FB

FB


Ads

Selasa, 10 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 124

“Kalian pengecut-pengecut hina-dina, manusia-manusia busuk yang tak tahu malu!” maki-makian itu terdengar dari dalam sebuah kamar tahanan yang amat kuat, berdinding tebal dan berpintu besi. “Kalau kalian berani mengganggu seujung rambut saja dari Ceng Ceng, aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian satu demi satu!”

Yang memaki-maki ini adalah Topeng Setan! Dapat dibayangkan betapa risau hatinya kalau dia mengingat akan nasib Ceng Ceng yang telah terjatuh ke dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kalau saja anak ular naga itu belum diminum darahnya oleh Ceng Ceng, masih ada harapan bagi dara itu untuk lolos dengan selamat.

Akan tetapi, darah anak ular itu telah diminum Ceng Ceng dan dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo manusia iblis itu amat membutuhkan darah itu. Dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan ragu-ragu lagi untuk makan daging dan minum darah Ceng Ceng untuk memperoleh khasiat darah anak ular naga itu. Membayangkan ini, hatinya merasa ngeri dan dia berteriak-teriak dan memaki-maki.

“Hek-tiauw Lo-mo, pencuri busuk, keparat keji dan curang. Hayo kau tandingi aku, satu lawan satu, jangan mengandalkan orang banyak selagi aku terluka dan jangan kau berani mengganggu Ceng Ceng!”

Karena Topeng Setan selalu meronta dan memaki, maka ketika dia roboh tadi, dia lalu dibelenggu di dalam kamar tahanan ini dan keadaannya mengerikan sekali. Pundak kirinya yang buntung itu masih mengeluarkan darah, buktinya bajunya di bagian pundak itu masih basah dan merah. Kedua kakinya dibelenggu, demikian pula tangan kanannya, dengan belenggu baja yang amat kuat dan diikatkan pada tiang-tiang di sudut kamar sehingga tubuhnya tergantung menelungkup, terapung kurang lebih dua kaki dari lantai.

Tentu saja dia berada dalam keadaan tersiksa. Hanya satu hal yang tidak berani dilakukan oleh para anak buah Pulau Neraka atau anak buah Hek-tiauw Lo-mo, yaitu membuka topengnya. Hal ini adalah karena pesan dari Mauw Siauw Mo-li sendiri yang memenuhi permintaan Suma Kian Bu.

Sampai kini, para anak buah itu tidak berani membuka topeng buruk itu, akan tetapi karena Topeng Setan selalu memaki-maki Hek-tiauw Lo-mo, menantang-nantang dan berteriak-teriak sepanjang malam, para anak buah yang terdiri dari orang berwatak keras dan berhati kejam itu menjadi marah dan benci sekali!

Mulailah mereka mencambuki tubuh yang sudah tergantung menelungkup itu. Melihat Topeng Setan tidak mempedulikan siksaan ini, dan tidak menghentikan maki-makiannya seperti yang diperintahkan oleh para penjaga, para anak buah Hek-tiauw Lo-mo menjadi makin marah. Mereka kini tidak hanya mencambuki, juga menyirami dengan air, menggunakan pentungan untuk menggebuki punggung dan pinggulnya sehingga terdengar suara bak-buk-bak-buk di samping meledaknya pecut.

Hebatnya, semua cambukan dan gebukan itu seolah-olah tidak terasa oleh Topeng Setan yang masih menantang-nantang. Karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak berdaya, sedangkan Ceng Ceng terancam bencana hebat, maka Topeng Setan melampiaskan kekhawatiran dan kemarahannya dengan berteriak-teriak dan memaki-maki untuk memancing kemarahan Hek-tiauw Lo-mo dan agar perhatian mereka semua tidak hanya tercurah kepada Ceng Ceng yang tidak diketahuinya bagaimana nasibnya itu. Topeng Setan tidak tahu pula akan apa yang terjadi malam tadi, hanya mendengar teriakan kebakaran.

Kini, setelah malam lewat, sikap para anak buah Hek-tiauw Lo-mo lebih kejam lagi. Muncul di situ Hek-tiauw Lo-mo yang wajahnya muram dan keruh.

“Iblis laknat Hek-tiauw Lo-mo, kalau kau berani, hayo kau lawan aku, laki-laki sama laki-laki, jangan mengganggu wanita! Ataukah kau sudah demikian pengecut tidak berani melawan seorang laki-laki yang sudah cacat dan terluka? Ha-ha-ha, betapa hina engkau!”

Topeng Setan memaki-maki dan meronta-ronta sehingga belenggu-belenggu tangan dan kedua kakinya mengeluarkan bunyi berkerontangan.

“Siksa dia, akan tetapi jangan bunuh dulu! Siksa dia sampai dia minta-minta ampun kepadaku!” bentak Hek-tiauw Lo-mo yang berwajah keruh itu lalu meninggalkan kamar tahanan Topeng Setan.

Dia datang hanya untuk memeriksa apakah Topeng Setan masih berada di situ dan sekali pandang saja tahulah dia bahwa Topeng Setan tidak ada sangkut pautnya dengan terbebasnya Ceng Ceng dan larinya Suma Kian Bu. Akan tetapi dia sudah berpesan kepada semua anak buahnya agar Topeng Setan tidak tahu akan peristiwa lolosnya Ceng Ceng malam tadi.

Mendengar perintah dari kepala mereka, tentu saja para penjaga itu menjadi girang sekali. Mereka memang ingin melampiaskan kemendongkolan dan kemarahan mereka. Seorang diantara mereka yang mempunyai banyak akal mencari cara-cara penyiksaan yang paling sadis, segera mengusulkan untuk mencari batu besar dan menindihkan batu itu di atas punggung Topeng Setan agar orang ini remuk punggungnya kalau tidak cepat-cepat minta ampun.

Semua orang setuju dan enam orang diantara mereka lalu keluar dan menggotong sebongkah batu besar yang beratnya tentu lebih dari tiga ratus kati. Batu besar itu mereka pergunakan untuk menindih punggung Topeng Setan sampai melengkung ke bawah ketika punggungnya ditindih batu seberat itu, akan tetapi dia mengerahkan tenaganya, pinggulnya digerakkan secara tiba-tiba dan batu besar itu terlempar mencelat dari atas punggungnya, hampir menimpa seorang diantara mereka yang cepat meloncat ke samping sehingga hanya sebuah bangku kayu saja yang hancur berkeping-keping tertimpa batu itu.

“Ambil yang lebih berat lagi!” teriak seorang diantara mereka.

Kini enam orang itu menggotong sebongkah batu yang lebih besar. Mereka berenam adalah anggauta-anggauta Pulau Neraka yang lihai dan bertenaga besar dan batu yang mereka gotong itu tentu lebih dari lima ratus kati beratnya. Dengan beramai-ramai mereka kini mengangkat batu besar itu dan menindihkannya ke atas punggung Topeng Setan.

Wajah belasan orang yang sudah biasa dengan segala macam kekejaman itu kelihatan puas ketika melihat betapa perut Topeng Setan hampir menyentuh lantai dan terdengar keluhan dari mulut di balik topeng itu ketika batu besar menghimpitnya dari atas. Tangan yang tinggal sebelah itu menegang tertahan belenggunya, demikian pula kedua kakinya.






Akan tetapi sedikit pun tidak ada kata-kata rintihan atau permintaan ampun dari mulut Topeng Setan. Dia kembali mengerahkan tenaga dari pusarnya. Memang tidak mudah karena selain dia masih menderita karena luka di pundaknya yang buntung, juga dalam keadaan tergantung menelungkup itu, dia harus pula menggunakan tenaganya untuk menahan agar kaki tangannya tidak terluka atau patah tulangnya. Dan dia sudah tergantung seperti itu selama satu malam suntuk!

“Haiiittt!”

Setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil dan ditertawakan oleh para penjaga, tiba-tiba Topeng Setan mengeluarkan seruan ini dan kembali pinggulnya bergerak mengerahkan tenaga dan.... batu sebesar kerbau yang amat berat itu terlempar dari punggungnya.

“Awas.... minggir....!”

Mereka berteriak akan tetapi tetap saja seorang diantara mereka kena tertimpa sehingga terlempar dan terguling-guling dan mengalami luka-luka parah.

Hal ini tentu saja membuat para penjaga itu menjadi makin marah dan penasaran saja. Kalau tidak ada larangan dari kepala mereka, tentu mereka sudah menghujankan senjata untuk membunuh orang yang keras hati dan keras kepala ini. Kembali mereka menghujankan cambuknya dan gebukan sampai tangan mereka sendiri lecet-lecet.

Namun Topeng Setan yang juga mengalami rasa puas sudah dapat membikin marah Hek-tiauw Lo-mo dan kaki tangannya, makin mengejek dan menantang-nantang. Karena dalam keadaan tidak berdaya dan tidak tahu apa yang terjadi dengan Ceng Ceng, maka sedikitnya dia sudah merasa puas dengan dapat membikin hati mereka tidak senang, dan tadi melihat kekeruhan wajah Hek-tiauw Lo-mo, timbul harapan di dalam hatinya.

Kalau wajah Ketua Pulau Neraka itu keruh, berarti telah terjadi hal yang tidak menyenangkan hatinya dan hal ini tentu ada hubungannya dengan Ceng Ceng! Apakah gadis itu dapat menyelamatkan dirinya? Atau setidaknya dapat mengakali Hek-tiauw Lo-mo sehingga untuk sementara dapat terbebas dari ancaman maut? Dan dia melihat adanya Suma Kian Bu di tempat ini.

Akan janggal dan tidak masuk akallah kalau putera Pendekar Super Sakti itu membiarkan saja Ceng Ceng dibunuh! Ah, dia masih dapat mengharapkan pemuda tampan itu! Harapan-harapan ini membuat hatinya menjadi besar dan dia menantang-nantang lebih berani lagi.

“He, Hek-tiauw Lo-mo, jangan lari kau! Hayo kau keroyoklah aku dengan semua anak buahmu! Aku akan mematahkan batang leher kalian satu demi satu!”

Kini para penjaga sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Tidak peduli apakah akibatnya tawanan ini akan mampus, mereka segera mendorong sebongkah batu penggilingan tahu yang besar sekali, batu penggilingan tahu ini beratnya ada seribu kati!

Saking beratnya, mereka tidak mampu menggotongnya dan hanya dapat mendorong batu yang bentuknya bundar itu, kemudian dengan pengerahan tenaga belasan orang, mereka dapat mengangkat gilingan tahu itu dan menindihkannya ke atas panggung Topeng Setan!

Sekali ini Topeng Setan tak mampu berkutik lagi. Kedua kakinya tergantung, demikian tangan kanannya, badannya terayun dan ditindih batu sebesar dan seberat itu. Dia merasa seolah-olah kedua kaki dan sebelah tangannya akan copot pergelangannya. Napasnya sesak dan keringatnya bertetesan satu-satu dan besar-besar. Semua orang bersorak dan tertawa-tawa, ada yang menjambak rambutnya dan berkata,

“Hayo kau gebrakkan lagi pantatmu yang lihai itu agar batu ini terlempar!”

“Lihat, dia sudah empas-empis mau mampus!”

“Hati-hati, kawan, jangan sampai dia benar-benar mampus!”

“Tidak, kalau dia sudah sekarat mau mampus kita gulingkan batu ini dari punggungnya. Paling-paling tulang punggungnya remuk, ha-ha-ha!”

Dapat dibayangkan betapa hebat siksaan ini terasa oleh Topeng Setan. Menahan agar tulang-tulang kaki dan tangannya tidak copot saja sudah amat sukarnya, apalagi melemparkan batu seberat itu dari punggung dengan hanya tenaga gerakan pinggul.

Peluh mengucur keluar dengan derasnya dan dia hampir putus asa. Punggungnya terasa seperti akan patah. Sendi-sendi tulangnya seperti mau copot semua. Terutama sekali sendi pergelangan kedua kaki dan tangan kanannya, tak mungkin dapat bertahan lama.

Akan tetapi, dia tidak boleh putus asa. Dia harus tetap hidup untuk dapat menyelamatkan dan melindungi Ceng Ceng! Otot-otot di tubuhnya mengeras, dia ingin bertahan dengan tenaga dalamnya. Dia harus membuat tubuhnya menegang dengan pengerahan sin-kang, menegang kaku seperti batu. Karena kalau sedikit saja mengendur, tentu tulang kaki, tangan atau punggungnya akan patah. Mengeluh dan minta ampun? Pantangan besar bagi seorang gagah! Lebih baik mati dengan tubuh gepeng dan tulang remuk daripada harus minta ampun!

Dia maklum bahwa nyawanya tergantung kepada selembar rambut. Sedang nyawanya sendiri terancam, mana bisa menolong Ceng Ceng. Kiranya tidak ada orang di dunia ini yang akan mau dan yang dapat menolongnya dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi ada! Yaitu gurunya! Akan tetapi gurunya itu tidak pernah mencampuri urusan dunia!

Dalam keadaan menghadapi maut itu, Topeng Setan teringat akan gurunya, manusia yang memiliki kepandaian tidak lumrah manusia itu. Kalau saja dia sepandai gurunya, dalam keadaan seperti ini pun tentu akan dapat membebaskan diri, akan dengan mudah melemparkan batu seberat ini. Mengapa dia tidak bisa sehebat gurunya? Padahal gurunya itu pun hanya seorang manusia yang buntung sebelah lengannya!

Tiba-tiba Topeng Setan teringat akan sesuatu, teringat akan pesan gurunya dahulu. Pelajaran yang diberikan kepadanya di waktu itu, pesan gurunya di waktu itu, sebelum ini memang tak pernah diperhatikannya.

Akan tetapi setelah sebelah lengannya buntung, setelah dia terhimpit dan terancam maut, tiba-tiba dia teringat akan semua itu. Gurunya pernah berkata kepadanya bahwa kini gurunya menemukan seorang ahli waris yang tepat dan cocok sekali, yaitu dirinya sendiri, sehingga ilmu rahasia perguruan yang dirahasiakan itu tidak akan musnah.

“Ilmu rahasia ini tidak dikenal oleh seluruh tokoh persilatan di dunia, muridku,” demikian kata gurunya. “Akan tetapi kiranya jarang ada ilmu silat dan ilmu menghimpun tenaga sin-kang yang akan mampu menandingi ilmu rahasia kita ini. Ilmu ini telah ribuan tahun terpendam dan baru setelah tiba di tanganku, kupelajari dan kusempurnakan. Bahkan aku belum pernah mempergunakan ilmu ini saking hebatnya, dan karena aku memang tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun. Ilmu ini kunamakan Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Atas Tanah). Engkaulah yang menjadi ahli waris ilmu rahasia ini, muridku.” Setelah berkata demikian, gurunya mengajarkan teori ilmu yang sakti itu.

Dahulu, dia merasa heran dan tidak mengerti, biarpun dia tidak berani membantah gurunya, mengapa gurunya mengajarkan ilmu itu kepadanya. Ilmu Sin-liong-hok-te itu adalah ilmu mujijat yang hanya tepat dipelajari oleh orang yang lengannya buntung sebelah, itupun harus lengan kanan yang masih tinggal, seperti keadaan gurunya yang lengannya hanya sebelah kanan itu.

Akan tetapi gurunya tetap saja mengajarkan kepadanya. Hal ini sekarang membuat dia makin tunduk dan kagum kepada suhunya yang ternyata selain memiliki kesaktian hebat, juga agaknya telah dapat mengetahui bahwa dia akhirnya pun akan menjadi buntung lengan kirinya, seperti gurunya!

Dahulu, biarpun dia sudah hafal akan teorinya, dia mengalami kesukaran hebat ketika melatihnya. Ilmu Sin-liong-hok-te itu, sesuai dengan namanya, harus dilatih dengan tubuh menelungkup di atas tanah, seperti naga mendekam. Dan ketika berlatih, tubuh harus kejang dan kaku dari awal sampai akhirnya. Latihan yang amat hebat, karena membuat tubuh seluruhnya kejang kaku itu bukan dalam waktu pendek, karena latihan itu memakan waktu sampai setengah hari!

Berbahayanya, ketika sedang melatih sin-kang berdasarkan ilmu itu, tubuh sedikit pun tidak boleh mengendur, karena selagi mengerahkan sin-kang seperti yang diajarkan dalam ilmu tadi, sedikit saja tubuh mengendur, orang yang melatihnya akan dapat menjadi lumpuh kaki tangannya untuk selama hidupnya!

Inilah yang amat sukar sehingga sampai dia meninggalkan gurunya, dia belum juga dapat menguasai ilmu itu. Selalu yang menjadi penghalang dahulu adalah adanya lengan kirinya. Gurunya sudah berkali-kali menganjurkan agar dalam latihan ilmu itu, dia “melupakan” lengan kirinya. Akan tetapi mana mungkin? Karena itu dia belum juga berhasil.

Topeng Setan melamun mengenangkan masa lalu itu sambil terus menegangkan tubuhnya untuk menahan gilingan tahu yang amat berat dan menindih tubuhnya itu. Dan pada saat itu dia sadar! Bukankah keadaannya pada saat itu sangat cocok untuk melatih dan menyempurnakan Ilmu Sin-liong-hok-te yang sampai saat ini belum dikuasai itu? Kini tubuhnya juga menelungkup dalam keadaan kaku menegang seluruhnya, biarpun tidak menelungkup di atas lantai.

Yang penting, dia pun dalam keadaan tegang terus tubuhnya, karena kalau tidak, mengendur sedikit saja, tulang punggungnya bisa patah! Bagus sekali, semua persyaratan terpenting dari cara melatih ilmu ini telah terpenuhi. Lengannya tinggal yang kanan saja sehingga lengan kiri yang selalu mengganggu penyaluran tenaga itu tidak ada lagi, dan dia harus menelungkup dengan tubuh kaku menegang terus.

Akan tetapi, tadi para penyiksanya ini selalu mengganti penyiksaannya. Bagaimana kalau sebelum dia dapat menguasai Sin-liong-hok-te lalu mereka menurunkan batu gilingan itu. Bisa celaka dia karena latihannya jadi terganggu dan setengah matang! Jangan-jangan dia bisa menjadi lumpuh kaki tangannya. Terlalu berbahaya untuk menyempurnakan ilmu seperti itu dalam keadaan di tangan musuh seperti ini.

Akan tetapi dia tidak melihat jalan lain dan teringat ini, tanpa disadarinya Topeng Setan mengeluh.

“Ha-ha-ha, mulai terasa sekarang, ya? Hayo kau lekas minta ampun kepada kami, baru kami akan menurunkan batu ini agar kau tidak sampai mampus!” Seorang diantara mereka mengejek.

Bentakan yang disertai lecutan cambuk ke arah mukanya ini mendatangkan akal kepada Topeng Setan.

“Kalian anjing-anjing rendah! Siapa tidak kuat menahan.... uh-uhhh.... batu jahanam ini.... uhhh....” Topeng Setan berpura-pura kepayahan. “Mari kita bertaruh.... bahwa aku akan kuat menahannya sampai sebatang lilin putih bernyala habis.”

“Ha-ha-ha! Sebatang lilin dapat bernyala sampai tiga empat jam. Mana kau akan kuat bertahan?”

Memang inilah yang dikehendaki oleh Topeng Setan. Dia membutuhkan waktu berlatih kurang lebih tiga empat jam!

“Berani atau tidak bertaruh? Kalau aku dapat bertahan sampai lilin itu padam, kalian menurunkan batu ini dan selanjutnya jangan kalian menggangguku, biarkan Hek-tiauw Lo-mo sendiri yang berhadapan dengan aku. Kalau aku tidak kuat bertahan, kalian boleh.... boleh menanggalkan topengku!”

Tentu saja taruhan ini tidak usah dipikir panjang dua kali oleh mereka. Taruhan itu sama sekali tidak merugikan mereka dan memang mereka ingin sekali melihat bagaimana macamnya orang yang mempunyai kekuatan dan daya tahan sedemikian hebatnya. Seorang lalu berlari cepat mencari lilin dan menyalakan lilin itu di situ.

Topeng Setan sudah mulai dengan latihannya, hatinya lapang karena dia yakin bahwa latihannya tidak akan diganggu. Dia berlaku nekat, dan memang tidak ada jalan lain baginya. Dia harus berhasil dengan latihannya, atau jika dia gagal, biarlah dia mati terhimpit batu itu. Peluhnya makin bertetesan dari seluruh tubuhnya. Tubuhnya menjadi keras dan kejang seperti sebatang pohon kering atau lebih lagi, seperti tiang baja.

Dengan menurutkan teori yang sudah dihafalnya tentang latihan Sin-liong-hok-te, dia mulai mengerahkan sin-kang yang berputar di pusarnya, hawa sin-kang ini bergerak perlahan-lahan, mula-mula didorong ke bawah menembus semua jalan darah sampai ke ujung kedua kakinya, terasa sampai ke jari-jari kakinya. Lalu perlahan-lahan naik ke atas, ke dada dan ketika tiba di pundak, tenaga itu bergabung dan tersalur ke samping kanan saja karena lengan kirinya sudah tidak ada. Inilah sukarnya bagi dia ketika dahulu latihan ilmu mujijat ini, ketika kedua lengannya masih utuh.

Ketika lengannya masih lengkap, tenaga atau hawa sin-kang yang merayap ke atas itu selalu sebagian menyeleweng ke lengan kiri, sukar sekali untuk dipusatkan ke lengan kanan. Padahal di dalam ilmu ini, kalau tenaga sakti Sin-liong-hok-te sudah sempurna, inti tenaga sakti ini dipergunakan dalam ilmu silat tangan kosong yang khusus diciptakan untuk seorang berlengan buntung sebelah, dengan tenaga sakti ini sebagai dasar, yaitu Ilmu Silat Tangan Kosong Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Naga Sakti), lengan tunggal ini bergerak sebagai kepala naga, sedangkan kaki bergerak sebagai cakar naga.

Biarpun memakan waktu yang cukup lama, akhirnya hawa sakti itu dapat juga membelok dan berputar pada lengan kanannya. Kini tinggal tingkat terakhir dari latihan itu, tingkat yang paling sukar dan berbahaya, yaitu menyalurkan hawa itu ke dalam kepala! Amat sukar dan berbahaya sekali untuk menembus terbuka jalan darah di ubun-ubun kepala, harus dilakukan dengan amat teliti, hati-hati dan dengan pencurahan seluruh perhatian dan penyerahan lahir batin.

Para penjaga sudah mulai tertawa-tawa karena lilin itu sudah terbakar selama hampir tiga jam, tinggal sedikit lagi dan Topeng Setan sudah kelihatan amat lelah kehabisan tenaga, kehabisan keringat dan napasnya mulai terengah-engah.

Topeng Setan sadar akan hal ini. Hampir dia tidak kuat bertahan lagi, hampir menyerah! Tenaganya telah terkuras habis, berjam-jam terus-menerus mengerahkan tenaga agar tubuhnya meregang dan menegang kaku, sedangkan untuk dapat menerobos jalan darah di ubun-ubun bukanlah hal yang mudah, membutuhkan pengerahan tenaga sin-kang yang terpusat. Mana dia kuat dan mampu? Dia berbeda dengan gurunya, dan dia masih terluka hebat.

“Ha-ha-ha, lilinnya sudah hampir padam dan engkau pun sudah hampir padam!” seorang penjaga mengejeknya.

“Wah-wah, mampus kau sekali ini, Topeng Setan! Apakah lebih baik kau menyerah saja, biar kubuka topengmu dan kami turunkan batu ini?”

“Heh-heh, dia sudah tidak mampu menjawab. Dia sudah sekarat!”

Para penjaga yang wataknya kejam itu memperolok-oloknya dengan bermacam-macam kata-kata mengejek dan semua ini bahkan menimbulkan kembali semangat Topeng Setan yang tadinya sudah hampir tenggelam. Bernyala kembali api perlawanannya yang tadi sudah hampir padam.

Dia menggeleng kepala tanda belum menyerah, kemudian dia mengerahkan seluruh tenaganya. Tidak, dia harus nekat sampai denyut darah terakhir. Dia tidak akan menyerah sampai mati. Dengan otak membayangkan keselamatan Ceng Ceng dia memusatkan tenaga yang menjadi besar kembali terdorong oleh kebulatan tekadnya, berusaha menjebol jalan darah ke ubun-ubun sebagai tingkat terakhir dari latihan dan penguasaan ilmu mujijat Sin-liong-hok-te. Tinggal sedikit lagi. Dia sudah merasa betapa hawa sakti membubung ke atas, kepalanya sudah tergetar dan terasa panas.

Tapi bukan main sukarnya dan kalau pada saat itu para penjaga menurunkan batu, hal ini bahkan akan mencelakakannya. Tenaganya sudah habis! Dia tidak kuat menembus bagian tipis yang sedikit lagi itu. Seolah-olah terasa sudah olehnya tirai tipis yang sudah disentuhnya. Kalau masih ada tenaganya, mendorong sedikit saja tentu sudah akan dapat menerobos tirai itu. Akan tetapi tenaganya sudah habis!

“Wah, dia memang keras kepala! Manusia ini menjemukan sekali!” teriak seorang penjaga.

“Biar kuhajar kepalanya agar merasa dia!” Penjaga lain yang memegang cambuk berteriak.

“Tar-tar-tar....! Plongggg....!”

Jalan darah ke ubun-ubun itu tertembus secara tiba-tiba dan tidak disengaja. Pada saat dia sedang bersitegang untuk menembus tirai tipis yang tinggal sedikit itu, secara tiba-tiba cambuk melecut mengenai ubun-ubunnya dan sentakan kaget ini membantunya sehingga merupakan bantuan yang tak tersangka-sangka pada saat yang kritis itu. Dia berhasil!

Hampir Topeng Setan tidak dapat mempercayai sendiri apa yang dirasakannya pada saat tirai tipis itu tertembus oleh hawa saktinya dan semua jalan darah telah terbuka, seluruh hawa sakti di tubuhnya telah meluncur dengan lancar dan cepatnya. Tubuhnya kini terasa nyaman, kepalanya terasa ringan, otaknya menjadi terang dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mencorong menggiriskan, seperti mata naga sakti, seperti mata suhunya.

Beban berat yang menindih punggungnya tidak terasa lagi olehnya, yang terasa hanyalah hawa penuh yang berputar-putar cepat sekali di seluruh tubuhnya, seolah-olah seekor naga sakti melayang-layang berputaran di angkasa mencari korban.

Para penjaga yang tidak sadar akan perubahan ini masih mengejek, bahkan Si Pemegang Cambuk kini mengayun cambuknya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melecut kepala yang menelungkup itu.

“Tarrr.... brolll....! Aduhhh....!”

Bukan main hebatnya akibat dari lecutan ini, seolah-olah lecutan yang membuka bendungan besar tenaga sakti yang kini datang membanjir dengan hebatnya. Naga sakti yang melayang-layang itu seperti memperoleh mangsa oleh lecutan itu. Tenaga mujijat yang berputaran di tubuh Topeng Setan itu bergerak melawan ketika melecut, dan akibatnya, Si Pemegang Cambuk itu roboh dan mati seketika dengan tubuh membiru karena semua urat-uratnya tergetar pecah-pecah oleh tenaganya sendiri yang membalik dengan kuatnya.

Batu penggilingan tahu yang menindih punggung itu mencelat seperti dilontarkan, menghantam dua orang penjaga yang menjadi remuk badannya dan masih terus menerjang dinding batu sehingga ambrol dan berlubang besar. Belenggu tangan kanan dan kedua kaki yang terbuat dari baja tebal itu patah-patah semua dan jatuh berkerontangan di atas lantai! Kini Topeng Setan berdiri di tengah kamar tahanan itu dan berteriak dengan suara menyeramkan,

“Mana Hek-tiauw Lo-mo? Bebaskan aku!”

Para penjaga lainnya memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, ada yang terkencing ketakutan melihat orang bertopeng yang berdiri tegak dengan mata mencorong seperti itu, ada yang kedua kakinya menggigil dan tidak mampu melangkah selangkah pun untuk mengikuti teman-temannya yang mundur melarikan diri.

“Hek-tiauw Lo-mo manusia iblis! Hayo kau bebaskan Ceng Ceng....!” Kembali Topeng Setan berteriak.

Mendadak terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo dari sebelah kiri, dari dinding yang masih utuh.
“Topeng Setan, aku berada di sini!”

Mendengar suara musuhnya ini, dengan sekali gerakan saja, tubuh Topeng Setan melayang ke arah dinding, tangan kanannya mendorong dinding dan....

“braaakkkk!” dinding itu jebol dengan amat mudahnya!

Begitu dia menerobos dinding ini dan tiba di sebuah ruangan lain, dari kanan kiri menyambar anak-anak panah yang tak mungkin dielakkannya lagi. Topeng Setan terpaksa menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga di seluruh tubuh untuk mengebalkan tubuh.

Hawa mujijat di tubuhnya itu berputar cepat sekali dan betapa girang hati Topeng Setan ketika menyaksikan betapa anak-anak panah itu begitu menyentuh tubuhnya, di bagian manapun, runtuh semua dan patah-patah!

Hek-tiauw Lo-mo, Ji Song kakek gendut pembantunya, dan Mauw Siauw Mo-li sumoinya, memandang dengan mata terbelalak. Ketika anak panah itu habis, yang ternyata dilepas dari alat-alat rahasia, Topeng Setan memandang ke depan dan matanya yang mencorong itu berapi-api ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo.

“Hek-tiauw Lo-mo, kalau kau tidak bebaskan Ceng Ceng, aku akan menghancurkan kepalamu!”

Hek-tiauw Lo-mo mengangkat tangan kanannya ke atas.
“Topeng Setan, jangan bergerak kau! Sekali bergerak, nona itu akan dibunuh oleh pembantu-pembantuku seperti yang sudah kuperintahkan. Aku akan membebaskan gadis itu dan juga engkau asal engkau suka membantuku sekali ini. Kalau engkau menolak, gadis itu akan kusuruh bunuh lebih dulu sebelum kami akan menghadapimu dalam pertempuran mati-matian.”

Topeng Setan memandang tajam. Betapa cerdiknya Ketua Pulau Neraka ini, pikirnya. Kalau iblis tua ini membawa Ceng Ceng pada saat itu, dengan ilmunya yang mujijat telah dikuasainya kini, agaknya dia akan mampu merampas Ceng Ceng dari tangan orang-orang ini. Akan tetapi iblis tua yang cerdik ini menyembunyikan Ceng Ceng, dan orang macam dia ini tentu benar-benar akan membunuh Ceng Ceng kalau dia tidak memenuhi permintaannya.

“Kalau kau menipuku, kemana pun kau pergi akan kukejar sampai dapat, Hek-tiauw Lo-mo.”

“Tidak! Aku bicara sebagai seorang tokoh kang-ouw terhadap seorang tokoh lain, dan namaku akan tercemar selama hidupku kalau aku menipumu. Aku akan membebaskan kalian kalau engkau mau dan berhasil membantuku.”

“Katakan, apa yang harus kulakukan!”

“Kami sedang diserbu musuh-musuh yang lihai, dan kalau engkau bisa mengundurkan musuh-musuh itu, nah, aku Hek-tiauw Lo-mo berjanji akan membebaskan engkau dan gadis itu.”

“Siapakah musuh-musuhmu itu?”

“Mereka adalah serombongan pengawal yang dipimpin oleh Gak Bun Beng, Puteri Milana, dan Suma Kian Bu.”

Terkejut sekali hati Topeng Setan mendengar ini, alisnya berkerut. Bagaimana dia berani melawan? Andaikata dia mampu menghadapi mereka juga, bagaimana dia dapat melawan orang-orang yang dia tahu adalah pahlawan-pahlawan dan pendekar-pendekar besar itu? Akan tetapi, keselamatan Ceng Ceng berada di tangan Hek-tiauw Lo-mo! Topeng Setan menjadi bingung sekali.

Bagaimana Gak Bun Beng, Milana, dan Suma Kian Bu dapat berkumpul dan kini dikatakan oleh Hek-tiauw Lo-mo bahwa mereka memimpin pasukan pengawal menyerbu dusun itu? Untuk mengetahui hal ini, baiknya kita membiarkan dulu Topeng Setan yang sedang kebingungan itu dan mari kita mengikuti pengalaman Gak Bun Beng dan Milana.

**** 124 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar