FB

FB


Ads

Selasa, 10 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 129

Kakek See-thian Hoat-su masih dikeroyok dua oleh Tambolon dan Durganini, kakek ini terdesak hebat, agaknya juga sudah terluka karena pangkal lengan kirinya berdarah. Siang In masih mengamuk membantu Perwira Jayin dan para anggauta rombongan, akan tetapi mereka pun terdesak hebat oleh Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, karena memang tingkat kepandaian dua orang pembantu Tambolon ini lebih tinggi dari mereka.

Senjata pikulan dari Liauw Kui dan senjata sepasang poan-koan-pit dari Yu Ci Pok memang berbahaya sekali, dan hanya karena Jayin yang dibantu oleh Siang In dan empat orang perwira pembantunya itu melakukan perlawanan gigih, maka pertandingan masih berlangsung dengan seru dan mati-matian.

Tek Hoat maklum bahwa yang boleh diandalkan oleh rombongan ini hanyalah Kakek See-thian Hoat-su. Dia sendiri sudah terluka parah, dan kalau kakek itu roboh, tentu yang lain akan celaka semua. Maka dia lalu menerjang maju lagi membantu kakek itu dan kini entah bagaimana, pertemuannya dengan Syanti Dewi seolah-olah memulihkan semua tenaganya.

Ketika dia menyerbu dan menghantam, Tambolon sampai terpental ke belakang dan bergulingan sambil memaki-maki, bangkit berdiri lagi dan menerjang Tek Hoat yang merasa betapa dadanya sakit akan tetapi kini dia pertahankan dengan semangat baru. Dia harus hidup. Dia harus menang, karena kalau tidak, Syanti Dewi akan celaka.

“Sutt.... singgg-singgg....!”

Pedang di tangan Tambolon menyambar-nyambar ganas. Tek Hoat mengelak dua kali dan dari samping dia memukul dengan tangan miring, ke arah lambung raja liar itu. Tambolon terkejut dan tidak sempat mengelak akan tetapi karena dia maklum bahwa pemuda itu sudah terluka dan dalam keadaan tidak sehat sehingga tenaganya pun tidak sepenuhnya, dia lalu berlaku nekat, menyambut hantaman itu dengan tangan kirinya sambil mengerahkan seluruh sin-kangnya.

“Desss....!”

Sekali ini hebat sekali pertemuan tenaga sin-kang yang sama kuatnya, dan akibatnya, kembali tubuh Tambolon terpental, mulutnya muntahkan darah segar sedangkan tubuh Tek Hoat terguling-guling sampai beberapa kaki jauhnya dan wajah pemuda ini pucat sekali, napasnya terengah-engah dan sesak sehingga dia menggunakan tangannya untuk menekan dadanya.

Dengan mata mendelik Tambolon meloncat bangun, mengusap darah dari bibirnya dengan gemas, kemudian mengangkat pedangnya sambil lari menerjang Tek Hoat. Sementara itu, kakek See-thian Hoat-su masih belum merobohkan Durganini karena sesungguhnya kakek ini masih merasa kasihan kepada bekas isterinya yang dia tahu berubah jahat karena sudah pikun dan disalah gunakan oleh muridnya, Tambolon yang penuh ambisi dan jahat itu.

Ketika melihat betapa Tek Hoat sudah tidak berdaya dan Tambolon mengejar hendak membunuhnya, dia terkejut sekali, akan tetapi karena jaraknya agak jauh, dia maklum bahwa dia tidak akan dapat menyelamatkan pemuda perkasa itu.

Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu muncul seorang kakek berlengan tunggal yang berpunggung bongkok! Punggungnya demikian bongkoknya sehingga ketika dia datang berjalan cepat ke arah pertempuran, kepalanya seperti meluncur di depan saja, sedangkan kedua kakinya seperti terseret jauh di belakang. Atau cara kakek ini berjalan seperti setengah merangkak!

Anehnya, bukan main cepatnya karena tahu-tahu dia telah berada di situ. Hebatnya, bersama dengan kakek bongkok yang aneh ini datang pula angin berputar yang seperti ombak dahsyatnya, dan semua orang, termasuk Tek Hoat, Tambolon, Durganini dan See-thian Hoat-su terdorong dan terhuyung ke belakang oleh angin dahsyat ini. Jangan ditanya lagi para anggauta rombongan orang Bhutan dan anak buah Tambolon, mereka semua roboh jungkir balik dan tumpang-tindih antara kawan dan lawan seperti daun-daun kering diamuk angin puyuh.

Kakek bongkok yang berdirinya seperti mau “tiarap” itu menggerakkan kedua lengannya seperti orang mencegah mereka bertempur, lalu berkata,

“Antara sesama manusia, mengapa saling bunuh? Tanpa saling bunuh pun, apakah ada diantara kalian yang kelak bebas dari kematian?”

Durganini yang sudah pikun itu tidak terpengaruh oleh ucapan aneh ini, tidak seperti See-thian Hoat-su yang sudah berdiri tegak dan bersikap hormat. Sebaliknya Durganini malah melangkah maju mendekati kakek bongkok itu, kedua tangannya lurus ditujukan ke arah kakek bongkok itu sambil membentak dengan suara yang amat berpengaruh. Nenek ini sudah mengerahkan kekuatan sihirnya!

“Tua bangka bongkok, kau yang sudah mau mampus, hayo cepat bergulingan di atas tanah!”

“Durganini, jangan....!” See-thian Hoat-su mencegah namun terlambat.






Semua orang di situ merasa betapa ada pengaruh yang amat jahat dan mengerikan terbawa oleh suara dan gerakan kedua tangan Durganini, bahkan ada di antara perajurit yang tanpa disadarinya tahu-tahu sudah merebahkan diri di atas tanah dan bergulingan seperti orang gila!

Akan tetapi yang paling aneh adalah ketika semua orang melihat bahwa kakek bongkok itu hanya menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas, sama sekali tidak bergerak dan lucunya, kini Durganini tahu-tahu merebahkan diri dan bergulingan di atas tanah dengan hebatnya!

Tek Hoat yang sudah setengah pingsan itu melihat dengan terbelalak, akan tetapi pengerahan tenaga terakhir dengan Tambolon tadi membuat kepalanya pening dan pandang matanya berkunang. Sebuah tangan yang halus memegang lengannya. Dia menoleh dan kiranya Syanti Dewi yang memegang lengannya. Puteri itu lalu menariknya perlahan-lahan dan pergi dari situ selagi semua orang terpesona oleh peristiwa aneh tadi.

“Kau terluka parah.... sebaiknya kita menyingkir dari tempat berbahaya ini....”

Tek Hoat menggeleng kepala.
“Aku.... aku harus melawan.... aku harus melindungimu....”

Akan tetapi Syanti Dewi memaksanya pergi, setengah menyeretnya dan keduanya lalu menyelinap ke dalam hutan yang lebih lebat.

Sementara itu, melihat Durganini makin lama makin hebat bergulingan, kakek bongkok itu mengangkat tangan ke atas.

“Sadarlah semua.... bangkitlah...., dan lenyaplah semua kekuatan gelap....!”

Aneh, mereka yang bergulingan di atas tanah, termasuk Durganini, menjadi terkejut, sadar dan terheran-heran, lalu Durganini bangkit dengan napas terengah-engah dan wajah pucat. Kini dia memandang kepada kakek bongkok itu dengan sinar mata ketakutan karena dia maklum bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti luar biasa.

“Siapa yang pernah bertemu dengan muridku? Harap katakan, dimana muridku? Apakah ada yang melihatnya? Dia berusia kira-kira dua puluh lima tahun, pemuda yang bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah, matanya tajam seperti mata naga, sikapnya gagah seperti seekor singa, namanya Kok Cu.... siapakah yang pernah bertemu dengan dia?”

See-thian Hoat-su dan Durganini menggeleng kepala dan tidak ada seorang pun yang pernah mendengar tentang pemuda murid kakek bongkok itu. See-thian Hoat-su cepat memberi hormat dan bertanya dengan suara tergetar penuh kagum.

“Kalau saya tidak keliru sangka, Locianpwe ini adalah Yang Mulia Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir....?”

Kakek bongkok itu menghela napas dan menggerakkan tangannya, seolah-olah tidak mempedulikan kata-kata itu.

“See-thian Hoat-su, Durganini dan Tambolon, apakah kalian pernah bertemu dengan muridku Kok Cu itu?”

Tiga orang itu terkejut bukan main. Selama hidup mereka, baru sekarang mereka bertemu dengan kakek tua renta itu, akan tetapi kakek ini begitu saja menyebut mereka seolah-olah sudah lama mengenal mereka. Otomatis mereka menggeleng kepala karena memang mereka belum pernah bertemu dengan pemuda yang dimaksudkan kakek itu.

“Sudahlah, aku mencari di tempat lain!” kata kakek itu dan sekali berkelebat dia sudah lenyap!

Selagi semua orang tertegun dan melongo, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan dari jauh di atas bukit tampaklah debu mengepul tinggi dan datang sebuah pasukan besar dari barat yang jumlahnya tentu tidak kurang dari seratus orang. Tambolon belum dapat mengenal pasukan itu, maka dia sudah berteriak lagi,

“Serbu!”

Dan pertandingan pun mulai lagi! Sungguh mereka ini seperti serigala-serigala yang haus darah dan tadi pertempuran terganggu sebentar karena munculnya kakek bongkok luar biasa itu. Durganini kembali menyerang See-thian Hoat-su seperti sikap seorang isteri galak yang mencemburui suaminya, tak pernah mau sudah menyerang!

Karena dikeroyok dua oleh bekas isterinya dan Tambolon, sedangkan Tek Hoat sudah tidak ada lagi untuk membantunya, kakek ini tentu saja kembali terdesak hebat dan kewalahan. Akan tetapi tak lama kemudian pasukan itu tiba-tiba dan bersoraklah pihak rombongan Perwira Jayin karena ternyata bahwa pasukan itu adalah pasukan dari Bhutan yang dikirim oleh rajanya untuk menyusul Perwira Jayin yang belum ada kabarnya dalam mencari puteri raja.

Tentu saja pertempuran menjadi berubah keadaannya dan terpaksa Tambolon membujuk gurunya untuk lari menyingkir karena menghadapi pasukan pilihan dari Bhutan yang terlatih baik dan yang jumlahnya jauh lebih besar itu, tentu saja dia dan anak buahnya kewalahan dan terancam bahaya kemusnahan. Maka berlarilah mereka, meninggalkan para korban diantara anak buah raja liar Tambolon.

Sementara itu, Syanti Dewi yang dulu sudah berpengalaman ketika menemani Gak Bun Beng yang juga menderita sakit payah, kini setengah menyeret tubuh Tek Hoat yang hampir pingsan itu. Akhirnya, karena tenaganya habis dan napasnya terengah-engah, Syanti Dewi berhenti di belakang semak-semak yang rimbun.

“Aihh...., kau terluka lagi....”

Katanya sambil menggunakan saputangannya menyeka darah yang mengucur dari luka di leher dan pundak Tek Hoat yang pecah kembali.

“Syanti.... puteri.... saya.... saya harus membantu teman-teman menghadapi mereka....” Tek Hoat bangkit akan tetapi terhuyung.

“Tidak.... tidak....! Apakah kau mau bunuh diri? Tidak, aku melarang kau pergi. Aku melarang!” Syanti Dewi memegangi lengannya erat-erat.

Tek Hoat membalik dan menghadapi puteri itu, memandang dengan mata terbelalak.
“Paduka.... paduka peduli apa.... kalau saya mati....?”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya.
“Ang Tek Hoat, kau sudah berkali-kali menolong aku dan menyelamatkan aku dengan pengorbanan dirimu, dan kau masih bertanya aku peduli apa? Kau anggap aku ini orang apa? Orang yang tidak mengenal budi? Kau terluka, biar aku merawat lukamu....”

“Paduka.... kau.... merawat lukaku....?”

Tubuh Tek Hoat menjadi lemas, kepalanya pening kembali sehingga bicaranya tidak karuan lagi dan dia menurut saja ketika ditarik turun dan disuruh rebah di atas rumput.

“Luka-lukamu harus dicuci bersih.... sayang obat-obat untuk luka yang pernah kuterima dari Jenderal Kao sebagai bekal berada di kereta....”

“Aku mempunyai obat seperti itu....” Tek Hoat dengan mata masih terpejam meraba saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan. “Gunakan obat bubuk ini.... auhhh.... dadaku....”

“Kenapa dadamu? Kenapa....?”

Syanti Dewi meraba-raba dan membuka kancing baju pemuda itu untuk memeriksa. Alangkah kagetnya ketika melihat kulit dada yang putih itu tampak tanda biru bekas pukulan sedangkan ketika dia mencuci luka di leher dan pundak bekas cakaran kuku Durganini, luka-luka itu kelihatan kehitaman!

“Ah, kau terluka parah....!” Dia berseru penuh kekhawatiran.

“Tidak mengapa.... tidak mengapa, harap paduka cepat kembali ke sana, biarlah saya mengurus diri sendiri....”

“Tek Hoat!” Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan nada suara agak keras. “Mengapa kau begini angkuh?”

Tek Hoat memandang dengan mata terbelalak.
“Saya....? Angkuh....?”

“Engkau terluka parah dan perlu ditolong, mengapa engkau seolah-olah menolak pertolonganku? Engkau benar-benar mengusirku agar kembali ke sana, agar tertawan oleh Tambolon?”

“Ah, tidak...., tidak.... jangan paduka salah sangka....!”

“Engkau sungguh.... memuakkan perutku!” Syanti Dewi bangkit berdiri dan membelakangi Tek Hoat.

Pemuda ini menjadi bengong dan dia bangkit duduk, memandangi tubuh belakang Syanti Dewi. Dia benar-benar tidak mengerti harus berkata dan berbuat apa. Sikap wanita ini menbingungkannya, dan dia tidak dapat menyelaminya. Ketika dia melihat pundak puteri itu berguncang perlahan, dia terkejut. Puteri itu menangis! Tentu merasa tersinggung dan sakit hatinya, pantas dia dikatakan memuakkan dan memuakkan perut!

“Ahh, Puteri Syanti Dewi, harap paduka sudi mengampuni saya.... saya sungguh tidak tahu terima kasih.... saya memang membutuhkan bantuan dan paduka demikian rela membantu, akan tetapi saya keras kepala, sombong dan.... memuakkan perut, maafkan saya....” Dengan kaku dia lalu merebahkan dirinya sehingga kepalanya terbentur batu di belakangnya. “Aduhhh....!”

Syanti Dewi cepat membalik dan berlutut. Melihat belakang kepala Tek Hoat menjendol, dia lalu menggosok-gosoknya dan mulutnya berbisik,

“Kasihan.... orang muda yang malang....”

“Saya.... saya tidak muda lagi...., paduka lebih muda....”

“Tek Hoat, aku akan marah kalau kau terus menerus merendahkan diri, menyebut aku puteri dan paduka. Engkau mau bersahabat ataukah tidak?” Bibir yang merah itu cemberut.

“Baiklah.... baiklah, put...., eh, Syanti Dewi. Engkau tentu lebih muda daripada aku....”

Syanti Dewi tersenyum, agak lega karena wajah pemuda itu tidak sepucat tadi.
“Tentu saja, kau tadi bilang tidak muda lagi, agaknya engkau sudah kakek-kakek.”

“Aku sudah tua, sudah terlalu tua oleh dosa....”

“Sudah, jangan banyak cakap. Biarkan aku membalut luka-lukamu dan memberi obat-obat secukupnya.”

Dengan jari-jari tangan cekatan, sedikit pun tidak jijik melihat darah membeku dan luka kehitaman yang mengerikan, Syanti Dewi mengobati dan membalut luka-luka itu. Bukan main nyerinya, akan tetapi Tek Hoat menggigit giginya menahan sakit.

“Orang-orang muda, apakah kalian pernah bertemu dengan muridku?”

Tiba-tiba saja kakek bongkok itu berdiri di dekat mereka, membuat Syanti Dewi kaget dan hampir menjerit kalau saja dia tidak menutupi mulut dengan tangannya. Tek Hoat juga bangkit duduk dan memandang tajam, siap melindungi Syanti Dewi yang dipeluknya dengan lengan kiri. Ketika dia mengenal kakek bongkok yang tadi datang secara ajaib dan secara mujijat pula melerai pertempuran, dia bertanya dengan hormat,

“Locianpwe, siapakah murid Locianpwe itu?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar