FB

FB


Ads

Selasa, 03 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 101

Gadis itu menjadi gemas akan kebodohan pemuda itu.
“Dasar engkau tolol! Nah, dengarkan baik-baik, dan lihat baik-baik, buka telinga dan matamu lebar-lebar. Wanita yang genit memikat itu adalah seorang wanita yang pandai bergaya palsu, tidak wajar, seperti seorang pemain sandiwara, kau pernah melihat wayang? Nah, dia beraksi di depan pria untuk memikat hati pria itu, langkahnya dibuat-buat.”

Gadis itu lalu melangkah hilir-mudik di depan Kian Bu, lenggangnya dibuat-buat dan karena memang bentuk tubuhnya ramping dan lekuk-lengkungnya penuh dan padat dalam keranumannya, belum masak benar akan tetapi tubuhnya lunak dan lemas sekali, maka ketika dia melenggang dengan gaya dibuat-buat itu, pinggangnya berliuk seperti batang yang-liu tertiup angin, pinggulnya seperti dua benda hidup bergerak ke kanan kiri dan lehernya yang panjang menoleh kanan kiri!

“Selain lenggangnya menarik, dia pun menggerak-gerakkan bibirnya dan matanya menyambarkan kerling maut, seperti ini....”

Kian Bu berdiri bengong, matanya terbelalak, mulutnya ternganga sehingga kalau banyak lalat di situ mungkin mulutnya akan kemasukan lalat tanpa disadarinya, seluruh perhatiannya terbetot dan semangatnya terseret karena dia sudah terpikat benar-benar oleh peniruan sikap genit memikat dari gadis itu!

Kini dia mengikuti gerak bibir yang mencap-mencep, dasar bibirnya berbentuk bagus sekali, merah membasah, yang bawah penuh berkulit dan penuh berkulit tipis seperti mudah sekali pecah, kadang-kadang digigit oleh giginya yang putih, dilepaskan lagi, dijebikan, pendeknya setiap gerak bibir itu menimbulkan kemanisan tersendiri. Semua ini ditambah oleh matanya yang bening itu mengerling penuh daya pikat sehingga Kian Bu merasa seolah-olah disedot dan ingin dia melangkah mendekati gadis itu, seperti besi ditarik semberani!

“Lenggang dan gerak bibir dan mata ini tentu saja ditambah dengan sentuhan-sentuhan memikat untuk menjatuhkan hati pria, begini contohnya....”

Kini gadis yang melenggang hilir-mudik di depan Kian Bu itu mendekat dan sambil lewat kini telunjuknya bergerak, mencubit lengan, menowel dagu Kian Bu. Hampir saja Kian Bu tidak kuat bertahan lagi. Bau sedap harum yang keluar dari dara itu ketika mendekat, sentuhan halus telunjuk ke dagunya yang mengirim getaran sampai ke ujung kaki dan ubun-ubun kepalanya, benar-benar membuat gadis itu amat menarik dan memikat. Hampir saja dia lupa diri dan memeluk dengan gemas. Akan tetapi tentu saja ditahannya keinginan ini dan dia makin bingung, makin melongo dan bengong terpesona.

Dara itu tertawa cekikikan dengan geli hati ketika melihat betapa pemuda tampan itu plonga-plongo seperti seorang tolol ketika melihat dia bergaya tadi.

“Eh, kau kenapa sih?”

Kian Bu sadar kembali dan dia tersenyum, mengusap kepalanya seolah-olah hendak mengusir kepeningan otaknya.

“Wah, engkau hebat sekali, Nona. Eh, sebetulnya siapa sih yang kau cari itu? Dan mengapa kau mencarinya?”

Gadis itu duduk di atas akar pohon, membiarkan kuda keramatnya itu terlepas begitu saja. Kian Bu juga duduk di depannya dan gadis itu memandang wajah Kian Bu penuh selidik, baru dia berkata,

“Wajahmu mendatangkan kepercayaan di hatiku, tidak seperti wajah orang-orang yang kutemui sebelum ini.”

Kian Bu mengusap mukanya.
“Wajahku kenapa sih?”

“Wajahmu seperti orang tolol.... hi-hik, dan orang-orang tolol merupakan orang yang boleh dipercaya, tidak seperti orang-orang pintar yang biasanya terlalu pintar, akan tetapi kepintarannya itu hanya untuk menipu orang lain. Eh, siapa sih namamu? Kalau belum kenal, mana mungkin aku menceritakan keadaanku?”

“Aku Suma Kian Bu, dan kau....”

“Namaku Siang In, she Teng.”

“Teng Siang In, nama yang indah, seindah orangnya.”

“Hi-hik!”

“Kenapa kau tertawa, Siang In?”

“Kurasa kau agaknya berdaya-upaya untuk memuji-mujiku. Apakah engkau merupakan seorang yang genit memikat pula? Tentu saja dari golongan laki-laki! Biasanya laki-laki memikat wanita dengan pujian-pujian.”

“Wah, kau agaknya serba tahu saja. Siang In, aku suka bersahabat denganmu. Engkau seorang gadis yang jujur, pandai sastra, suaramu merdu, wajahmu cantik jelita, dan kau aneh sekali, sungguh menarik hatiku. Sekarang ceritakan, siapa yang kau cari itu?”

“Kian Bu, entah mengapa, begitu bertemu dengan engkau hatiku terus saja percaya penuh, seolah-olah sudah lama aku mengenalmu. Eh, kau tadi bilang tentang orang di bawah pohon, yang kau cari-cari tadi. Siapa dia?” Gadis itu tiba-tiba memandang dengan penuh kecurigaan ke kanan kiri.

“Aku pun heran sekali. Tadi aku melihat seorang kakek tua renta berada di bawah pohon, tertidur mendengkur, akan tetapi dalam sekejap mata saja lenyap seperti setan.”






“Ihhh.... aku paling ngeri dengan segala setan!”

Gadis itu ketakutan dan menggeser duduknya lebih dekat dengan Kian Bu. Tentu saja pemuda itu menjadi girang dan dia melanjutkan ceritanya.

“Tadi aku mengaso di atas pohon itu dan aku tidak melihat ada orang datang dekat.... eh, tahu-tahu ada seorang kakek tua sekali tidur di bawah pohon, mendengkur dan kakek itu rambutnya sudah putih semua, tidak seperti manusia biasa. Aku sudah curiga karena kedatangannya yang tiba-tiba itu tidak lumrah, dan tadi.... eh, tahu-tahu dia lenyap begitu saja. Apalagi kalau bukan iblis penunggu hutan ini....”

Gadis ini makin ketakutan, mepet dan memegang lengan Kian Bu. Akan tetapi betapa kagetnya hati Kian Bu melihat wajah gadis itu menjadi pucat sekali dan ada air mata di pipinya. Gadis itu menangis saking takutnya! Kian Bu menjadi menyesal sekali dan cepat dia meloncat berdiri sambil bertepuk tangan.

“Ha-ha-ha, engkau kena kubohongi! Tidak ada setan tidak ada apa-apa!”

Dara itu cemberut.
“Ihh, engkau sungguh nakal. Aku sampai hampir pingsan ketakutan. Kau bukan orang baik, kau suka bohong, aku tidak jadi berteman denganmu kalau begitu!” Gadis itu sudah bangkit berdiri dan hendak pergi menghampiri keledainya.

Kian Bu tertegun. Bocah ini benar aneh. Biarpun belum matang benar, akan tetapi juga bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi di samping kecantikannya dan pandainya bergaya, seperti orang dewasa, gadis ini takut kepada setan dan suka ngambek seperti anak kecil!

“Ah, Siang In, kau maafkanlah aku. Aku hanya main-main, masa engkau menjadi marah? Maafkan aku.”

“Aku mau maafkan kalau kau berlutut dan menyebut aku nenek!” gadis itu berkata cemberut dan membanting-banting kaki kanannya.

Kian Bu hampir tertawa bergelak, akan tetapi untuk menyenangkan hati gadis remaja yang aneh itu, apa boleh buat dia lalu berlutut, mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan sambil menyebut,

“Nenekku yang baik, kau ampunkan cucumu ini!”

“Hi-hi-hik!”

Gadis itu terkekeh dan Kian Bu juga bangkit sambil tertawa-tawa. Keduanya tertawa gembira dan duduk lagi di atas akar pohon. Aneh, Kian Bu merasa gembira sekali dan lenyaplah semua bayangan gelap dari masa lalu. Dia kini sudah lebih matang dan hati-hati, tidak mau gampang saja jatuh cinta. Dara ini merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.

“Siang In, sekarang kau ceritakan tentang dirimu dan mengapa engkau berada di tempat sunyi ini seorang diri dan siapa itu wanita genit memikat yang kau cari itu.”

Setelah kini bebas dari perasaan takut akan setan, sepasang pipi dara itu menjadi kemerahan lagi, bibirnya yang manis merekah penuh senyum dan matanya yang jeli besinar-sinar.

“Tidak ada apa-apanya yang menarik dalam riwayatku,” gadis itu memulai.

“Orangnya saja sudah amat menarik, apalagi riwayatnya.” Kian Bu berkata dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya.

“Eh, Twako.... kau mau kan kusebut twako? Aku tidak mempunyai kakak laki-laki, maka biarlah engkau menjadi penggantinya. Kalau aku tidak merasa yakin bahwa engkau seorang yang baik, tentu aku curiga melihat sikapmu terlalu manis, pujian-pujianmu terlalu muluk itu. Sikapmu seperti laki-laki perayu wanita benar!”

“Aku hanya bilang sejujurnya, masa tidak boleh? Aku suka akan kembang indah harum, suka melihat dara secantik engkau. Apakah aku harus membohong mengatakan engkau gadis buruk?”

Siang In tertawa.
“Akan tetapi sinar matamu kalau memandangku.... hihhh, aku menjadi ngeri dibuatnya! Nah, aku mau bercerita tentang diriku. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi....”

“Aduh kasihan....!”

“Akan tetapi aku mempunyai seorang enci (kakak perempuan)....”

“Juga cantik jelita jelita seperti engkau?”

“Ihh, Twako. Engkau mata keranjang benar!”

“Lho, kenapa mata keranjang? Pertanyaan wajar, kan? Masa aku harus bertanya apakah encimu itu tampan dan gagah, kan menjadi banci nanti!”

Mereka berdua tertawa-tawa lagi dan hutan yang biasanya sunyi itu kini bergema suara tertawa pemuda dan dara itu.

“Tentu saja enciku yang bernama Siang Hwa amat cantik melebihi aku yang buruk ini. Kami berdua tinggal di lereng gunung sana itu melanjutkan usaha mendiang Ayah, menanam obat-obatan yang kami jual ke kota dan sebagian kami bagi-bagikan kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan obat.”

“Aih, kiranya engkau ini ahli obat, ya? Lengkap benar kepandaianmu?”

“Lengkap apanya?”

“Coba kuhitung. Satu, engkau pandai memelihara kuda keramat, dua, engkau pandai meniru gaya wayang dan berperan sebagai wanita genit memikat, tiga, engkau pandai ilmu silat, dan empat, engkau pandai ilmu pengobatan!”

“Huh, engkau hanya memuji kosong saja, kalau kudengarkan kepalaku bisa berubah menjadi segentong besarnya. Sudah, tak perlu memuji-muji, tapi dengarkan ceritaku. Mendiang ayahku barulah berani disebut ahli pengobatan karena beliau itu terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Yok-sian....”

“Ahhh....!”

Kian Bu berteriak dan meloncat berdiri. Teringat akan setan yang amat ditakuti, Siang In juga meloncat dan memandang ke kanan kiri.

“Ada apa?” Dia sudah memegang lengan pemuda itu lagi.

“O, tidak ada apa-apa, aku hanya terkejut mendengar julukan ayahmu.”

“Huh, kekagetanmu membikin aku kaget.” Mereka duduk kembali di atas akar pohon.

“Apakah ayahmu itu Suheng dari kakek yang berjuluk Sin-ciang Yok-kwi?”

“Eh, bagaimana engkau bisa mengenal julukan Susiok (Paman Guru)?”

“Wah, engkau yang kami caci-cari, ketemu sekarang orangnya!”

“Lho, kenapa mencari-cari aku?”

Kian Bu lalu menceritakan tentang “keponakannya” yang terluka hebat oleh pukulan beracun dan menurut keterangan Sin-ciang Yok-kwi, seorang di antara mereka yang kiranya dapat mengobati gadis keponakannya itu adalah keturunan Yok-sian.

“Sayang, sekarang keponakanku itu pergi entah ke mana sehingga biarpun aku berjumpa denganmu juga percuma.”

“Dan pula, aku juga tidak bisa mengobati. Aku hanya ahli mengenal buah, bunga, daun, dan akar obat. Yang mewarisi kepandaian Ayah adalah Enci Siang Hwa. Bu-twako, kalau kau terus-terusan mengganggu ceritaku, tidak akan habis-habis riwayatku.”

“Oh, teruskanlah.”

“Seperti kuceritakan tadi, kami hidup berdua saja. Aku tukang menanam tumbuh-tumbuhan obat, mencari dan memilih bibit bibitnya dari hutan, dan enci yang menjual hasil tanaman itu ke kota. Pada beberapa hari yang lalu, aku sendirian saja di rumah, Enci sudah dua hari pergi ke kota menjual obat dan belum juga pulang, padahal biasanya tidak pernah bermalam. Lalu datang seorang wanita.”

“Genit pemikat.”

“Kok tahu?”

“Yang kau cari-cari itu tentu, siapa lagi!”

“Benar. Wanita cantik pesolek itu datang dan karena sikapnya manis budi, dan di lereng itu kami tidak mempunyai tetangga dan hari sudah malam, aku tidak keberatan ketika dia menyatakan hendak bermalam. Dia pandai bicara dan ramah sekali, sampai aku lalai dibuatnya dan pada keesokan harinya, Si Cantik Genit itu telah pergi sebelum aku bangun....”

“Wah engkau tentu pemalas dan bangunmu kesiangan!”

“Ngaco! Siapa bilang aku pemalas? Jam lima pagi aku sudah bangun, tidak mau keduluan ayam....”

“Makannya!”

“Ihh, kau menghina, ya? Kalau aku gembul makan, tentu tubuhku menjadi gendut. Nih, lihat, apa aku gendut?”

“Kau ramping! Habis, tidak mau keduluan apa oleh ayam?”

“Mandi.”

“Wah, tentu saja! Habis, ayam tidak pernah mandi, biar kau bangun jam sembilan dan mandi jam sepuluh juga tidak akan keduluan ayam. Sudahlah, lalu bagaimana?”

“Ya sudah habis. Wanita cantik genit memikat itu pergi dan aku lalu melakukan pengejaran sampai di sini. Tadinya aku mencari di pegunungan itu tidak ketemu, lalu aku pulang menanti Enci kembali dari kota untuk melaporkan hal itu. Akan tetapi sampai lima hari Enci tidak pulang-pulang, aku khawatir Enci mendapatkan halangan biarpun dia pandai ilmu silat dan tidak sembarangan orang mampu mencelakainya. Aku lalu mengajak Pek-liong pergi mencari Enci dan perempuan maling kitab itu.”

“Pek-liong (Naga Putih).?”

“Itulah dia Pek-liong.”

Dara itu menuding ke arah keledai yang masih enak enak makan rumput. Kian Bu menahan gelinya. Keledai kecil itu dinamakan Naga Putih!

“Wah, kasihan sekali engkau, Siang In.”

“Sudah, aku tidak minta kasihanmu, sekarang kau ceritakan riwayatmu.”

“Riwayatku? Aku orang biasa saja....”

“Tidak, engkau luar biasa. Tidak ada pemuda gunung buta huruf yang mengenal sajak Li Shang Yin dan Yen Siang!”

“Habis, menurut penglihatanmu, aku orang apa?”

“Engkau tentu seorang pemuda kota, seorang sastrawan lemah yang terbuai khayal, agak berfilsafat dan engkau perayu wanita tapi tidak kurang ajar dan.... sudah, kau ceritakan riwayatmu.”

“Riwayatku tidak ada apa-apanya. Namaku Suma Kian Bu dan aku sedang merantau untuk menghibur hati dan melihat keindahan alam, aku suka akan kesunyian maka aku berada di hutan ini. Eh, sekarang kau hendak ke mana, Adik Siang In yang baik?”

Dara itu lupa bahwa penuturan riwayat Kian Bu itu sama sekali tidak lengkap, karena dia sudah terpikat oleh sikap dan pertanyaan yang ramah itu.

“Aku hendak mencari enciku dan perempuan genit itu.”

“Kemana?”

Dara itu mengerutkan alisnya.
“Entahlah. Sampai di sini aku kehilangan jejak. Di dusun seberang gurun itu ada yang melihat Si Perempuan Genit menuju ke sini, maka aku mengejar. Kiranya bertemu dengan engkau, dan sialnya engkau tidak melihat perempuan itu.”

“Mari kubantu engkau mencari dia dan encimu.”

“Ke mana?”

“Ke mana saja, dan karena menurut penyelidikanmu, wanita itu lewat ke jurusan ini, kita tentu akan dapat menemukan jejaknya lagi di luar dusun ini, asal kita dapat melewati dusun.”

“Aku pernah mencari daun-daun obat di hutan ini dan di sebelah barat hutan ini terdapat perkampungan.”

“Bagus sekali. Kalau begitu kita mencari ke sana. Hayo kita berangkat!”

Siang In kelihatan girang sekali. Dia mengambil payungnya dari telinga keledai karena biar keledai itu makan rumput, payung tadi masih saja tergantung di telinganya, kemudian menuntun keledainya.

“Kenapa tidak kau tunggangi?”

“Ah, tidak. Enakan berjalan bersama engkau, Twako. Kalau hanya aku sendiri menunggang keledai dan kau jalan, tidak enak, ah!”

“Ditunggangi berdua pun kasihan, keledai kecil begitu.”

“Ih, jangan memandang rendah kuda keramatku, ya? Mau mencoba kekuatannya? Mari kau meloncat ke punggungnya,”

Siang In menantang. Karena ingin tahu, Kian Bu menurut dan naik ke punggung kuda atau keledai itu.

“Kau maju sedikit, beri tempat untukku!” Siang In berseru.

Kian Bu makin heran, akan tetapi dia menggeser ke depan dan tiba-tiba dia merasa betapa bagian belakang tubuhnya bersentuhan ketat dengan sesuatu yang lunak dan hangat. Tubuh dara itu yang sudah duduk di belakangnya! Dia merasa geli dan bulu tengkuknya berdiri semua sehingga dia tertawa-tawa.

“Apa cekikikan? Lihat betapa kuatnya kuda keramatku Pek-liong agar engkau tidak menghinanya lagi. Pek-liong, terbanglah!”

Siang In mengeprak perut keledai itu dengan tumit kakinya. Dan hampir saja Kian Bu berteriak saking kagetnya ketika tiba-tiba keledai itu meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali! Benar-benar cepat larinya, tidak kalah oleh kuda besar yang manapun sehingga dia melihat pohon-pohonan berlari-lari di kanan kirinya dan telinganya mendengar desir angin!

Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak merasa takut karena ilmunya berlari cepat tidak kalah cepatnya dengan larinya keledai ini, dan sebetulnya dia merasa nikmat dan senang sekali karena punggungnya beradu ketat dengan dada gadis itu ketika keledai berlari, akan tetapi karena dia ingin dianggap sebagai “sastrawan lemah” maka dia sengaja berteriak-teriak ketakutan.

Siang In menghentikan keledainya dan tertawa.
“Bagaimana? Kau masih berani menghina Pek-liong?”

Dia melompat turun dan Kian Bu juga merosot turun. Dilihatnya keledai itu bernapas biasa saja sehingga diam-diam dia menjadi kagum juga.

“Wah, wah, sebentar lagi dia tentu benar-benar terbang. Agaknya kudamu ini memang penjelmaan naga putih, Adik Siang In.”

Gadis itu gembira sekali mendengar pujian ini dan mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bersendau-gurau dan tertawa-tawa, kalau dilihat dari jauh seperti sepasang orang muda sedang bertamasya saja layaknya.

Betapa indahnya hidup ini bagi orang-orang muda, maka kasihanlah orang-orang muda yang tidak mampu menikmati keindahan hidup, bahkan terseret mencari-cari kesenangan hampa yang mengotorkan tubuh dan jiwa!

**** 101 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar