FB

FB


Ads

Selasa, 10 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 122

Terharu rasa hati Syanti Dewi. Dia sudah tertarik sekali kepada pemuda ini sejak pemuda ini menyelamatkan dirinya dari Pangeran Liong Khi Ong, apalagi setelah mendengar bahwa pemuda inilah yang dahulu menyamar sebagai tukang perahu. Kini lagi-lagi pemuda itu menolongnya dari ancaman mengerikan di tangan Tambolon. Pemuda ini dikabarkan jahat sekali, dikabarkan menjadi kaki tangan pemberontak, akan tetapi baginya, pemuda ini amat baik, amat gagah perkasa dan menimbulkan rasa iba di hatinya.

Ingin dia menceritakan kepada pemuda ini tentang hal ibu pemuda itu yang pernah dijumpainya ketika Ang Siok Bi bertemu dengan Milana, dan ingin dia menceritakan rahasia tentang diri pemuda ini. Akan tetapi dia merasa tidak enak untuk bercerita di depan perdana menteri, juga dia masih sangsi apakah rahasia itu setelah dibukanya tidak akan menghancurkan hati pemuda itu.

Karena ini maka siang tadi dia selalu meragu dan belum menceritakan apa yang diketahuinya tentang pemuda ini kepada Tek Hoat. Dan sekarang telah terlambat. Kalau dia mengajak pemuda itu bicara empat mata, tentu amat tidak baik dan akan menimbulkan prasangka yang bukan-bukan terhadap perdana menteri.

“Terima kasih...., Tek Hoat. Aku akan selalu ingat bahwa sudah dua kali engkau menyelamatkan aku dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut. Terima kasih....”

Wajah Tek Hoat berseri sejenak mendengar ini, kemudian dia memandang dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kemesraan, namun hanya sekejap saja karena dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi cepat sekali dari istana itu. Sekali berkelebat tubuhnya sudah mencelat keluar dan naik ke atas genteng lalu lenyap.

Perdana Menteri Su menghela napas panjang.
“Seorang pemuda yang hebat sekali kepandaiannya....”

Dia lalu mengajak Sang Puteri Syanti Dewi untuk menemui isterinya dan memberinya sebuah kamar untuk mengaso dan memerintahkan sepasukan pengawal untuk menjaga di luar kamar puteri itu dengan ketat. Malam itu juga dia mengabarkan kepada Panglima Jayin yang bermalam di sebuah rumah penginapan di kota raja.

Syanti Dewi tidak dapat tidur di dalam kamarnya. Wajah Ang Tek Hoat selalu terbayang di depan matanya, terutama sekali wajah pemuda itu pada saat terakhir hendak meninggalkannya. Pandang mata itu! Tidak salahkah dia? Benarkah pemuda itu menolongnya dengan pengorbanan dirinya, sampai hampir tewas ketika melawan para pengawal Liong Khi Ong, didasarkan rasa cinta kasih kepadanya? Ah, tidak mungkin.

Tentu karena pemuda itu mulai insyaf akan kesesatannya, setelah dia membantu pemberontak lalu dia insyaf dan bahkan menentang pemberontak, membunuh dalang pemberontak Pangeran Liong Khi Ong! Mengapa dia selalu terkenang kepada pemuda itu? Sedangkan dia sama sekali tidak tersentuh hatinya ketika pemuda seperti Suma Kian Bu menyatakan cinta kasih kepadanya? Dibandingkan dengan Ang Tek Hoat, tentu saja Suma Kian Bu menang jauh! Pemuda itu putera Pendekar Super Sakti, adik kandung Puteri Milana, cucu Kaisar!

Akan tetapi entah bagaimana, dia tidak mempunyai perasaan cinta terhadap pemuda yang amat tampan dan gagah itu, yang dalam pandangannya masih seperti kanak-kanak saja, sungguhpun dia amat suka kepada Suma Kian Bu, rasa suka yang lebih mirip rasa suka seorang kakak kepada adiknya! Rasa sayang persaudaraan.

Dan tentang cinta kasih terhadap seorang pria, agaknya baru satu kali pernah dia alami, yaitu terhadap Gak Bun Beng! Sungguhpun kini dia insyaf bahwa tidak mungkin dia dapat berjodoh dengan pendekar setengah tua yang amat menarik hatinya, mengagumkan hatinya dan yang dianggapnya sebagai sebuah puncak di Pegunungan Himalaya, tenang dan mendalam seperti lautan, dan yang dapat dipercaya seratus prosen itu.

Keinsyafan itu membuat dia mengubur rasa cinta kasih itu karena dia pun maklum bahwa seorang laki-laki sehebat Gak Bun Beng, sekali menjatuhkan cinta kasihnya, yaitu kepada Puteri Milana, selama hidupnya tidak akan dapat mencinta seorang wanita lain, biarpun dia tahu bahwa pendekar besar itu pun amat tertarik kepadanya dan amat mencintanya.






Keinsyafan ini membuat cinta kasihnya terhadap Gak Bun Beng menjadi cinta kasih terhadap seorang paman, ayah atau guru yang amat dihormati dan dijunjung tinggi, dan dia hanya mengharapkan pendekar itu akan dapat berkumpul kembali dengan Puteri Milana karena dia akan ikut merasa gembira jika melihat pria perkasa itu berbahagia hidupnya.

Kini, melihat Tek Hoat yang pendiam dan kadang-kadang pandai bicara, kadang-kadang muram, kadang-kadang gembira, dia melihat pula adanya sifat-sifat yang mendekati sifat-sifat Gak Bun Beng. Pemuda ini menimbulkan kepercayaan besar dalam hatinya, dan pemuda ini pun membayangkan sebagai sebongkah batu karang yang besar dan kokoh kuat, yang akan dapat merupakan seorang pelindung yang boleh diandalkan. Juga seperti Gak Bun Beng, pemuda ini seolah-olah hidup di dalam alam penderitaan, alam kedukaan dan penyesalan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Perdana Menteri Su sudah memanggilnya. Kemudian mengatakan bahwa perdana menteri itu telah melakukan kontak dengan para utusan Bhutan yang dipimpin oleh Panglima Jayin.

“Karena engkau masih merupakan seorang pelarian istana, maka untuk mencegah timbulnya keributan, terutama sekali untuk mencegah terjadinya pencegatan-pencegatan seperti yang terjadi ketika kau dikawal pasukan Jenderal Kao, maka sebaiknya kalau engkau menyamar sebagai seorang wanita biasa, Sang Puteri.”

Demikianlah, tak lama kemudian, dua orang pengawal tua mengantarkan seorang gadis yang cantik sekali akan tetapi berpakaian biasa seperti pakaian semua wanita sederhana, rambutnya juga dikuncir ke belakang dan dia berjalan keluar dari istana perdana menteri melalui pintu belakang.

Panglima Jayin yang menyambutnya di jalan, tidak memberi hormat melainkan memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri gembira hatinya dapat bertemu dengan puteri junjungannya itu. Kemudian dia menggantikan dua orang pengawal itu, mengantarkan Sang Puteri menuju ke sebuah rumah penginapan kecil di mana anak buahnya sudah berkumpul.

Para anak buah panglima pengawal Bhutan ini pun berpakaian seperti orang-orang biasa dan mereka segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Syanti Dewi ketika puteri yang cantik ini dalam pakaian wanita biasa memasuki rumah penginapan itu diantar oleh Panglima Jayin yang kelihatan tinggi tegap dan gagah dalam pakaian penyamarannya seperti orang biasa.

Dengan sehelai surat dari Perdana Menteri Su di dalam sakunya, Panglima Jayin dan rombongannya dapat mengawal Sang Puteri mengendarai sebuah kereta keluar dari kota raja tanpa ada yang berani mengganggu dan mulailah Puteri Syanti Dewi yang kini dikawal oleh para pengawalnya sendiri dari Bhutan itu melakukan perjalanan pulang ke Bhutan.

Tanpa dapat dicegah lagi, teringat betapa dia akan pulang ke Bhutan dan mungkin tidak akan dapat bertemu dengan orang-orang di dunia timur ini kembali, air matanya menetes-netes di sepanjang kedua pipinya.

Dia tidak tahu jelas siapa yang ditangisinya, akan tetapi wajah orang-orang yang selama ini baik sekali kepadanya terbayang semua, terutama sekali wajah Gak Bun Beng, Jenderai Kao Liang, Puteri Milana, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee, dan terutama sekali wajah Ang Tek Hoat.

**** 122 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar