FB

FB


Ads

Rabu, 04 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 117

“Kau maafkanlah aku, Ceng Ceng.”

Suara itu demikian penuh permohonan dan penyesalan sehingga kemarahan Ceng Ceng sudah sebagian terusir pergi. Apalagi dia ingat bahwa semua yang dilakukan oleh Topeng Setan itu semata-mata adalah untuk menolongnya. Dan penolakannya tadi pun hanya karena berduka dan menyesal mengapa untuk mencari ular itu Topeng Setan sampai mengorbankan lengannya.

“Mengapa kau minta maaf?” tanyanya pendek.

“Maaf bahwa aku terpaksa memaksamu minum cairan obat itu.”

“Engkau memaksaku karena aku menolak dan engkau melakukan itu karena engkau hendak menolongku, Paman.”

“Maaf, bahwa aku harus memencet hidungmu, menotokmu, mencekokkan obat itu kepadamu.”

“Sudahlah, obat sudah masuk ke perutku, mengapa diributkan lagi?”

“Dan maafkan aku.... aku terpaksa mengoper hawa murni kepadamu secara itu....”

Topeng Setan memalingkan mukanya membelakangi Ceng Ceng, lalu bangkit berdiri dan memasuki hutan tak jauh dari situ.

Ceng Ceng juga bangkit dan mengikutinya memasuki hutan itu. Di bawah sebatang pohon, Topeng Setan lalu berusaha membuat api, akan tetapi karena tangannya tinggal satu, sukarlah dia menggosok-gosokkan kayu kering untuk membuat api.

Ceng Ceng merebut kayu kering itu dan dia lalu membuat api dan menyalakan api unggun. Tanpa bicara keduanya duduk di dekat api unggun itu. Topeng Setan merenung ke dalam api, sedangkan Ceng Ceng memandang wajah yang buruk itu.

“Kenapa kau minta maaf tentang itu, Paman? Kalau kau tidak melakukannya, tentu saat ini aku sudah menjadi mayat dengan perut kembung penuh air.”

Topeng Setan menoleh dan mereka saling pandang. Pengalaman hebat yang baru saja mereka alami berdua itu masih menegangkan hati mereka. Ketika dua pasang mata itu bertemu, Topeng Setan cepat mengelak dan menunduk.

“Bagaimana.... perasaan tubuhmu sekarang, Ceng Ceng?”

Ceng Ceng juga sadar betapa dia tadi memandang orang itu dengan sinar mata penuh kagum, penuh rasa syukur dan terima kasih, maka dia cepat menjawab sambil merasakan keadaan tubuhnya,

“Rasanya enak dan hangat.... dan rasa muak itu lenyap, Paman.”

“Hemm.... aku yakin bahwa engkau akan sembuh sama sekali. Engkau telah terbebas dari bahaya maut, Ceng Ceng.” Suara itu terdengar girang.

Ceng Ceng merasa jantungnya seperti ditusuk.
“Apa artinya itu? Dan untuk nyawaku yang tidak berharga ini engkau harus mengorbankan lengan kirimu! Ah, Paman....!”

Topeng Setan menoleh ke kiri memandang ke arah pundaknya yang buntung.
“Ah, ini? Tidak begitu hebat. Sekali waktu manusia akan kehilangan sesuatu yang berharga di luar kehendaknya, Ceng Ceng. Kalau dia dapat menghadapi peristiwa itu dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, maka tidaklah terlalu menyiksa hati benar....”

Ceng Ceng memandang dengan mata terbelalak.
“Kau.... kau kehilangan lengan kiri dan tidak tersiksa hatimu karenanya?”

Topeng Setan menggeleng kepalanya.
“Ceng Ceng, segala peristiwa yang terjadi, menimpa diri kita tidak mengandung suka maupun duka, tidak mengadung sesuatu yang ada hubungannya dengan batin. Suka atau duka adalah permainan batin, permainan hati dan pikiran. Betapapun akan hebatnya pikiranku menyiksa hati, tetap saja lenganku takkan dapat tumbuh kembali. Karena itu, mengapa harus dipikir? Permainan pikiran hanya akan menimbulkan derita batin, menimbulkan duka, menimbulkan sengsara dan menimbulkan kebencian, dendam dan permusuhan belaka....”






Ceng Ceng makin terheran-heran. Manusia ataukah apa yang bersembunyi di dalam topeng itu?
“Paman, setelah segala yang kau lakukan demi aku, setelah segala budi yang berlimpah-limpah bertumpuk yang kau lakukan untukku, setelah segala pengorbanan besar yang kau derita karena aku, maukah engkau memenuhi permintaanku ini? Aku.... aku ingin sekali melihat wajahmu, Paman.”

Topeng Setan kelihatan terkejut sekali, tersentak kaget dan melangkah mundur seperti terhuyung sampai punggungnya menabrak batang pohon di belakangnya, kepalanya digelengkan dan matanya terbelalak menatap wajah Ceng Ceng.

“Tidak....! Tidak...., jangan kau minta itu.... kau boleh memerintahkan apa saja padaku Ceng Ceng, kau boleh menyuruh dan minta apa saja, aku akan melaksanakan dan menuruti.... akan tetapi yang satu ini.... jangan kau memaksa aku menanggalkan topengku....”
“Kenapa, Paman? Antara kita.... mengapa engkau segan memperlihatkan mukamu? Kita sudah senasib sependeritaan, aku merasa kita bukan orang lain lagi, sudah berkali-kali aku hutang budi dan hutang nyawa kepadamu, yang sampai mati pun takkan mampu kubalas. Aku hanya ingin melihat manusia yang paling baik dan paling mulia terhadap diriku di dunia ini, mengapa kau menolak?”

“Aku tidak bisa membuka topeng ini, akan terlalu mengerikan...., wajahku sangat mengerikan, jauh lebih buruk dari topeng ini. Engkau akan menjadi ketakutan dan aku khawatir engkau akan menjadi jijik dan muak, bahkan benci melihatku. Jangan, Ceng Ceng, jangan kau memaksa aku membuka topeng ini. Kau boleh membukanya kalau kelak aku sudah mati....”

Ceng Ceng menundukkan mukanya, menarik napas panjang.
“Aku tidak akan memaksamu, Paman. Sungguhpun aku yakin bahwa betapapun buruk rupamu, aku tidak akan dapat merasa takut, apalagi jijik dan muak, apalagi membencimu. Bagaimana mungkin aku bisa membenci seorang yang telah berkorban sedemikian hebat untukku? Aku jadi heran sekali apa yang terjadi antara wanita yang.... kau bunuh itu dengan engkau. Kalau aku menjadi dia, agaknya.... aku mau melakukan apa saja untuk seorang semulia engkau ini, Paman. Apakah bibi itu melakukan hal yang amat menyakitkan hatimu?”

Topeng Setan menghela napas panjang, agaknya lega karena Ceng Ceng tidak memaksanya membuka topeng. Dia duduk lagi bersandar batang pohon, lalu menjawab,

“Tidak, Ceng Ceng, dia seorang wanita yang amat hebat, tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi aku.... aku telah membunuhnya....”

“Kasihan sekali engkau, Paman....”

Topeng Setan agaknya ingin mengalihkan percakapan karena dia lalu berkata,
“Ceng Ceng, engkau sekarang sudah sembuh, engkau tidak terancam lagi oleh racun, bahkan dengan latihan I-kin-keng yang telah kuajarkan, semua ilmu beracun yang kau pelajari dari Ban-tok Mo-li sehingga tubuhmu beracun akan lenyap, dan.... aku sendiri masih belum tahu akibat aneh apa yang akan didatangkan oleh khasiat anak naga yang telah memasuki tubuhmu. Sekarang, sebaiknya kalau kau kembali ke kota raja, kau.... kau temui Pangeran Yung Hwa itu....”

“Eh, mengapa, Paman?” Ceng Ceng bertanya dengan kaget sekali.

“Engkau seorang gadis yang amat baik, seorang wanita berjiwa pahlawan, engkau sudah mengalami banyak kesukaran dan seorang wanita seperti engkau berhak untuk hidup mulia dan bahagia. Pangeran Yung Hwa itu, dia seorang bangsawan tinggi, putera Kaisar, dia terpelajar tinggi dan tampan dan baik dan yang terutama sekali, dia cinta kepadamu, Ceng Ceng. Kau pergilah kepadanya....”

Ceng Ceng menggeleng kepala keras-keras.
“Tidak! Dia boleh cinta kepadaku, akan tetapi aku.... aku tidak berharga....”

“Hemmm, jangan kau berkata begitu, Ceng Ceng. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak cinta kepada pangeran itu? Aku teringat akan pemuda tampan yang berilmu tinggi, adik dari Puteri Milana, puteri dari Pendekar Super Sakti, yang bernama Suma Kian Lee itu. Dia pun cinta kepadamu, Ceng Ceng. Baik Pangeran Yung Hwa maupun Suma Kian Lee keduanya adalah pemuda-pemuda pilihan yang sukar dicari tandingannya di dunia ini. Kau kembalilah ke kota raja, kau berhak hidup bahagia. Apakah engkau mencinta Suma Kian Lee....?”

“Tidak, Paman. Sama sekali tidak mungkin! Dia adalah pamanku sendiri!”

“Ehhh....?” Topeng Setan kelihatan terkejut sekali mendengar ini. “Putera Pendekar Super Sakti itu.... pamanmu?”

Ceng Ceng mengangguk dan hatinya terasa perih ketika dia teringat kepada Kian Lee. Pemuda itu pun amat baik kepadanya, bahkan dia tahu bahwa Kian Lee cinta kepadanya, sehingga dia dapat membayangkan betapa hancur hati Kian Lee ketika memperoleh kenyataan-kenyataan bahwa dia adalah keponakannya sendiri! Pemuda itu pun demikian mencintanya sehingga rela mengorbankan dirinya sendiri ketika berusaha mengobatinya sampai kedua tangannya keracunan.

“Rahasia itu terbuka ketika aku bertemu dengan Paman Gak Bun Beng. Itulah sebabnya mengapa aku pernah mengatakan kepadamu, Paman, bahwa sheku bukanlah Lu, melainkan Wan. Ayahku adalah Wan Keng In, kakak tiri Paman Suma Kian Lee. Ayahku adalah putera tiri Pendekar Super Sakti, dia.... ayahku itu.... dia amat jahat, Paman.”

Ceng Ceng lalu menceritakan riwayat dirinya, diceritakan semua tanpa ada yang disembunyikan bahwa dia hidup di Bhutan dengan kakeknya yang ternyata adalah kakek buyutnya, betapa tadinya dia mendengar dari kakeknya bahwa ayah kandungnya adalah Gak Bun Beng yang sudah mati seperti ibunya.

Betapa dia mengawal Puteri Syanti Dewi yang menjadi kakak angkatnya itu sehingga mengalami banyak kesengsaraan, betapa kemudian dia bertemu dengan Gak Bun Beng dan mendengar akan semua riwayat ibunya yang diperkosa oleh Wan Keng In yang memakai nama Gak Bun Beng. Semua diceritakannya dengan panjang lebar, didengarkan dengan mata terbelalak dan penuh perhatian oleh Topeng Setan. Setelah mendengar semua itu, Topeng Setan menarik napas panjang.

“Akan tetapi, riwayatmu itu bahkan mengangkat derajatmu, Ceng Ceng. Engkau adalah cucu tiri dari Pendekar Super Sakti, dan engkau adalah adik angkat dari Puteri Bhutan, bahkan kakek buyutmu adalah seorang bekas panglima pengawal yang setia. Engkau cukup berharga bahkan untuk seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu sekalipun, engkau sudah terlalu berharga. Dia amat mencintamu, Ceng Ceng, bahkan dia sampai menolak dikawinkan dengan Puteri Syanti Dewi karena dia cinta padamu. Mari kuantar engkau menjumpainya, Ceng Ceng....”

“Paman....! Jangan engkau berkata demikian, Paman....!” Dan tiba-tiba Ceng Ceng menangis tersedu-sedu karena dia teringat akan keadaan dirinya.

“Eh, eh.... Ceng Ceng, kenapa....?” Topeng Setan bertanya, suaranya gemetar.

Ceng Ceng mengusap air matanya dan memandang wajah bertopeng buruk itu, yang menjadi seperti wajah iblis ketika tertimpa cahaya api unggun yang merah.

“Baiklah, kau boleh mendengar semua, Paman. Engkau sudah kuanggap seperti pamanku sendiri seperti ayah sendiri, seperti sahabatku yang termulia di dunia ini, bahkan sebagai satu-satunya orang yang menjadi sahabatku. Aku.... aku sama sekali tidak berharga, Paman, apalagi bagi seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa. Aku hanya seorang yang menanti kematian....”

“Eh, apa maksudmu?”

“Paman.... aku.... aku telah tertimpa malapetaka yang lebih hebat daripada kematian. Aku telah ternoda, aku telah diperkosa orang....”

Dengan terengah-engah dan terputus-putus Ceng Ceng menceritakan melapetaka hebat di dalam guha itu ketika dia diperkosa oleh pemuda laknat itu.

“Dia kutolong, akan tetapi dia malah memperkosa aku, Paman.... dia, si laknat itu, dia bernama Kok Cu, murid Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Mendiang kakek Lauw Ki Sun yang tewas dan jenazahnya kau kubur di depan kuil itu, dialah yang menceritakan kepadaku siapa adanya manusia iblis itu. Kakek itu adalah pelayan dari Dewa Bongkok dan pemuda yang merusak hidupku itu adalah murid Si Dewa Bongkok, dialah orang yang kau gambar itu, Paman. Aku harus menemukannya, engkau harus membantu aku untuk membalas dendam setinggi langit dan sedalam lautan ini. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum dapat membunuhnya, dan setelah aku berhasil membunuhnya, mudah-mudahan dengan bantuanmu karena dia lihai sekali, Paman. Sesudah itu, aku.... aku akan membunuh diri, untuk apa hidup menderita aib yang hebat ini....?”

Topeng Setan bangkit berdiri, mengepal tinjunya, matanya terbelalak, seluruh urat di dadanya yang telanjang karena bajunya dirobek untuk membalut pundak kirinya, tampak dan dari kedua mata yang terbelalak lebar itu jatuh air matanya satu demi satu, seperti butir-butir mutiara runtuh dari untaiannya. Dadanya bergelombang dan terdengar rintihan aneh keluar dari mulutnya yang berbibir tebal sekali itu.

Ceng Ceng memandang dengan heran. Melihat Topeng Setan berdiri seperti iblis berdiri, dengan air mata bercucuran seperti itu, hati Ceng Ceng seperti diremas-remas rasanya. Dia tahu bahwa orang bertopeng ini juga amat mencintanya sehingga orang itu kini menderita pukulan batin yang hebat setelah mendengar ceritanya.

Melihat orang yang sudah buntung lengannya karena dia itu kini menangis, Ceng Ceng memandang dengan bibir gemetar, kemudian menggigil dan bibir itu mewek-mewek menahan tangis, akhirnya dia menubruk dan merangkul pinggang Si Buruk Rupa itu sambil menangis sesenggukan.

Sampai mengguguk Ceng Ceng menangis, melepaskan seluruh kedukaan dan penyesalan hatinya, menumpahkan semua rasa penasaran yang bertumpuk-tumpuk dan dia seolah-olah memeluk gunung yang kokoh kuat, yang akan dapat dipergunakan sebagai sandaran hidup ketika dia sendiri sudah hampir tidak kuat menahan penderitaan yang menimpanya. Dengan lengan kanannya, Topeng Setan memeluk dan jari-jari tangannya mengelus kepala gadis itu penuh keharuan dan kasih sayang.

“Paman.... Paman.... ahhh.... Paman.... hu-hu-huuuuhh....”

Ceng Ceng menangis seperti anak kecil, air matanya membasahi dada yang bidang, kuat, tegap dan berkulit putih halus, merupakan kontras yang aneh dengan kulit wajah yang buruk itu.

“Tenanglah, Ceng Ceng. Kuatkan hatimu.... dan hadapilah kenyataan hidup seperti ini.... jangan kau putus harapan, Ceng Ceng. Aku.... aku bersumpah akan melindungimu dan membantumu menemukan kebahagiaan....”

“Paman, kau bilang tadi.... kau akan meninggalkan aku.... kau menyuruh aku pergi ke kota raja....”

“Tidak lagi, Ceng Ceng. Aku baru akan pergi setelah melihat engkau menemui kebahagiaan hidup. Jangan khawatir, aku akan mempertaruhkan nyawaku demi kebahagiaanmu.”

“Paman.... uhu-hu-huuuu, Paman....” Ceng Ceng makin menjadi tangisnya karena hatinya terharu sekali mendengar ucapan yang keluar dengan suara gemetar itu. “Paman, mengapa kau begini baik kepadaku. Mengapa....?” Ceng Ceng mengguncang-guncang tubuh yang dipeluknya itu. “Dan mengapa dia.... dia begitu jahat.... dia merusak hidupku.... mengapa....?”

Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengelus-elus rambut itu dan membiarkan Ceng Ceng menumpahkan semua rasa penasaran hatinya. Setelah gelora perasaan itu agak mereda di hati Ceng Ceng, Topeng Setan lalu mengajak gadis itu pergi dari situ.

“Kita harus pergi melanjutkan perjalanan. Mereka tentu akan mengejar terus dan sebelum luka di pundakku sembuh, amat berbahaya menghadapi lawan berat, Ceng Ceng.”

“Baik, Paman. Aku hanya menurut dan ikut padamu.”

Ceng Ceng menjawab dan dia tahu bahwa mulai saat itu, untuk segala urusan, sampai kepada urusan mencari musuh besarnya, dia harus mengandalkan pamannya yang buruk rupa dan penuh rahasia ini, yang kini dipercayanya setelah dia saksikan kehebatan sepak terjangnya.

Maka berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu menuju ke selatan karena menurut rencana Topeng Setan, mereka akan pergi ke sebelah selatan kota raja, di markas kaum sesat yang dulu menjadi markas kaum Tiat-ciang-pang, di mana Ceng Ceng telah diangkat menjadi bengcu (ketua) oleh kaum sesat dan Topeng Setan bersama-sama Tek Hoat menjadi pembantu-pembantunya. Di tempat itu mereka akan bersembunyi dan beristirahat sampai luka di pundak Topeng Setan sembuh sama sekali.

**** 117 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar