FB

FB


Ads

Rabu, 04 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 113

Sebaiknya kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang dibawa “terbang” oleh Topeng Setan yang memondong tubuh kakek berambut putih yang terluka parah itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Milana bersama Puteri Syanti Dewi karena sudah terlalu lama kita tinggalkan mereka.

Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, dengan hati hancur Puteri Milana terpaksa meninggalkan istananya dan juga jenazah suaminya karena dia tahu bahwa pasukan pengawal diperintahkan datang dan dipimpin oleh Perdana Menteri Su sendiri untuk menangkapnya.

Setelah menyelinap dan meloncat pergi melalui pintu belakang istananya, puteri yang baru saja kematian suaminya ini menahan semua perasaan marahnya, lalu menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk mencuri masuk ke dalam istana Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian puteri dan memasuki kamar Puteri Syanti Dewi yang malam itu masih duduk termenung di atas pembaringannya. Puteri Bhutan ini terkejut sekali melihat bayangan berkelebat dari jendela dan tahu-tahu dia melihat Puteri Milana sudah berdiri di dalam kamarnya.

“Bibi Puteri Milana....!” tegurnya girang, akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang halus itu pucat dan basah air mata. “Bibi.... apa yang terjadi....?” tegurnya sambil memegang kedua lengan puteri perkasa itu.

“Lekas berkemas, kau ikut aku pergi dari sini sekarang juga.”

Tentu saja Syanti Dewi menjadi girang bukan main karena memang berita inilah yang dinanti-nantinya. Diam-diam dia merasa terharu karena dia menduga bahwa tentu Kian Bu yang mengusahakan ini semua. Dia merasa terharu betapa dia telah membikin pemuda itu patah hati, namun pemuda yang gagah perkasa itu masih juga menyampaikan kepada Puteri Milana sehingga dia sekarang akan dibebaskan dari tempat ini.

Cepat dia berkemas dan karena dia seorang puteri sejati, yang disebut berkemas ini malah menanggalkan pakaian indah yang diterimanya dari Kaisar dan dia mengenakan pakaian sendiri yang lama, juga dia menanggalkan semua perhiasan. Melihat ini Puteri Milana diam-diam merasa kagum dan menjadi makin suka kepada Puteri Bhutan ini.

Puteri Syanti Dewi memejamkan matanya ketika dia dipondong dan dibawa meloncat ke atas genteng, kemudian berlarian dan berlompatan dengan cepat sekali. Dia merasa ngeri dan juga amat kagum. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana, selain cantik jelita dan agung ternyata juga merupakan pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Memang pantaslah kalau pendekar sakti Gak Bun Beng menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini!

Setelah mereka keluar dari daerah istana kaisar, barulah Puteri Milana melompat turun dan menurunkan Syanti Dewi dari pondongannya.

“Sekarang kita harus pergi keluar dari kota raja, Syanti Dewi.”

“Eh, mengapa begitu? Mengapa tidak ke istana Bibi?”

“Hemm, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Baiklah, kau dengarkan apa yang telah terjadi dengan keluargaku.”

Dengan singkat Milana lalu menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi Kong, melakukan pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran Liong Bin Ong karena suaminya penasaran melihat bahwa Kaisar tidak mau percaya bahwa pangeran tua inilah yang menjadi biang keladi pemberontakan. Dan biarpun suaminya telah berhasil membunuh pangeran pemberontak, namun suaminya sendiri tewas oleh pengeroyokan pengawal.

“Nah, karena itu aku harus pula pergi, Syanti, karena kalau tidak aku tentu akan ditangkap sebagai isteri seorang yang tentu dianggap berdosa.” Ucapan ini memancing keluarnya dua buah air mata di atas pipi Milana yang pucat itu.

“Ahhh.... Bibi....!”

Syanti Dewi memeluk Milana sambil menangis. Dua orang wanita itu berpelukan dan tidak mengucapkan sepatah pun kata. Agaknya di dalam detik itu perasaan dan suara hati mereka sama, yaitu keduanya teringat kepada Gak Bun Beng berhubung dengan adanya peristiwa kematian suami Puteri Milana itu.

Tak lama kemudian, Syanti Dewi yang terlalu halus perasaannya untuk menyinggung nama Gak Bun Beng pada saat seperti itu, bertanya,

“Sekarang ke mana Bibi hendak membawa saya?”

Milana menarik napas panjang.
“Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus membawamu, yang jelas kita harus keluar dari kota raja karena kita menjadi orang-orang pelarian. Akan tetapi sebelum kita meninggalkan kota raja untuk selamanya, aku ingin sekali lagi lewat di depan rumahku dan menengoknya.”

Syanti Dewi dapat memaklumi perasaan hati puteri perkasa itu, apalagi karena jenazah suami puteri ini masih berada di dalam istana dan puteri ini tidak dapat mengurus sendiri pemakaman jenazah suaminya. Mereka lalu berjalan melalui tempat-tempat gelap dan menuju ke istana Puteri Milana yang sudah sunyi.

Akan tetapi ternyata istana itu dijaga ketat dan tak terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi Milana ketika dia mendengar suara para pendeta membaca liam-keng, berdoa untuk jenazah suaminya yang berada di dalam istananya. Diam-diam dia merasa bersyukur dan maklum bahwa Perdana Menteri Su, sahabatnya yang baik itu, telah memenuhi permintaannya yang ditulisnya di atas tembok dan telah mengurus jenazah Han Wi Kong dengan baik-baik.

“Mari kita pergi,” katanya kemudian kepada Syanti Dewi yang juga memandang ke arah istana itu dengan hati terharu.

Tak disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana ini sampai tertimpa malapetaka yang demikian hebatnya. Kesengsaraan yang dideritanya sendiri semenjak dia meninggalkan istana ayahnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan malapetaka yang dialami oleh Puteri Milana.

Milana yang berpemandangan tajam sekali, biarpun dalam keadaan berduka, masih dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang mengikuti mereka berdua dari jauh. Dia tidak merasa takut, akan tetapi juga tidak peduli dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya menuju ke benteng sebelah utara karena dia mempunyai hasrat untuk pergi mengunjungi orang tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat adalah melalui pintu gerbang utara.






Para pembesar militer di istana semua adalah sahabat Milana, dan mereka amat menghormat dan kagum kepada puteri ini, maka peristiwa yang terjadi di istana Pangeran Liong Bian Ong itu dirahasiakan oleh mereka sehingga belum tersiar luas.

Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti Dewi tiba di pintu gerbang utara, para penjaga yang mengenal Puteri Milana menjadi terkejut dan tentu saja dengan sikap hormat dan girang mereka membukakan pintu untuk puteri yang terkenal dan yang mereka hormati itu sehingga mudah saja bagi Milana dan Syanti Dewi untuk keluar dari kota raja di waktu yang sudah amat larut lewat tengah malam itu.

Setelah agak jauh meninggalkan pintu gerbang itu dan mereka berdua berhenti di tempat peristirahatan di pinggir jalan untuk melewatkan malam gelap, kembali Milana melihat berkelebatnya bayangan tadi. Diam-diam dia menjadi penasaran, akan tetapi karena bayangan itu tidak melakukan sesuatu, dia pun hanya berjaga-jaga saja dan menyuruh Syanti Dewi untuk mengaso.

Malam lewat dengan cepatnya dan setelah matahari mengusir sisa kegelapan malam dan Milana hendak mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari jauh,

“Adik Milana, tunggu dulu....!”

Milana terkejut dan merasa heran sekali. Dia berdiri di depan Syanti Dewi, melindungi dara itu dan matanya tajam menatap wanita yang berlari mendatangi dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita inilah yang sejak malam tadi membayanginya dari kota raja, atau lebih tepat mulai dari depan istananya.

Kini wanita itu telah tiba di depannya. Milana tidak mengenalnya dan dia memandang penuh selidik. Seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping sungguhpun usianya sudah sebaya dengan dia, sudah tiga puluh tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari sepatu dan pakaiannya yang kusut berdebu Milana dapat menduga bahwa wanita itu telah melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya tentu memiliki kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu pun memandang Milana dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya dia tidak ragu-ragu lagi dan mengenal puteri itu.

“Adik Milana, girang sekali hatiku dapat bertemu denganmu di sini. Tadinya aku sudah merasa heran dan ragu mengapa engkau meninggalkan rumahmu seperti orang yang sedang melarikan diri.” Wanita itu berkata.

“Maaf,” Milana menjawab dengan hati-hati. “Aku tidak ingat lagi siapakah engkau?”

“Ah, Adik Milana, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Kita adalah orang-orang senasib sependeritaan. Lupakah engkau betapa engkau dahulu bersama aku dan Lu Kim Bwee mengeroyok seorang musuh besar kita?”

“Lu Kim Bwee....? Aihh, engkau Ang Siok Bi....!”

Milana berseru kaget dan kini dia mengenal wanita yang baru satu kali dijumpainya dahulu, belasan tahun yang lalu ketika dia bersama wanita ini dan Lu Kim Bwee (ibu Ceng Ceng) mengeroyok Gak Bun Beng yang mereka anggap sebagai orang jahat yang telah memperkosa dua orang wanita itu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Akan tetapi dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu adalah putera wanita ini, maka dengan pandang mata tajam Milana lalu bertanya,

“Ada keperluan apakah engkau sejak di kota raja semalam?”

“Maaf, Adik Milana, karena aku masih ragu-ragu maka aku membayangimu dan baru pagi ini aku berani memanggilmu. Aku sengaja mencarimu di kota raja setelah aku mendengar bahwa engkau telah meninggalkan Teng-bun kembali ke kota raja.”

“Ah, engkau mencariku, Enci Siok Bi? Ada keperluan apakah?”

“Adik Milana, aku ingin minta tolong kepadamu, demi persahabatan dan persamaan nasib kita belasan tahun yang lalu.... aku mendengar bahwa engkau telah menawan seorang bernama Ang Tek Hoat....”

“Hemm, apamukah pemuda itu?”

“Dia itu puteraku. Ah, aku sudah mendengar bahwa dia tersesat.... bahwa dia telah membantu pemberontak.... akan tetapi demi perkenalan kita.... kuharap engkau suka mengasihaninya dan suka mengusahakan agar dia diampuni dan dibebaskan.”

Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang merasa amat khawatir akan keselamatan puteranya itu, telah menjatuhkan dirinya di depan Milana, berlutut sambil menangis!

Milana cepat memegang kedua pundak wanita itu dan mengangkat bangun.
“Jangan begitu, Enci Siok Bi. Bangkitlah dan mari kita duduk dan bicara tentang puteramu itu.”

Dengan penuh harapan Ang Siok Bi bangkit berdiri lalu mengikuti Milana untuk duduk berhadapan di dalam tempat peristirahatan di tepi jalan itu, sedangkan Syanti Dewi hanya mendengarkan dari samping.

Puteri Bhutan itu ikut merasa terharu karena dia tahu siapa adanya Ang Tek Hoat, yaitu pemuda tampan dan gagah perkasa yang telah menyelamatkan dia dari tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda perkasa yang mengorbankan diri demi untuk menyelamatkannya itu. Pemuda yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya. Dan wanita cantik dan gagah ini adalah ibunya! Maka tentu saja dia ingin sekali mengetahui kelanjutan pertemuan yang amat menarik dari dua orang wanita cantik yang agaknya sudah sejak dahulu saling mengenal itu.

“Jadi Ang Tek Hoat itu adalah puteramu, Enci Siok Bi? Bolehkah aku bertanya kepadamu, siapakah ayahnya?”

Pertanyaan ini diajukan secara langsung dan Milana memandang tajam penuh selidik sehingga Ang Siok Bi merasa terkejut sekali, merasa seolah-olah menghadapi serangan tusukan pedang yang langsung mengarah ulu hatinya.

“Adik Milana! Mengapa engkau menanyakan hal itu? Apa hubungannya denganmu?”

“Hubungannya banyak sekali dan aku baru akan suka menolong puteramu apabila engkau mengaku terus terang siapa ayahnya.”

“Betapa aneh pertanyaanmu ini! Mengapa engkau harus bertanya lagi seolah-olah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi dan menimpa diriku, Adik Milana? Siapa lagi ayahnya kalau bukan si jahanam Gak Bun Beng itu?”

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi mendengar ucapan ini, wajahnya menjadi pucat seketika akan tetapi dia tidak mau mengeluarkan suara, hanya memandang wanita itu dengan tajam dan mendengar penuh perhatian. Milana mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

“Sudah kuduga demikian.... dan engkau tentu menceritakan kepada puteramu itu bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng adalah musuh besarmu, bukan?”

“Adik Milana, bagaimana engkau masih juga bertanya begitu? Bukankah sudah jelas bagimu bahwa jahanam Gak Bun Beng itu....”

“Enci Siok Bi!”

Tiba-tiba Milana membentak dengan suara keras karena hatinya marah mendengar nama Gak Bun Beng dimaki orang.

“Kau datang untuk minta tolong padaku tentang Ang Tek Hoat. Nah, ceritakan saja jangan banyak membantah. Apa yang telah kau pesankan kepada anakmu Ang Tek Hoat itu dan yang telah kau ceritakan tentang ayahnya dan tentang Gak Bun Beng?”

Siok Bi memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena dia ingin sekali agar puteranya dapat selamat, biarpun hatinya penuh rasa penasaran, dia menjawab juga sejujurnya,

“Aku.... aku mengatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah.... Ang Thian Pa....”

“Hemm, pantas dia memakai she Ang, kiranya begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin ayahmu, bukan?”

Siok Bi mengangguk.
“Dan aku katakan bahwa ayahnya itu terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi bahwa jahanam itu telah terbunuh pula olehku. Apa salahnya dengan keterangan itu?”

Milana menggeleng kepada dan menarik napas panjang.
“Pantas kalau begitu.... aihh, sungguh kasihan sekali Gak-suheng....! Enci Siok Bi, jadi sampai detik ini pun engkau masih mengira bahwa puteramu itu adalah keturunan dari Gak Bun Beng, begitukah?”

“Tentu saja! Habis mengapa?”

“Engkau telah keliru, Enci! Kita semua telah keliru pada waktu itu, belasan tahun yang lalu. Engkau, aku, dan Enci Kim Bwee telah tertipu dan kasihan sekali Suheng Gak Bun Beng yang tidak berdosa sedikitpun juga. Ketahuilah, Enci, yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu sama sekali bukan Suheng Gak Bun Beng....”

“Ahhh....!” Wajah Siok Bi menjadi pucat. Biarpun dia tidak pernah mau menyangkalnya, akan tetapi melihat wajah puteranya dia sudah merasa heran sekali karena biarpun puteranya itu tampan akan tetapi sedikitpun juga tidak ada miripnya dengan wajah Gak Bun Beng! “Apa.... apa maksudmu....?”

“Maksudku adalah bahwa belasan tahun yang lalu itu kita semua salah duga. Ada orang yang menjatuhkan fitnah atas diri Gak-suheng, yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan nama Gak-suheng dan orang itulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk terhadap dirimu dan diri Enci Kim Bwee. Coba kau ingat baik-baik ketika peristiwa terkutuk itu terjadi, apakah engkau melihat wajahnya?”

Siok Bi menjadi pucat sekali, mengenangkan peristiwa itu, ketika pada malam hari di dalam kamar dia dipaksa dan diperkosa oleh Gak Bun Beng, di tempat gelap, dan dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng karena laki-laki itu mengaku demikian, dan dia percaya pula kepada laki-laki tampan yang mengaku sebagai sahabat Gak Bun Beng.... ah, hampir dia menjerit. Kini dia teringat akan wajah sahabat dari Gak Bun Beng itu dan wajah puteranya mirip orang itu!

“Kita semua telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng yang melakukan perbuatan terkutuk itu, Enci, melainkan orang itulah, dan orang itu pula yang menjadi ayah kandung dari puteramu Tek Hoat.”

Dengan mata terbelalak dan muka pucat Ang Siong Bi memandang Milana dan berkata dengan suara gemetar dan tergagap,

“Bagaimana.... bagaimana aku dapat percaya ceritanya ini....? Setelah belasan tahun aku percaya demikian.... bagaimana aku bisa tahu bahwa ceritamu ini benar, Adik Milana?”

“Engkau harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi. Harus, kataku! Aku sendiri pun menjadi korban tipuan orang itu, sungguhpun tidak sampai tertimpa malapetaka seperti engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi aku pun dahulu percaya bahwa Gak-suheng adalah seorang yang amat jahat dan melakukan perbuatan terkutuk. Oleh karena itulah maka aku dahulu suka bekerja sama dengan engkau dan Enci Kim Bwee untuk mengeroyok Gak-suheng sampai dia terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira bahwa dia telah mati.

Sayang bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi dengan engkau atau Enci Kim Bwee sehingga mengakibatkan hal yang berlarut-larut sampai sekarang. Akan tetapi ketahuilah, orang yang melakukan perbuatan keji itu masih.... anggauta keluargaku sendiri dan.... dan dia telah mengakui segalanya di depanku dan di depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan Keng In, putera dari ibu tiriku di Pulau Es....”

“Ya Tuhan....!” Siok Bi mengeluh panjang. “Dan di mana keparat itu....”

“Dia sudah tewas, Enci. Dia sudah tewas menebus dosa-dosanya. Puteramu itu she Wan, tidak salah lagi. Wajahnya persis wajah ayah kandungnya itu....”

“Dan kita dahulu telah membunuh Gak Bun Beng....!”

“Tidak, Enci Siok Bi. Dan inilah celakanya. Puteramu masih belum tahu dan kini dia hanya tahu bahwa Gak Bun Beng masih hidup maka dia bertekad untuk mencarinya dan membunuhnya sebagai musuh besar. Dahulu, ketika kita mengira Gak-suheng yang tergelincir ke dalam jurang itu mati, sebetulnya dia masih hidup dan sekarang, puteramu itu tentu akan terus memusuhinya.” Milana berhenti sebentar. “Sungguh kasihan Gak-suheng.... dahulu Wan Keng In yang memburukkan namanya, sekarang.... puteranya juga melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan namanya.”

“Ahhhh....! Apakah anakku telah menjadi manusia sejahat itu? Anakku telah menjadi seorang manusia yang menyeleweng dan jahat, Adik Milana?” Siok Bi bertanya dengan suaranya mengandung rintihan batin tertekan.

“Tidak! Tek Hoat sama sekali bukanlah manusia jahat!” Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan suara tegas. “Kalau dia sampai melakukan suatu penyelewengan sebelumnya, hal itu tentu adalah pengaruh dari keadaannya dan bekal yang dia bawa dari cerita ibunya. Dia bukan seorang manusia jahat dan patut dikasihani.”

Siok Bi menoleh dan memandang dara yang cantik jelita itu dengan heran.
“Siapakah dia ini, Adik Milana?”

“Dia adalah Puteri Bhutan, bernama Syanti Dewi. Dia telah diselamatkan oleh puteramu itu dan agaknya apa yang dikatakannya itu mendekati kebenaran. Puteramu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan mempergunakan nama Gak-suheng yang disangkanya sudah mati dan disangka musuh besar pembunuh ayahnya maka hendak dicemarkan nama musuh besar yang tidak dapat dibalasnya lagi karena disangkanya sudah mati itu. Dia lalu tersesat membantu pemberontakan. Tentu saja dosanya amat besar sekali dan dia selayaknya di jatuhi hukuman berat.

Akan tetapi pada akhir pemberontakan, dia telah membuat jasa besar, membunuh pangeran pemberontak Liong Khi Ong dan tiga orang kaki tangannya, mengorbankan diri sendiri sampai terluka demi menyelamatkan Puteri Bhutan ini. Karena jasanya itulah maka dia telah kubebaskan, dan celakanya, setelah dia mendengar bahwa Gak-suheng masih hidup, dia bertekad untuk mencarinya dan membalas dendamnya.”

“Ahhhh....!” Siok Bi berseru kaget. “Hal itu harus dicegah! Di mana dia sekarang, Adik Milana? Dia harus dicegah memusuhi Gak-taihiap.... selain beliau bukan musuh kami.... juga mana mungkin anakku mampu menandinginya?”

“Agaknya engkau tidak tahu. Puteramu itu telah menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, Enci Siok Bi. Dia telah dibebaskan dan aku tidak tahu ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah yang dapat mencegahnya dan menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian ibu dan anak. Mungkin dia masih berada di kota raja.”

“Kalau begitu aku akan mencarinya sekarang juga!” Siok Bi berteriak, lalu lari meninggalkan dua orang puteri itu menuju ke kota raja.

Milana menarik napas panjang dan Syanti Dewi berkata halus,
“Agaknya belasan tahun yang lalu telah terjadi hal-hal yang amat hebat menimpa dirimu dan diri Paman Gak, Bibi.”

Milana menarik napas panjang.
“Kami semua telah melakukan dosa besar sekali terhadap Gak-suheng, dan dia semenjak dahulu sampai saat ini pun merupakan seorang manusia yang amat mulia, gagah perkasa dan hebat....”

Puteri ini menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak Bun Beng yang meninggalkannya, kemudian dia teringat pula akan surat peninggalan suaminya. Jari tangannya meraba surat suaminya yang ditujukan kepada Bun Beng dan diam-diam dia meragu apakah dia akan dapat berjumpa lagi dengan satu-satunya pria yang dikasihinya itu.

“Sekarang kita hendak pergi ke mana, Bibi?”

Syanti Dewi yang maklum akan kedukaan yang menyelimuti wajah puteri itu, memecahkan kesunyian dan menarik kembali Milana dari lamunannya.

“Kemana....? Ahh, aku sendiri menjadi bingung memikirkan keadaanmu, Syanti. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Bhutan. Akan tetapi semua orang telah pergi.... aku pun sekarang seorang diri. Sebetulnya aku ingin kembali ke Pulau Es, ke tempat tinggal ayah bundaku, akan tetapi engkau....”

“Bibi Milana, kalau begitu biarlah aku melakukan perjalanan sendiri ke barat. Aku pun bukan seorang yang lemah dan aku berani untuk pulang seorang diri ke Bhutan. Aku tidak mau membikin repot padamu, Bibi....”

“Hemm, jangan berkata demikian, Syanti Dewi. Aku yang telah melarikan engkau dari istana, dan akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari jalan sebaiknya agar engkau dapat diantar ke Bhutan dengan selamat.”

Selagi Syanti Dewi hendak membantah, tiba-tiba dari arah kota raja tampak serombongan pasukan berkuda mendatangi. Milana memandang dengan alis berkerut.

“Apakah mereka hendak menggunakan kekerasan?”

Dia mengomel dan mengepal tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang dengan khawatir. Dia mengkhawatirkan diri Milana karena tahu bahwa puteri itu mengalami hal yang amat hebat dan bisa dianggap sebagai pemberontak atau orang buruan istana.

Akan tetapi ketika pasukan yang terdiri dari dua losin perajurit itu tiba dekat, mereka melihat bahwa pasukan itu mengawal seorang jenderal yang tinggi besar dan gagah, yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang.

“Gi-hu....!”

Syanti Dewi berseru girang memanggil ayah angkatnya itu dan jenderal itu melompat turun dan cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dengan sinar mata berseri.

“Syukurlah.... aku sudah menduga bahwa engkau tentu telah diselamatkan!”

Sementara itu Milana melangkah dekat dan berkata dengan suara dingin,
“Jenderal Kao, apakah engkau mengejar untuk menangkap aku?”

Jenderal itu menarik napas panjang dan memberi hormat kepada Puteri Milana. Suaranya terdengar penuh penyesalan.

“Sampai mati pun tidak ada yang dapat memaksa saya untuk menangkap Paduka. Saya telah mendengar akan semua peristiwa di kota raja dan saya ikut menyatakan berdukacita atas malapetaka yang menimpa keluarga dan diri Paduka. Ketika saya mendengar dari para penjaga bahwa Paduka bersama seorang dara cantik keluar dari gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa tentu Syanti Dewi Paduka selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan bantuan, barangkali ada sesuatu yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka.”

“Jenderal Kao, aku adalah seorang yang hidup sebatang kara di kota raja, dan aku tidak membutuhkan bantuan apa-apa. Hanya kebetulan sekali engkau datang karena aku bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia harus diantar kembali ke Bhutan.”

“Jangan khawatir, biar para pengawalku ini yang mengantarnya sampai ke Bhutan dengan selamat.” Jenderal itu lalu menghadapi Syanti Dewi. “Dewi, apakah engkau ingin kembali ke Bhutan?”

Puteri itu mengangguk.
“Kehadiranku di sini hanya menimbulkan keributan saja, Gi-hu. Sebaiknya kalau aku pulang saja ke Bhutan dan sebetulnya aku sudah memberi tahu kepada Bibi Milana bahwa aku berani pulang sendirian, tidak perlu dikawal....”

“Ah, mana mungkin? Jangan kau khawatir, biarpun aku terikat oleh tugasku dan tidak dapat mengantar sendiri, dua losin pengawalku ini akan mengawalmu sampai ke Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa engkau hendak dinikahkan dan engkau melarikan diri dari istana, tentu bisa menanti sampai aku sempat mengantarmu sendiri. Akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai seorang pelarian. Nah, biar pasukanku mengawalmu. Sebelum ada pengejaran dari kota raja, sebaiknya engkau berangkat sekarang, anakku. Kau pakailah kudaku ini.”

Syanti Dewi merasa terharu dan dia memeluk ayah angkatnya, menghaturkan terima kasih dan selamat tinggal. Kemudian dia pun memeluk puteri Milana dan berbisik di dekat telinganya,

“Bibi.... jangan biarkan Paman Gak merana....”

Dan sambil terisak dia lalu melompat ke atas kudanya lalu membalapkan kuda itu, diiringkan oleh dua losin pengawal yang sudah menerima pesan dari Jenderal Kao diiringkan oleh pandang mata Milana yang berlinang air mata dan pandang mata Jenderal Kao yang merasa kehilangan.

Dua orang gagah ini pun lalu saling berpisah, Milana melanjutkan perjalanan ke utara sedangkan Jenderal Kao Liang kembali ke kota raja.

**** 113 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar