FB

FB


Ads

Minggu, 01 Februari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 112

Gadis yang cantik manis dan lincah itu menarik perhatian banyak mata, terutama mata laki-laki, ketika dia memasuki kota raja. Dia memang manis sekali, sepasang matanya jernih dan tajam memandang kesana-sini, bukan hanya untuk mengagumi bangunan-bangunan besar di kota raja melainkan juga dengan penuh selidik pandang matanya menyapu wajah orang-orang yang dijumpainya, seolah-olah dia mencari seseorang di kota raja.

Pakaiannya yang serba kuning itu membungkus ketat tubuh yang padat berisi dan langsing. Di pinggir pinggul yang padat dan pinggang yang langsing itu tergantung pedang, tanda bahwa dara manis berusia kurang lebih dua puluh tahun ini adalah seorang gadis perantau kang-ouw yang tidak boleh dipandang ringan!

Gadis baju kuning ini adalah Ang Siok Bi, puteri tunggal ketua Bu-tong-pai yaitu Ang-lojin (Orang Tua Ang) atau Ang Thian Pa. Seperti telah kita ketahui rombongan piauwsu yang pernah bentrok dengan Gak Bun Beng ketika terjadi pemerkosaan dan pembunuhan suami isteri di dekat telaga, adalah murid-murid Bu-tong-pai.

Setelah mereka itu menyelesaikan tugasnya, pemimpin piauwsu itu lalu menceritakan peristiwa itu kepada Bu-tong-pai dan Ang Siok Bi juga hadir dalam pertemuan ini. Ketika mendengar bahwa Gak Bun Beng melakukan perbuatan keji seperti itu, ketua Bu-tong-pai terkejut bukan main dan hampir tidak dapat percaya kalau yang bercerita bukan muridnya yang dipercayanya.

Terutama sekali Ang Siok Bi, puterinya. Dara ini telah tahu bahwa dia oleh ayahnya hendak dijodohkan dengan Gak Bun Beng, dan sungguhpun pemuda itu belum menerima perjodohan ini, namun ayahnya masih selalu mengharapkan terjadinya ikatan jodoh itu.

Karena inilah, juga karena dia sendiripun tertarik dan jatuh cinta kepada pemuda itu, maka Siok Bi menganggap dirinya sebagai tunangan Gak Bun Beng dan tidak menghiraukan lain laki-laki lagi, bahkan di dalam lubuk hatinya dia mengambil keputusan tidak akan menikah kalau tidak dengan Bun Beng!

Maka, dapat dibayangkan betapa kaget dan hancur hati dara ini mendengar penuturan para piauwsu yang menduga bahwa Gak Bun Beng melakukan hal yang amat keji, memperkosa dan membunuh seorang wanita, membunuh pula suami wanita itu di dekat telaga.

Pada keesokan harinya, Ketua Bu-tong-pai tidak melihat puterinya dan dia hanya dapat menghela napas, maklum bahwa kepergian puterinya itu tentu ada hubungannya dengan penuturan murid Bu-tong-pai tentang Gak Bun Beng.

Dugaan Ketua Bu-tong-pai ini memang benar. Siok Bi meninggalkan kuil Bu-tong-pai untuk pergi mencari Bun Beng, untuk menyatakan sendiri kebenaran penuturan itu. Dia harus bertemu dengan pemuda itu dan akan ditanyai tentang peristiwa yang dituturkan oleh kepala piauwsu itu.

Kalau memang benar pemuda itu menjadi seorang penjahat keji, dia akan memusuhinya dan akan diputuskannya hubungan batin yang timbul karena janji ayahnya kepada pemuda itu. Akan tetapi dia masih tidak percaya bahwa pemuda yang gagah perkasa itu berubah menjadi seorang penjahat cabul yang berhati kejam.

Tiba-tiba Siok Bi menghentikan langkahnya dan menoleh, memandang kepada seorang pemuda yang bercaping bundar dan berpedang di punggungnya. Gak Bun Beng! Benarkah Gak Bun Beng pemuda itu? Telah lama dia tak bertemu dengan pemuda itu, dan ada kemiripan pemuda yang lewat tadi dengan pemuda idaman hatinya. Dia cepat membalik dan mengejar. Untuk menegur, dia belum berani karena takut kalau-kalau dia salah lihat. Pemuda yang tampan itu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang kota raja. Siok Bi terpaksa mengikutinya terus, keluar lagi dari kota raja.

Kesangsiannya lenyap ketika dia melihat pemuda di depan itu kini berlari cepat sekali setelah tiba di luar pintu gerbang kota raja. Siapa lagi kalau bukan Gak Bun Beng yang pandai berlari cepat itu?

“Gak-taihiap....!” Dia menegur sambil mengejar, mengerahkan gin-kangnya untuk berlari cepat.

Pemuda itu berlari terus dan betapapun Siok Bi mengerahkan kepandaiannya, tetap saja tidak mampu mengejarnya! Maka dia berseru lagi,

“Gak-taihiap, aku Ang Siok Bi ingin bicara!”

Pemuda itu berhenti dan membalikkan tubuh. Setelah mereka berhadapan, kembali timbul kesangsian di hati Siok Bi. Dia meragu apakah benar-benar pemuda ini Gak Bun Beng.

“Apakah.... apakah aku berhadapan dengan Gak-taihiap,” tanyanya sambil menatap wajah yang tampan itu.

Pemuda itu tersenyum.
“Agaknya engkau mencari Gak Bun Beng, Nona? Aku bukan Gak Bun Beng, akan tetapi aku adalah sababatnya. Nona siapakah dan ada urusan apa mencari Gak Bun Beng?”

“Ahh.... maaf, saya kira engkau Gak Bun Beng. Saya.... saya.... Ang Siok Bi dan saya mencarinya. Tolong beritahu dimana dia?”

“Hemm, dia tidak mudah dijumpai begitu saja, Nona. Siapakah Nona? Akan saya sampaikan kepadanya.”

“Saya adalah tunangannya dari Bu-tong-pai.”

Pemuda itu mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya.
“Hemmm.... dari Bu-tong-pai? Baik, akan saya sampaikan kepadanya, Nona. Sebaiknya Nona pergi ke kota raja lagi, bermalam di sebuah penginapan. Malam ini dia akan datang mengunjungimu.”

Setelah berkata demikian, pemuda itu berkelebat dan sebentar saja sudah berada jauh sekali. Hal ini mengejutkan hati Siok Bi karena dia maklum bahwa kepandaiannya berlari cepat tidak dapat dipakai menandingi ilmu lari cepat pemuda itu! Betapapun juga, hatinya girang. Pemuda itu kiranya sahabat Gak Bun Beng dan kalau sudah disampaikan, tentu Gak Bun Beng akan menjumpainya. Jantungnya berdebar tegang dan dia makin tidak percaya bahwa Gak Bun Beng telah mejadi seorang jahat.

Malam hari itu Siok Bi menanti di dalam kamarnya dengan hati bimbang dan tegang. Kalau dia teringat betapa dia tadi mengaku sebagai tunangan Gak Bun Beng kepada pemuda itu, jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas. Bagaimana kalau pemuda tadi menyampaikannya kepada Gak Bun Beng? Tunangan? Pemuda itu dahulu menolak usul ayahnya yang hendak menjodohkan mereka. Bagaimana sekarang secara tak tahu malu dia mengaku tunangannya? Biarlah, setidaknya pengakuannya itu telah membuka rahasia hatinya terhadap Bun Beng! Menjelang tengah malam, dia mendengar suara di jendela kamarnya. Dia memandang terbelalak dan menegur halus,

“Siapa....?”

“Nona Ang Siok Bi, aku adalah Gak Bun Beng. Harap suka membuka jendela.” terdengar suara dari luar, suara yang halus dan mendebarkan jantungnya.

“Tunggu sebentar!”

Siok Bi membesarkan api penerangan, kemudian secara tak sadar tangannya membereskan rambutnya yang berjuntai di dahi, kemudian membuka daun jendela. Angin menyambar dari luar memadamkan lampu penerangan sehingga keadaan kamar itu menjadi remang-remang, hanya mendapat sorotan lampu penerangan di luar kamar yang dipasang di ujung lorong. Kemudian tampak bayangan seorang pemuda bertopi caping lebar bundar melayang masuk ke dalam kamar itu.






“Eiihh, kenapa kau memadamkan lampu?”

“Ssssttt.... jangan ribut-ribut, nanti semua tamu terbangun. Nona Ang, ada apakah engkau mencari aku?”

“Gak-taihiap.... aku sengaja mencarimu untuk bertanya.... eh, kami mendengar penuturan para piauwsu anak murid Bu-tong-pai bahwa engkau telah melakukan perbuatan keji. Aku tidak percaya, akan tetapi aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri....”

“Hemm.... Nona, katakan dulu sebelum aku menjawab. Apakah engkau cinta kepadaku?”

Ditanya demikian yang sama sekali tidak pernah disangkanya, Siok Bi menggigil dan suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata,

“Aku.... aku.... ahh, aku telah ditunangkan kepadamu oleh ayah....”

“Bagus, Bi-moi, akupun cinta kepadamu. Betapa rinduku kepadamu!”

Setelah berkata demikian pemuda itu sudah memeluknya. Siok Bi hendak membantah dan menolak, akan tetapi suaranya hilang ditelan ciuman pemuda itu. Siok Bi makin terkejut dan hendak mendorong, akan tetapi tiba-tiba pundaknya ditotok dan dia roboh dengan lemas! Hanya kedua matanya yang terbelalak penuh kengerian ketika dia dipondong oleh pemuda itu dan dilempar ke atas pembaringan. Telinganya mendengar suara yang kini terdengar seperti suara iblis,

“Kau cinta kepadaku dan aku cinta kepadamu! Apalagi yang lebih menarik daripada itu! Marilah kita mencurahkan cinta kasih kita, dan tentang semua perbuatanku dengan wanita lain, tak perlu kau hiraukan, manis!”

Kalau saja dia mampu bergerak, tentu Siok Bi akan melawan mati-matian, dan kalau saja dia mampu bersuara tentu dia akan menjerit-jerit dan memaki-maki. Akan tetapi apa daya, dia tidak mampu bersuara, tidak mampu bergerak sehingga dia hanya mampu menangis ketika pemuda itu mulai menggagahi dirinya.

Dia pergi mencari Bun Beng untuk bertanya, untuk membuktikan sendiri apakah benar berita yang disampaikan oleh anak murid Bu-tong-pai itu. Siapa mengira, dia kini memperoleh bukti yang mutlak karena dia sendiri menjadi korban kebuasan pemuda yang tadinya dijunjung tinggi itu. Pemuda yang dirindukan dan dicinta dengan diam-diam kini mendatangkan rasa muak, benci dan dendam!

Menjelang pagi, dalam keadaan hampir pingsan, Siok Bi melihat pemuda itu mendekati jendela dan berkata,

“Kalau engkau ingin terus menikmati malam-malam seperti ini dengan aku, Siok Bi yang manis, datanglah kau ke kuil di atas bukit sebelah utara kota raja dan carilah Tiong-gi-pang. Aku menantimu disana. Sampai jumpa lagi, kekasihku!” Tubuh itu berkelebat dan sekali loncat saja lenyap dari dalam kamar.

Siok Bi hanya dapat menangis! Menangis karena dua hal yang menghancurkan hatinya, yang menghancurkan hidupnya, menghancurkan harapannya. Pemuda yang diharapkan menjadi jodohnya, yang ditunggunya dengan setia sehingga dia menolak semua pinangan orang, yang diam-diam dicintanya, ternyata telah menjadi seorang yang buas dan hina, seorang penjahat cabul yang kejam sekali melebihi iblis! Dan di samping ini, dia telah menjadi korban! Dia telah menjadi seorang yang rusak kehormatannya, tidak mungkin menjadi seorang wanita yang dihormati lagi. Dia harus membalas dendam ini!

Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa, karena apa artinya hidup ini setelah apa yang terjadi malam tadi? Setelah totokan itu pulih dengan sendirinya, Siok Bi juga hanya dapat menangis, bahkan menangispun tidak berani terlalu keras. Kalau terdengar orang dan ada yang bertanya, apa yang harus dijawabnya? Peristiwa mengerikan yang menimpa dirinya semalam tidak akan diketahui siapa juga, kecuali dia dan Si Laknat Gak Bun Beng!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siok Bi telah meninggalkan rumah penginapan keluar dari kota raja menuju ke utara. Menjelang senja barulah dia dapat menemukan kuil yang dimaksudkan oleh Gak Bun Beng ketika hendak meninggalkan kamarnya tadi pagi.

Namun Siok Bi bersikap hati-hati ketika melihat banyak orang keluar masuk di bangunan kuil yang dikelilingi pondok-pondok kecil itu. Tentu mereka ini para anggauta Tiong-gi-pang! Dia datang untuk mencari Gak Bun Beng dan untuk membunuhnya! Kalau dia muncul begitu saja, bukan hanya usaha membalas dendam itu akan gagal, bahkan dia akan tertawan dan akan menjadi permainan pemuda iblis itu! Dia harus menahan sabar dan baru turun tangan malam nanti!

Dengan pikiran ini Siok Bi bersembunyi di dalam hutan, menanti datangnya malam. Dia harus selalu menekan hatinya untuk tidak menangis terus. Setiap kali teringat akan malapetaka yang menimpa dirinya, ingin dia menjerit-jerit dan menangis.

Malam itu sunyi sekali di luar Kuil Tiong-gi-pang, karena memang kuil itu berada di dalam hutan, tidak mempunyai tetangga. Para anggauta yang sudah lelah karena siang tadi bekerja atau berlatih silat, kini sudah beristirahat di dalam pondok-pondok kecil yang dibangun di sekeliling kuil. Hanya ada beberapa orang penjaga yang meronda secara bergilir untuk menjaga keselamatan dan keamanan kuil mereka.

Sesosok bayangan berkelebat dan menyelinap di bawah bayangan pohon yang gelap. Bayangan ini adalah Ang Siok Bi yang berhasil melompati pagar yang mengelilingi tempat itu. Dia ingin memasuki kuil dengan diam-diam, mencari dan membunuh Gak Bun Beng, atau kalau gagal, terbunuh. Akan tetapi, ketika dia menyelinap ke dalam kuil melalui sebuah pintu samping yang terbuka dan tiba di ruangan depan, tiba-tiba ada suara menegurnya,

“Siapa?”

Tiga orang penjaga muncul dengan tiba-tiba, mengejutkan hati Siok Bi, mereka itu adalah dua orang berpedang dan seorang bersenjata tongkat. Ketika melihat bahwa orang tak terkenal yang berkelebat masuk itu adalah seorang gadis cantik, tiga orang penjaga itu terbelalak heran dan tidak mau sembarangan turun tangan menyerang.

Akan tetapi Siok Bi yang mengira bahwa mereka itu tentulah anak buah Gak Bun Beng, sudah mencabut pedangnya dan menerjang tanpa banyak cakap lagi. Dia harus merobohkan mereka ini sebelum yang lain-lain datang!

“Trang-trang.... aih....!”

Tiga orang itu terkejut, sedapat mungkin menangkis, akan tetapi gerakan Siok Bi yang lincah dan serangannya yang tak tersangka-sangka itu terlalu lihai bagi mereka. Dua orang terluka lengannya dan seorang lagi terluka dadanya oleh sambaran pedang puteri ketua Bu-tong-pai yang perkasa ini.

Akan tetapi teriakan mereka mendatangkan tujuh orang penjaga lainnya. Melihat ini, dengan gemas Siok Bi sudah menggerakkan pedangnya mengamuk sambil berteriak marah,

“Gak Bun Beng manusia busuk! Kiranya engkau pengecut, mengandalkan banyak anak buahmu! Keluarlah kalau kau laki-laki, kita mengadu nyawa!”

Mendengar seruan ini, penjaga terheran dan mereka menahan senjata sambil melompat mundur, terdengar bentakan nyaring,

“Tahan senjata!”

Ang Siok Bi juga menahan pedangnya ketika melihat munculnya seorang dara yang amat cantik dan gagah. Dara ini bukan lain adalah Milana, yang tadi terkejut mendengar suara ribut-ribut dan keluar dari kamarnya. Kebetulan sekali dia mendengar disebutnya nama Gak Bun Beng yang ditantang oleh wanita muda yang mengamuk itu, maka dia cepat menghentikan pertandingan.

Sejenak kedua orang wanita muda itu saling berpandangan. Siok Bi masih memandang marah karena menduga bahwa tentu wanita cantik itu kaki tangan Gak Bun Beng pula, sedangkan Milana menduga-duga siapa wanita yang agaknya memusuhi Gak Bun Beng itu, juga dia terheran-heran mengapa wanita itu mencari Bun Beng di kuil Tiong-gi-pang.

“Siapakah engkau? Mengapa engkau mengacau Tiong-gi-pang?” tanyanya.

Para anak buah Tiong-gi-pang sudah berkumpul dan tiga orang yang terluka itu cepat ditolong dan luka mereka diobati dan dibalut. Dua diantara mereka terpaksa membuka baju agar luka di tubuh mereka dapat dibalut.

Siok Bi yang sudah nekat melintangkan pedangnya di depan dada sambil menjawab,
“Aku Ang Siok Bi, datang untuk menantang ketua kalian bertanding sampai seorang diantara kami tewas. Akan tetapi kalau para anggauta dan kaki tangannya mau ikut maju aku tidak takut!”

“Hemmm, siapa mencari aku?”

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah empat orang anggauta Tiong-gi-pang yang menggotong Sai-cu Lo-mo yang lumpuh. Begitulah ketua ini kalau menyambut datangnya orang asing atau tamu, duduk di atas papan yang digotong empat orang anak buahnya. Untuk keperluan sehari-hari, dia bergerak mengandalkan kedua tangannya saja yang dapat dia pergunakan sebagai pengganti kedua kaki, berjalan dengan tubuh terangkat sedikit ke belakang!

Siok Bi menoleh ke kiri dan memandang kakek itu dengan bingung.
“Aku tidak mencari engkau, aku mencari Ketua Tiong-gi-pang....”

“Hemm, Nona. Akulah Ketua Tiong-gi-pang.”

Siok Bi makin terkejut, lalu menduga bahwa tentu Gak Bun Beng yang tinggal disini bukan ketuanya.

Dengan suara tidak sabar Milana bertanya,
“Sebenarnya apakah kehendakmu dan siapa yang kau cari?”

Dengan agak bingung Siok Bi menjawab,
“Aku mencari Si Bedebah Gak Bun Beng. Suruh dia keluar!”

Milana makin tertarik. Tentu ada sesuatu terjadi antara gadis itu dengan Bun Beng. Akan tetapi mengapa mencari Bun Beng disini?

“Ada urusan apakah engkau mencari Gak Bun Beng?” dia masih bertanya memancing.

“Kau tak perlu tahu. Pendeknya aku mencari Gak Bun Beng untuk kubunuh!”

Milana menyarungkan pedang yang tadi sudah dicabutnya. Melihat ini, Siok Bi menjadi heran.
“Engkau salah alamat,” kata Milana. “Gak Bun Beng tidak berada disini, juga kami bukanlah sahabatnya. Tiong-gi-pang tidak pernah ada hubungan apa-apa dengan Gak Bun Beng. Marilah kita bicara di dalam. Kalau engkau mempunyai penasaran terhadap Gak Bun Beng, agaknya aku akan dapat membantumu.”

Siok Bi makin terheran. Melihat sikap dara jelita itu, sikap Ketua Tiong-gi-pang yang lumpuh, sikap para anak buah Tiong-gi-pang yang sudah mundur dan agaknya tidak memperlihatkan sikap bermusuh kepadanya, dia juga menyarungkan pedang di sarung pedang yang kini tergantung di punggungnya. Akan tetapi dia masih ragu-ragu melihat Milana membuka sebuah pintu batu di atas anak tangga.

Milana yang sudah berada di depan pintu itu menoleh dan berkata,
“Engkau demikian gagah berani sudah menyerbu Tiong-gi-pang, apakah sekarang menjadi takut untuk memenuhi undanganku masuk ke dalam dan bicara?”

Sai-cu Lo-mo yang sudah bersedekap penuh rasa duka itu berkata,
“Masuklah, Nona. Kami bukanlah orang-orang jahat. Kalau kami berniat buruk, perlukah memancingmu masuk?”

Siok Bi mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada Sai-cu Lo-mo, kemudian dia menudingkan telunjuknya kepada Ketua Tiong-gi-pang itu dan membentak,

“Aku pernah melihat engkau. Bukankah engkau seorang tokoh Thian-liong-pang?”

Sai-cu Lo-mo menghela napas, kemudian menjawab,
“Dugaanmu benar, Nona. Dan Nona adalah puteri Ketua Bu-tong-pai, bukan?”

Siok Bi terkejut. Dahulu, ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan besar di puncak Gunung Ciung-lai-san di Se-cuan, dia ikut ayahnya menghadiri pertemuan besar itu. Ayahnya, Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, pernah diculik oleh Thian-liong-pang, sehingga perkumpulan itu dapat dikatakan adalah musuhnya!

“Jadi kalian.... kalian ini.... anggauta-anggauta Thian-liong-pang....?”

Di samping kekagetan dan kemarahannya, juga ada rasa gentar di hati Siok Bi karena dia maklum betapa lihainya orang-orang Thian-liong-pang.

“Bukan,” jawab Milana. “Thian-liong-pang sudah tidak ada lagi dan engkau menjadi tamu dari Tiong-gi-pang.”

“Dan kau.... sekarang aku mengenalmu! Engkau adalah puteri cantik dari Ketua Thian-liong-pang!”

Siok Bi berseru lagi, makin terkejut karena dia tahu bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang memiliki ilmu kepandaian hebat.

Milana tersenyum,
“Kalau perkumpulannya tidak ada, ketuanya pun tentu saja tidak ada. Marilah, apakah engkau masih tidak berani memenuhi undanganku? Di dalam kita bicara tentang manusia bernama Gak Bun Beng itu.”

Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan nyaring,
“Gak Bun Beng manusia hina. Hendak lari kemana engkau?”

Dari jendela melayang masuk sesosok bayangan yang ternyata dia adalah seorang gadis cantik pula, sebaya dengan Siok Bi dan Milana dengan sebatang pedang di tangannya! Gadis ini sejenak bingung memandang Milana, Siok Bi, Sai-cu Lo-mo dan para anggauta Tiong-gi-pang, kemudian menoleh kesana-sini, pandang matanya mencari-cari, kemudian dia membentak,

“Hayo suruh Si jahanam keparat Gak Bun Beng keluar untuk menerima kematiannya!”

Sai-cu Lo-mo menutup muka dengan kedua tangan yang tadi disedekapkan sambil mengeluh,
“Ya Tuhan.... lagi-lagi Bun Beng....?”

Milana juga merasa tertusuk hatinya. Lagi-lagi ada orang yang mencari Gak Bun Beng untuk membunuhnya, dan orang ini juga wanita muda cantik jelita!

“Gak Bun Beng tidak ada disini mengapa engkau mencarinya kesini?” Dia menegur kepada gadis cantik yang baru datang itu.

Gadis itu mengelebatkan pedangnya dan gaya gerakannya menunjukkan bahwa dia memiliki ilmu pedang yang hebat juga!

“Bohong! Baru saja dia lari dan masuk kesini! Hayo suruh dia keluar, kalau tidak, terpaksa aku akan mengobrak-abrik tempat ini!”

Milana terkejut.
“Dia di sini?”

Sai-cu Lo-mo juga terkejut dan cepat memberi perintah kepada anak buahnya.
“Cari bocah setan itu sampai dapat! Periksa semua tempat!”

Dengan cepat mereka semua bergerak pergi, bahkan Sai-cu Lo-mo sendiri sudah meloncat dari atas papan yang dipikul empat orang anggautanya, tubuhnya yang lumpuh kakinya itu masih dapat bergerak cepat sekali. Milana juga sudah mencabut pedangnya dan berkelebat lenyap. Tinggal Siok Bi dan gadis itu saling pandang dengan bingung. Siok Bi yang berkata,

“Sobat, keadaan kita sama. Akupun mencari manusia keparat Gak Bun Beng disini, akan tetapi kita berdua salah alamat. Kurasa jahanam itu tidak berada disini.”

“Tak mungkin! Tadi kuserang, kukejar dan lenyap di tempat ini!” Gadis itu masih penasaran.

“Akan tetapi orang-orang Tiong-gi-pang ini bukanlah sahabat Gak Bun Beng. Lihat saja mereka semua marah dan mencari Si Laknat itu,” bantah Siok Bi. Gadis itu menarik napas panjang dan mengangguk.

“Akan tetapi....”

“Biarlah kita menanti sampai mereka kembali. Ketahuilah bahwa para pimpinan Tiong-gi-pang ini adalah bekas tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang lihai.”

Mendengar ini, gadis ini terkejut juga, dan berdiri dengan bingung. Melihat betapa Siok Bi tidak menghunus pedang, dia merasa kikuk dan segera dia menyarungkan pedangnya pula.

Tak lama kemudian, Milana datang lagi ke tempat itu. Gerakannya membuat Siok Bi dan gadis itu terkejut dan kagum. Seperti gerakan iblis saja, hanya tampak berkelebat dan tahu-tahu telah berada disitu. Mengertilah mereka berdua bahwa mereka bukan tandingan dara cantik jelita ini! Milana memandang kepada dara yang baru tiba.

“Benarkah katamu tadi bahwa Gak Bun Beng lari, dan lenyap di tempat ini?”

“Aku tidak membohong. Kalau tidak, apa perlunya aku masuk kesini dan mengejarnya?”

Milana mengangguk dan menarik napas panjang.
“Kami mencari tanpa hasil dan hal ini memang tidak aneh. Kepandaian Gak Bun Beng tinggi bukan main, dan andaikata kita dapat menemukannya aku masih sangsi apakah kita semua dapat melawannya.”

“Aku tidak takut!” Siok Bi berseru.

“Aku akan mengadu nyawa dengannya!” Gadis itupun berseru.

Milana mengerutkan alisnya.
“Mari kita bicara di dalam. Agaknya aku dapat menduga apa yang telah terjadi dengan kalian.”

Ketika gadis yang baru muncul itu ragu-ragu, Milana melanjutkan setelah melihat bahwa disitu tidak ada orang lain,

“Bukankah kalian berdua menjadi korban Gak Bun Beng yang telah menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa)?”

Seketika wajah kedua orang dara itu menjadi merah sekali. Milana menghela napas panjang.
“Ketahuilah, aku bukan sahabat Gak Bun Beng dan kalau benar seperti yang kuduga bahwa kalian menjadi korban kebiadabannya, aku bersedia membantu kalian mencarinya dan menghadapinya!”

Siok Bi sudah percaya kepada Milana, maka melihat gadis yang baru datang itu ragu-ragu, dia berkata,

“Sebaiknya kita bicara dengan dia, karena dia ini adalah puteri bekas Ketua Thian-liong-pang.”

Gadis itu kelihatan terkejut sekali.
“Apa....?” Dia menatap wajah Milana dengan tajam. “Kau.... kau.... Puteri Milana cucu Kaisar? Engkau puteri dari Panglima Wanita Nirahai dan.... dan Pendekar Super Sakti?”

Milana terkejut juga melihat betapa gadis itu mengenal ayah bundanya. Dia mengangguk dan bertanya,

“Siapakah engkau?”

Gadis itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.
“Harap paduka sudi memaafkan saya yang bersikap kurang hormat....”

Siok Bi juga terkejut sekali mendengar itu. Kiranya Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai? Dia memang sudah mendengar kabar angin tentang ini, akan tetapi ayahnya sendiri masih kurang percaya. Dan ternyata bahwa selain puteri Kaisar, juga Ketua Thian-liong-pang yang pernah menimbulkan geger itu adalah isteri Pendekar Super Sakti! Dia tidak berlutut seperti gadis itu, akan tetapi diapun bertunduk dan memandang Milana dengan segan dan hormat.

Milana merangkul gadis itu dan mengangkatnya bangkit berdiri.
“Tak perlu seperti itu. Aku gadis biasa saja, gadis kang-ouw seperti kalian. Siapakah namamu?”

“Saya Lu Kim Bwee, dari Kong-kong (Kakek) yang pernah menjadi pengawal Kaisar saya mendengar tentang ibu Paduka....”

“Hushh, Enci Kim Bwee, jangan banyak sungkan. Jangan pakai paduka-paduka segala kepadaku. Anggap saja kita ini sahabat-sahabat yang senasib. Marilah Enci Siok Bi dan Enci Kim Bwee, mari kita masuk ke dalam dan kita bicara tentang manusia jahanam Gak Bun Beng ini.”

Ketiganya memasuki kamar Milana, melalui anak tangga dan daun pintu batu yang tebal itu. Setelah pintu ditutup kembali, dua orang gadis itu tercengang kagum melihat betapa kamar di balik pintu yang menyeramkan itu amat indah dan bersih.

“Ini kamarku sendiri,” Milana berkata. “Akupun baru dua bulan berada disini. Duduklah Enci Siok Bi dan Enci Kim Bwee, panggil saja aku Milana.”

Dua orang gadis itu duduk di atas kursi yang indah, kemudian mereka saling pandang. Tidak ada keraguan lagi di hati mereka terhadap dara jelita cucu Kaisar ini.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar