FB

FB


Ads

Rabu, 04 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 118

Hukum karma seperti yang dikenal oleh kita semua adalah lingkaran setan berupa roda-roda sebab akibat yang saling berkaitan dan tiada habisnya karena semua itu digerakkan oleh pikiran manusia yang membentuk nafsu-nafsu sebagai lanjutan dari setiap peristiwa yang terjadi atas diri manusia sendiri. Dari suatu sebab timbullah akibat, dan akibat lain sehingga menjadi lagi si sebab juga si akibat dan sebaliknya.

Sebagai contohnya, terjadi suatu peristiwa di mana kita dirugikan orang lahir maupun batin. Mungkin kejadian ini pun merupakan akibat dari sebab-sebab terdahulu, akan tetapi kita menganggapnya sebagai sebab dan peristiwa itu mendatangkan kemarahan dan dendam sehingga tentu saja menimbulkan akibat yang terjadi dari pihak kita, membalas dendam dan sebagainya sebagai reaksi.

Reaksi dari kita ini terhadap pihak luar yang kita anggap merugikan, kembali dapat menjadi suatu aksi yang memancing reaksi lain dari pihak luar itu sehingga dengan demikian, si reaksi menjadi aksi dan sebaliknya. Dengan adanya kenyataan ini, maka yang membentuk lingkaran setan yang disebut hukum karma sesungguhnya adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri yang selalu siap untuk melakukan reaksi.

Sebaliknya, kalau dengan kesadaran mendalam kita menghadapi peristiwa yang merugikan kita itu sebagai suatu peristiwa yang wajar, sebagai suatu kenyataan yang habis sampai di situ saja, tidaklah timbul dendam, kemarahan, kebencian, harapan atau lain macam perasaan lagi dan patahlah lingkaran setan itu!

Jelas bahwa mengingat-ingat masa lalu, baik itu setahun yang lalu, kemarin atau semenit yang lalu, disambung dengan membayangkan masa depan, baik itu nanti, besok atau kelak, merupakan pembentukan lingkaran setan atau hukum karma tadi. Batin yang bebas dari masa lalu dan masa depan, akan bebas pula dari hukum karma.

Sekali kita membiarkan diri terseret oleh hukum karma, hidup akan terombang-ambing menjadi permainannya, yang sesungguhnya adalah permainan dari nafsu-nafsu keinginan dan hasil pikiran kita sendiri. Setiap peristiwa yang terjadi tidak bersifat senang atau susah, yang terjadi adalah suatu kenyataan sungguhpun kejadian itu sendiri tidak akan terlepas dari keadaan yang dibentuk oleh kita sendiri. Suka atau duka akan terjadinya peristiwa itu terletak dalam penanggapan kita.

Siapa mengejar suka tak dapat tidak pasti berkenalan dengan duka karena suka atau duka hanya permainan dari pikiran sendiri yang menilai, membanding, memilih, membenarkan atau menyalahkan. Kita tidak berani meninggalkan semua ini, karena kita takut untuk menjadi “bukan apa-apa”, dan kita menganggap bahwa melepaskan semua suka duka hidup, berarti kita akan menjadi kosong melompong, tidak berarti apa-apa dan kita menjadi ngeri untuk kehilangan arti kita!

Karena itu, dengan membuta kita melanjutkan semua ini, melanjutkan kehidupan seperti yang sudah-sudah, sungguhpun setiap hari kita ditimpa kesengsaraan dan menjadi permainan konflik-konflik, dari konflik batin sendiri sampai konflik antar manusia sampai ke perang-perang yang berkobar di seluruh pelosok dunia. Dan dipermainkan oleh konflik dan kesengsaraan ini kita namakan hidup!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Puteri Syanti Dewi yang dilarikan ke luar dari istana oleh Puteri Milana, akhirnya bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan atas usul jenderal yang gagah perkasa dan bijaksana ini, Puteri Syanti Dewi lalu dikawal oleh dua losin pasukan pengawal jenderal itu. Pasukan itu lalu mengawal Syanti Dewi yang menunggang kuda Jenderal Kao di tengah-tengah dan berangkatlah mereka membelokkan perjalanan ke barat untuk memulai perjalanan yang amat jauh itu ke Bhutan.

Kepala atau komandan pasukan ini bernama Can Siok, seorang gagah berusia empat puluh tahun yang telah lama menjadi seorang di antara pengawal kepercayaan Jenderal Kao Liang, memiliki kepandaian tinggi sebagai anak murid Hoa-san-pai dan dia mengantongi surat perintah Jenderal Kao yang akan dapat dipergunakan sebagai “jimat” di dalam perjalanannya menuju ke Bhutan mengantar puteri jelita itu.

Pengawal Can Siok ini maklum betapa berat tugasnya mengantar puteri itu, yang dia tahu diam-diam juga mungkin dianggap buronan oleh Kaisar, dan tentu akan menarik hati orang-orang jahat di tengah perjalanan. Akan tetapi, mengandalkan ketangkasan dua losin tenaga dalam pasukannya dan mengandalkan nama Jenderal Kao Liang yang surat perintahnya dia kantongi, pengawal ini melakukan perjalanan dengan hati tenang sungguhpun dia selalu berhati-hati.

Dua hari kemudian, mereka berhenti di sebuah dusun karena kemalaman. Dusun itu terletak di tepi Sungai Ta-cing yang mengalir di sebelah selatan dan barat kota raja Peking. Setelah melapor kepada kepala dusun setempat, kepala dusun dengan penuh kehormatan lalu memerintahkan penginapan tunggal di dusun itu untuk mengosongkan semua kamar dan memberikannya kepada rombongan ini.

Dusun ini berada di dekat hutan yang menjadi markas para kaum sesat yang dipimpin oleh Ceng Ceng. Ketika rombongan ini tiba di dusun, seorang di antara anggauta Tiat-ciang-pang yang kini telah menggabung menjadi anak buah perkumpulan kaum sesat itu, cepat lari ke markasnya dan memberi laporan bahwa ada sepasukan pengawal lewat dan bermalam di dusun tepi sungai Ta-cing itu, mengantarkan seorang puteri yang menurut kabar angin adalah Puteri Bhutan yang dikabarkan melarikan diri dari istana Kaisar. Kabar seperti itu memang cepat sekali tersiar sehingga tidak mengherankan kalau berita itu telah terdengar di daerah itu.

Kalau saja Ceng Ceng berada di tempat itu, tentu dia akan girang sekali mendengar berita ini. Akan tetapi pada waktu itu, Ceng Ceng belum kembali ke markas ini dan telah terjadi perubahan besar sekali di pusat kaum sesat daerah kota raja ini. Baru beberapa hari yang lalu, markas kaum sesat itu telah diambil-alih dan dikuasai oleh rombongan Pulau Neraka!

Seperti kita ketahui, Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya, orang-orang Pulau Neraka, juga berusaha menangkap anak ular naga di Telaga Sungari dan setelah melihat bahwa mereka gagal, naga yang terluka menyelam kembali ke dalam telaga dan anak ular itu lenyap setelah yang terakhir berada di tangan Ceng Ceng, Hek-tiauw Lo-mo membawa anak buahnya mendarat. Mereka melakukan perjalanan cepat dengan kuda-kuda yang telah tersedia dan mereka langsung menuju ke sarang kaum sesat di selatan kota raja ini karena Hek-tiauw Lo-mo sudah tahu bahwa Ceng Ceng menjadi bengcu di sarang ini.

Karena menduga bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka itu tentu akan bersembunyi di sarang ini, maka dia telah mengejar ke sana, akan tetapi ternyata dia dan rombongannya jauh lebih cepat tiba di tempat itu daripada Ceng Ceng dan Topeng Setan yang melakukan perjalanan lambat berhubung dengan lukanya Topeng Setan.

Setelah tiba di sarang itu, dengan mudah saja Ketua Pulau Neraka ini dapat menguasai para kaum sesat tanpa banyak menimbulkan korban. Kaum sesat di tempat itu sudah terpengaruh dan tunduk begitu mendengar bahwa kakek raksasa mengerikan itu adalah Ketua Pulau Neraka, apalagi menyaksikan kelihaian anak buahnya. Setelah mendengar bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan belum tiba di situ, Hek-tiauw Lo-mo lalu mengatur untuk menyambut kedatangan dua orang itu yang diharapkan masih menyimpan anak ular naga Telaga Sungari.






Akan tetapi, malam hari itu Hek-tiauw Lo-mo mendengar pelaporan bahwa rombongan pengawal sedang mengiringkan Puteri Bhutan bermalam di dalam dusun yang hanya dua puluh li jauhnya dari sarang itu. Mendengar pelaporan ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan cepat dia memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk merampas dan menculik Puteri Bhutan itu.

Dia pernah mendengar bahwa gadis liar Ceng Ceng adalah saudara angkat Puteri Bhutan yang menimbulkan kegemparan itu, maka kini mendengar puteri itu lewat di dekat tempat itu, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik ini untuk menawan Sang Puteri, karena puteri ini dapat dia pergunakan sebagai sandera untuk memaksa Ceng Ceng menyerahkan anak naga kepadanya!

Dan selain anak naga yang amat diinginkannya itu, juga dia harus memaksa Topeng Setan mengembalikan kitab Istana Gurun Pasir. Kitab itu yang kini telah lengkap karena tadinya bagiannya dan bagian yang dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam, baru-baru ini terjatuh ke tangan kakek Lauw Ki Sun, pelayan dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir dan kakek itu setelah terluka parah dilarikan oleh Topeng Setan, maka menurut dugaannya, pasti kitab itu kini berada di tangan Topeng Setan!

Dengan adanya anak naga dan kitab Istana Gurun Pasir itu di tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Hek-tiauw Lo-mo akan berusaha sekuat tenaga dan mau melakukan apapun juga untuk menangkap dan memaksa mereka menyerahkan dua buah benda keramat itu.

Baru saja anak buah Pulau Neraka yang diutus oleh Hek-tiauw Lo-mo berangkat untuk menangkap Puteri Bhutan yang hanya dikawal oleh dua losin perajurit itu, tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kucing. Lirih saja suara ini yang datangnya dari atas genteng dan yang bagi orang lain tentu akan dianggap suara kucing asli, akan tetapi kakek raksasa ini sudah hafal akan suara sumoinya, maka sambil tersenyum lebar dia menggerakkan tangannya seperti orang tidak sabar dan berseru,

“Sudahlah, Sumoi, kalau sudah datang turun saja, kenapa mesti banyak lagak!”

“Suheng....!”

Dari atas genteng melayang sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali dan tahu-tahu di depan kakek raksasa mengerikan itu berdiri Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang cantik jelita dan kedua pipinya kemerahan, wajahnya cemerlang tertimpa sinar lampu yang terang. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah sumoinya itu dengan kagum, akan tetapi tiba-tiba dia meloncat bangun dari kursinya dan memandang wajah sumoinya lebih teliti lagi.

“Eh, engkau sudah sembuh....!”

Lauw Hong Kui mencibirkan bibirnya yang merah basah itu kepada suhengnya, sikapnya manja dan mengejek.

“Suheng, setelah engkau kejam meninggalkan aku terancam bahaya maut dan darahku keracunan, apa kau kira aku tidak mampu mencari obatnya sendiri?”

“Salahmu sendiri!” Hek-tiauw Lo-mo mengomel. “Engkau mencuri ilmu dari kitabku....”

“Huh, kitab itu pun kitab curian,” Lauw Hong Kui mencela.

“Jangan kurang ajar kau! Setelah kau mencuri ilmu dari kitabku sampai darahmu keracunan, apa yang kau harapkan dariku? Hal itu kuanggap sebagai hukuman bagimu, akan tetapi racun itu pun tidak akan membunuhmu, maka aku diam saja.” Hek-tiauw Lo-mo memandang lebih teliti wajah sumoinya yang berseri-seri dan kemerahan, sehat sekali. “Sudahlah, Sumoi, sekarang katakan bagaimana engkau bisa memperoleh obat yang mencuci bersih darahmu?”

Dengan sikap angkuh dan lagak bangga Lauw Hong Kui bertolak pinggang dan berkata,
“Suheng tidak berhasil di Telaga Sungari, bukan? Aku sudah melihat sendiri betapa Suheng gagal, bahkan hampir celaka oleh Nenek Durganini yang seperti iblis itu!”

“Eh, eh.... kau juga berada di sana?”

“Tentu saja! Dan berhasil!”

“Berhasil? Kau mau bilang bahwa anak naga itu....”

Tiba-tiba tangan Hek-tiauw Lo-mo itu menyambar dan sumoinya tidak mampu lagi mengelak karena pergelangan tangannya sudah dipegang oleh kakek raksasa itu. Jari-jari tangan kakek itu lalu menotok sana-sini membuat sumoinya tak dapat bergerak, lalu tangannya meraba-raba dari ubun-ubun kepala sampai punggung dan ulu hati di antara dua tonjolan buah dada wanita itu.

“Hemm, kau sudah sembuh sama sekali akan tetapi kalau kau makan semua anak naga itu tentu hawanya terasa olehku. Kau bohong, kau tidak makan semua anak naga dan entah obat apa yang telah menyembuhkan keracunan darahmu,” kata kakek itu dan dia membebaskan kembali sumoinya.

Setelah dapat bergerak, Mauw Siauw Mo-li memandang suhengnya dan dengan mata berapi dia berkata penuh kemarahan,

“Suheng, kalau lain kali kau memperlakukan aku seperti tadi, aku akan membunuhmu!”

“Heh-heh, kau harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat melakukan itu, anak manis. Sekarang ceritakan saja obat apa yang telah menyembuhkanmu?”

“Apalagi kalau bukan anak naga itu? Akan tetapi kalau aku mendapatkan semua dan telah makan seluruhnya, apa kau kira aku demikian tolol untuk muncul di depanmu? Tentu engkau akan merampas khasiatnya dengan cara makan dagingku dan minum darahku.”

“Ahhhh! Masa aku melakukan hal itu? Engkau adalah sumoiku.”

“Huh, seperti aku tidak mengenalmu saja, Suheng. Akan tetapi karena aku hanya memperoleh ekor anak naga itu dan telah kumakan habis, andaikata engkau makan dagingku dan minum seluruh darahku pun tidak ada manfaatnya bagimu. Suheng, sisa anak naga itu, sebagian besarnya karena aku hanya memperoleh ekor sejengkal, telah dilarikan oleh dara liar bersama Si Topeng Setan yang lihai.”

“Aku tahu.... hemmm....!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan tangan kirinya ke arah genteng.

“Suheng, jangan....!”

Lauw Hong Kui mencegah akan tetapi terlambat, tampak sinar berkelebat dan sebatang golok terbang yang panjangnya hanya satu kaki meluncur ke arah bayangan seorang pemuda yang berdiri di atas genteng. Akan tetapi dengan mudah saja pemuda itu mengulur tangan kiri dan menangkap hui-to (golok terbang) itu pada gagangnya, lalu dia melayang turun dan melemparkan golok kecil itu kembali ke arah Hek-tiauw Lo-mo sambil berkata,

“Lo-mo, beginikah kau menyambut tamu?”

“Hehhh!”

Hek-tiauw Lo-mo mendengus dan tangannya bergerak, jari tangannya menampar hui-to yang menyambar ke arah dadanya.

“Krekkk!”

Hui-to itu patah-patah menjadi tiga potong dan semua potongannya, berikut gagangnya, menancap di atas lantai.

Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu itu. Dia menjadi terkejut.

“Ah, kiranya engkau, keparat!” bentaknya dan dia sudah siap untuk menyerang.

“Suheng, jangan! Dia adalah sahabatku, sahabatku yang sangat baik!” Lauw Hong Kui meloncat di depan suhengnya, menghadang dan melindungi Kian Bu.

“Lo-mo, kalau tidak melihat muka sumoimu dan tidak menerima undangannya, apakah kau kira aku sudi datang mengunjungimu sebagai tamu?” Kian Bu juga berkata dengan nada suara mengejek.

“Sumoi, apa artinya ini? Tahukah kau siapa pemuda ini?”

“Dia adalah Suma Kian Bu yang telah membantuku mencari anak naga.”

“Dia adalah putera dari Majikan Pulau Es, goblok! Dan kau berkawan dengan orang yang menjadi musuhku ini?”

“Kalau dia benar putera Pendekar Super Sakti, aku malah merasa bangga dapat menjadi.... eh, sahabat baik.”

“Minggirlah, aku akan membunuhnya!” Hek-tiauw Lo-mo berseru marah.

“Enak saja engkau bicara, Lo-mo. Dahulu di waktu aku masih kecil pun engkau tidak mampu membunuhku, apalagi sekarang,” jawab Kian Bu, sedikit pun tidak menjadi takut.

“Suheng, harap jangan kau mengumbar keganasanmu di mana-mana tanpa perhitungan!” Lauw Hong Kui mencela suhengnya. “Lupakah Suheng bahwa Suci telah tewas dan hanya tinggal kita dua saudara? Aku akan membantu dia kalau Suheng menyerangnya dan kita akan saling gempur mati-matian. Begitukah yang Suheng kehendaki? Ingat, Suheng melihat sendiri betapa banyak orang-orang berilmu telah bermunculan di Telaga Sungari, bukankah sebaiknya kalau kita bersatu sehingga kedudukan Suheng lebih kuat setelah Suci meninggal dunia?”

Hek-tiauw Lo-mo bukanlah seorang bodoh. Dia meninggalkan Pulau Neraka karena tidak betah tinggal di tempat yang amat berbahaya itu. Sumoinya yang pertama telah tewas dan sumoinya yang masih muda ini juga amat lihai, terutama sekali senjata-senjata rahasianya yang amat berbahaya, maka dapat dijadikan sekutu yang boleh diandalkan, apalagi mengingat betapa akhir-akhir ini, ketika menghadapi orang-orang Lembah Bunga Hitam, sumoinya ini juga langsung turun tangan membantunya. Dia menarik napas panjang dan mengendurkan lagi kedua tangannya.

“Sudahlah, selama dia menjadi sahabatmu, aku tidak akan mengganggunya.” Dan Hek-tiauw Lo-mo dengan wajah bersungut-sungut lalu memasuki kamarnya.

Kian Bu mengerutkan alisnya.
“Enci, aku tidak suka tinggal di tempat suhengmu ini.”

“Eh, Kian Bu, kenapa engkau pun meniru watak Suheng yang pemarah?” Dengan sikap manja Hong Kui menggandeng lengan pemuda itu. “Ingat, kita ke sini untuk menanti munculnya Topeng Setan dan dara liar itu, siapa tahu nasib kita baik dan anak naga itu dapat terjatuh ke tangan kita. Jangan pedulikan dia, anggap saja engkau menjadi tamu di rumahku....”

Dengan bujuk rayu dan kegenitannya, Lauw Kui Hong akhirnya dapat mengajak Kian Bu memasuki sebuah kamar tamu yang lengkap dan mewah. Kian Bu juga tidak membantah lagi, akan tetapi kalau saja Hong Kui tahu apa yang terkandung di dalam hati kekasihnya ini, tentu dia tidak akan segembira itu melayani dan menghibur hati kekasihnya dengan segala kepandaiannya bermain cinta. Dia sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan di dalam hati pemuda kekasihnya itu.

Kian Bu telah menyadari kepalsuan wanita cantik ini dan dia hanya menganggap Hong Kui sebagai seorang wanita yang amat pandai menyenangkan hati dan menghiburnya, seorang wanita yang sengaja merayunya dan sama sekali bukan berdasarkan cinta kasih seperti yang dahulu sering diimpikannya.

Dia tahu bahwa di antara mereka berdua yang ada hanyalah cinta jasmani belaka, dorongan nafsu berahi yang mengasyikkan. Kalau dia mau mengikuti Hong Kui dan tinggal di rumah Hek-tiauw Lo-mo, sesungguhnya hanya karena diam-diam dia mengambil keputusan untuk melindungi Ceng Ceng yang masih terhitung keponakannya sendiri itu.

Ketika dia menyaksikan perebutan anak ular naga antara Ceng Ceng dan Hong Kui, dia sudah menganjurkan kepada kekasihnya itu untuk memberikan saja ular kecil itu kepada Ceng Ceng yang dia tahu amat membutuhkannya. Kemudian melihat ular itu putus dan Hong Kui mendapat bagian sedikit sedangkan selebihnya terampas oleh Ceng Ceng, diam-diam dia merasa girang sekali akan tetapi tentu saja dia tidak menyatakannya di depan kekasihnya.

Kemudian Hong Kui menyatakan ketidak puasan hatinya bahwa dia hanya dapat makan bagian ekor anak naga itu dan wanita ini menyatakan dugaannya bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka parah itu tentu akan kembali ke sarang kaum sesat di selatan kota raja dimana gadis itu menjadi ketuanya.

Mendengar bahwa Hong Kui hendak mengejar Ceng Ceng ke sana, dia sengaja menyatakan persetujuannya, akan tetapi diam-diam tentu saja bersiap untuk melindungi Ceng Ceng dan mencegah kekasihnya ini mengganggu Ceng Ceng.

Siapa kira, di tempat itu dia malah bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo, maka tahulah dia bahwa Ceng Ceng akan terancam bahaya hebat kalau benar-benar datang ke tempat itu. Hal ini membuat dia terpaksa menerima ajakan Hong Kui untuk bermalam dan tinggal di gedung yang ditinggali Hek-tiauw Lo-mo itu, menanti kalau Ceng Ceng benar datang di tempat berbahaya itu.

Sayang bahwa kedatangan mereka agak terlambat sehingga Kian Bu tidak mendengar akan perintah Hek-tiauw Lo-mo terhadap anak buahnya untuk menangkap Puteri Syanti Dewi yang bermalam di dusun tidak jauh dari tempat itu. Kalau dia mendengarnya, tentu dia terkejut sekali dan akan turun tangan mencegahnya.

Akan tetapi di dusun dimana rombongan Puteri Syanti Dewi bermalam, terjadi hal yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Hek-tiauw Lo-mo, bahkan oleh rombongan itu sendiri. Siang tadi dusun itu kedatangan rombongan yang terdiri dari orang-orang aneh dan rombongan ini tentu akan mendatangkan geger kalau saja ada yang mengenalnya karena rombongan ini dipimpin oleh Raja Tambolon!

Seperti diketahui, Raja Tambolon yang dibantu oleh Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Maut Yu Ci Pok, membawa anak buahnya yang terdiri dari orang-orang liar di daerah utara, ikut memperebutkan anak naga di Telaga Sungari, akan tetapi rombongan Raja Tambolon ini pun tidak memperoleh hasil.

Ketika melihat bahwa anak naga itu terjatuh ke tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon yang sudah mengenal dua orang itu dan tahu bahwa nona Lu Ceng adalah bengcu dari kaum sesat di sebelah selatan kota raja, lalu melakukan pengejaran ke tempat itu. Dia dan para pembantunya menyamar sebagai serombongan pelancong dan karena mereka royal mengeluarkan uang, mereka tidak menarik perhatian dan kecurigaan orang lain.

Di tengah perjalanan, rombongan ini bertemu dengan lima orang wanita yang sudah mengenal Yu Ci Pok, maka mereka dihadapkan kepada Tambolon dan diperkenalkan oleh Si Sastrawan Maut itu. Lima orang wanita ini bukanlah sembarangan wanita, karena mereka itu adalah Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina Sungai Loan) yang namanya sudah terkenal sekali di sepanjang Sungai Loan-ho.

Mendengar bahwa Loan-ngo Mo-li hendak berkunjung ke Tiat-ciang-pang untuk mengambil-alih kekuasaan karena mendengar bahwa perkumpulan itu dan semua perkumpulan kaum sesat kini dipimpin oleh seorang wanita yang kabarnya menyamar sebagai Song Lan Ci, orang pertama dari Loan-ngo Mo-li, lima orang wanita yang pekerjaannya adalah cabang atas Sungai Loan-ho yang membawahi semua kaum bajak, Tambolon menjadi girang dan segera mengajak lima orang wanita lihai itu untuk bekerja sama.

Sungguhpun pihaknya sendiri sudah amat kuat, dengan bantuan dua orang pengawalnya yang setia dan terutama sekali bantuan nenek gurunya yang pikun, Durganini, namun dalam keadaan seperti itu, dimana banyak tokoh pandai bermunculan, Tambolon merasa lebih kuat kedudukannya kalau mempunyai banyak pembantu orang lihai. Dia menawarkan bantuannya untuk merampas kedudukan bengcu bagi Loan-ngo Mo-li, akan tetapi dia pun minta bantuan lima orang wanita itu untuk menghadapi musuh-musuhnya dalam memperebutkan anak naga.

Demikianlah, rombongan yang kini bertambah dengan lima orang wanita itu memasuki dusun, beberapa jam lebih dulu daripada kedatangan rombongan Puteri Syanti Dewi. Secara kebetulan sekali, satu-satunya rumah penginapan yang diminta atau diperintahkan agar dikosongkan oleh kepala dusun karena rumah penginapan itu harus diberikan kepada rombongan Puteri Bhutan, tadinya disewa oleh rombongan Tambolon ini!

Tentu saja raja liar Tambolon menjadi marah, akan tetapi begitu mendengar penjelasan bahwa rumah penginapan itu akan dipergunakan untuk tempat bermalam rombongan dari kota raja yang mengawal Puteri Bhutan, dia cepat memberi isyarat kepada para pembantunya agar mengalah dan mereka segera pergi meninggalkan rumah penginapan itu, mengalah bermalam di dalam sebuah kuil di luar dusun!

Akan tetapi Tambolon segera mengatur siasat untuk menangkap Puteri Bhutan, puteri dari musuh besarnya karena dengan adanya puteri itu di tangannya, dia tentu akan dapat memaksakan tuntutannya kepada Raja Bhutan! Apalagi karena memang puteri itu dahulunya telah dihadang dan hendak dirampasnya namun usahanya gagal karena Sang Puteri dapat melarikan diri.

Tambolon tidak akan dapat menjadi raja dari para suku bangsa liar kalau saja dia tidak pandai dan cerdik. Dia bukanlah orang kasar yang hanya mengandalkan kekuatan badan dan ilmu kepandaian silatnya saja, akan tetapi seorang ahli siasat yang dapat bersikap cerdik dan hati-hati.

Dia maklum bahwa biarpun kekuatan rombongannya sudah lebih dari cukup untuk menyergap dan merampas Syanti Dewi dengan kekerasan, namun dia tidak mau melakukan hal itu, mengingat bahwa dusun ini tidak begitu jauh dari kota raja dan kalau dia menimbulkan keributan sampai ketahuan dan terdengar oleh kota raja, tentu pemerintah akan mengirim pasukan besar dan orang-orang pandai untuk menangkap atau membunuhnya. Dia maklum akan kelemahannya sendiri kalau harus menghadapi bala tentara pemerintah dan orang-orang pandai yang dia tahu banyak membantu pemerintah.

Oleh karena itu, dia lalu minta bantuan gurunya, nenek ahli sihir yang seperti iblis itu untuk menawan Syanti Dewi secara halus. Nenek itu terkekeh girang. Durganini sudah terlalu tua dan sudah pikun, biarpun dia lihai sekali, baik ilmu silat maupun tenaga saktinya, terutama sekali ilmu sihirnya, akan tetapi karena sudah terlalu pikun, Tambolon tidak berani melepaskan gurunya ini untuk bekerja sendiri saja, karena kepikunannya akan dapat menggagalkan semua urusan.

Oleh karena itu, dia minta bantuan kepada sekutunya yang baru, yaitu Loan-ngo Mo-li yang dipimpin oleh Song Lan Ci. Lima orang wanita jagoan dari Sungai Loan-ho ini berusia rata-rata empat puluh tahun, wajah mereka membayangkan kekejaman dan kekasaran sungguhpun mereka itu, terutama Song Lan Ci, dapat dikatakan agak cantik juga dan mereka semua masih gadis, dalam arti kata belum ada yang menikah. Lima orang wanita itu tentu saja menyanggupi dan pergilah mereka mengantar Durganini yang harus digandeng itu menuju ke rumah penginapan yang telah mereka tinggalkan tadi.

Sementara itu, Puteri Syanti Dewi yang sudah di atas pembaringan di dalam kamar rumah penginapan itu merasa gelisah hatinya. Biarpun ada dua puluh empat orang pengawal anak buah dan kepercayaan ayah angkatnya, Jenderal Kao Liang, pada saat itu menjaga dan mengawalnya, namun hatinya merasa tidak enak. Dia mengingat akan semua pengalamannya sejak meninggalkan Bhutan dan merasa betapa lebih senang dan merasa lebih aman ketika dia melakukan perjalanan bersama adik angkatnya, Lu Ceng atau Candra Dewi.

Entah bagaimana, dia tidak merasa senang untuk kembali ke Bhutan. Dia merasa kehilangan karena di dalam perantauannya selama ini dia bertemu dengan banyak orang jahat dan musuh, akan tetapi juga dengan banyak sekali orang-orang yang amat baik kepadanya, yang tak mungkin dapat dia lupakan selama hidupnya, Lu Ceng adik angkatnya, Jenderal Kao Liang ayah angkatnya, Gak Bun Beng yang pernah menjatuhkan hatinya, yang sampai saat itu pun dianggap sebagai seorang manusia yang paling mulia baginya, Suma Kian Bu yang ternyata mencintanya dan pemuda yang remaja ini amat baik kepadanya. Kemudian Suma Kian Lee yang halus dan sopan gerak-geriknya. Puteri Milana yang demikian gagah perkasa dan bernasib menyedihkan.

Kemudian Ang Tek Hoat, pemuda yang takkan dapat dia lupakan, pemuda yang aneh, pemuda yang telah mengorbankan diri sendiri untuk menolongnya, pemuda yang oleh semua orang dianggap jahat dan menjadi pengkhianat, menjadi pemberontak ternyata malah berjasa membunuh pangeran pemimpin pemberontak. Pemuda yang menurut cerita Puteri Milana ibu pemuda itu, ternyata masih terhitung keluarga Pulau Es! Dia membayangkan sinar mata sayu dan penuh derita hidup membayang dari mata pemuda itu dan teringat akan ini, Syanti Dewi menarik napas panjang.

Betapa banyaknya kedukaan di dunia ini bagi manusia. Gak Bun Beng pendekar sakti itu pun merana karena cinta kasihnya dengan Puteri Milana gagal. Demikian pula puteri itu merana. Dan Kian Bu patah hati karena dia tidak dapat membalas cintanya. Dia suka kepada pemuda ini seperti suka kepada seorang saudara, kepada seorang adik karena pemuda perkasa itu masih amat muda.

Renungan-renungan ini membuat Puteri Syanti Dewi merasa gelisah. Bagaimana mungkin dia dapat melupakan semua orang itu dan kembali ke Bhutan di mana penghidupan akan menjadi lain sama sekali dan dia harus mengubur semua wajah yang dikenalnya itu dan mulai hidup baru di Bhutan?

Kepada pria mana lagi dia akan dijodohkan oleh ayahnya demi negara? Dia merasa ngeri memikirkan hal ini. Setelah merasakan keindahan alam luas, kenikmatan kebebasan, kini dia menghadapi istana Bhutan seperti menghadapi sebuah penjara! Dia akan kehilangan kebebasannya sebagai manusia, sebagai seorang wanita biasa dan akan berada di dalam kurungan emas berupa istana megah itu sebagai seorang puteri, sebagai alat untuk negara!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar