FB

FB


Ads

Minggu, 01 Februari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 115

“Milana, dengar dulu keteranganku! Nona Siok Bi dan Nona Kim Bwee, aku tidak bersalah....!”

“Manusia hina!”

Milana memaki dan pedangnya sudah menerjang dengan hebatnya dan karena Bun Beng tidak menggunakan Hok-mo-kiam menangkis, pedangnya itu sibuk menangkis serangan Lam-mo-kiam dan tongkat kakek muka buruk, maka elakannya masih belum cukup menghindarkan diri dan kembali pedang di tangan Milana telah berhasil melukai paha kirinya sehingga celana dan kulit pahanya robek dan berdarah.

“Gak Bun Beng, kematian sudah di depan mata, tidak perlu banyak cerewet lagi!”

Wan Keng In mengejek dan Lam-mo-kiam di tangannya menyambar dahsyat, dengan bertubi-tubi menusuk dada dan membabat leher sedangkan dari belakang Bun Beng, tongkat kakek muka buruk menyambar ganas menyerang kedua kaki dan perut pemuda itu.

“Wan Keng In.... aku ada pesanan dari ibumu....”

“Wuuuuttt.... singgg.... tranggg!”

Pedang Hok-mo-kiam sekali lagi membentur Lam-mo-kiam sampai hampir saja tubuh Keng In terpelanting.

“Desss!”

Tongkat kepala naga itu berhasil menggebuk pinggang Bun Beng dari belakang. Biarpun Bun Beng sudah kebal tubuhnya oleh sin-kang gabungan yang dia terima dari Pendekar Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, namun hantaman itu hebat bukan main sehingga Bun Beng muntahkan darah segar dari mulutnya.

Hal ini bukan berarti bahwa dia terluka hebat karena sin-kang yang mujijat telah melindungi bagian dalam tubuhnya. Dia memutar tubuh dan membabatkan pedang Hok-mo-kiam, akan tetapi terpaksa menarik kembali pedangnya itu karena melihat Milana sudah bergerak menyerangnya sehingga kalau pedangnya dia lanjutkan, tentu dia akan merusak pedang Milana!

Kembali dia dikepung dengan ketat oleh lima orang itu yang seolah-olah telah berubah menjadi iblis-iblis yang haus darah! Diam-diam Bun Beng mengeluh. Dua orang itu, Wan Keng In dan Si Kakek Muka Buruk, terlampau lihai untuk ditandingi dengan setengah hati.

Akan tetapi untuk melawan sungguh-sungguh, gerakannya terbatas oleh adanya Milana disitu dan dua orang gadis yang ikut mengeroyoknya. Kalau saja disitu tidak ada Wan Keng In dan Si Kakek Aneh, tentu ia dapat meloloskan diri, namun Wan Keng In dengan Lam-mo-kiam bukan main dahsyatnya, ditambah kakek yang menggerakkan tongkatnya secara lihai sekali.

Sai-cu Lo-mo duduk di dekat guha dan menonton dengan alis berkerut dan muka kelihatan berduka sekali. Dia masih hampir tidak dapat percaya bahwa pemuda itu telah berubah menjadi seorang jai-hwa-cat yang hina, akan tetapi saksi-saksinya banyak. Tidak mungkin dua orang dara itu membohong, apalagi Milana! Hatinya seperti diremas-remas dan melihat jalannya pertandingan, hatinya makin perih lagi karena dia maklum bahwa Bun Beng akan celaka hanya karena pemuda itu tidak mau melukai Milana dan dua orang gadis lain sehingga membuat gerakannya kacau dan terbatas sedangkan Wan Keng In dan kakek muka buruk itu demikian hebat gerakannya.

Dugaan Sai-cu Lo-mo memang benar. Beberapa kali Bun Beng terpaksa menerima tusukan pedang Milana dan dua orang gadis sehingga pakaiannya sudah penuh dengan darahnya sendiri. Melihat keadaan ini, lima orang pengeroyok itu menjadi makin ganas dan suatu saat, lima buah senjata mereka menyambar secara berbareng!

“Haiiiihhhh....!”

Suara melengking dari mulut Bun Beng ini membuat Siok Bi dan Kim Bwee terpelanting dan pedang Hok-mo-kiam berhasil menangkis Lam-mo-kiam dan membabat buntung tongkat kepala naga, akan tetapi kembali pedang Milana berhasil membacok pangkal lengannya di bahu kanan, membuat lengan kanannya setengah lumpuh dan tubuh Bun Beng terhuyung ke belakang!

“Mampuslah!” Keng In berteriak girang dan menerjang maju, menggerakkan Lam-mo-kiam membacok.






“Cringgg....!”

Bunga api berpijar dan Keng In meloncat mundur dengan kaget karena ada pedang lain yang sanggup menangkis pedang Lam-mo-kiam. Ternyata Kwi Hong sudah berdiri disitu dengan pedang Li-mo-kiam di tangan! Pantas saja pedang itu kuat menangkis Lam-mo-kiam, karena pedang itu adalah Pedang Iblis Betina yang sama ampuhnya dengan Pedang Iblis Jantan!

“Wan Keng In manusia keparat! Milana dengarlah.... Gak Bun Beng tidak bersalah....”

“Giam Kwi Hong! Tentu saja engkau membela dia setelah engkau menjadi kekasihnya!” Milana berteriak penuh kemarahan.

“Ha-ha-ha, benar-benar pasangan yang amat cocok! Bun Beng adalah anak haram dari Si Datuk sesat Gak Liat, sedangkan Giam Kwi Hong adalah anak haram dari Si Perwira hina Giam Cu yang telah menjadi gila. Ha-ha-ha, keduanya anak haram, tentu saja saling membela apalagi setelah menjadi kekasih gelap!”

“Keng In, mulutmu jahat!”

Kwi Hong berteriak dan dengan Li-mo-kiam di tangan dia menyerang Wan Keng In. Pemuda Pulau Neraka ini cepat menangkis dengan pengerahan tenaga karena dia maklum bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

Segera mereka bertanding, akan tetapi Kwi Hong terdesak ketika kakek muka buruk sudah maju membantu Keng In. Milana dan dua orang gadis yang merasa sakit hati kepada Bun Beng, sudah menerjang Bun Beng yang kini duduk bersila di atas tanah. Serangan-serangan mereka itu dia sambut dengan secara terpaksa menggunakan Hok-mo-kiam.

“Trakk! Trakkk!”

Pedang di tangan Siok Bi dan Kim Bwee patah-patah, hanya pedang Milana yang belum beradu dengan Hok-mo-kiam sehingga tidak rusak. Namun Siok Bi dan Kim Bwee yang sudah nekat itu terus menerjang dengan kepalan mereka!

Terpaksa Bun Beng menangkis dengan lengan kirinya membalikkan pedangnya agar tidak melukai dua orang dara itu, dan dalam menangkispun dia tidak mengerahkan tenaga sehingga tidak sampai melukai lengan kedua orang gadis itu.

Milana masih berusaha untuk menyerang dengan pedang, akan tetapi melihat betapa dua orang gadis itu mengeroyok Bun Beng sedemikian nekat sehingga ada bahaya pedangnya mengenai tubuh mereka sendiri, dia lalu membalik dan membantu Wan Keng In mengeroyok Kwi Hong!

Kwi Hong sudah terluka oleh pedang Keng In dan tongkat kakek muka buruk, namun dia masih membela diri mati-matian. Kini Milana maju, dan gadis ini juga amat lihai, maka tentu saja Kwi Hong menjadi makin payah dan dia hanya dapat menangkis sambil mundur terus, tanpa disadarinya bahwa dia mundur ke arah jurang yang berhadapan dengan guha.

“Kwi Hong.... hati-hati belakangmu.... !”

Bun Beng berteriak, akan tetapi terlambat. Tubuh Kwi Hong tergelincir ke belakang dan terdengar dara itu menjerit mengerikan ketika tubuhnya terjengkang dan lenyap ke dalam jurang.

“Kwi Hong....!”

Tubuh Bun Beng mencelat dengan kecepatan yang luar biasa, dan tahu-tahu pemuda inipun sudah meloncat ke dalam jurang, menyusul Kwi Hong!

Milana terbelalak, dan semua orang menahan napas. Keng In dan kakek muka buruk menghampiri pinggir jurang dan menjenguk ke bawah. Hati Keng In puas sekali karena melihat jurang itu merupakan jurang yang dalamnya tak dapat diukur, bahkan tidak nampak dari bawah karena tertutup awan dan halimun!

“Mereka tentu hancur di bawah sana,” kakek muka buruk berkata dengan suaranya yang agak pelo.

Milana memejamkan matanya yang terasa panas. Di dalam hatinya timbul dua perasaan, perasaan cemburu dan juga perasaan duka. Perbuatan terakhir dari Bun Beng benar-benar menyakitkan hatinya. Dalam saat terakhirpun Bun Beng membuktikan cinta kasihnya kepada Kwi Hong sehingga rela mati bersama gadis itu meloncat ke dalam jurang!

Dua orang gadis, Siok Bi dan Kim Bwee, berdiri tegak di pinggir jurang, muka mereka pucat sekali. Setelah kini orang yang memperkosa itu terlempar ke dalam jurang dan sudah mesti tewas, hati mereka tidak karuan rasanya. Ada rasa duka, ada rasa sunyi, dan rasa ngeri bagaimana mereka harus menempuh hidup selanjutnya! Hasrat mereka sekarang hanya untuk pulang, untuk menyembunyikan diri!

“Adik Milana, sekarang aku mau pulang!”

Siok Bi berkata dengan suara mengandung isak, kemudian dia membalikkan tubuh dan lari pergi meninggalkan tempat itu.

“Akupun pergi, adik Milana!”

Kim Bwee juga berkata, suaranya lirih seperti orang berduka. Gadis inipun segera lari pergi setelah sekali lagi dia melempar pandang ke arah jurang dengan sinar mata sayu penuh duka. Milana sendiri sedang tertekan batinnya, maka dia hanya mengangguk. Pandang matanya masih ditujukan ke arah jurang dengan sinar mata kosong.

Wan Keng In terbatuk-batuk untuk menyadarkan keadaan Milana.
“Milana, manusia jahat itu telah tewas dan aku menyesal sekali bahwa Kwi Hong ikut tewas, akan tetapi agaknya lebih baik begitu untuk dia setelah dia terbujuk oleh manusia hina she Gak itu. Marilah kita sekarang pergi ke Pulau Es menemui ayahmu dan ibuku.”

Milana terdesak kaget.
“Ke.... ke.... Pulau Es....? Setelah terjadi hal ini?”

Sai-cu Lo-mo berloncatan maju. Kedua mata kakek ini masih basah oleh air matanya yang bertitik ketika melihat betapa Bun Beng tadi meloncat ke dalam jurang. Semenjak pertandingan itu dimulai, dia merasa terharu sekali dan betapapun juga, dia tidak bisa membenci cucu keponakannya itu.

Apapun yang dituduhkan orang kepada cucunya itu, namun dengan mata kepala sendiri dia melihat betapa Bun Beng adalah seorang laki-laki sejati, yang tidak mau melukai Milana dan dua orang gadis lainnya, bahkan yang dalam saat terakhir berusaha menolong Kwi Hong yang terlempar ke dalam jurang! Dia dapat menduga bahwa seorang yang memiliki kepandaian tinggi, dan kegagahan seperti Bun Beng, tidak mungkin membunuh diri, dan perbuatannya meloncat ke dalam jurang tadi tentu dengan maksud untuk menolong Kwi Hong.

“Nona Milana, memang sebaiknya kalau Nona pergi menghadap orang tua Nona dan menceritakan semua peristiwa yang terjadi ini.”

Ucapan Sai-cu Lo-mo ini mengandung harapan agar Pendekar Super Sakti sendiri yang akan menangani urusan ini, dan yang akan menentukan apakah hukuman yang dijatuhkan atas diri Bun Beng ini benar. Biarpun Bun Beng sudah tewas, akan tetapi namanya perlu dibersihkan, kalau memang hal itu mungkin. Milana memandang Sai-cu Lo-mo dan dua titik air mata menetes ke arah pipi-nya.

“Kakek, aku.... aku takut kepada Ayah....”

“Mengapa takut, Nona? Ceritakan saja apa yang telah terjadi.”

“Bagaimana aku tidak akan takut? Enci Kwi Hong adalah keponakan dan murid Ayah....”

Wan Keng In berkata,
“Milana, sudah kukatakan tadi bahwa kematian Kwi Hong bukanlah karena senjata kita, melainkan karena tergelincir ke dalam jurang.”

“Aku baru mau pergi kalau engkau ikut pula pergi, Bhok-kongkong.”

Sai-cu Lo-mo mengangguk-angguk.
“Baiklah, aku yang akan menjadi saksi agar engkau tidak dimarahi ayah bundamu Nona.”

Maka berangkatlah empat orang itu, Milana, Sai-cu Lo-mo, Wan Keng In dan Koai-san-jin, ke utara untuk pergi ke Pulau Es.

**** 115 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar