah lelah sekali.

Bagaikan seekor harimau yang mengintai dan mendekati calon mangsanya, Tambolon berjingkat-jingkat mendekati, kemudian mengambil ancang-ancang dan diterkamnyalah Puteri Syanti Dewi yang sedang mengambil air dengan periuk butut itu.

“Bresss....!”

“Aihhhh....!”

Yang menjerit itu adalah Syanti Dewi ketika tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan ketika menoleh dia melihat Tambolon menubruknya. Akan tetapi pada saat itu dari samping juga meloncat seorang pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu sehingga bertemulah pemuda ini dengan Tambolon di tengah udara. Tubuh Tambolon terbanting ke samping dan raja liar ini terkejut bukan main ketika melihat bahwa yang menghalanginya adalah pemuda tampan yang sudah diketahuinya amat lihai itu.

“Keparat, berani engkau menghalangiku?” bentaknya.

“Tambolon, manusia kejam! Sekali ini aku akan membunuhmu!” bentak Suma Kian Bu.

“Bu-koko.!”

Syanti Dewi berseru girang ketika dia mengenal pemuda itu, akan tetapi dia khawatir sekali. Cepat diraihnya periuk yang sudah terisi air itu dan dia menjauhkan diri dari mereka yang sudah saling serang dengan dahsyatnya itu.

“Syanti Dewi, kau larilah cepat.!”

Kian Bu berseru sambil mengelak ketika pedang Tambolon menyambarnya, dan secepat kilat dia menghantam dengan pengerahan Swat-im Sin-kang yang amat dingin.

Tambolon terkejut, tidak berani menerima pukulan yang dahsyat dan berhawa dingin itu, mengelak sambil menyabetkan pedangnya dari samping, juga menggerakkan tangan kirinya mencengkeram.

Namun kembali Kian Bu dapat mengelak dengan mudah karena baginya, semua gerakan Tambolon masih terlampau lambat. Dengan marah pemuda itu terus mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat tinggi mutunya. Sebagai putera tersayang dari Puteri Nirahai, tentu saja dia banyak mewarisi ilmu-ilmu silat tangan kosong yang banyak dikenal ibunya. Sebentar dia mainkan Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), lalu dirubah dengan jurus-jurus dari Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang telah digabung dengan Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa).

Dengan ilmu-ilmu silat tinggi yang diubah-ubah ini, biarpun dia memegang pedang, Tambolon yang kasar itu menjadi bingung dan beberapa kali dia kena ditendang dan digampar, dan hanya mengandalkan tubuhnya yang kekar dan kebal itu saja maka dia masih belum roboh. Akan tetapi beberapa kali tamparan tangan Kian Bu yang mengandung Swat-im Sin-kang membuat dia menggigil dan jerihlah raja liar ini.

“Subo, tolong....! Subo....!”

Akan tetapi nenek itu tidur mendengkur dengan mulut terbuka, giginya ompong semua sehingga ilarnya tidak ada yang menahan lagi, mengalir turun melalui ujung bibirnya.

“Suboooo....!” Tambolon berteriak.

“Desss....!”

Tubuhnya terpental dan terguling-guling terkena tendangan Kian Bu dan raja liar ini terus sengaja menggulingkan dirinya ke dekat subonya, tidak peduli pakaiannya menjadi kotor semua.

“Subo.... Subo.... bangun, bangun...., tolonglah aku!” Kini dia mengguncang-guncang tubuh subonya.

“Aaaahhhh, plak-plak! Aduh....!”

Memang sedang sialan Tambolon sekali ini. Karena terkejut dibangunkan secara keras, Nenek Durganini terbangun dalam keadaan bingung dan tanpa memilih bulu lagi kedua tangannya menampar sehingga kedua pipi Tambolon kena ditampar sampai bengkak-bengkak!

“Subo, ini aku....! Itu di sana musuhku.!”

Tambolon berteriak sambil memegangi mukanya yang bengkak dan terasa nyeri bukan main. Hampir copot giginya oleh tamparan nenek itu.

“Apa....? Heeii...., kaukah itu? Siapa? Mana.?” Nenek itu masih bingung karena semangatnya masih tertinggal di luar setengahnya.

“Itu dia musuh kita, Subo. Bunuhlah dia!” Tambolon menuding.

Kini Nenek Durganini dapat melihat Kian Bu. Timbullah kemarahannya karena dia merasa terganggu tidurnya yang amat menyenangkan tadi, terbongkok-bongkok menghampiri Kian Bu.

“Keparat, kau berani mengganggu tidurku, ya? Kau sudah bosan hidup barangkali?” Nenek itu menggerakkan tongkatnya.

“Wirrr.... siuuut....!” Tongkat itu menghantam ke arah kepala Kian Bu.

Pemuda ini sudah mengerti bahwa nenek ini amat lihai dan pandai ilmu sihir, maka dia cepat menangkis dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kiang.

“Plakkk!”

“Aihhh.... dingin.... dingin bukan main....!” Nenek itu menggigil, kemudian dia berkemak-kemik dan melontarkan tongkatnya. “Coba kau lawan ini, orang muda yang banyak tingkah!”

Kian Bu sudah tahu bahwa nenek ini adalah seorang ahli sihir, maka dia sudah mengerahkan sin-kangnya. Ayahnya sendiri adalah seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman, memiliki kekuatan gaib, akan tetapi kekuatan gaib ayahnya itu bukanlah ilmu yang dapat diturunkan kepada orang lain, melainkan kekuatan pembawaan yang tidak dapat diajarkan.

Namun, sebagai seorang putera pendekar sakti, tentu saja dia tahu bahwa dengan pengerahan sin-kang dia dapat melawan pengaruh sihir. Dia sudah mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi ternyata dia masih kalah kuat dan terpengaruh juga.

Tongkat yang dilontarkan itu tiba-tiba berubah menjadi seekor naga hitam yang mulutnya mengeluarkan api dan matanya mencorong menakutkan. Kalau orang lain, tentu sudah lemas dan tidak berani melawan. Akan tetapi Kian Bu, biarpun kalah kuat dan matanya masih melihat tongkat sebagai naga, sama sekali tidak menjadi gentar dan dia menyambut terkaman naga itu dengan hantaman kedua tangannya yang mengandung tenaga Hwi-yang Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api) di tangan kanan dan tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) di tangan kiri.

“Blarrr.... darrrr....!”

Bukan main hebatnya gabungan dua tenaga ini yang merupakan inti dari ilmu orang-orang Pulau Es. Biarpun naga itu hanyalah jadi-jadian dan hasil ilmu sihir dari Nenek Durganini, namun karena nenek itu tidak kuat menghadapi penggabungan tenaga sakti itu, naga itu lenyap dan ternyata tongkat hitam itu telah terbanting ke atas tanah dalam keadaan patah-patah!

“Aihhhh....!” Nenek itu menjerit dengan suara tinggi sekali sehingga terdengar amat tajam seperti mengiris jantung. “Bocah lancang...., lihat ini.!”

Kian Bu yang menjadi besar hati karena melihat pukulannya memusnahkan ilmu sihir tadi, memandang dan inilah kesalahannya. Dia disuruh memandang dan dia memandang, maka seketika dia terkejut sekali karena melihat nenek itu seperti bukan lagi Nenek Durganini, melainkan Puteri Nirahai, ibunya sendiri!

“Ibu....!” Dia berteriak, menggosok-gosok matanya.

“Hi-hik, aku memang ibumu. Kesinilah, Nak.!”

Kian Bu lari menghampiri.
“Desss....!”

Pemuda itu terpelanting dan kepalanya terasa pening ketika dia menerima hantaman tangan kurus yang bertenaga mujijat itu. Untung dia tadi dalam kagetnya karena “ibunya” memukul, masih sempat miringkan kepalanya sehingga yang terkena hanya tengkuknya, bukan kepalanya. Kian Bu kaget dan bingung. Mengapa ibunya memukulnya sedemikian rupa? Dia memandang dan masih saja ibunya yang berdiri di situ.

“Ibu....!”

“Hayo berlutut kau!” Ibunya berkata dan Kian Bu berlutut.

“Subo, pergunakan pedangku!”

Tambolon berteriak dan melemparkan pedangnya, diterima oleh Nenek Durganini yang oleh Kian Bu masih kelihatan sebagai ibunya itu. Pemuda ini bingung. Mengapa Tambolon menyebut ibunya subo? Pada saat itu, tiba-tiba turun hujan dari atas langit. Memang sejak tadi cuaca sudah mendung dan beberapa air hujan pertama menimpa kepala Kian Bu.

“Cessss....!”

Dingin sekali rasanya air hujan itu menimpa kepalanya dan mata Kian Bu terbelalak. Kiranya yang disangka “ibunya” itu adalah Nenek Durganini yang buruk dan yang kini sudah mengangkat pedang hendak membacok kepalanya. Otomatis Kian Bu mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang dan sambil melompat dia mengirim pukulan.

“Blarrr....!”

Pedang di tangan nenek itu terpental dan nenek itu sendiri terhuyung ke belakang. Kian Bu meloncat ke belakang dan siap menghadapi dua orang lawannya itu. Sementara itu, hujan turun dengan derasnya. Dan tiba-tiba nenek itu menangis.

“Aduhh.... hu-hu-hu.... celaka.... Tambolon.... Tambolon....! Mana payung? Mana payung? Wah, aku bisa masuk angin kehujanan.... huuuuhhh, bisa kumat penyakit tulangku.... hu-huuhhh....” Terseok-seok nenek itu lari mencari tempat untuk meneduh, di bawah sebatang pohon besar!

Suma Kian Bu tidak memperhatikan guru dan murid itu lagi. Dia mencari-cari dengan pandang matanya, kemudian dia lari mengejar ke arah larinya Syanti Dewi dengan hati penuh kekhawatiran terhadap dara bangsawan itu. Hujan masih turun dengan derasnya dan akhirnya dia melihat sebuah kuil bobrok di tengah-tengah hutan. Cepat dia menghampiri kuil rusak itu dan berindap-indap masuk, lalu dia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik pilar. Apa yang dilihatnya?

Disana, di sebelah dalam kuil tua itu, dilihatnya Tek Hoat rebah terlentang, agaknya menderita sakit. Pundak dan lehernya dibalut, dan Syanti Dewi dengan sikap mesra dan penuh kasih sayang sedang memberi minum kepada pemuda itu!

“Dewi.... ah, kau bilang Tambolon dan Durganini....? Ah.... aku harus melawan mereka.... aku harus melindungimu.” Terdengar Tek Hoat berkata dan pemuda itu hendak bangkit.

Akan tetapi Syanti Dewi memegang pundaknya.
“Jangan, Tek Hoat, engkau baru saja sembuh, tenagamu belum pulih, mana mungkin engkau melawan mereka? Sama dengan membunuh diri. Biarlah, kita bersembunyi di sini. Kalau Thian menghendaki, mereka tentu tidak akan mampu menemukan kita. Kalau memang dikehendaki bahwa kita akan mati di tangan mereka, biarlah kita mati bersama.”

Penglihatan dan pendengarannya di waktu itu seperti ujung pedang tajam meruncing menusuk-nusuk jantungnya. Kian Bu menjadi makin patah hati. Kiranya Syanti Dewi menolak cintanya karena puteri itu mencinta Tek Hoat! Dia lalu keluar lagi dan lari ke tempat tadi. Tidak! Syanti Dewi tidak akan dapat diketemukan mereka! Tidak seorang pun di dunia ini boleh mengganggu kebahagiaan puteri itu.

Dilihatnya nenek itu masih mengeluh panjang pendek kehujanan di bawah pohon dan Tambolon sedang duduk bersila mengumpulkan tenaga dan luka-lukanya akibat pertandingan berturut-turut melawan orang-orang muda yang perkasa, yaitu melawan Tek Hoat kemudian menghadapi Kian Bu tadi.

“Iblis keji, kalian harus mampus!”

Kian Bu berteriak seperti orang gila karena dia dilanda kekecewaan, patah hati yang membuat dia marah bukan main, apalagi dianggapnya dua orang ini mengancam keselamatan Syanti Dewi. Dengan terjangan kilat dia membuat Nenek Durganini dan Tambolon yang tidak menduga-duga itu terlempar ke belakang dan terguling-guling.

Melihat kedahsyatan pemuda ini, Tambolon dan Nenek Durganini menjadi jerih dan mereka lalu melarikan diri tunggang langgang. Tadinya Tambolon hendak melawan, mengandalkan gurunya. Akan tetapi nenek itu sudah habis semangatnya bertempur tertimpa hujan basah kuyup, seperti batang kering tertimpa hujan, menjadi lemas dan dia hanya mengomel panjang pendek sambil melarikan diri pontang-panting bersama muridnya, meninggalkan hutan itu jauh-jauh sambil berteriak-teriak memanggil anak buah mereka.

Kian Bu tidak mengejar. Sejenak pemuda yang patah hati ini berdiri tegak seperti patung, tidak peduli akan turunnya hujan deras yang menyiram tubuhnya. Lalu dengan langkah gontai dia bergerak, tersaruk-saruk dan pergi tanpa tujuan tertentu. Hanya satu hal yang terasa di dalam dadanya, hatinya tertekan hebat.

Tidak dipedulikan pula kulit-kulitnya lecet akibat pertempuran dan akibat duri-duri runcing merobek celana di pahanya, pahanya berdarah. Dibiarkannya saja darah bercampur air hujan, seolah-olah darah itu mengucur dari dalam hatinya. Semangatnya melayang-layang dan dia merasa kesedihan yang luar biasa menguasai hatinya, membuat dua butir air matanya keluar dan bercampur dengan air hujan mengalir terus ke dagunya.

Kilat menyambar-nyambar dan hujan yang turun deras itu menimbulkan suara aneh, seperti bisikan, seperti nyanyian, mungkin terdengar riang gembira bagi yang sedang bersuka, namun bagi Kian Bu terdengar amat menyedihkan.

Bukanlah cinta kasih kalau menimbulkan duka dan kecewa. Bukanlah cinta kasih kalau merupakan pengejaran nikmat dan suka. Bukan cinta kasih kalau mengandung dendam dan benci, marah, iri dan dengki. Hati yang patah bukanlah karena cinta, melainkan karena tidak tercapai apa yang diinginkannya, karena kecewa, karena itu bukanlah cinta namanya yang menimbulkan hati yang patah dan luka.

Lalu apakah cinta kasih itu? Kalau kesemuanya itu tidak ada di dalam batin, kalau kita bebas dari semua itu, bersih dari semua itu, bukan dibebaskan atau dibersihkan, melainkan bebas karena kesemuanya itu sudah diinsyafi benar-benar, di dalam kebebasan itulah cinta kasih baru mungkin ada!

**** 131 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar