FB

FB


Ads

Selasa, 03 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 110

“Auhhh....!”

Kian Bu merapatkan matanya kembali ketika merasa betapa kepalanya pening berdenyut-denyut, tubuhnya sakit-sakit semua dan dia teringat betapa dia ditelan ombak air sungai, digulung dan dihanyutkan tanpa dapat berdaya sama sekali. Perasaan ngeri membuat dia memejamkan kembali matanya.

Akan tetapi dia tidak merasa lagi tubuhnya dipermainkan gelombang air, bahkan dia merasa rebah di suatu tempat yang keras, kepalanya berbantal sesuatu yang lunak dan hangat, kemudian mukanya ada yang menyentuh, bukan air yang keras dan ganas melainkan sentuhan-sentuhan hangat dari jari-jari tangan yang dengan lunak memijat-mijat pelipisnya.

“Bagaimana....? Pening sekalikah kepalamu....? Akan tetapi tidak mengapa, air sudah keluar semua dari perutmu dan memang akibatnya agak pening di kepala, atau mungkin kepalamu terbanting kepada batu ketika hanyut....”

Kian Bu mendengarkan suara itu seperti dalam mimpi. Suara seorang wanita, merdu dan halus, dengan nada naik turun seperti orang bersenandung, atau seperti orang membaca sajak yang indah. Wanita? Dia teringat dengan kaget dan membuka matanya, apalagi ketika perasaannya makin sadar membuat dia dapat menduga bahwa kepalanya rebah di atas dua buah paha yang lunak dan hangat, di atas pangkuan seorang wanita!

Begitu matanya terbuka, dia memejamkannya kembali karena silau! Bukan silau oleh sinar matahari pagi saja yang cerah, melainkan juga oleh wajah yang amat cantik, oleh sepasang mata panjang lentik, oleh sebatang hidung kecil mancung dan sepasang bibir yang merekah manis, perpaduan antara merahnya daging berkulit tipis dan putihnya gigi seperti mutiara!

Kian Bu tersentak kaget ketika dia teringat dan mengenal wajah wanita itu. Cepat dia bangkit duduk dan menegur, mukanya merah sekali,

“Aihhh.... Enci Hong Kui....?”

Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li tersenyum,
“Mengapa engkau terkejut, Kian Bu yang baik? Tadi engkau gelisah sekali dalam tidurmu, mengeluh dan agaknya engkau mimpi terbawa air sungai, maka aku.... eh, memangku kepalamu dan memijit-mijit. Bagaimana sekarang, apakah masih pening....?”

Sikap wanita itu biasa saja dan diam-diam Kian Bu merasa terharu. Apakah wanita cantik ini benar-benar demikian mencintanya seperti seorang kakak perempuan mencinta adiknya? Akan tetapi.... sikapnya benar-benar terlalu mesra dan darahnya masih berdesir ketika teringat betapa tadi rebah dengan kepala di atas pangkuan wanita cantik itu.

“Ti.... tidak, Enci. Terima kasih. Ah, kiranya sudah pagi, biar aku pergi....” dia teringat akan janjinya untuk membantu wanita itu mencari obat di Telaga Sungari, maka cepat disambungnya, “Marilah kita pergi mencari mereka....”

Lauw Hong Kui tersenyum mengangguk tanpa menjawab dan mereka lalu bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka lalu menyusuri sungai itu mencari-cari, akan tetapi sampai setengah hari lamanya, mereka tidak berhasil menemukan jejak dari Siang In dan yang lain-lain, seolah-olah rakit mereka itu telah ditelan air sungai yang ganas semalam.

Melihat wajah Kian Bu yang berduka dan khawatir, Hong Kui segera memegang lengannya dan berkata,

“Jangan kau khawatir, Kian Bu. Aku yakin bahwa mereka itu tidak mengalami malapetaka dan masih dapat menyelamatkan diri mereka.”

Mendengar ucapan yang nadanya bersungguh-sungguh itu Kian Bu memandangnya dengan penuh harapan dan bertanya,

“Bagaimana engkau bisa menduga demikian, Enci?”

“Mudah saja. Malapetaka yang dapat menimpa mereka hanya dua macam, bukan? Yang pertama adalah bahwa mereka terjatuh ke air dan dibawa hanyut seperti keadaanmu. Yang ke dua adalah bahwa mereka terjatuh ke tangan musuh atau terbunuh oleh mereka. Aku melihat bahwa kedua malapetaka itu tidak menimpa diri mereka. Karena, andaikata mereka hanyut, tentu ada di antara mereka yang terdampar ke pinggir seperti yang kau alami atau ada yang tersangkut di daerah yang berbatu-batu tadi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka itu hanyut. Dan juga andaikata mereka itu tertawan atau terbunuh musuh, tentu orang-orangnya Tambolon semalam tidak mencari-cari dan menyerang kita. Jadi aku yakin bahwa mereka itu tentu telah berhasil menyelamatkan diri dan telah pergi dari tempat ini.”

Kian Bu menjadi girang sekali karena kini dia pun percaya bahwa agaknya memang demikianlah. Dia merasa kasihan sekali kepada Siang In, apalagi melihat gadis itu telah kehilangan encinya.

“Ah, engkau hebat dan cerdik sekali, Enci Hong Kui. Aku percaya keteranganmu itu.”

Hong Kui melempar senyum, mengerling, mencubit lengan Kian Bu dan berkata dengan bibir merah mencibir, manis sekali,

“Ihhhh, engkau bisa saja memuji orang! Engkau yang tak kusangka ternyata amat sakti, mengalahkan dua orang pembantu Tambolon secara demikian mudah, masih memuji-muji aku yang lemah dan bodoh. Huiii.... sungguh menggemaskan!”

Kembali dia mencubit, kini yang dicubitnya adalah paha Kian Bu dan agak keras sehingga pemuda itu berteriak kesakitan sambil tertawa-tawa.

Mereka tertawa-tawa dan Hong Kui menggandeng tangan Kian Bu dengan sikap mesra dan manja.

“Kian Bu, aku merasa berbahagia sekali....!”

Kian Bu memandang tajam, kecurigaannya timbul kembali. Wanita ini dijuluki orang Mauw Siauw Mo-li, biarpun cantik jelita dan menggairahkan, namun cantiknya cantik siluman, bisa berbahaya. Jangan-jangan wanita ini hendak menjebaknya dengan menggunakan kecantikannya. Dia harus waspada!

Pernah ayahnya secara samar-samar memperingatkan dia bahwa di antara hal-hal yang amat berbahaya, lebih berbahaya daripada musuh yang sakti, selain kesombongan diri, nafsu-nafsu pribadi, juga kecantikan seorang wanita.






Kecantikan seorang wanita mampu merobohkan pertahanan seorang pendekar yang bagaimana sakti pun! Dan Mauw Siauw Mo-li ini memang cantik bukan main. Cantik jelita dan manis, memiliki keindahan dalam segala gerak-geriknya, gerak matanya, alisnya, bibirnya, dan gerak tubuh dari leher, pinggang, pinggul sampai langkahnya! Bukan main! Dia harus berhati-hati sekali. Siapa tahu di balik semua keindahan ini tersembunyi perangkap yang akan mencelakakannya.

“Kenapa engkau berbahagia, Enci?” pancingnya.

Jari-jari tangan yang menggandeng lengannya itu makin mengetat dan mendekat. Kepala yang berambut panjang terurai sebagian terlepas dari gelungnya yang tinggi bergerak-gerak dan tercium bau harum oleh hidung Kian Bu.

“Aku berbahagia karena dapat bertemu dengan seorang seperti engkau, Kian Bu. Kini bangkit kembali harapanku untuk dapat hidup karena aku yakin, dengan bantuan seorang pendekar sakti seperti engkau, sudah pasti anak naga keramat di Telaga Sungari itu akan berhasil kita dapatkan sehingga racun dari tubuhku dapat dibersihkan.”

Kian Bu menghela napas panjang, hatinya lega bahwa kecurigaannya tadi ternyata palsu. Wanita ini memang sudah sepatutnya merasa berbahagia karena wanita ini agaknya menggantungkan harapannya kepadanya.

“Jangan khawatir, Enci Hong Kui. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku agar engkau dapat menjadi sehat kembali.”

Wanita itu memandang dan dua butir air mata mengalir turun.
“Engkau.... engkau baik sekali....”

Katanya terisak dan Kian Bu merasakan jantungnya berdebar keras ketika jari-jari tangan yang kecil panjang itu menyusup di antara jari-jari tangan Kian Bu. Pergeseran dan sentuhan antara jari-jari tangan ini seolah-olah mengandung getaran dahsyat yang memasuki tubuh Kian Bu, membuat dia merasa tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar seperti akan meledak!

Tubuhnya agak menggigil dan untung baginya, pada saat itu Hong Kui melepaskan tangannya sambil mengeluarkan suara ketawa yang aneh akan tetapi terdengar amat merdu dan mesra dalam telinga Kian Bu. Suara ketawa yang mirip bunyi seekor kucing yang memanggil-manggil pasangannya di waktu malam!

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang biarpun usianya baru tiga puluh tahun, namun telah memiliki pengalaman matang dalam hal bermain cinta dan mempermainkan seorang pria. Dia sekali ini benar-benar terjebak ke dalam permainan dan nafsunya sendiri. Dia jatuh cinta!

Belum pernah selama hidupnya dia mengalami perasaan seperti ini terhadap seorang pria. Biasanya, dia mempermainkan pria, seperti seekor kucing betina kelaparan mempermainkan seekor tikus, dipermainkan lebih dulu sebelum diganyang dan kemudian ditinggalkan bangkainya begitu saja, sama sekali tidak diingatnya lagi. Belum pernah dia dapat bertahan lebih dari tiga hari tiga malam mengeram seorang pria. Kebosanannya timbul dan dia akan meninggalkan korbannya yang kebanyakan tentu dibunuhnya dulu.

Akan tetapi sekali ini, bertemu dengan Kian Bu, dia benar-benar jatuh cinta. Dia sama sekali tidak merasa seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus, melainkan seperti seekor kucing yang haus akan belaian manusia yang lebih kuat!

Pemuda ini bukan hanya tampan, karena ketampanan mudah didapatkan di antara orang-orang muda, akan tetapi yang amat menarik hatinya adalah karena pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, lebih tinggi daripadanya, dan terutama sekali seorang perjaka tulen yang dia tahu mempunyai sifat romantis!

Di dalam kecerdikannya, Hong Kui tidak mau menuruti nafsu berahinya. Dia bersikap hati-hati dan biarpun tadi belaiannya membuat pemuda itu mulai tergetar, namun dia tidak mau terlalu mendesak, karena sekali pemuda sehebat ini timbul kecurigaannya, akan berbahayalah. Dia sama sekali tidak mungkin dapat memaksa seorang seperti Kian Bu, maka dia akan menggunakan siasat halus dan tidak akan bermain kasar!

Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, dan ibunya adalah bekas Ketua Thian-liong-pang, dia adalah seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian hebat dan kegagahan luar biasa.

Akan tetapi, menghadapi seorang wanita matang seperti Lauw Hong Kui, tentu saja dia itu hanya seorang pemuda hijau. Andaikata Mauw Siauw Mo-li mempergunakan kekerasan dan kepandaian silatnya, tentu dalam waktu singkat saja dia akan roboh oleh pemuda itu dan andaikata dalam rayuannya dia terlalu tergesa-gesa, tentu pemuda perkasa itu akan menjadi curiga dan sadar.

Akan tetapi, Hong Kui terlalu cerdik dalam hal ini dan dia menjatuhkan hati Kian Bu secara perlahan-lahan, secara cerdik sekali dan tidak kentara sehingga setelah mereka melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, Kian Bu telah percaya penuh bahwa wanita ini benar-benar seorang wanita yang patut dikasihani, seorang yang “baik-baik” akan tetapi tidak kebetulan menjadi sumoi dari orang-orang jahat macam Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka dan mendiang Hek-hwa Kuibo. Wanita ini amat ramah, amat halus dan sopan!

Dan di dalam perjalanan itu Hong Kui selalu menonjolkan keringanan tangannya, melayani Kian Bu, dan sikapnya penuh rasa sayang seorang kakak perempuan terhadap seorang adiknya. Maka, diam-diam Kian Bu juga mengambil keputusan untuk mengerahkan kepandaiannya berusaha menangkap anak naga di Telaga Sungari untuk menyembuhkan keracunan di dalam tubuh Hong Kui.

Pada suatu siang yang amat panas mereka mengaso di dalam hutan dan duduk di bawah sebatang pohon yang lebat daunnya. Sambil bersenandung merdu, Hong Kui memanggang daging ayam hutan yang tadi ditangkap oleh Kian Bu dan kini pemuda itu duduk beristirahat tidak jauh dari tempat itu.

Ketika Kian Bu sedang terlena mengantuk, tiba-tiba dia mendengar suara Hong Kui menjerit. Dia terkejut sekali dan tubuhnya sudah bergerak meloncat, menyambar tubuh Hong Kui yang terhuyung dan ketika dia memeluk tubuh wanita itu ternyata Hong Kui telah pingsan!

Kian Bu terkejut bukan main, dan cepat dia mengurut jalan darah di tengkuk wanita itu. Hong Kui membuka matanya, lalu menjerit,

“Ular.... ahh, Kian Bu, ada ular....!” matanya terbelalak dan telunjuknya menuding ke atas pohon.

Kian Bu menengok dan hampir dia tertawa bergelak. Seekor ular hijau kecil merayap ketakutan di antara daun-daun di cabang pohon itu.

“Enci Hong Kui, kau kenapakah? Mengapa kau pingsan dan ular kecil itu....”

“Aihhh.... maafkan aku, Kian Bu....” Hong Kui menggunakan saputangan, menyusuti peluh dari dahinya yang pucat sekali. “Engkau belum kuberi tahu.... aku.... aku paling takut melihat ular....”

Kian Bu tersenyum lebar dan memandang aneh. Mereka sudah duduk kembali dan Hong Kui melanjutkan pekerjaannya memanggang daging setelah beberapa kali menengok ke atas dan melihat bahwa ular itu sudah tidak tampak lagi.

“Enci Hong Kui, engkau seorang yang memiliki kepandaian begitu tinggi takut melihat seekor ular kecil itu? Biar ada seratus ekor seperti itu, mana mungkin bisa mengganggu seorang lihai seperti engkau?”

“Ah, engkau tidak tahu, Kian Bu. Andaikata aku tidak takut terhadap ular, tentu sudah sejak dahulu aku pergi mencari anak naga di Telaga Sungari itu! Akan tetapi, aku amat takut melihat ular....”

“Enci, sungguh aneh sekali. Mengapa orang yang lihai seperti engkau takut melihat ular?”

“Aku bukan takut, akan tetapi lebih dari takut, aku jijik sekali dan bisa pingsan kalau melihatnya. Dan tentu saja ada sebabnya.... ehh, malu aku untuk menceritakan pengalamanku di waktu aku baru berusia belasan tahun itu.”

Wanita itu lalu menunduk. Kedua pipinya yang halus menjadi kemerahan, dari bawah matanya mengerling tajam ke atas dan bibirnya menahan senyum, giginya yang putih menggigit bibir bawah. Sikap malu-malu kucing ini kelihatan manis dan menarik sekali sehingga timbul keinginan tahu Kian Bu untuk mendengar cerita yang tentu aneh itu sehingga orangnya sampai merasa malu untuk bercerita.

“Enci Hong Kui, diantara kita yang sudah seperti kakak dan adik sendiri, mengapa engkau merasa malu? Ceritakanlah, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang begini lihai sampai pingsan ketakutan melihat seekor ular kecil tadi.”

“Terjadi di waktu aku berusia kira-kira tiga belas tahun,” wanita itu bercerita sambil menunduk dan memperhatikan daging yang dipanggangnya. “Pada suatu hari ketika aku tertidur di dalam kamarku, tengah malam aku terbangun dengan kaget sekali dan.... dan.... dapat kau bayangkan betapa ngeri dan jijik serta takutku ketika aku merasa ada sesuatu yang dingin bergerak-gerak di dalam.... celanaku, di paha....”

Kian Bu terbelalak, mulutnya ternganga memandang wanita itu yang hanya mengangkat muka sebentar memandangnya kemudian menunduk kembali dengan pipi yang makin kemerahan.

“Ketika aku cepat-cepat melepas pakaian.... ternyata.... benda bergerak itu adalah seekor ular hitam! Aku menjerit-jerit dan jatuh pingsan. Nah, semenjak saat itulah setiap kali melihat ular, terbayang kembali kengerian hatiku di waktu dahulu itu dan aku tak kuat menahan.”

Hening sejenak. Entah mengapa, membayangkan pengalaman wanita ini di waktu berusia belasan tahun itu, jantung Kian Bu berdebar tegang dan beberapa kali dia menelan ludah.

“Memang.... memang mengerikan....” komentarnya pendek.

“Itulah sebabnya mengapa setelah mendengar bahwa yang menjadi obat tubuhku hanya anak naga di Telaga Sungari, aku menjadi ngeri dan takut. Untung aku bertemu dengan engkau, Kian Bu, yang telah begini baik hati untuk membantu aku menangkap anak naga itu. Kalau aku sendiri harus menangkapnya, apalagi anak naga, baru melihat seekor ular biasa saja aku sudah akan jatuh pingsan!”

Beberapa hari kemudian, mereka tiba di luar sebuah dusun. Telaga Sungari tidak begitu jauh lagi dari situ. Ketika melihat sebatang anak sungai yang airnya amat jernih mengalir di luar dusun itu, dan betapa tempat itu sunyi sekali, Hong Kui berkata,

“Kian Bu, aku merasa gerah sekali. Air itu jernih, aku ingin mandi.”

“Akan tetapi tempat ini dekat dusun, Enci. Tentu akan ada orang lewat nanti....”

Hong Kui mengerling penuh celaan.
“Habis ada engkau untuk apa?” katanya menegur sambil tersenyum. “Kau jagalah di sini sebentar agar kalau ada orang lewat, kau minta dia jangan ke sungai dulu sebelum aku selesai mandi. Aku tidak akan lama, asal sudah berendam sebentar pun cukuplah untuk mengusir kegerahan dan menghilangkan debu yang menempel di tubuh.”

“Baiklah....”

Kian Bu lalu duduk di tepi jalan, membelakangi anak sungai yang tidak begitu jauh dari jalan kecil itu. Memang panas hawanya siang hari itu dan Kian Bu membuka kancing bajunya menelanjangi dada agar terhembus angin lalu. Hatinya gembira. Selama melakukan perjalanan dengan Hong Kui, dia makin tertarik dan kagum kepada wanita itu. Gayanya yang genit memikat, persis seperti yang dulu ditirukan oleh Siang In, akan tetapi tentu saja lebih memikat karena gerak-gerik Hong Kui tidak dibuat-buat, memang sudah menjadi wataknya.

Biarpun genit memikat, namun wanita ini sopan dan amat baik terhadap dia, tidak pernah mengeluarkan kata-kata cabul, apalagi melakukan sesuatu yang tidak sopan. Hanya setiap kali mereka bersentuhan, seperti ada aliran hawa panas keluar dari tubuh wanita itu menjalar di seluruh tubuhnya dan menggoncang jantungnya!

“Eiiihhh.... ular.... tolong.... Kian Bu....!”

Jerit ini mengejutkan Kian Bu. Sekali meloncat dia telah mengejar ke pinggir sungai dan alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tubuh Hong Kui rebah miring dengan kepala masuk ke dalam air, sedangkan seekor ular hitam yang panjangnya ada satu meter berenang terbirit-birit meninggalkan tempat itu menyeberang anak sungai.

Celaka, pikirnya, kalau tidak cepat ditolong, Hong Kui yang pingsan dengan kepala terbenam air itu tentu akan kehabisan napas dan tewas! Maka dia lalu meloncat mendekati, memasuki anak sungai yang airnya hanya setinggi lututnya, kemudian dia mengangkat tubuh Hong Kui yang lemas.

Dapat dibayangkan betapa kacau perasaan Kian Bu ketika mengangkat tubuh yang sama sekali tidak berpakaian, yang telanjang bulat itu! Ketika dia mengangkat tubuh polos itu, dia mencoba untuk memejamkan mata dan tidak melihat.

Akan tetapi tangannya dan lengannya menyentuh kulit tubuh yang mulus dan hangat, dan jantungnya berdebar hampir copot dari tempatnya! Dan dia pun tidak mungkin memejamkan mata terus karena dia harus membawa Hong Kui ke tepi anak sungai. Tidak lupa dia menyambar pakaian wanita itu yang tadi terletak di atas sebuah batu.

Teringat bahwa wanita itu tentu akan merasa malu sekali kalau sadar nanti dalam keadaan polos, Kian Bu lalu cepat-cepat mengenakan pakaian Hong Kui pada tubuh itu. Dan tentu saja untuk dapat melakukan ini, dia harus membuka matanya, dan karena dia membuka matanya, tentu saja dia melihat dengan jelas semua bagian tubuh yang berada di depan hidungnya!

Sekali melihat, dia tidak kuasa lagi untuk menahan matanya yang menjelajahi semua bagian tubuh yang mulus dan menggairahkan itu. Berkali-kali dia menelan ludah karena merasa lehernya seperti dicekik. Jari-jari tangannya menggigil sehingga sampai lama barulah akhirnya dia berhasil mengenakan pakaian itu pada tubuh Hong Kui, walaupun setengah memaksa kedua tangannya yang agaknya mau mogok saja!

Begitu akhirnya Kian Bu selesai mengenakan pakaian Hong Kui, wanita itu siuman dan mengeluh, kemudian merangkul pinggang Kian Bu sambil merintih ketakutan,

“Ular.... ular....”

Kian Bu tersenyum, merasa geli juga melihat wanita yang dia tahu amat lihai ini menjadi begitu ketakutan seperti anak kecil ketika bertemu ular.

“Ularnya sudah pergi, Enci Hong Kui.”

Wanita itu kembali mengeluh, kemudian tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dan melepaskan pelukannya, melihat ke arah tubuhnya yang sudah berpakaian.

“Eh.... ahhh.... aku tadi sedang mandi.... ada ular hitam menjijikkan....”

“Kau menjerit dan aku melihat engkau pingsan di air, Enci....”

“Dan aku....” Muka yang halus itu menjadi merah sekali dan matanya mengerling malu-malu, sikap yang bahkan amat manis dan menarik hati, “....aku tadi mandi.... kutanggalkan pakaianku....”

Kini Kian Bu memandang dengan muka terasa panas.
“Aku yang mengenakan kembali pakaianmu, Enci Hong Kui.”

“Aihhh.... engkau.... engkau baik sekali, Kian Bu.”

Kian Bu yang masih hijau itu tentu saja sama sekali tidak menduga bahwa ular-ular itu, baik yang merayap di cabang pohon maupun di sungai, adalah ular-ular yang sengaja ditangkap oleh Hong Kui dan dilepas di dekatnya, tidak tahu bahwa wanita ini sama sekali tidak takut terhadap ular yang bagaimana juga pun, bahkan sejak kecil dia telah biasa bermain-main dengan ular berbisa! Kian Bu tidak tahu bahwa wanita itu secara halus dan cerdik sekali mulai menggoda dan memikat hatinya.

Dan memang hati Kian Bu terguncang hebat sekali. Mula-mula hatinya sudah tergerak oleh cerita Hong Kui yang membuat dia selalu membayangkan yang bukan-bukan, kemudian dia disuguhi pemandangan yang amat mengesankan, melihat tubuh telanjang bulat yang menggairahkan itu, sehingga setiap kali memandang Hong Kui, dia melihat seolah-olah wanita itu tidak berpakaian. Penglihatan itu terus menggodanya, membuat dia selalu terbayang akan hal yang mesra dan seringkali Kian Bu termenung.

Dia tidak tahu betapa Hong Kui seringkali tersenyum puas dan sepasang matanya kelihatan bersinar-sinar karena wanita yang berpengalaman ini dapat menduga bahwa siasatnya telah berhasil dan dia telah berhasil mengisi hati dan pikiran pemuda yang dicintanya ini dengan nafsu berahi yang berkobar. Hanya berkat pendidikan yang baik di Pulau Es saja yang membuat Kian Bu masih dapat bertahan dan selalu menindas kobaran nafsu berahi itu.

Akan tetapi, pemuda ini merasa tersiksa sekali dan kini dia melihat setiap gerak-gerik Hong Kui sebagai sesuatu yang amat indah dan manis membangkitkan berahinya. Apalagi memang sikap Hong Kui tepat seperti yang dikatakan Siang In dahulu, yaitu genit memikat, baik cara matanya memandang dan mengerling, cara bibirnya bergerak dalam berkata-kata atau tersenyum, gerak lehernya, lengannya, pinggang dan pinggulnya ketika berjalan, sentuhan-sentuhan halus ujung jari tangannya, harum wangi-wangian yang keluar dari tubuhnya dan rambutnya, getaran pada suaranya yang mesra.

Bagaikan seekor laba-laba yang menjerat seekor lalat, Hong Kui terus memperketat jeratnya dan matanya yang penuh pengalaman itu melihat betapa lalat itu menjadi makin lemah, makin berkurang daya tahan dan daya lawannya, sampai dia yakin benar bahwa lalat itu sudah siap dan matang untuk dihisap darahnya.

Dan malam itu, ketika mereka berdua bermalam di sebuah rumah penginapan di dalam sebuah dusun, dia mengambil keputusan untuk melakukan penerkaman terakhir. Dia sengaja memesan masakan-masakan lezat dan arak wangi sampai dua guci besar. Ketika Kian Bu menyatakan keheranannya, Hong Kui berkata sambil tersenyum manis.

“Kian Bu, hari ini kebetulan adalah hari ulang tahunku, maka aku hendak merayakannya. Engkau tentu mau menemaniku merayakan hari ulang tahunku, bukan?”

Wajah Kian Bu berseri.
“Ah, tentu saja, Enci Hong Kui! Dan biarlah aku mengucapkan selamat atas hari ulang tahunmu ini!” Kian Bu menjura dan dibalas oleh Hong Kui sambil tersenyum.

“Engkau baik sekali, terima kasih. Mari kita makan minum sekedarnya.”

Mereka duduk menghadapi meja yang penuh hidangan, dan Hong Kui menuangkan arak wangi di dalam cawan mereka. Kian Bu mengangkat cawan sambil berkata,

“Semoga engkau panjang usia, banyak rejeki dan berbahagia, Enci”

“Terima kasih!” Mereka mengangkat cawan lalu minum arak itu.

“Kalau aku boleh bertanya, hari ini merupakan ulang tahunmu yang ke berapa, Enci Hong Kui?”

Wanita itu memandang dengan mata dan mulut berseri.
“Coba kau terka, berapa kiranya umurku sekarang, Kian Bu?”

Kian Bu memandang wajah yang cerah itu. Dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu lebih tua daripada nampaknya, mengingat bahwa suhengnya, Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek, dan sucinya, mendiang Hek-wan Kui-bo, adalah seorang nenek. Akan tetapi melihat wajah yang cantik itu, orang akan menduga bahwa wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya.

Dan Kian Bu yang sejak keluar dari Pulau Es sudah sangat memperhatikan wanita, mengerti bahwa wanita paling suka mendengar dugaan orang bahwa dia masih muda, maka sambil tersenyum dia menjawab,

“Menurut dugaanku, usiamu paling banyak dua puluh tahun, Enci.”

“Hi-hi-hik!” Hong Kui tertawa merdu sambil menutupi mulutnya dan matanya mengerling tajam. “Masa kau kira aku semuda itu, Kian Bu? Bukan paling banyak dua puluh tahun, melainkan dua puluh dua tahun. Usiaku sudah dua puluh dua tahun, Kian Bu. Aihhh, tanpa kusadari aku sudah menjadi sangat tua, bukan? Setua nenek-nenek....” Dia menarik napas panjang.

“Ah, siapa bilang engkau sudah tua, Enci? Sama sekali tidak! Engkau masih sangat muda dan.... dan....” Kian Bu teringat bahwa dia sudah terlanjur bicara, maka dia cepat menahan kata-katanya dan menunduk.

“Ya....? Mengapa tidak kau teruskan? Katakanlah bahwa aku jelek dan tua.”

Kian Bu tidak dapat melanjutkan karena dari pandang mata wanita itu, dia tahu bahwa wanita itu menertawakan dia. Hong Kui juga tidak mau mendesak dan kembali mengisi arak ke dalam cawan Kian Bu yang sudah kosong.

Mereka makan minum dan karena pandainya Hong Kui bicara, Kian Bu terpaksa menemaninya minum arak sampai dua guci besar itu habis memasuki perut mereka! Malam telah gelap ketika dalam keadaan setengah mabok Kian Bu mencuci muka dan mulut, menggosok gigi lalu memasuki kamarnya.

Begitu membuka baju karena arak membuat tubuhnya gerah dan melemparkan bajunya ke atas meja, membuka sepatunya, dia lalu melempar tubuhnya yang hanya memakai celana itu ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar