FB

FB


Ads

Selasa, 10 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 126

“Hek-tiauw Lo-mo kuat sekali kedudukannya, apalagi di dekat dusun Nam-lim itu terdapat pula rombongan Tambolon yang dibantu oleh banyak orang pandai, di antaranya seorang nenek yang amat lihai dan pandai ilmu sihir. Ternyata tadinya Puteri Syanti Dewi ditawan oleh Tambolon dan telah diselamatkan oleh Tek Hoat dengan jalan menukarnya dengan Ceng Ceng. Menurut Perdana Menteri Su, kini puteri itu telah dikawal oleh pasukan Bhutan sendiri, kembali ke Bhutan.”

Kian Bu menghentikan ceritanya karena dia masih merasa terluka oleh penolakan cintanya terhadap puteri itu.

“Sungguh aneh sekali! Mengapa rombongan Hek-tiauw Lo-mo dan rombongan Tambolon masih saja berkeliaran disini? Dan bagaimana pula Syanti Dewi yang dikawal oleh pasukan Jenderal Kao sampai tertawan oleh rombongan Tambolon? Bagaimana pula cara Tek Hoat menukar tawanan itu? Ah, pemuda itu ternyata hebat! Kembali dia telah menyelamatkan Syanti Dewi dan kini dia seorang diri hendak menolong Ceng Ceng, sungguh berbahaya baginya. Mari kita mempercepat perjalanan dan mendahului pasukan ini,”

Bun Beng berkata. Setelah berpesan kepada pasukan itu, Kian Bu lalu bersama Milana dan Bun Beng menggunakan ilmu berlari cepat, meninggalkan pasukan dan mendahului pergi ke sarang Tambolon di mana kabarnya Ceng Ceng menjadi tawanan raja liar itu.

Akan tetapi ternyata rombongan itu tidak lagi berada di situ. Seperti kita ketahui, akibat khasiat darah anak ular naga yang diminumnya, Ceng Ceng dapat membebaskan diri sendiri dari tangan Tambolon dan kawan-kawannya, dan rombongan raja liar ini pun lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk melakukan pengejaran.

Karena dusun itu kosong, maka Bun Beng lalu mengajak Milana dan Kian Bu untuk melanjutkan perjalanan ke Nam-lim. Kedatangan tiga orang ini dengan pasukan pengawal di belakang mereka, telah diketahui oleh anak buah Hek-tiauw Lo-mo yang cepat melapor kepada Ketua Pulau Neraka ini, tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi terkejut sekali dan pada saat itu dia melihat Topeng Setan sudah dapat membebaskan diri secara menggiriskan.

Maka timbullah akalnya untuk mengadu Topeng Setan dengan rombongan Puteri Milana. Biarpun Ceng Ceng sudah tidak berada lagi di tahanan, akan tetapi kebebasan dara ini belum diketahui oleh Topeng Setan dan karenanya dia masih dapat menipu Topeng Setan dan memaksanya untuk membantunya dengan mengancam Ceng Ceng yang sebenarnya sudah tidak ada lagi di situ.

Demikianlah mengapa Gak Bun Beng, Milana dan Suma Kian Bu dapat muncul di tempat itu dan kini kita kembali kepada Topeng Setan yang dihadapkan pada dua pilihan yang amat berat baginya. Sungguh berat baginya untuk menghadapi rombongan Puteri Milana yang dihormati dan dipandang tinggi itu, akan tetapi apa pun akan dilakukannya demi untuk menolong keselamatan Ceng Ceng.

“Bagaimana, Topeng Setan? Apakah engkau lebih ingin melihat kami membunuh gadis itu kemudian engkau melawan kami mati-matian? Jangan mengira bahwa kami takut kepadamu. Kami hanya ingin menarikmu sebagai kawan untuk menghadapi musuh-musuh yang kuat itu, dan percayalah, aku pasti akan membebaskan engkau dan gadis itu kelak. Mereka telah tiba di luar dan pergilah kau mengundurkan mereka.”

“Baik, akan tetapi awaslah engkau kalau menipuku, Lo-mo!”

Teriak Topeng Setan yang kini juga sudah mendengar gerakan orang di depan rumah itu. Dia meloncat keluar dan terus ke ruangan depan dan tiba-tiba saja dia sudah berhadapan dengan Puteri Milana, Gak Bun Beng dan Suma Kian Bu!

“Pergilah kalian dari sini....! Ah, pergilah segera....!”

Topeng Setan berkata sambil melambai-lambaikan tangannya memberi isyarat agar supaya mereka itu pergi dari situ.

“Topeng Setan, kami datang justeru untuk menolong.... engkau dan Ceng Ceng....” Suma Kian Bu berkata.

“Tidak...., tidak....! Lekas kalian pergi dari sini, lekas....!”

Kembali Topeng Setan berseru dengan kacau karena memang hatinya kacau-balau tidak karuan menghadapi keadaan gawat yang mengancam keselamatan Ceng Ceng itu.

Milana dan Gak Bun Beng hanya pernah mendengar nama Topeng Setan, akan tetapi mereka baru sekarang melihat orangnya. Bagi kedua orang pendekar besar ini, orang yang menyembunyikan mukanya di balik topeng sudah menunjukkan ketidak jujuran orang itu, maka topeng itu saja sudah mendatangkan kesan yang kurang baik bagi mereka.

“Topeng Setan atau siapa pun adanya engkau. Mundurlah dan kami datang untuk membebaskan Ceng Ceng!”

“Tidak.... tidak.... Paduka saja mundurlah. Dan harap jangan mencampuri urusan kami berdua dengan Hek-tiauw Lo-mo!”

Milana menjadi marah. Biarpun satu kali dia pernah melihat Topeng Setan ini dan biarpun dia sudah mendengar bahwa orang ini adalah pembantunya Ceng Ceng, namun sikapnya sekarang amat mencurigakan karena agaknya membela Hek-tiauw Lo-mo.

“Manusia sombong, agaknya engkau telah berkhianat dan memihak Hek-tiauw Lo-mo. Minggir....!”

Milana maju dan mendorong Topeng Setan agar ke pinggir akan tetapi Topeng Setan menggerakkan tangan kanannya menangkis.

“Desss....!”

Milana terlempar hampir jatuh oleh tangkisan itu, baiknya Bun Beng cepat menyambar lengannya. Milana dan Bun Beng terkejut bukan main. Apalagi Milana. Wanita perkasa ini tadi sudah mengerahkan seluruh tenaganya karena dia dapat menduga bahwa Topeng Setan ini memiliki kepandaian hebat, namun dia terlempar oleh tangkisan itu. Sungguh hebat orang ini.

Hek-tiauw Lo-mo, pembantunya yang utama Ji Song, dan Mauw Siauw Moli juga kaget bukan main melihat betapa Topeng Setan dapat menangkis dan membuat puteri yang mereka segani dan takuti itu terlempar! Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang melihat Suma Kian Bu muncul bersama Milana dan Gak Bun Beng menjadi girang dan juga khawatir.

“Kian Bu....!”

Dia berseru memanggil akan tetapi pemuda itu sudah cepat melompat ke belakang dan menghilang karena dia merasa malu sekali kalau sampai wanita cantik yang membuat dia mabuk dan lupa daratan, membuat dia tenggelam dalam permainan cinta dan nafsu berahi, akan membuka rahasia yang memalukan di depan encinya dan suhengnya.






Pada saat itu, Milana sudah menjadi marah bukan main.
“Kau mundurlah, biar aku menghadapinya,” kata Bun Beng, akan tetapi Milana yang sudah penasaran itu membantah.

“Biar aku mencobanya sekali lagi!”

Puteri Milana sudah mengerahkan tenaga sakti dari Pulau Es, yaitu tenaga Swat-im Sin-kang. Setelah mengerahkan tenaga mujijat ini, tangan puteri itu kelihatan mengkilap kebiruan dan di ruangan itu menyambar hawa yang amat dingin!

Topeng Setan maklum bahwa puteri ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, maka dia pun terpaksa mengerahkan ilmunya yang mujijat, yang baru saja dikuasainya, yaitu tenaga Sin-liong-hok-te. Tubuhnya memasang kuda-kuda rendah sekali, hampir menelungkup, lengan kanannya lurus ke depan dengan jari-jari tangan membentuk kepala ular, tubuhnya kaku kejang dan anehnya, lengan kiri yang hanya tinggal lengan bajunya yang kosong itu seolah-olah “hidup”, dapat bergerak-gerak lurus ke belakang dan kopat-kapit seperti ekor naga!

“Pergi!”

Milana membentak dan wanita ini sudah mendorong dengan lengan tangannya. Hawa yang amat dingin menyambar ke arah Topeng Setan. Pukulan yang didasari tenaga Swat-im Sin-kang ini hebat dan dahsyat bukan main. Dengan ilmu ini yang sudah sampai di puncaknya, air pun terkena hawa pukulan ini akan menjadi beku!

Topeng Setan memapaki dengan lengan kanannya dalam tangkisan yang dahsyat pula.

“Desss....!”

Kembali tubuh Milana terlempar ke belakang sedangkan Topeng Setan hanya melangkah mundur dua langkah saja. Dan kembali Gak Bun Beng yang menyambar lengan Milana. Sekali ini Milana tidak banyak membantah ketika Bun Beng yang maju menghadapi Topeng Setan.

Hek-tiauw Lo-mo dan para pembantunya memandang heran dan terkejut, akan tetapi juga girang bahwa “pembantu” mereka itu dapat menolong mereka menghadapi para lawan yang tangguh itu.

Diam-diam Hek-tiauw Lo-mo memberi isyarat kepada sumoinya dan kepada para pembantu dan anak buahnya dan diam-diam mereka itu mundur ke dalam. Mereka hendak mempergunakan kesempatan selagi para musuh sibuk menghadapi Topeng Setan yang hebat itu untuk meloloskan diri karena mereka merasa tidak akan menguntungkan kalau melawan pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Puteri Milana.

Gak Bun Beng memandang tajam dan dengan penuh keheranan. Selama hidupnya yang penuh dengan pengalaman dan pertempuran melawan orang-orang pandai, tokoh-tokoh sesat dari seluruh dunia persilatan belum pernah dia bertemu dengan orang yang menggunakan ilmu pukulan semacam yang diperlihatkan Topeng Setan ini. Penghimpunan sin-kang dengan tubuh merendah hampir menelungkup itu!

Dia sendiri pernah melatih diri di bawah pimpinan Bu-tek Siauw-jin tokoh besar di Pulau Neraka dengan sin-kang mujijat yang dinamakan Tenaga Sakti Inti Bumi, yang juga pengerahan tenaganya dilakukan dengan menelungkup di atas tanah, akan tetapi sungguh berbeda lagi dengan yang diperlihatkan Topeng Setan tadi. Apalagi gerakan ilmu silat yang aneh itu, lengan kanan seperti kepala ular dan lengan buntung diwakili lengan baju seperti ekor naga, sungguh amat mengerikan dan hebat.

Kalau sin-kang Si Topeng Setan mampu menandingi Swat-im-sin-kang, sungguh amat luar biasa. Biarpun dia tahu bahwa Milana belum mencapai kesempurnaan dalam latihan Swat-im Sin-kang, namun tingkat wanita ini amat tinggi dan sukar mencari tandingannya.

“Kau agaknya berkeras hendak membela Hek-tiauw Lo-mo!” kata Gak Bun Beng. “Terpaksa aku pun harus menggunakan kekerasan.”

“Harap.... harap Taihiap mundur saja....” Topeng Setan berkata dengan cemas.

“Aku tidak tahu apa yang memaksamu, akan tetapi jelas engkau membela musuh, maka terpaksa aku akan berusaha menyingkirkanmu!”

Bun Beng kini mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang di tangan kanannya, tenaga ini sudah dia perkuat dengan tenaga sakti Inti Bumi sehingga lengan kanannya itu kelihatan merah membara seperti baja yang terbakar api dan mengeluarkan uap. Hawa di sekitarnya menjadi panas sekali sehingga para pengawal yang sudah tiba di situ, tidak berani mendekat saking panasnya.

Topeng Setan terkejut bukan main, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang benar-benar sakti, akan tetapi karena dia harus melindungi keselamatan Ceng Ceng, dia tidak gentar dan kalau perlu dia akan mempertaruhkan nyawanya.

Gak Bun Beng mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, menggunakan tangan kanan dengan jari terbuka untuk menghantam. Serangkum hawa panas sekali menyambar dan Topeng Setan terpaksa menyambutnya dengan telapak tangan kanannya, seperti tadi tubuhnya mengambil posisi rendah dan lengan baju kirinya tergerak-gerak di belakangnya seperti mengatur keseimbangan.

“Blarrr....!”

Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti di udara ini, terasa oleh semua orang, bahkan beberapa orang pengawal yang sudah menonton dari jarak jauh ada yang terpental. Topeng Setan berseru keras dan pada saat kedua tangan bertemu tadi, kakinya melangkah ke belakang, akan tetapi tiba-tiba “ekor naga” yang berupa lengan baju kirinya itu menyambar, tubuhnya miring.

“Pyarrr....!”

Bun Beng terkejut dan masih sempat menangkis, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan Topeng Setan juga terhuyung ke belakang dengan muka pucat akibat pertemuan tenaga sakti yang pertama tadi.

Topeng Setan memandang dengan mata terbelalak. Dia maklum bahwa dia sudah berhasil menguasai Ilmu Tenaga Sakti Sin-liong-hok-te, biarpun belum sesempurna gurunya, namun ilmu ini hebat sekali dan menurut gurunya, jarang ada orang di dunia yang akan mampu melawannya. Akan tetapi siapa kira, baru saja dia berkesempatan mempergunakan ilmu yang dahsyat ini, dia telah menemui lawan yang begini hebat.

Di lain pihak, Gak Bun Beng juga memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar keras. Baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang hebat, yang dapat mengimbangi kepandaiannya. Seolah-olah dia melihat tokoh-tokoh besar seperti Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua tokoh Pulau Neraka itu, hidup lagi!

Topeng Setan ini merupakan orang yang kepandaiannya sukar ditandingi. Padahal dia sudah menggembleng dirinya dan pukulannya tadi adalah pukulan yang didasari persatuan tenaga Hwi-yang Sin-kang dan Inti Bumi. Kiranya di dunia ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja yang akan mampu menahan pukulannya, di samping tentu saja orang sakti seperti Pendekar Super Sakti, akan tetapi orang bertopeng ini mampu menahan bahkan membalas dan membuat dia terhuyung.

Sejenak keduanya saling pandang dengan mata terbelalak, seperti dua ekor ayam jago yang berlagak sebelum saling gempur, berdiri saling pandang dan saling taksir. Tiba-tiba Bun Beng mengeluarkan suara melengking tinggi dan pendekar sakti ini sudah bergerak menyerang. Topeng Setan yang sudah memasang kuda-kuda Sin-liong-hok-te menyambut dan bertempurlah kedua orang itu.

Karena dia yakin bahwa lawannya ini memang dahsyat sekali dan tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi daripadanya, maka Topeng Setan tidak berani mainkan lain ilmu silat kecuali yang baru saja dikuasainya, yaitu Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat yang sejak dahulu memang sudah dihafalnya benar akan tetapi baru sekarang dia kuasai. Pula, ilmu inilah satu-satunya ilmu silat tinggi yang dikenalnya, yang cocok dimainkan dengan lengan tunggal, sedangkan ilmu silatnya yang lain, dahulu dilatihnya dengan sepasang lengan sehingga tentu sekarang menjadi canggung kalau dia mainkan dengan lengan tunggal.

Sementara itu, menghadapi serangan-serangan yang aneh dari lengan kanan dan “ekor” berupa lengan baju kiri itu, Gak Bun Beng mainkan ilmu silat Kong-jiu-jip-tin (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan) sambil mengerahkan tenaga saktinya berganti-ganti kadang-kadang dengan Hwi-yang Sin-kang, kadang-kadang dengan Swat-im Sin-kang yang amat dingin.

Akhirnya Topeng Setan harus mengakui keunggulan Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Dan diam-diam Bun Beng juga harus mengakui bahwa kalau saja Topeng Setan tidak sedang terluka hebat, dan kalau saja ilmu silat aneh itu sudah dikuasainya benar, sudah terlatih matang dan banyak dipakai menghadapi orang pandai dalam pertempuran, belum tentu dia akan dapat menang dengan mudah!

Kini Topeng Setan terhuyung dan terdesak hebat, agaknya sebentar lagi akan roboh. Topeng Setan merasa heran sekali mengapa Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li tidak membantunya, padahal kedua orang itu memiliki kepandaian hebat pula dan kalau membantunya, belum tentu dia sampai terdesak seperti ini.

Ketika sebuah hantaman yang biarpun sudah ditangkisnya membuat dia terlempar ke belakang, dia menengok dan.... dia tidak melihat mereka. Terkejutlah dia. Celaka, pikirnya, siapa tahu dia ditipu oleh orang Pulau Neraka itu.

“Tahan dulu....!” teriaknya ketika Gak Bun Beng mendesak maju. Napasnya sudah terengah-engah dan keringatnya bercucuran. “Taihiap....! Puteri....! Tolonglah.... harap jangan serbu Hek-tiauw Lo-mo karena.... karena Ceng Ceng mereka jadikan sandera. Mereka akan membunuh Ceng Ceng kalau saya tidak melawan Ji-wi, maka terpaksa saya melawan agar Ceng Ceng dibebaskan....”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan,
“Paman....! Kau sudah mati-matian membelaku....! Aku telah dapat lolos, Paman....!”

Kemudian dia membalik, menghadapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana dengan kedua tangan terkepal.

“Paman Gak Bun Beng dan.... Bibi Puteri Milana! Kalau kalian melanjutkan mendesak dan menyerang Paman Topeng Setan, terpaksa aku akan menantang kalian!”

“Hushhh.... Ceng Ceng, jangan kurang ajar kau terhadap mereka. Gak-taihiap, celaka, kita telah diadu domba dan ditipu oleh Hek-tiauw Lo-mo!” kata Topeng Setan.

Akan tetapi Ceng Ceng yang kegirangan melihat Topeng Setan tidak mati seperti dikhawatirkannya itu, sudah lari dan menubruk, merangkulnya dengan penuh kebanggaan dan kegirangan. Lagi-lagi dalam keadaan seperti itu, Topeng Setan telah memperlihatkan kemuliaan hatinya terhadap dia, telah membelanya mati-matian, bahkan sampai berani melawan Gak Bun Beng yang demikian sakti karena dia ditekan oleh Hek-tiauw Lo-mo yang mengancam hendak membunuhnya kalau Si Buruk Rupa ini tidak melawan Gak Bun Beng.

Dia baru saja tiba dan selagi dia terheran-heran dan kebingungan menyaksikan Topeng Setan bertanding sedemikian hebatnya dengan Gak Bun Beng, dia mendengar ucapan Topeng Setan itu maka dia lalu berteriak dan muncul memperlihatkan diri.

“Syukur engkau telah bebas pula, Paman. Betapa aku amat mengkhawatirkan dirimu, Paman....” katanya.

“Dan kau.... bagaimana kau dapat bebas, Ceng Ceng?”

Topeng Setan bertanya dan mereka lalu bicara dengan asyik, tanpa mempedulikan Milana dan Gak Bun Beng yang sudah menerjang ke dalam. Akan tetapi rumah itu sudah kosong sama sekali dan di belakang mereka berjumpa dengan Suma Kian Bu.

“Eh, kau tadi kemana, Bu-te?”

Tanya Milana terheran-heran. Baru sekarang dia teringat bahwa adiknya ini tidak nampak ketika mereka bertanding melawan Topeng Setan.

“Aku.... aku tadinya menyelinap ke belakang untuk menolong Ceng Ceng, kiranya Ceng Ceng tidak ada dan mereka semua telah melarikan diri,” jawab Suma Kian Bu yang sebenarnya menghindarkan diri dari Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui.

Mereka semua lalu mencari-cari, mengejar ke sana-sini dan mengerahkan belasan orang pengawal, namun hasilnya sia-sia belaka. Hek-tiauw Lo-mo dan kawan-kawannya sudah melarikan diri entah kemana, menggunakan kesempatan selagi Milana dan Gak Bun Beng sibuk bertempur melawan Topeng Setan tadi. Terpaksa mereka kembali ke tempat tadi dan melihat Topeng Setan dan Ceng Ceng masih bercakap-cakap dengan asyik sekali.

“Orang itu hebat, entah siapa dia....” Diam-diam Gak Bun Beng berbisik kepada Milana dan wanita perkasa itu mengangguk menyetujui.

“Tapi dia benar-benar setia, agaknya dia mencinta Ceng Ceng....”

Bisiknya kembali dan biarpun tidak yakin akan hal ini, Gak Bun Beng juga mengangguk. Baginya, tanpa melihat wajah Si Kedok itu, bagaimana dia bisa menduga isi hati orang? Akan tetapi, dalam hal asmara memang wanita lebih halus perasaannya.

Melihat kedatangan mereka, Ceng Ceng lalu bertanya kepada Milana,
“Bibi Puteri Milana, bagaimana dengan Syanti Dewi? Dimana Kakak Syanti?”

Yang menjawabnya adalah Suma Kian Bu,
“Menurut penuturan Perdana Menteri Su, puteri itu kini telah dikawal oleh para utusan Bhutan sendiri kembali ke negaranya....”

“Ah....! Kiranya dia bermain curang....!” Ceng Ceng berseru.

“Siapa?”

“Ang Tek Hoat. Dia menolongku dari tahanan di sini, akan tetapi dia membawaku, dan menukarkan aku dengan Enci Syanti yang tadinya tertawan oleh Tambolon. Untung aku dapat meloloskan diri....”

Dia tidak menceritakan kepada orang lain kecuali kepada Topeng Setan tadi betapa dia secara aneh dan tiba-tiba memiliki tenaga mujijat yang amat dahsyat itu. Selagi mereka bercakap-cakap, datang serombongan pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang! Begitu tiba di situ dan melihat Ceng Ceng, jenderal ini menjadi girang sekali.

“Ceng Ceng.... ahhh, Nona yang baik....! Ternyata benar engkau masih hidup....!”

Dengan suara serak karena terharunya dia menghampiri Ceng Ceng dan memeluknya seperti memeluk anaknya sendiri.

“Banyak yang mengatakan bahwa kau masih hidup, akan tetapi sukar bagiku untuk percaya setelah melihat kau terjerumus ke dalam sumur maut! Aihhh, betapa bahagia rasa hatiku dapat bertemu denganmu!”

Ceng Ceng segera memberi hormat dan hatinya terharu sekali. Jenderal ini merupakan satu di antara orang-orang di dunia ini yang amat baik kepadanya.

“Paman, inilah dia Paman Jenderal Kao Liang yang sering kuceritakan kepadamu, seorang yang amat mulia hatinya!” katanya kepada Topeng Setan memperkenalkan.

Jenderal Kao Liang terkejut sekali melihat orang yang bertopeng seperti setan dan amat buruk, lagi lengannya buntung sebelah itu.

“Siapa.... siapa dia....?”

Gak Bun Beng yang menerangkan,
“Goanswe, dia adalah Topeng Setan yang amat terkenal, yang menjadi pembantu dan pengawal Ceng Ceng, akan tetapi ternyata ilmu kepandaiannya hebat bukan main, saya sendiri sampai kewalahan dibuatnya!”

Dengan singkat pendekar ini menuturkan kepada Jenderal Kao tentang peristiwa tadi. Sang Jenderal mengangguk-angguk, kagum memandang ke arah Topeng Setan yang hanya menunduk.

“Selama orang-orang jahat itu masih berkeliaran, negara tidak akan aman,” katanya. “Setelah kini pemberontakan dapat terbasmi, para kaki tangan pemberontak harus dibersihkan karena jelas bahwa mereka tidak mau insyaf dan melanjutkan kejahatan mereka. Saya akan mengerahkan semua kekuatan untuk membasmi mereka.” Lalu kepada Ceng Ceng dia berkata, “Harap kau suka ikut bersamaku dan singgah di rumahku karena banyak hal yang harus kubicarakan denganmu, anak yang baik.”

Ceng Ceng menoleh kepada Topeng Setan yang masih menunduk saja, hatinya bimbang karena dia tidak mau berpisah lagi dari Topeng Setan, akan tetapi menolak permintaan jenderal yang amat baik hati itu pun dia merasa tidak enak.

Melihat keraguan Ceng Ceng, jenderal yang gagah perkasa dan berwatak jujur itu lalu tertawa dan dengan suara lantang berkata,

“Anak Ceng, biarlah disaksikan oleh para tokoh perkasa disini, bahkan oleh Puteri Milana yang masih terhitung bibi luarmu, aku mengundangmu untuk membicarakan soal perjodohan! Aku ingin sekali mengambil engkau sebagai mantuku, Ceng Ceng!”

Puteri Milana terbelalak, lalu tersenyum dan mengangguk-angguk setuju, sedangkan Gak Bun Beng juga tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa putera sulung jenderal ini, yang tadinya lenyap, kini telah pulang dan telah menjadi seorang pemuda yang amat lihai dan telah membantu pelaksanaan penghancuran para pemberontak. Biarpun dia sendiri tidak mengenal pemuda itu, namun melihat Jenderal Kao, seorang yang dia ketahui betul sifat dan keadaannya, amat baiklah kalau gadis yang gagah ini menjadi mantu jenderal itu.

Akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng berseru keras,
“Eh, Paman....! Paman Topeng Setan, kau tunggu aku....!”

Semua orang menoleh dan melihat bahwa Topeng Setan telah pergi dari situ tanpa pamit lagi. Mendengar teriakan Ceng Ceng, dia hanya menoleh sebentar, lalu melangkah pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata.

“Paman Jenderal Kao, harap suka maafkan saya. Biarlah lain kali saja saya pergi mengunjungi rumah Paman untuk menghaturkan terima kasih. Paman Gak, Bibi Puteri, maafkan saya....!”

Ceng Ceng lalu berlari cepat mengejar Topeng Setan yang sudah agak jauh. Semua orang memandang ketika dara itu berhasil menyusul Topeng Setan dan mereka berdua itu berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap. Sungguh pasangan yang sama sekali tidak patut dan berat sebelah!

Jenderal Kao Liang menggosok-gosok dagunya, mengelus jenggot dengan hati penasaran dan kecewa.

“Sungguh manusia aneh Topeng Setan itu....”

“Akan tetapi kesetiaannya terhadap dara itu tidak perlu diragukan lagi, Kao-goanswe. Karena itu tenangkanlah hatimu, dara itu tidak akan dibiarkan mengalami malapetaka.”

Jenderal Kao Liang dan pasukannya lalu melanjutkan perjalanan untuk mencari dan membasmi kaki tangan bekas pemberontak yang masih berkeliaran, sedangkan Gak Bun Beng dan Puteri Milana melanjutkan perjalanan mereka untuk mengejar rombongan Syanti Dewi untuk melindunginya.

“Bu-te, aku dan Gak-suheng akan mengantarnya sampai ke Bhutan. Kau sebaiknya pulang dulu ke Pulau Es dan ceritakan semua yang telah terjadi kepada Ayah dan Ibu dan katakan bahwa setelah mengantar Syanti Dewi ke Bhutan, kami berdua akan pergi ke Pulau Es menghadap Ayah dan Ibu.”

Kian Bu hanya mengangguk, akan tetapi setelah semua orang pergi, dia tidak menuju ke Pulau Es, sebaliknya dia pun menuju ke barat karena dia ingin mencari kakaknya, Suma Kian Lee yang tidak diketahuinya ke mana perginya itu. Juga dia masih perlu waktu panjang untuk memulihkan perasaannya yang terguncang karena dia malu dan menyesal akan semua perbuatannya bersama dengan Mauw Siauw Mo-li.

Kini baru dia insyaf betapa dia telah terpikat oleh wanita yang hina, seorang datuk kaum sesat yang gila laki-laki. Sungguh dia merasa menyesal sekali kepada dirinya sendiri yang dianggap amat lemah dan mudah jatuh oleh kecantikan wanita.

**** 126 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar