FB

FB


Ads

Selasa, 10 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 128

“Keparat kau, Tek Hoat....!”

Dia memaki diri sendiri sambil menjambak rambut di bilik itu, tidak peduli bahwa suara hatinya itu keluar dari mulutnya dengan suara lirih.

“Engkau manusia sesat, manusia jahat, sejahat-jahatnya orang! Bagaimana orang macam engkau tergila-gila kepada seorang bidadari seperti Puteri Syanti Dewi? Kau sudah gila! Seperti seekor burung gagak merindukan seekor burung hong!”

Kadang-kadang dia memaki-maki dirinya sendiri menyesali semua perbuatannya. Kadang-kadang dia membayangkan kecantikan Syanti Dewi, kelembutannya, keramahannya, kemuliaan budinya, bahkan terdorong oleh suara hatinya, dia bersenandung memuji-muji puteri yang telah menguasai seluruh cinta kasih hatinya itu.

Hampir setiap malam dia bermimpi, bertemu dengan puteri itu dan dalam mimpinya tentu dia menyebut-nyebut namanya. Apalagi ketika luka-lukanya membuat tubuhnya terserang demam, dalam keadaan tak sadar dia mengigau tentang Syanti Dewi.

Berkat usahanya sendiri siulian dan menghimpun tenaga murni, ditambah pengobatan rombongan itu, seminggu kemudian kesehatan Tek Hoat sudah berangsur baik. Biarpun dia belum sembuh sama sekali, dan masih lemah, akan tetapi dia sudah dapat meninggalkan kereta dan di waktu kereta berhenti di dusun-dusun, dia dapat ikut pula turun dan bersama dengan rombongan itu makan di warung-warung.

Hari itu mereka agak lama berhenti di dusun yang agak besar, karena rombongan itu membeli banyak ransum. Setelah melewati dusun itu, perjalanan akan melalui daerah pegunungan yang sunyi dan jarang terdapat dusun yang menjual bahan makanan, maka rombongan itu memperbanyak bekal mereka untuk keperluan di perjalanan.

Tek Hoat juga membantu mereka dan karena tenaganya belum pulih kembali, dia ditugaskan untuk menghitung dan menimbang bahan-bahan makanan yang dibeli.

Ketika akhirnya semua beres, dan dia hendak kembali ke kereta karena dia belum kuat naik kuda, Tek Hoat menjadi bingung. Baru sekarang dia melihat bahwa kereta yang panjang itu ternyata terdiri dari dua bilik. Dia hampir saja membuka pintu bilik yang berada di depan, akan tetapi pemimpin rombongan itu memegang lengannya dan berkata,

“Engkau keliru, Taihiap.” Dia kini disebut Taihiap setelah dia memperkenalkan diri, Ang-taihiap sebutannya. “Bilikmu adalah yang di belakang ini.”

“Ah, maaf. Akan tetapi siapakah yang berada di bilik depan?” tanyanya.

“Tidak ada siapa-siapa, akan tetapi Taihiap jangan membukanya. Sekali-kali harap jangan membukanya dan kami tentu saja percaya penuh kepada Ang-taihiap.”

Tek Hoat mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya dia curiga sekali. Beberapa kali ingin dia membuka pintu bilik itu kalau tidak ada orang melihatnya, akan tetapi kata-kata pimpinan rombongan itu mengingatkannya.

“....kami tentu saja percaya penuh kepada Ang-taihiap.”

Hemm, apakah dia yang sudah menyeleweng dan tersesat itu kini juga menjadi orang yang tidak bisa dipercaya? Betapapun curiganya, betapapun inginnya untuk membuka pintu bilik depan itu, dia mengeraskan hati dan tidak mau membukanya! Mulai sekarang, dia harus menjadi seorang yang menjauhi segala keburukan! Dia harus memulai hidup baru dan menanggalkan semua kebiasaan lama yang busuk dan sesat!

Menjelang tengah hari, kereta mulai memasuki daerah hutan yang sunyi. Akan tetapi, ketika memasuki sebuah hutan, baru saja tiba di pinggir hutan itu, tiba-tiba rombongan ini berhenti dan kereta juga berhenti. Tek Hoat terkejut. Kalau sekali ini terjadi pencegatan oleh orang-orang sakti seperti yang terjadi seminggu yang lalu, sedangkan kesehatan dan tenaganya belum pulih sama sekali, tentu mereka semua akan celaka dan dia sama sekali tidak dapat melindungi mereka. Padahal mereka sudah begitu baik kepadanya!

Akan tetapi tidak terdengar kegaduhan, maka Tek Hoat lalu menyingkap tirai bilik keretanya dan memandang ke depan, menjenguk ke luar. Di depan, tampak seorang dara remaja berdiri menghadang rombongan itu. Tek Hoat memandang kagum. Seorang dara remaja yang amat cantik jelita, sangat cantik dan lincah, sikapnya ramah kekanak-kanakan namun memikat hati, tubuhnya tiada hentinya bergerak, sepasang matanya seperti sepasang bintang senja yang berkedip-kedip dan bersinar terang, jernih dan tajam, bibirnya yang merah itu bersungut-sungut namun bertambah manisnya. Dengan sikap yang lucu dan jenaka, namun juga agak ugal-ugalan dara itu menggunakan telunjuk tangan kanannya menyodok perut kepala rombongan yang agaknya sudah mengenalnya itu.

“Wah, Paman mencari penyakit, ya? Kenapa melalui jalan sini? Di balik hutan ini terdapat rombongan orang jahat yang amat jahat, bukan penjahat biasa melainkan gerombolan yang berilmu tinggi. Kalau rombongan Paman ini diketahuinya, tentu celaka! Suhu sendiri merasa ngeri berhadapan dengan gerombolan itu dan Suhu yang menyuruh aku menghadang Paman di sini untuk memberi peringatan agar Paman menggunakan jalan lain!”

Kepala rombongan itu tersenyum, agaknya dia sudah mengenal watak dara remaja yang jenaka itu sungguhpun sekali ini dia membawa berita yang mengejutkan.

“Aih, Nona Teng, kita bertemu kembali di tempat yang tak tersangka-sangka ini! Dimana Locianpwe yang menjadi gurumu itu? Dan gerombolan apakah yang kau ceritakan itu?”

“Gerombolan apa yang berbahaya kalau bukan gerombolan yang dipimpin Raja Tambolon? Musuh besarmu, bukan? Menurut Suhu, Tambolon selalu menjadi musuh besar orang-orang Bhutan!”

Kepala rombongan itu kelihatan kaget bukan main, juga semua anggauta rombongan itu mengeluarkan seruan kaget.

“Celaka....!” Kepala rombongan itu berseru.






Akan tetapi Tek Hoat yang mendengarkan percakapan itu pun terkejut bukan main. Kiranya rombongan ini adalah orang-orang Bhutan! Dia meloncat turun dan pergi ke depan mendekati gadis ini yang memandang kepada Tek Hoat dengan pandang mata penuh selidik.

“Taihiap, sekali ini kita dihadang gerombolan yang lebih berbahaya lagi,” pemimpin rombongan itu berkata ketika melihat Tek Hoat mendekati mereka.

“Paman Jayin, siapa dia yang kau sebut taihiap ini? Aku baru sekali ini melihatnya. Apa dia orang baru?”

Dara remaja itu berkata dan dengan sinar mata penuh selidik, seperti seorang pedagang kuda yang hendak membeli seekor kuda dan menaksirnya, dia berjalan dengan gerak penuh kelembutan dan lagak yang memikat, mengelilingi Tek Hoat perlahan-perlahan sambil memandang dengan mata dipicingkan!

Melihat sikap ini, Tek Hoat menjadi geli di dalam hatinya. Benar-benar seorang bocah perempuan yang bersemangat, lincah jenaka dan ugal-ugalan. Rambut yang dikepang dua itu melambai-lambai lucu ketika kepala yang manis itu digerak-gerakkan dan lengannya lemah gemulai sehingga pinggul yang tertutup baju panjang itu bergerak-gerak membayang dengan lemasnya.

Rombongan itu kini berkerumun dan Tek Hoat lalu bertanya kepada dara remaja yang bukan lain adalah Teng Siang In itu. Seperti kita ketahui, Siang In telah diambil murid oleh See-thian Hoat-su, kakek yang sakti bekas suami nenek iblis Durganini. Mereka berdua telah saling berjumpa dan rujuk kembali.

Akan tetapi dasar watak Durganini sudah pikun dan sudah berubah. Mereka berdua tadinya mengajak Siang In untuk kembali ke barat, ke Himalaya. Akan tetapi di tengah perjalanan, nenek itu banyak rewel dan kadang-kadang timbul niat buruknya untuk mengganggu penduduk dusun yang mereka lalui di tengah perjalanan. See-thian Hoat-su menentangnya dan kembali mereka cekcok dan bertentangan. Akhirnya, nenek yang ilmu silatnya masih kalah tinggi dibandingkan bekas suaminya ini ngambek dan pergi meninggalkan guru dan murid itu.

Setelah ditinggalkan oleh Nenek Durganini, See-thian Hoat-su menjadi kecewa dan membatalkan niatnya untuk kembali ke Himalaya. Dia mengajak muridnya kembali ke timur, karena dia tidak akan merasa tenang selama nenek yang pernah menjadi isterinya itu masih berkelana di timur. Dialah yang harus mencegah kalau bekas isterinya itu menggunakan ilmu mendatangkan kerusakan dan malapetaka kepada penduduk yang tidak berdosa.

“Adik kecil, apakah ceritamu itu benar? Benarkah Tambolon dan kawan-kawannya sudah berada di sini?” Tek Hoat bertanya kepada Siang In.

Kontan dara ini cemberut dan bertolak pinggang.
“Eh, kau manusia sombong, ya? Dumeh (mentang-mentang) sudah disebut orang taihiap (pendekar besar) kau lalu merasa tua sekali, ya?”

Tentu saja Tek Hoat yang belum pernah bertemu dengan seorang dara seperti ini menjadi melongo.

“Eh, eh, kok marah? Apa salahku?”

Perwira Jayin dari Bhutan dan empat orang pembantunya yang sudah mengenal Siang In, bahkan sudah sama-sama menjadi tawanan raja liar Tambolon, menahan senyumnya.

Siang In memandang ke kanan kiri, kepada rombongan itu dan dengan hidung diangkat ke atas dia menuding kepada Tek Hoat.

“Coba....! Dia masih pura-pura bertanya apa kesalahannya? Kau menyebut aku adik kecil, apakah itu bukan menghina namanya? Sudah sebegini, masih disebut anak kecil? Kalau aku anak kecil, apakah engkau sudah kakek-kakek?”

Semua rombongan itu tertawa dan muka Tek Hoat menjadi merah. Akan tetapi pemuda ini tersenyum. Pada dasarnya, Tek Hoat adalah seorang yang jenaka dan lincah gembira pula. Kalau dia berubah menjadi pendiam adalah karena banyak hal yang menekan hatinya. Kini dia memandang dengan mata berseri. Dara remaja ini benar-benar jenaka dan kemarahannya itu dia tahu adalah dibuat-buat.

“Kalau begitu, biarlah aku menyebutmu nyonya tua yang galak!” Tek Hoat menggoda.

Dara itu membelalakkan matanya, kelihatan menjadi makin cantik. Dia lalu menarik muka seperti nenek-nenek, tubuhnya agak membungkuk, suaranya lalu gemetar seperti seorang wanita tua yang sudah tua sekali, dan dia menjura ke arah Tek Hoat dengan lagak seorang nenek.

“Baiklah, kakek tua renta yang sudah pikun. Mengapa sudah setua ini kau masih belum juga mati-mati? Apakah tidak merasa bosan?”

Kembali rombongan itu tertawa karena suara dan sikap dara itu persis nenek-nenek tua. Tek Hoat juga tertawa dan dia lalu berkata,

“Sudahlah, Nona. Maafkan aku. Aku hanya ingin bertanya apakah benar Tambolon sudah tiba di sini karena belum lama ini aku masih bertemu dengan mereka di timur.”

“Itu Suhu datang kalau kau tidak percaya, sudah jangan tanya aku, kau tanya saja kepada Suhu!”

Tek Hoat menoleh dan benar saja dari jauh datang seorang kakek tua renta yang larinya cepat sekali. Perwira Jayin dan para pembantunya cepat memberi hormat.

“Locianpwe, terima kasih atas peringatan Locianpwe tentang gerombolan itu. Sekarang bagaimana baiknya? Belum lama, baru seminggu ini kami juga telah dihadang oleh gerombolan Hek-tiauw Lo-mo dan kalau tidak ada Ang-taihiap ini tentu kami sudah celaka semua.”

Kakek itu bukan lain adalah See-thian Hoat-su. Dia terkejut mendengar bahwa rombongan ini seminggu yang lalu dicegat oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia memandang kepada Tek Hoat dengan kagum. Seorang yang dapat menolong rombongan ini dari gangguan Hek-tiauw Lo-mo, biarpun masih begitu muda, tentu memiliki kepandaian yang tinggi sekali, pikirnya. Akan tetapi sekali pandang saja, dia tahu bahwa Tek Hoat pernah mengalami luka-luka dalam yang amat hebat, maka dia terkejut sekali.

“Ahh, engkau telah terpukul hebat sekali, orang muda!”

Tek Hoat menjadi kagum dan dia menjura.
“Sudah berangsur baik, Locianpwe, berkat rawatan dan pengobatan rombongan ini.”

“Rombongan ini harus mengambil jalan lain. Cepat! Jangan melalui hutan ini. Mudah-mudahan saja belum terlambat dan tidak akan bertemu dengan mereka. Dan engkau harus diobati secepatnya, orang muda, agar tenagamu pulih dan kau dapat membantu kalau toh mereka masih dapat mengejar.”

Mendengar kata-kata kakek ini, pewira pengawal Bhutan itu tidak ragu-ragu lagi dan cepat memerintahkan rombongannya mengambil jalan berbelok ke selatan, mengambil jalan memutari bukit di depan dan menyimpang dari jalan besar. Adapun Kakek See-thian Hoat-su lalu mengajak Tek Hoat ke dalam bilik keretanya itu dan setelah dia menotok dan mengurut beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, dia memanggil muridnya.

“Berikan dia obatmu penyembuh luka dalam yang manjur itu!” kata kakek ini yang segera meninggalkan mereka untuk ikut menjaga di bagian depan barisan itu.

“Hemm, enaknya! Sudah menghina masih minta obat. Panggil dulu aku sebagaimana mestinya, nanti kuberi obat yang paling manjur,” Siang In berkata dengan sikap jual mahal.

Kalau saja Tek Hoat sudah tidak melihat kesesatannya dan mengambil keputusan untuk merubah watak dan sikapnya, tentu dia akan menjadi marah dan akan menghina gadis ini. Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk dalam.

“Nona yang baik, aku minta maaf dan kau berikanlah obat itu.”

Siang In tersenyum.
“Nah, begitu dong! Sekarang engkau menjadi sahabatku, tidak usah minta pun tentu akan kuberikan obat itu.”

Dia lalu mengeluarkan sebungkus obat yang berwarna merah dan berbentuk bulat kecil. Dia menyerahkan dua butir kepada Tek Hoat sambil berkata,

“Telan semua dan kau tidur, nanti setelah bangun baru terasa khasiatnya.” Kemudian dia tersenyum manis dan meloncat turun dari dalam kereta.

Tek Hoat memandang dua butir obat di telapak tangannya itu sambil berkata seorang diri,
“Betapa baiknya semua orang. Betapa manisnya dara itu, akan tetapi mana bisa dia menandingi Syanti Dewi....?”

Lalu ditelannya dua butir obat itu dan dia pun merebahkan dirinya. Begitu memasuki perutnya, terasa hawa panas memenuhi perut dan dadanya, kemudian seluruh tubuh sehingga dia mengeluarkan keringat.

Nyata manjur sekali obat itu dan Tek Hoat menjadi makin kagum. Tentu saja dia tidak tahu bahwa gadis itu, Teng Siang In, adalah puteri mendiang ahli obat Yok-sian (Dewa Obat) yang amat terkenal di dunia kang-ouw, dewa atau ahli pengobatan yang tinggal di Lembah Pek-thouw-san.

Menjelang senja, rombongan ini telah mengelilingi bukit dan memasuki hutan kecil. Tiba-tiba tanpa ada sebabnya, tahu-tahu hutan di sekeliling mereka terbakar! Rombongan ini tentu saja berhenti dan terkejut sekali. Akan tetapi See-thian Hoat-su yang berada di depan rombongan itu berteriak,

“Jangan panik! Ini hanya ilmu siluman!” Dia lalu meloncat ke atas sebuah batu besar, bersedakap dan berteriak, “Durganini, kau terlalu! Terpaksa aku melawanmu!”

Kakek itu bersedakap terus dan tak lama kemudian, rombongan orang Bhutan itu melihat hujan turun secara tiba-tiba dan api yang berkobar itu padam. Akan tetapi anehnya, mereka semua tidak tertimpa hujan! Kiranya baik kebakaran maupun hujan itu hanyalah bayangan yang ditimbulkan oleh kekuatan sihir yang mujijat saja!

Tak lama kemudian dari balik pohon-pohon bermunculan banyak orang dan di depan sendiri tampak Tambolon, Si Petani Maut Liauw Kui, Si Siucai Maut Yu Ci Pok, dan si nenek hitam Durganini yang menghadang rombongan!

“Orang gila, kau berani melawan aku?”

Durganini memaki bekas suaminya dan dengan ganas dia melontarkan tongkatnya ke udara. Tongkat itu berubah menjadi seekor naga yang turun menyambar ke arah See-thian Hoat-su yang masih berdiri di atas batu. See-thian Hoat-su cepat meloncat turun, menyambar segenggam tanah dan melontarkannya ke arah naga yang menyerangnya dengan dahsyat itu.

“Darrr....!”

Tampak kilat menyambar dan naga itu berubah menjadi tongkat butut kembali, melayang ke tangan Durganini, akan tetapi See-thian Hoat-su terhuyung karena memang dia kalah kuat dalam ilmu sihir.

“Kau perempuan iblis!”

Kakek itu memaki dan tubuhnya sudah menyambar ke arah bekas isterinya untuk merampas tongkat. Durganini memaki dengan hantaman tongkatnya, akan tetapi See-thian Hoat-su menangkis dengan lengan kiri sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun Si Nenek Ganas. Durganini mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya keserempet jari tangan See-thian Hoat-su sehingga dia memekik kesakitan, terhuyung dan menudingkan tongkatnya.

“Kau.... kau berani memukulku?” Teriakan ini disertai suara tangis, persis seperti lagak seorang isteri yang marah kepada suaminya!

Tambolon juga sudah mencabut pedangnya dan membantu gurunya menerjang See-thian Hoat-su. Sedangkan Liauw Kui dan Yu Ci Pok memimpin anak buah mereka menyerbu Perwira Jayin dan pasukannya. Terjadilah pertempuran yang hebat.

“Heeeiii, bangun! Bangun kau....! Wah, celaka, malasnya orang ini!”

Diguncang-guncang pundaknya itu, Tek Hoat terbangun dengan kaget dan dia meloncat turun dari kereta. Kiranya yang menggugahnya adalah Siang In.

“Lekas bantu, lihat Suhu terdesak hebat oleh nenek siluman itu dan Tambolon!”

Tek Hoat meraba pinggangnya dan baru teringat dia ketika tangannya meraba tempat kosong, bahwa pedang yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam, telah terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo.

“Kenapa kau sendiri tidak membantu gurumu?” tanyanya.

“Uh, mana aku berani? Kau bantu guruku, mereka itu lihai sekali, dan aku akan membantu Paman Jayin!” kata Siang In yang memang belum begitu tinggi ilmu silatnya sehingga dia merasa ngeri kalau harus membantu suhunya menghadapi orang-orang seperti Tambolon dan gurunya itu.

Tek Hoat menggerak-gerakkan kedua lengannya. Memang lebih enak daripada kemarin. Dia menarik napas panjang, juga dadanya tidak nyeri lagi. Dikerahkan sin-kangnya dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa keadaannya jauh lebih baik daripada yang sudah-sudah. Maka dia lalu meloncat dan terjun ke dalam pertempuran, menyerang Tambolon dengan pukulan dahsyat yang dilakukan dengan pengerahan sin-kangnya.

Tambolon terkejut, maklum bahwa lawannya ini lihai sekali. Dia mengelak dan berkata,
“Eh, orang muda. Lupakah kau akan hubungan baik kita baru-baru ini? Kau bantulah kami dan engkau akan mendapat bagian, kau takkan kecewa!”

“Manusia keparat, siapa sudi mendengar bujukanmu?”

Tek Hoat membentak dan sudah menerjang lagi, mengirim pukulan mautnya. Tambolon menyambut dengan tangan kirinya dan membarengi dengan bacokan pedangnya.

“Dessss....!”

Tambolon terjengkang ke belakang dan Tek Hoat terkena ujung pedang pundak kirinya, akan tetapi hanya luka kecil saja dan dia terus mendesak Tambolon yang ternyata kalah tenaga. Akan tetapi Tek Hoat mengerutkan alisnya. Memang dia telah mampu mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi begitu bertemu dengan lawan yang kuat, dalam pertemuan tenaga dahsyat tadi, biarpun dia berhasil membuat Tambolon terjengkang, akan tetapi dadanya terasa agak nyeri.

Sementara itu Tambolon sudah menubruk maju dengan serangan pedangnya yang membabi buta. Tek Hoat mengelak dengan cepat, akan tetapi kembali dia diam-diam mengeluh karena pengerahan gin-kangnya juga membuat dadanya sakit. Ini menandakan bahwa luka di dadanya belum sembuh benar.

“Sut-sutt-sing.... desss!”

Biarpun Tek Hoat dapat menghindarkan diri dari sambaran pedang yang bertubi-tubi itu, akan tetapi sebuah tendangan mengenai lambungnya dan dia terlempar, jatuh terguling-guling. Sialnya, dia terlempar ke dekat Nenek Durganini yang sedang bertanding melawan bekas suaminya.

“Hiyyaaahhh!”

Nenek itu mengeluarkan pekik dahsyat dan tangan kirinya bergerak ke arah leher Tek Hoat. Pemuda yang masih bergulingan ini terkejut sekali. Ternyata kini sepuluh jari tangan nenek itu telah mengeluarkan kuku yang panjang runcing dan ketika dia mengelak, kuku jari tangan itu lewat dekat mukanya dan dia mencium bau yang amis, tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun yang hebat! Dia berusaha meloncat berdiri, akan tetapi kaki kanan nenek yang memakai gelang itu menyambar.

“Desss....!” Kembali dia roboh.

See-thian Hoat-su hendak menolongnya, akan tetapi Tambolon sudah menerjang kakek itu dengan putaran pedangnya secara dahsyat sehingga terpaksa kakek itu mengelak ke sana-sini. Tek Hoat terus didesak oleh Nenek Durganini, dan begitu dia bangkit, dua cakar beracun itu menyambarnya. Tek Hoat mengelak ke sana-sini, akan tetapi tetap saja leher dan pundaknya kena dicakar. Panas dan perih rasanya! Tek Hoat terkejut, cepat dia melempar tubuh ke atas tanah dan ketika nenek itu menendang, dia membiarkan dirinya ditendang.

“Desss....!” Tubuh pemuda itu bergulingan menabrak benda keras.

“Bresss!”

Ketika dilihatnya, ternyata tubuhnya tertumbuk kepada roda kereta! Nenek itu terkekeh-kekeh dan sudah lari menghampirinya dengan kedua tangan bergerak-gerak menyeramkan.

Tek Hoat bangkit dengan kepala pening, siap untuk melawan mati-matian. Akan tetapi tiba-tiba pintu bilik depan kereta itu terbuka dan sebuah tangan yang halus namun kuat mencengkeram pungung bajunya dan menarik tubuh pemuda itu ke dalam bilik kereta yang segera ditutupkan. Nenek itu marah-marah dan hendak mencengkeram kereta, akan tetapi pemilik tangan halus itu menusukkan pedang menembus pintu kereta.

“Crattt! Aihhhh.... aduhhhh....!”

Nenek itu tertusuk pedang tangannya dan terasa sakit bukan main. Karena tidak disangka-sangkanya, maka ujung pedang itu dapat melukai tangannya dan nenek yang pikun ini segera membalikkan tubuhnya, menangis lalu mengamuk kepada bekas suaminya, agaknya dia sudah lupa sama sekali akan Tek Hoat yang tidak kelihatan lagi itu.

Tek Hoat membuka mata memandang dan.... dia terbelalak, matanya melebar dan mulutnya ternganga. karena ternyata yang menolongnya itu bukan lain adalah.... Syanti Dewi!

“Ya Tuhan.... sudah.... sudah matikah aku....? Ataukah.... ini hanya.... mimpi....?” Tek Hoat menggosok-gosok matanya.

Syanti Dewi yang duduk di atas bangku kereta itu memandang dengan dua titik air mata berlinang, mengulurkan tangan menyentuh leher dan pundak itu dan terdengar suaranya halus,

“Kau.... kau.... terluka lagi....” Disentuhnya luka-luka itu dengan ujung jarinya yang halus.

“Kau.... kau.... Syanti Dewi....?” Tek Hoat menangkap ujung tangan itu dan menciumnya. “Aku.... aku.... ah, benarkah aku masih hidup?”

Kedua pipi puteri itu menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar ketika dia merasa betapa ujung jarinya diciumi dan merasakan hembusan napas yang panas dari pemuda itu mengenai jari-jari tangannya.

“Engkau masih hidup dan aku memang Syanti Dewi.... aku.... akulah yang berada di bilik depan kereta ini....”

Tek Hoat menjadi girang bukan main, girang dan juga jengah dan malu. Setiap saat dia teringat kepada puteri ini, dicari-carinya dan dikenang, dikhawatirkannya. Siapa tahu, seminggu lamanya dia berada di satu kereta dengan puteri ini! Dan teringatlah dia betapa dia sering kali menggandrungi puteri ini, bersenandung memuji-muji puteri ini. Tiba-tiba dia teringat. Pertempuran itu masih berlangsung.

“Ah, aku harus melindungimu, aku harus membasmi mereka.... kalau tidak.... Paduka akan celaka.... kiranya mereka itu menyerang karena Paduka berada di sini....”

“Kau.... kau masih terluka....”

Akan tetapi Tek Hoat sudah tidak peduli lagi. Begitu melihat bahwa Syanti Dewi berada di situ, mengertilah dia mengapa gerombolan Hek-tiauw Lo-mo menyerang rombongan ini, dan mengapa pula kini gerombolan Tambolon juga menyerang rombongan ini.

Kiranya mereka itu tahu bahwa Sang Puteri berada di dalam kereta. Hanya dialah yang tolol, yang goblok, sekereta sampai seminggu lamanya tidak tahu! Hatinya girang, tapi juga khawatir, dan dia meloncat keluar dari kereta itu, cepat menutupkan pintunya kembali seolah-olah dia hendak menyembunyikan mustika agar tidak terlihat oleh lain orang!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar