FB

FB


Ads

Selasa, 10 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 130

“Dia pemuda gagah perkasa, tinggi besar dan usianya dua puluh lima tahun, namanya Kok Cu.”

“Maafkan saya, Locianpwe, saya belum pernah bertemu dengan dia....” jawab Tek Hoat sejujurnya.

Kakek itu menghela napas panjang.
“Kalau begitu, biar aku mencari di lain tempat....”

“Nanti dulu, Locianpwe!”

Syanti Dewi berseru ketika kakek itu berkelebat lenyap. Dalam sekejap mata saja kakek itu kelihatan lagi dan Tek Hoat diam-diam kagum bukan main. Selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian sehebat ini!

“Kau mau bicara apa, Nona?”

“Entah dia murid Locianpwe atau bukan, akan tetapi saya pernah mendengar nama Kok Cu. Dia itu adalah Kao Kok Cu putera sulung Jenderal Kao Liang yang dahulu kabarnya lenyap di gurun pasir, bukan? Kalau Locianpwe mencari dia, sebaiknya ke kota raja menemui Jenderal Kao Liang.”

“Aihhh....!” Tiba-tiba kakek bongkok itu menepuk dahinya. “Jadi putera Jenderal Kao....?”

Sepasang matanya yang mencorong itu kini bersinar-sinar sehingga mengejutkan dan menakutkan hati Syanti Dewi dan Tek Hoat. Mata kakek ini tidak lumrah mata manusia, mencorong seperti mengandung api!

“Orang muda, engkau menderita keracunan yang lumayan. Disini aku menerima berita tentang muridku, sudah sepatutnya pula kalau aku merubah sedikit keadaanmu agar lekas sembuh!”

Kakek itu lalu menggerakkan lengannya dan Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan ngeri. Kakek itu berdiri kurang lebih tiga meter jauhnya dari Tek Hoat, akan tetapi lengannya terus memanjang sampai akhirnya telapak tangannya menempel di punggung pemuda itu, mengusap beberapa kali di punggung, leher dan pundak, kemudian lengan itu ditarik.

“Aku pergi!” terdengar suaranya akan tetapi orangnya sudah lenyap!

Syanti Dewi bengong, menoleh ke kanan kiri dengan bulu tengkuk meremang. Sukar dia percaya bahwa kakek tadi seorang manusia, pantasnya sebangsa dewa atau juga siluman! Tiba-tiba Tek Hoat berseru kaget,

“Aihh.... aku sudah sembuh!”

Syanti Dewi cepat berlutut mendekati dan ketika dia memeriksa, benar saja, warna biru kehitaman di dadanya lenyap, juga luka-luka di leher dan pundaknya sudah tidak hitam lagi, bahkan hampir kering. Akan tetapi tubuhnya masih lemas sehingga ketika dia bangkit berdiri, dia terhuyung. Tek Hoat lalu berlutut.

“Terima kasih, Locianpwe.”

“Akan tetapi kenapa kau kelihatan lemas sekali, Tek Hoat?”

“Semua racun telah lenyap dari tubuh, dan luka-lukaku tidak ada artinya lagi. Akan tetapi tenagaku belum pulih dan aku perlu mengaso....”

Pada saat itu terdengar sorak-sorai dan pertempuran makin menghebat, terdengar dari tempat itu. Mendengar ini, Syanti Dewi terkejut, cepat dia menarik lengan Tek Hoat dan diajaknya terus lari memasuki hutan yang lebat itu, makin jauh ke dalam. Kalau saja dia tahu bahwa sorak-sorai itu adalah tanda kedatangan pasukan pembantu dari negerinya, tentu dia tidak akan lari ketakutan.

Setelah racun yang berada di tubuhnya lenyap semua berkat kesaktian kakek bongkok, tubuh Tek Hoat menjadi lemas sekali. Akan tetapi Syanti Dewi terus memaksanya untuk memasuki hutan lebih dalam sehingga pemuda ini berjalan terhuyung-huyung dipapah oleh dara itu.

Hati pemuda ini terharu bukan main. Seorang dara begitu lembut dan halus, seorang puteri kerajaan, kini memapahnya, tersaruk-saruk menerjang semak-semak belukar yang penuh duri sehingga kaki tangan dara itu yang tidak terlindung, luka-luka dan lecet-lecet berdarah.

Akhirnya senja telah tiba dan biarpun di luar hutan itu orang masih dapat melihat keadaan, akan tetapi di tengah hutan besar yang lebat itu, di mana pohon-pohon raksasa dengan daun-daunnya yang lebat merupakan atap yang menghalangi sinar matahari yang sudah condong ke barat sudah amat gelap sehingga tidak mungkin melanjutkan perjalanan.






“Kita berhenti di sini....”

Syanti Dewi berkata terengah-engah, sebagian karena lelah memapah tubuh Tek Hoat, akan tetapi terutama sekali karena tegang takut dikejar Tambolon.

Tek Hoat menjatuhkan diri terguling, rebah di atas rumput. Syanti Dewi yang sudah lelah itu lalu membuat api unggun dan tak lama kemudian dia sudah duduk berlutut di dekat tubuh Tek Hoat yang rebah kelelahan.

“Dewi.... Syanti Dewi.... mengapa engkau begini bersusah payah untukku....” Tek Hoat mengeluh, hatinya terharu sekali.

“Jangan mengucapkan kata-kata seperti itu, Tek Hoat. Sudah berkali-kali engkau menyelamatkan aku dengan taruhan nyawamu, apa artinya bantuanku ini selagi engkau dalam keadaan sakit?”

Hening sejenak.
“Tujuh hari lamanya aku di kereta itu.... dan selama itu engkau berada di bilik kereta depan?”

Puteri itu tersenyum dan mengangguk. Wajahnya memang sudah kelihatan merah oleh sinar api unggun, sehingga kalau toh sepasang pipinya berubah merah pun tidak akan kentara.

“Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau bersembunyi?”

“Engkau tahu, Tek Hoat. Banyak pihak yang jahat ingin menghalangiku kembali ke Bhutan. Setelah aku dilarikan oleh Bibi Puteri Milana dari istana, aku bertemu dengan ayah angkatku, Jenderal Kao Liang. Aku diberi dua losin orang pengawal dan di tengah jalan malah tertawan oleh Tambolon. Setelah engkau menyelamatkan aku dan mengantarku ke rumah Perdana Menteri Su, aku lalu ditemukan dengan Paman Panglima Jayin dari Bhutan. Agar perjalananku aman, maka aku lalu disuruh oleh Paman Jayin agar bersembunyi di dalam kereta besar itu, dan tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapapun juga. Bilik belakang itu adalah tempat alat-alat keperluanku. Akan tetapi engkau muncul pula dan karena engkau telah terluka ketika membantu kami, maka aku memerintahkan Paman Jayin untuk menolongmu ke dalam bilik belakang. Ketika engkau masih pingsan.... aku merawatmu. Akan tetapi engkau siuman dan aku lalu masuk kembali ke bilik depan.”

Jantung Tek Hoat berdebar tegang ketika dia teringat akan semua pengalamannya di dalam bilik kereta itu.

“Dan aku.... aku mengigau tentang dirimu, aku.... aku bernyanyi.... menyebut-nyebut namamu.... kau.... kau mendengar semua itu....?”

Kembali Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Karena keadaan Tek Hoat itulah maka mula-mula Syanti Dewi tertarik sekali, merasa kasihan dan timbul perasaan kasih di dalam hatinya terhadap pemuda ini. Dalam keadaan tidak sadar pemuda ini dengan jelas menyatakan cinta kasih yang mendalam terhadap dirinya dan hatinya merasa terharu sekali.

“Kalau begitu....” Tek Hoat tidak mampu melanjutkan.

“Mengapa, Tek Hoat?”

“Kalau begitu aku telah melakukan dosa besar terhadapmu, Syanti Dewi.”

“Hemm, mengapa?”

“Engkau seorang puteri yang agung, seorang puteri kerajaan yang mulia, seorang dara yang cantik jelita dan berbudi mulia, sedangkan aku....”

“Kau adalah penolongku berkali-kali, sejak kau menyamar sebagai tukang perahu.”

“Tidak, aku adalah seorang yang jahat sekali, Dewi....”

“Lagi-lagi kau merendah. Sikapmu itu sungguh tidak menyenangkan, Tek Hoat. Penyesalan diri secara berlebihan tidak ada gunanya sama sekali kecuali mendatangkan perasaan muak kepada orang lain. Yang penting adalah menyadari bahwa dirinya telah bertindak keliru. Kesadaran ini akan mendatangkan perubahan, bukan hanya penyesalan kosong belaka!”

“Maaf, akan tetapi kau.... kau sungguh tidak tahu siapa aku?”

“Siapa bilang aku tidak tahu siapa engkau, Tek Hoat? Aku malah mengetahui lebih banyak tentang dirimu daripada engkau sendiri! Dulu ketika engkau hendak meninggalkan aku di istana Perdana Menteri Su, aku tidak sempat lagi menceritakan hal ini. Sesungguhnyalah, aku lebih tahu daripada engkau sendiri tentang dirimu.”

Tek Hoat memandang terbelalak heran.
“Apa yang kau maksudkan, Dewi?”

Hati Syanti Dewi terharu. Pemuda itu kini menyebutnya Dewi dan satu-satunya orang yang menyebutnya demikian hanyalah Gak Bun Beng. Ada persamaan baginya antara pemuda ini dengan Gak Bun Beng!

“Maksudku, aku telah bertemu dengan ibumu yang bernama Ang Siok Bi! Dan aku telah mendengar ibumu bicara dengan Bibi Puteri Milana sehingga terbukalah rahasia yang agaknya belum kau ketahui sendiri tentang dirimu.”

Tentu saja Tek Hoat terkejut bukan main dan bagaikan diserang ular dia bangkit duduk, tidak peduli akan tubuhnya yang lemas sehingga hampir dia terguling.

“Kau berjumpa dengan ibuku? Dimana? Kapan? Dan apa yang dibicarakannya dengan Puteri Milana?”

Syanti Dewi tersenyum. Dia melihat gairah dan kerinduan membayang di mata pemuda itu ketika menyebut ibunya dan giranglah hatinya menyaksikan ini karena dia tahu bahwa pemuda ini mencinta ibunya.

“Sebelum aku menceritakan semua itu, aku ingin tahu lebih dulu apakah engkau mengenal nama Gak Bun Beng?”

Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi muram.
“Tentu saja! Sampai mati pun aku tidak akan melupakan nama itu!”

“Dan engkau tadinya mengira dia sudah mati, bukan?”

“Benar, akan tetapi aku girang bahwa dari Puteri Milana aku mendengar bahwa dia masih hidup. Aku harus dapat mencarinya dan bertemu muka dengan dia!” Kata-kata ini dikeluarkan dengan nada keras.

“Aku tahu, engkau masih menganggap dia musuh besarmu. Untung terbuka rahasia itu sehingga aku mengetahui, karena kalau tidak, dan engkau masih terus menganggap dia musuh besarmu.... hal itu.... akan amat mendukakan hatiku, Tek Hoat. Ketahuilah bahwa dia itu sesungguhnya bukanlah musuh besarmu, bahwa Gak Bun Beng adalah semulia-mulianya manusia, seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang patut dihormati dan dikagumi....”

“Dewi! Apa maksudmu?”

“Dengarlah baik-baik apa yang kudengar dari pembicaraan antara ibumu dan Bibi Milana. Sebelum bertemu dengan Bibi Milana, Ibumu sendiri, Bibi Ang Siok Bi itu, juga menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya yang sudah mati. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng belum mati, bahkan sama sekali bukan musuh besarnya. Katakanlah dulu, Tek Hoat, apa yang diceritakan oleh ibumu tentang ayahmu dan tentang Gak Bun Beng?”

“Ibu menyatakan bahwa ayahku bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahku itu dibunuh oleh penjahat Gak Bun Beng yang juga telah berhasil dibunuh oleh Ibu. Dan ternyata sekarang bahwa Gak Bun Beng masih hidup....”

“Dia sama sekali bukan penjahat, melainkan seorang pendekar besar berhati mulia! Ibumu dahulu salah duga, Tek Hoat, dan beginilah menurut percakapan antara ibumu dan Puteri Milana. Dahulu di waktu masih gadis, ibumu telah diperkosa oleh seorang penjahat muda yang dilakukan dalam gelap dan penjahat muda itu mengaku bernama Gak Bun Beng karena Gak Bun Beng adalah musuh besarnya.... eh, kenapa kau?” Syanti Dewi terkejut melihat pemuda itu memegangi kepalanya.

“Tidak, tidak apa-apa, teruskan!”

Tek Hoat berkata. Kepalanya seperti dihantam palu godam mendengar permulaan cerita itu, karena dia seolah-olah diejek dan disindir, teringat akan perbuatannya sendiri yang melakukan segala kejahatan menggunakan nama Gak Bun Beng pula!

“Nah, tentu saja ibumu menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya dan pada suatu hari, bersama wanita-wanita lain yang menjadi korban pemuda jahat yang menyamar sebagai Gak Bun Beng, ibumu dan beberapa orang wanita berhasil mengeroyok Gak Bun Beng sampai pendekar itu terjerumus ke dalam jurang yang dalam dan disangka mati. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali sehingga dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng belum tewas. Diantara para pengeroyok itu terdapat Bibi Milana. Bibi Milana akhirnya tahu bahwa Gak Bun Beng tidak berdosa, dan penjahat yang sesungguhnya, telah tewas menebus dosanya. Akan tetapi ibumu agaknya tidak atau belum tahu sehingga ketika melahirkan engkau, dia hendak menanam bibit kebencian di hatimu terhadap Gak Bun Beng yang disangka pemerkosanya.”

Dengan wajah pucat sekali Tek Hoat memandang Syanti Dewi. Andaikata bukan puteri itu yang bercerita seperti ini, bukan wanita yang dipujanya, dicintanya dan tentu saja dipercayanya, tentu dia akan marah dan akan membunuh yang bercerita itu.

“Dewi.... Dewi.... demi Tuhan....! Benarkah itu....?”

“Aku mendengar sendiri, dan perlu apa aku membohongimu?”

“Lalu.... lalu bagaimana....? Lalu siapa orang itu? Siapa.... pemerkosa Ibu dan.... ayahku itu....?”

“Dia bernama Wan Keng In, putera tiri dari Pendekar Super Sakti sendiri. Jadi engkau masih cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan engkau bukan she Ang, karena itu she Ibumu melainkan she Wan.”

“Dan.... dan Ang Thian Pa.... ah, bisa jadi dialah kakekku.... bekas ketua Bu-tong-pai.... ahh, Ibuuu...!”

Tek Hoat menjerit lalu terguling dan pingsan. Tentu saja Syanti Dewi menjadi sibuk sekali, mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan memanggil-manggil.

**** 130 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar