FB

FB


Ads

Rabu, 04 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 120

Dengan hati lega Ceng Ceng dan Topeng Setan tiba di sarang perkumpulan di mana Ceng Ceng menjadi ketuanya itu. Mereka sudah melihat beberapa orang anak buah menyambut kedatangan mereka dengan muka gelisah.

Karena Topeng Setan masih menderita luka parah dan tubuh membutuhkan perawatan baik, maka dia tidak begitu memperhatikan keadaan di situ, dan Ceng Ceng yang merasa lega hatinya bahwa akhirnya mereka tiba di tempat persembuyian ini, segera bersama Topeng Setan memasuki rumah besar yang selama dia berada di situ menjadi tempat tinggalnya.

Heran juga dia melihat rumah itu demikian sunyi, padahal hari sudah agak siang. Tidak nampak ada pelayan dan penjaga menyambutnya. Mereka terus saja memasuki ruangan dalam dan tiba-tiba keduanya tertegun ketika melihat munculnya belasan orang yang warna mukanya aneh-aneh, mengurung ruangan itu sehingga mereka berdua terkurung di tengah-tengah oleh orang-orang yang bersenjata itu! Kaget sekali hati Ceng Ceng karena dia mengenal orang-orang ini sebagai anak buah Hek-tiauw Lo-mo, yaitu orang-orang Pulau Neraka yang memiliki kepandaian tinggi.

Topeng Setan juga terkejut sekali dan tiba-tiba muncullah dari balik pintu dalam dua orang yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka berada di tempat itu. Mereka adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui!

Melihat wanita yang bersama dengan Kian Bu di Telaga Sungari dan yang telah memperebutkan ular naga dengan dia, Ceng Ceng menjadi marah, memandang dengan mata terbelalak dan dia menudingkan telunjuknya sambil membentak,

“Kalian iblis laki perempuan berada di sini mau apa?”

“Ha-ha-ha-ha, selamat bertemu, Nona Ceng! Selamat datang di tempat perkumpulan kami.”

“Apa maksudmu, Hek-tiauw Lo-mo?” Ceng Ceng membentak. “Aku adalah Bengcu di tempat ini!”

Ceng Ceng memberi isyarat dengan tepuk tangannya untuk memanggil anak buahnya, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani muncul.

“Ha-ha-ha-ha! Tempat ini telah menjadi tempatku, Nona yang baik. Akan tetapi mengingat persahabatan antara kita, aku mau mengembalikannya kepadamu dan mengampunimu kalau engkau suka menyerahkan anak ular naga itu kepadaku.”

“Jangan mimpi! Mustika itu telah berada di dalam perutku....”

“Tidak.... tidak...., kami tidak berhasil mendapatkan anak naga itu....”

Topeng Setan cepat berseru dengan wajah membayangkan kekhawatiran, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tertawa lagi.

“Kau hendak membohongiku? Ha-ha, kulihat cahaya racun sudah lenyap dari wajahnya, hal ini berarti darahnya sudah bersih. Akan tetapi.... darah dan dagingnya masih sepenuhnya mengandung khasiat mustika itu sebelum lewat empat puluh hari, dan kau datang menyerahkan diri padaku, ha-ha-ha....!”

“Hek-tiauw Lo-mo, kau tidak bisa berbuat sekeji itu!” Tiba-tiba Topeng Setan membentak marah dan tangan kanannya dikepal keras-keras. “Engkau tidak boleh mengganggu dia!”

“Ha-ha-ha, siapa yang tidak memperbolehkan? Engkau dengan lenganmu yang sudah buntung sebelah? Ha-ha-ha! Mari, Nona manis, kau ikutlah dengan aku, ha-ha!”

Hek-tiauw Lo-mo yang kegirangan melihat munculnya orang yang ditunggu-tunggu itu menggapai kepada Ceng Ceng.

Nona ini tenang-tenang saja dan dia masih belum mengenal bahaya. Dengan sabar dia berkata,
“Hek-tiauw Lo-mo, apakah kau benar-benar tidak mempunyai perikemanusiaan lagi? Puterimu demikian cantik dan berbudi, akan tetapi apakah engkau begitu kejam untuk mengganggu kami? Kau lihat, dia terluka parah dan perlu beristirahat, perlu dirawat luka-lukanya. Dan percuma saja engkau mengganggu kami karena anak ular itu sudah kuhabiskan semua. Biar engkau akan membunuh aku pun engkau tidak akan bisa mendapatkan anak ular naga itu.”

“Aihh, Ceng Ceng.... kau.... kau tidak tahu....” Topeng Setan mengeluh. “Dia memang bukan manusia, dia lebih jahat daripada iblis, lebih keji daripada seekor binatang yang paling buas. Dia menghendaki daging dan darahmu....”

Wajah Ceng Ceng menjadi pucat sekali dan sambil berteriak marah dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dengan amat mudahnya Ketua Pulau Neraka itu mengelak dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa betapa punggungnya sakit sekali dan dia roboh pingsan. Ternyata bahwa ketika dia menyerang Hek-tiauw Lo-mo yang tentu saja menganggap ringan ilmu silatnya, dari belakang Hong Kui telah menotoknya.

“Kalian tidak boleh mengganggunya!”

Topeng Setan membentak dan tubuhnya mencelat ke depan dengan kecepatan kilat dan tangannya yang tinggal sebelah itu berkelebat. Bukan main cepatnya gerakan tangannya dan tenaga yang terkandung di dalam tangan ini juga amat besar, mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Hong Kui terkejut dan membalik sambil menangkis.

“Bresss....!”

Tubuh wanita cantik ini terlempar ke belakang menabrak tembok dan kalau saja dia tidak memiliki kepandaian tinggi, tentu tulang-tulangnya akan remuk. Akan tetapi dia sudah mengerahkan sin-kangnya dan ketika tubuhnya menabrak dinding, dia sudah membulatkan tubuh dan menggelinding di atas lantai. Wanita ini selamat, akan tetapi dia kaget dan marah bukan main, mukanya merah, matanya melotot dan jantungnya masih berdebar tegang karena hampir saja dia celaka dalam sekali gebrakan saja!

Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah menerjang maju, mengerahkan tenaganya dan menggunakan Ilmu Pukulan Hek-coa-tok-ciang yang ampuh. Pada saat itu, Topeng Setan baru saja menderita kehilangan lengan kiri. Ketika hal itu terjadi, dia sedang bergulat dengan maut dalam air, maka dia telah kehilangan banyak darah dan tubuhnya masih lemah. Apalagi karena baru saja kehilangan lengan kiri, gerakannya menjadi kaku dan canggung.






Oleh karena itu, biarpun dia masih mampu menangkis beberapa pukulan Hek-tiauw Lo-mo dan mengelak cepat ketika Mauw Siauw Mo-li juga menerjangnya dengan penuh kemarahan, akan tetapi karena sebagian perhatiannya juga tercurah kepada Ceng Ceng dengan penuh kegelisahan melihat dara ini rebah terlentang dalam keadaan pingsan, maka lewat belasan jurus saja dia sudah roboh oleh hantaman tangan kanan Hek-tiauw Lo-mo yang mengenai punggungnya. Sekali dia roboh terhuyung, Mauw Siauw Mo-li juga menotok pundak kanannya. Seketika Topeng Setan merasa betapa lengan kanannya setengah lumpuh dan dia roboh terguling.

“Ceng Ceng....!”

Biarpun dia sudah roboh, Topeng Setan berusaha untuk bangkit sambil memandang ke arah Ceng Ceng dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum manusia macam apa adanya Hek-tiauw Lo-mo dan membayangkan betapa dara itu akan diganyang dagingnya dan diminum darahnya oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sangat menginginkan khasiat dari anak ular naga, dia merasa ngeri dan khawatir sekali.

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang merasa marah bukan main karena tadi dibuat terlempar menubruk tembok oleh Topeng Setan, menghampiri orang aneh itu. Dia memang sudah merasa amat kagum dan heran ketika menyaksikan sepak terjang Topeng Setan ketika terjadi perebutan anak ular naga, kagum betapa laki-laki ini dalam keadaan terluka hebat, buntung lengan kirinya, masih mampu merampas anak ular naga itu, bahkan mampu membawa Ceng Ceng lari sehingga tidak dapat ditangkap oleh sekian banyaknya orang lihai di Telaga Sungari. Kini, dia merasakan sendiri keampuhan tangan yang tinggal sebelah itu, maka timbul keinginannya untuk melihat bagaimana macam orangnya yang bersembunyi di balik kedok buruk itu.

“Suheng jangan bunuh dia dulu. Aku ingin melihat wajahnya!” Dia berteriak ketika melihat Hek-tiauw Lo-mo hendak turun tangan membunuh Topeng Setan.

“Hemm, sesukamu. Aku pun ingin melihat siapa dia!”

Hek-tiauw Lo-mo berkata sambil terkekeh girang karena dia telah berhasil menangkap Ceng Ceng dan merobohkan Topeng Setan yang amat lihai itu.

Lauw Hong Kui membungkuk, tangan kanannya meraih ke arah wajah Topeng Setan yang sama sekali tidak berdaya lagi itu, jari-jari tangan yang panjang dan halus itu sudah menyentuh topeng.

“Tahan....! Enci Hong Kui, jangan kau buka topeng itu....!”

Tiba-tiba Kian Bu yang baru muncul keluar berseru keras mencegah perbuatan Hong Kui itu. Mendengar suara Kian Bu, Hong Kui terkejut karena kekasihnya itu nada suaranya bersungguh-sungguh seperti orang marah. Tentu saja dia tidak ingin membuat kekasihnya marah kepadanya. Kalau hanya karena muka Topeng Setan dia harus menghadapi kemarahan kekasihnya yang mungkin akan mogok melayani nafsunya, dia akan rugi sekali!

Kian Bu terkejut bukan main ketika melihat Ceng Ceng menggeletak di atas lantai. Kalau saja dia tidak terlambat muncul, tentu dia akan mencegah Ketua Pulau Neraka dan sumoinya itu menyerang Ceng Ceng dan pembantunya yang setia itu. Kini dengan langkah lebar dia menghampiri, alisnya berkerut dan dia menghadapi Hek-tiauw Lo-mo sambil berkata,

“Lo-mo, aku melarang engkau mengganggu mereka! Ketahuilah, nona ini adalah keponakanku sendiri, dan Topeng Setan adalah pembantunya yang setia. Mereka berdua telah membuat jasa besar dalam membantu pemerintah. Aku terpaksa akan menentangmu kalau engkau mengganggu mereka. Enci Hong Kui, jangan engkau ikut-ikut suhengmu!”

“Ha-ha-ha, Sumoi, matamu buta! Engkau memilih kekasih yang menentang kita. Orang muda, engkau sombong sekali. Kau kira mudah saja menentang Hek-tiauw Lo-mo?”

Kakek itu sudah mengepal kedua tangannya dan terdengar suara berkerotokan. Ini merupakan tanda bahwa dia sudah marah sekali dan ingin menurunkan tangan maut kepada Kian Bu. Sebaliknya, pemuda dari Pulau Es itu pun memandang tajam, berdiri tegak dan siap untuk melakukan perlawanan terhadap musuh yang dia tahu amat lihai itu.

“Tahan....! Jangan berkelahi....!” Mauw Siauw Mo-li berseru dan meloncat di tengah-tengah melerai mereka. “Suheng! Kian Bu! Jangan kalian berkelahi sendiri. Segala urusan dapat dirundingkan baik-baik, mengapa harus menggunakan kekerasan saling merusak? Kalian berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, kalau sudah saling gempur tentu ada seorang di antara kalian yang celaka.”

Hek-tiauw Lo-mo bukan seorang bodoh. Ucapan sumoinya ini menyadarkannya bahwa memang amat merugikan kalau dia bermusuhan dengan kekasih sumoinya ini. Dia tahu betapa lihainya putera Majikan Pulau Es ini dan dalam keadaan seperti sekarang ini, sebaiknya kalau dia tidak bermusuhan dengan pemuda yang telah dapat ditarik oleh sumoinya itu. Dan tentang Ceng Ceng yang telah ditawannya, juga Topeng Setan, dapat saja dia kuasai dengan jalan halus.

“Ha-ha-ha, ucapan sumoi memang tepat juga. Orang muda, engkau mencinta dia, dan aku adalah suhengnya, sungguh tidak enak kalau antara kita bentrok sendiri. Aku akan menjadi malu hati terhadap sumoiku yang tinggal seorang ini!”

Kian Bu menahan senyum dan melirik ke arah Ceng Ceng yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan dan Topeng Setan yang juga rebah tak berdaya karena tertotok.

“Lo-mo, aku pun tidak hendak memusuhimu, akan tetapi kalau kau mengganggu mereka, terpaksa aku harus turun tangan.”

Hek-tiauw Lo-mo menarik napas panjang.
“Aih, kau tentu mengerti betapa aku amat membutuhkan khasiat naga itu untuk menyempurnakan ilmuku yang masih setengah matang kulatih. Dan aku harus merampas kembali kitabku dari tangan Topeng Setan ini. Akan tetapi biarlah hal itu kita lakukan dengan halus dan membujuknya untuk mengembalikan kitab. Adapun tentang nona ini dengan khasiat anak naga, biar sementara waktu kita tidak usah bicarakan dulu. Akan tetapi aku pun tidak akan membebaskan mereka sebelum kitab itu dikembalikan kepadaku. Sumoi, kau yang bertanggung jawab kalau sampai nona ini melarikan diri. Nah, kau boleh membawa dia ke kamar dan menjaganya. Topeng Setan akan kumasukkan tahanan dan dijaga keras.”

Tanpa menanti jawaban, Hek-tiauw Lo-mo menyambar tubuh Topeng Setan dan membawanya ke dalam tahanan di mana dia memerintahkan anak buah Pulau Neraka untuk menjaganya. Lengan yang tinggal sebelah itu dipasangi belenggu baja yang arnat kuat, demikian pula kedua pergelangan kakinya. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar, Hek-tiauw Lo-mo yang sudah berjanji itu tidak memperbolehkan anak buahnya membuka topeng buruk itu.

Sementara itu, Lauw Hong Kui membujuk kekasihnya untuk bersabar dan dia memondong tubuh Ceng Ceng yang masih pingsan ke dalam sebuah kamar dan menjaganya. Dapat dibayangkan betapa bingung rasa hati Kian Bu. Dia ingin sekali menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan, akan tetapi dia maklum bahwa dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, dia tidak mungkin seorang diri saja membebaskan mereka karena dia harus menghadapi Hek-tiauw Lo-mo yang lihai dan banyak anak buahnya.

Selain itu, juga dia merasa sungkan untuk bermusuhan dengan kekasihnya yang dia tahu terpaksa tentu akan berpihak kepada suhengnya. Maka dia mengandalkan cinta kasih wanita itu kepadanya untuk dapat membujuk agar Hek-tiauw Lo-mo tidak mengganggu kedua orang tawanan itu sebelum dia mampu menyelamatkan mereka.

Suma Kian Bu termenung di dalam kamarnya. Hatinya gelisah sekali dan pikirannya ruwet. Batinnya sadar bahwa dia telah tersesat, telah menuruti nafsu berahi dan membiarkan dirinya tenggelam ke dalam kenikmatan duniawi yang sebetulnya mengandung racun-racun berbahaya.

Akan tetapi, setiap kali dia membayangkan kesenangan dan kenikmatan yang dialaminya bersama Hong Kui, dia menjadi lumpuh dan tidak mampu meninggalkan wanita itu. Dia merasakan dirinya seperti seekor semut yang terjatuh ke dalam secawan madu. Manisnya madu itu memabokkan, akan tetapi telah menggulung dan membuat dia melekat tak mampu melepaskan diri, bergulung dalam kemanisan dan kenikmatan biarpun dia maklum bahwa keselamatannya terancam. Hendak melepaskan diri, sayang akan kenikmatannya, hendak melanjutkan menikmati kesenangan, sadar bahwa dia tersesat!

Tiba-tiba dia mendengar suara sesuatu di jendela kamarnya. Daun jendela itu diketuk orang dari luar! Dia terheran-heran mengapa dia tidak dapat mendengar ada orang mendekati jendelanya dan tahu-tahu jendela itu diketuk dari luar! Dengan sikap waspada dan siap-siap Kian Bu mendekati jendelanya dan membuka palangnya lalu mendorong jendela terbuka. Betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat seorang pemuda sudah berdiri di luar jendela dan pemuda itu tentu saja dikenalnya baik karena dia bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

Dengan pandang mata tajam penuh selidik Tek Hoat memberi tanda dengan telunjuk di depan bibir agar Kian Bu tidak membuat gaduh, kemudian dengan gerakan ringan sekali dia meloncat memasuki kamar Kian Bu. Wajah pemuda ini masih pucat, agaknya luka-luka yang dideritanya ketika dia dikeroyok oleh Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo yang berhasil dia robohkan dan tewaskan itu masih belum memulihkan semua kesehatan tubuhnya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang terluka hebat sekali telah diangkut ke kota raja oleh Puteri Milana dan di sana mengalami perawatan dan pengobatan. Akan tetapi, ketika Tek Hoat mendengar bahwa musuh besarnya, Gak Bun Beng, masih hidup, semangatnya timbul dan biarpun kesehatannya masih belum pulih, badannya masih lemah, dia nekat meninggalkan istana Puteri Milana untuk pergi mencari musuh besarnya itu.

Juga dia pergi dengan jantung seperti ditusuk rasanya karena dia melihat bahwa Syanti Dewi, Puteri Bhutan yang telah merampas hatinya dan telah membuat dia tergila-gila itu, ternyata mencinta Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti. Dia maklum bahwa dirinya memang tidak berharga sama sekali bagi puteri itu dan dia sudah merasa berbahagia bahwa dia telah berhasil menyelamatkan puteri yang dicintanya dengan diam-diam itu dari bahaya.

Karena kesehatannya belum pulih, Tek Hoat tidak pergi jauh meninggalkan kota raja dan kemudian dia teringat akan dusun Nam-lim di mana dia membantu Ceng Ceng yang menjadi bengcu kaum sesat di sana. Mengingat bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan meninggalkan tempat itu, Tek Hoat lalu pergi ke sana dengan niat untuk mencari saputangannya yang membuat dia teringat akan sumpahnya kepada Ceng Ceng, dan juga untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya.

Akan tetapi, ketika pagi hari itu dia tiba di sebuah hutan tidak jauh dari Nam-lim, dia mendengar jerit seorang wanita. Biarpun dia merasa enggan untuk mencampuri urusan orang lain, apalagi karena tubuhnya masih lemah, namun bangkit juga rasa penasaran di dalam hatinya dan dia cepat mengejar ke arah datangnya suara itu. Jerit tertahan yang hanya satu kali seperti jerit wanita yang mengalami kekagetan.

Dengan bersembunyi di balik sebatang pohon besar, Tek Hoat memandang ke depan kuil rusak di mana terdapat belasan orang yang dikenalnya sebagai raja liar Tambolon dan dua orang pengawalnya yang terkenal itu bersama anak buahnya. Dan hampir Tek Hoat mengeluarkan teriakan kaget dan marah ketika dia melihat seorang dara berdiri di tengah-tengah pengurungan mereka, dan dara yang matanya terbelalak lebar dan mukanya pucat karena kaget itu bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi!

Tek Hoat menggosok-gosok kedua matanya. Tak salah lagi. Puteri itu adalah Puteri Bhutan yang selama ini tak pernah dilupakannya sedetikpun juga! Akan tetapi bagaimana puteri ini bisa berada di dalam hutan, seorang diri di depan kuil tua dan kini dikurung oleh Tambolon dan orang-orangnya?

Seperti kita ketahui, Puteri Bhutan ini berada di depan kuil tua seorang diri setelah dia ditinggalkan See-thian Hoat-su yang mengajak pergi isterinya, Durganini dan muridnya, Teng Siang In di tempat itu, tiba-tiba datang Tambolon dan anak buahnya sehingga Syanti Dewi terkejut sekali dan mengeluarkan suara menjerit tadi yang terdengar oleh Tek Hoat.

Setelah dia merasa yakin bahwa dara itu adalah Puteri Syanti Dewi, Tek Hoat merasa ada hawa panas naik dari pusarnya terus sampai membuat mukanya menjadi panas dan merah. Ada orang-orang berani mengganggu Syanti Dewi di depan hidungnya! Sekali meloncat, tubuhnya melayang dan tahu-tahu dia telah tiba di depan pengurungan itu, di dekat Syanti Dewi yang menjadi girang sekali melihat pemuda ini.

“Tek Hoat....!”

Dalam girangnya melihat betapa dalam keadaan terancam bahaya mengerikan itu tiba-tiba muncul pemuda yang pernah menolongnya dan yang tentu sekarang datang hendak menolongnya pula, Syanti Dewi segera menyambar lengan Tek Hoat.

Merasa betapa lengannya disentuh oleh tangan dara itu, jantung Tek Hoat berdebar keras akan tetapi dengan halus dia melepaskan pegangan gadis itu sambil berbisik halus,

“Harap paduka mundur dan berlindung di belakang saya....”

Syanti Dewi menggigit bibirnya mendengar betapa pemuda itu menyebut paduka dan bersikap amat menghormatinya. Dia tidak berkata apa-apa lagi dan mundur di belakang pemuda itu, hatinya diliputi penuh kekhawatiran karena melihat sikap Tambolon dan anak buahnya yang mengancam.

Memang Tambolon marah sekali ketika dia melihat munculnya Tek Hoat yang seperti setan tiba-tiba saja muncul di situ.

“Ahh, bukankah engkau pemuda tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong?” bentaknya.

“Tidak perlu menggali urusan lama, yang penting adalah sekarang ini, Tambolon. Aku melarang engkau mengganggu puteri ini!” Tek Hoat berkata dengan suara nyaring dan yang nadanya penuh tantangan.

“Pemuda sombong!”

Tiba-tiba Yu Ci Pok, Si Siucai Maut itu membentak dan sudah menerjang ke depan dengan totokan jari-jari tangannya yang dilakukan secara beruntun ke arah tujuh jalan darah terpenting di tubuh bagian depan dari Tek Hoat.

“Plak-plak-plak.... desss....!”

Tubuh Siucai itu terlempar ke belakang bahkan sampai terbanting sehingga pinggulnya menimpa tanah dan debu mengebul dari tempat yang tertimpa pantatnya.

Melihat betapa kawannya begitu mudah dirobohkan, Liauw Kui Si Petani Maut menjadi marah. Dia berseru keras dan pikulannya sudah menyambar-nyambar. Melihat serangan maut ini, Tek Hoat cepat mengelak dengan lincahnya dan balas menendang dari kiri yang juga dapat dielakkan oleh Si Petani Maut.

Adapun Yu Ci Pok yang mukanya menjadi merah sekali karena terbanting tadi, kini juga sudah meloncat bangun, mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu sepasang poan-koan-pit dan bersama dengan Lauw Kui dia menyerang Tek Hoat Kalang kabut.

“Hemm...., kalian hendak bertempur? Boleh, lihat pedang!”

Tiba-tiba kelihatan sinar pedang bergulung-gulung mengerikan sekali. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) yang amat ampuh, sebatang pedang yang dahulu menjadi milik iblis dari Pulau Neraka Cui-beng Koai-ong!

Terdengar suara nyaring berkali-kali dan dua orang pembantu Tambolon itu melompat ke belakang dengan muka pucat karena senjata pikulan dan dua batang poan-koan-pit itu telah patah-patah terbabat sinar pedang Cui-beng-kiam.

“Simpan pedangmu atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!” Tiba-tiba Tambolon berkata tenang.

Tek Hoat terkejut, cepat dia memutar tubuhnya dan matanya terbelalak memandang Syanti Dewi yang sudah dipegang kedua lengannya ke belakang oleh Tambolon dan raja liar ini menempelkan pedangnya di leher Puteri Bhutan itu. Melihat ini lemaslah seluruh tubuh Tek Hoat.

Tambolon memang seorang yang amat cerdik sekali. Dia telah melihat betapa lihainya pemuda ini ketika Tek Hoat dengan mudah membuat dua orang pengawalnya itu tidak berdaya hanya dalam waktu singkat saja. Dia tahu bahwa kalau dia sendiri maju dibantu dua orang pengawalnya dan para anak buahnya, belum tentu dia tidak akan dapat mengalahkan Tek Hoat, akan tetapi sebelum dia dapat merobohkan pemuda perkasa ini tentu pihaknya lebih dulu mengalami pukulan hebat, mungkin banyak pembantunya yang akan tewas. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, apalagi dia memang mengharapkan bantuan pemuda ini. Maka dia telah mengambil cara yang dianggapnya paling mudah dan paling aman, yaitu mengancam Syanti Dewi.

Muka Tek Hoat menjadi merah saking marahnya menyaksikan cara ini.
“Tambolon, engkau sungguh manusia pengecut! Bebaskan Sang Puteri dan mari kita bertanding secara jantan!”

Tambolon tersenyum mengejek.
“Di antara kita tidak ada permusuhan, perlu apa saling hantam? Pula, aku ingin bicara denganmu, kau simpan pedangmu itu!”

“Jangan mengira aku akan dapat kau gertak, hayo bebaskan atau aku akan mengamuk dan membunuh kalian semua!”

“Ha-ha-ha, apakah kau kira aku anak kecil, Ang Tek Hoat? Bergeraklah dan pedangku akan memenggal leher yang halus ini!”

Tambolon mengancam dan pedangnya yang menempel di kulit leher putih halus itu amat mengerikan. Memang Tambolon bukan melakukan perbuatan ini karena takut, melainkan dengan perhitungan yang sudah masak. Dia telah mendengar betapa pemuda ini, demi untuk menyelamatkan Syanti Dewi, telah berkhianat, membalik dan membunuh Pangeran Liong Khi Ong, Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Hal ini membuat dia merasa yakin bahwa penodongannya terhadap Syanti Dewi sudah pasti akan berhasil baik dan membuat Tek Hoat tidak berani bergerak. Dan memang perhitungannya ini tepat sekali. Tek Hoat merasa seolah-olah dibelenggu kaki tangannya dan dia lalu menyimpan pedangnya.

“Tambolon, kalau engkau mengganggu selembar rambutnya saja, aku bersumpah akan menyiksamu dan akhirnya membunuhmu sampai engkau menyesal telah dilahirkan di dunia ini.”

Ucapannya itu lirih akan tetapi mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma. Tambolon sendiri yang mempunyai watak kejam, bergidik mendengar sumpah itu karena dia maklum bahwa orang macam pemuda ini tentu akan memenuhi ancamannya yang hebat itu.

Pemuda seperti ini merupakan seorang musuh yang berbahaya dan mestinya, menurut watak dan kecerdikannya, dia harus membunuh pemuda ini sekarang juga. Akan tetapi dia ingin memanfaatkan pemuda ini lebih dulu, karena dia mendengar pelaporan anak buahnya tadi bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan telah tiba di dusun Nam-lim dan celakanya telah terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo!

“Ang Tek Hoat, aku pun bersumpah tidak akan mengganggu Puteri Bhutan ini, akan tetapi engkau harus membantuku dengan sesuatu. Kalau engkau tidak mau melakukan itu dan gagal, terpaksa aku akan membunuhnya dan kami sanggup menghadapi ancaman kosongmu itu!”

“Tambolon, tak perlu banyak cakap. Katakan apa yang kau kehendaki?”

“Aku ingin agar engkau pergi ke dusun Nam-lim dan menghadapkan Nona Lu Ceng ke sini. Atau pendeknya, aku ingin menukar puteri ini dengan Nona Lu Ceng.”

“Tek Hoat.... jangan kau celakakan Lu Ceng....!” Tiba-tiba Syanti Dewi yang berdiri dengan leher tertempel pedang dan mukanya pucat, berseru. “Biar mati aku tidak akan mencelakakan adikku itu!”

Tek Hoat memandang Tambolon dengan sinar mata penuh selidik.
“Tambolon, mengapa engkau menyuruh aku untuk urusan itu? Engkau dengan begini banyak pembantumu, takut untuk melakukan penangkapan atas diri Nona Lu Ceng maka engkau menyuruh aku?”

“Ha-ha-ha, jangan menduga yang bukan-bukan, orang muda. Engkau adalah seorang di antara pembantu Lu-bengcu, bukan? Engkau lebih mengenal keadaan di sana dan engkau tentu akan lebih mudah untuk membawa dia ke sini. Sudahlah, kau lakukan itu atau terpaksa aku akan membunuh puteri ini.”

“Mengapa engkau menghendaki dia?”

“Karena dia telah berhasil memperoleh anak naga Telaga Sungari.”

Diam-diam Tek Hoat terkejut. Dia pun mendengar tentang anak naga itu akan tetapi dia sendiri tidak mempedulikan binatang yang dianggap keramat dan merupakan obat yang amat luar biasa itu.

“Nona Lu Ceng dan Topeng Setan telah kembali ke Nam-lim dan mereka terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya.”

“Ahhh....?” Tek Hoat terkejut.

“Karena itu, berhati-hatilah dan jangan sampai engkau gagal menyeret Nona Lu ke sini kalau kau ingin melihat puteri ini selamat.”

“Baik, aku akan lakukan itu. Dan sekali lagi ingat, jangan engkau mengganggu selembar rambut pun dari nona ini.” Setelah berkata demikian, Tek Hoat membalikkan tubuhnya pergi dari situ.

“Tek Hoat...., jangan kau penuhi permintaan mereka. Jangan kau ganggu adikku Lu Ceng!” Syanti Dewi masih berseru marah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar