FB

FB


Ads

Rabu, 25 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 088

Sementara itu, dengan didampingi oleh Ceng Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon, dua orang pengawalnya, yaitu Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai lihai, memimpin seribu orang pasukan yang liar itu malam-malam menyerbu Koan-bun.

Seperti telah diceritakan oleh para pelapor kepada Pangeran Liong Khi Ong, Tambolon menggunakan siasat, bersama empat orang pembantunya yang lihai itu dia muncul di depan pintu gerbang selatan kota Koan-bun dan berteriak minta dibukai pintu karena dia hendak menemui komandan kota Koan-bun.

Setelah kepala penjaga mengenal Raja Tambolon ini, jembatan gantung diturunkan dan pintu gerbang dibuka, Raja Tambolon, dua orang pengawal, Ceng Ceng dan Topeng Setan, segera menyeberangi jembatan gantung dan secara tiba-tiba, lima orang yang berkepandaian tinggi ini menyerang pasukan penjaga yang terdiri dari dua puluh orang lebih.

Dalam waktu singkat saja mereka itu telah merobohkan semua penjaga dan pasukan liar itu segera menyerbu ke dalam kota. Gegerlah kota Koan-bun dan perang terjadi dengan hebatnya dan kacau-balau karena penyerbuan yang tak terduga-duga itu membuat pasukan-pasukan pertahanan kota Koan-bun menjadi bingung.

Kalau saja tidak datang pasukan bantuan dari Teng-bun yang tiba di Koan-bun menjelang pagi, tentu kota Koan-bun sudah terjatuh ke tangan pasukan Tambolon. Kedatangan pasukan besar dari Teng-bun ini membangkitkan kembali semangat sisa pasukan pertahanan Koan-bun dan perang dilanjutkan sampai keesokan harinya.

Sebagian pasukan liar telah menduduki separuh dari kota Koan-bun akan tetapi sebagian pula kini bertempur di luar pintu gerbang untuk menahan serbuan pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun.

Perang hebat terjadi di dalam kota Koan-bun dan juga di luar kota itu. Akan tetapi kini pasukan liar di bawah pimpinan Tambolon terjepit antara dua pasukan yang berada di dalam dan yang datang dari luar. Karena jumlah mereka jauh kalah banyak, maka mulailah mereka terhimpit dan korban-korban berjatuhan.

Tambolon sendiri seperti biasa dibantu oleh dua orang pengawalnya yang setia, ikut berperang dan mengamuk ganas. Juga Ceng Ceng dan Topeng Setan bertempur bahu-membahu, merobohkan banyak tentara pemberontak.

Diam-diam kedua orang ini merasa girang sekali melihat betapa siasat mereka berhasil baik, bahkan bukan saja mereka dapat mengadu domba antara pasukan-pasukan liar Tambolon dan pasukan pemberontak, juga mereka memperoleh kesempatan ikut pula bertempur membasmi para pemberontak.

Akan tetapi kini pasukan liar Tambolon ini mulai terdesak hebat. Yang mempertahankan diri di luar terhadap serbuan pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun kini didesak masuk kota oleh pasukan besar pemberontak itu. Kini semua pasukan liar yang berperang seperti binatang-binatang buas itu telah digiring masuk ke dalam kota Koan-bun dan di dalam kota ini terjadilah peristiwa-peristiwa mengerikan.

Bukan hanya perang antara anak buah pasukan-pasukan yang berlawanan, melainkan pasukan itu terpecah-pecah dan terjadilah perang campuh kacau-balau yang menyeret pula penduduk kota Koan-bun. Seluruh kota menjadi kacau dan di sana-sini terjadi pembakaran-pembakaran. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana.

Pasukan liar itu makin terjepit. Mereka terdiri dari orang-orang liar dan buas yang kalau sedang berperang seperti berubah menjadi binatang-binatang buas sehingga mereka itu telah menjatuhkan banyak sekali lawan dalam perang campuh itu.

Setiap orang anggauta pasukan Tambolon ini baru roboh kalau sedikitnya telah menjatuhkan tiga orang lawan. Akan tetapi setelah bala bantuan dari Teng-bun tiba, jumlah mereka jauh kalah banyak dan mulailah mereka terhimpit dan mulai pula timbul rasa panik di antara mereka.

Ceng Ceng dan Topeng Setan masih mengamuk dengan pedang mereka, merobohkan banyak sekali pasukan pemberontak. Akan tetapi setelah pasukan dari Teng-bun berhasil mendesak masuk dan barisan pemberontak ini datang seperti air banjir, mereka berdua terdesak dan terdorong sampai saling berpisah.

Di antara kekacauan yang terjadi di Koan-bun itu, di antara ribuan orang penduduk yang menjadi panik dan ketakutan, terdapat seorang pemuda yang bersembunyi di atas wuwungan rumah dan menonton perang campuh itu dengan hati tertarik sekali.

Ketika dia mendengar bahwa pasukan liar yang dipimpin Tambolon menyerbu kota Koan-bun, dia terkejut dan merasa heran. Akan tetapi setelah menyaksikan perang hebat antara pasukan liar ini melawan pasukan-pasukan pemberontak, hatinya menjadi girang. Pemuda ini adalah Suma Kian Lee. Dia tidak mengerti mengapa sekutu pemberontak, pasukan kuat dari suku bangsa liar yang dipimpin Tambolon itu menyerbu Koan-bun dan memerangi pasukan pemberontak, sekutu mereka sendiri. Akan tetapi hal ini tentu saja menguntungkan pemerintah, maka Kian Lee menjadi girang ketika dia menyaksikan perang campuh kacau-balau yang terjadi di bawah itu.

Pemuda ini masih belum meninggalkan Koan-bun karena dia ingin mencari suhengnya, adiknya dan Syanti Dewi yang terpisah darinya. Seperti diketahui, pemuda ini menderita luka karena racun senjata rahasia peledak yang dilepas Hek-wan Kui-bo, akan tetapi luka di pahanya itu telah diobati oleh Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo. Kini lukanya telah sembuh benar, akan tetapi hatinya gelisah karena dia masih belum berhasil bertemu kembali dengan Gak Bun Beng, Suma Kian Bu, dan Syanti Dewi.

Ketika dari atas wuwungan loteng sebuah rumah besar dia melihat perang yang kacau-balau itu menjurus ke perbuatan kejam terhadap penduduk, baik yang dilakukan oleh kaum liar maupun oleh tentara pemberontak yang mempergunakan kekacauan itu untuk melampiaskan nafsu-nafsu pribadi mereka, menggarong, memperkosa, dan membunuh, Kian Lee lalu meloncat turun dan menyelidiki dari rumah ke rumah.

Sudah dua kali dia membunuh dua orang tentara liar yang sedang memaksa dan hendak memperkosa wanita, dan dia pun telah membunuh tiga orang tentara pemberontak yang menggarong dan mencoba untuk membunuh pemilik rumah yang digarongnya.

Perang dilanjutkan sampai keesokan harinya, akan tetapi kini semua pasukan liar di bawah pimpinan Tambolon itu telah digiring masuk dan perang campuh yang berat sebelah terjadi di dalam kota Koan-bun karena jumlah tentara Tambolon itu jauh kalah banyak.






Ceng Ceng yang terpisah dari Topeng Setan masih menggerakkan pedangnya, merobohkan setiap orang tentara pemberontak yang berani mendekatinya. Dia sudah lelah sekali karena sejak penyerbuan malam tadi sampai pagi ini dia harus bertempur. Kini dia hanya menjaga diri saja sambil beristirahat dan mencari-cari pembantunya yang tidak kelihatan lagi itu.

Perang dilanjutkan dan kini pihak pemberontak mulai melakukan pembersihan karena sisa tentara liar itu sudah cerai-berai dan mulai main kucing-kucingan bersembunyi di antara rumah-rumah penduduk Koan-bun. Dengan cara demikian, mereka masih mampu melakukan perang gerilya yang tentu saja makin mengacaukan kota itu dan membikin geger para penduduk karena tempat tinggal mereka dipergunakan sebagai tempat persembunyian, kejar-kejaran dan saling bunuh.

Sehari itu pihak pasukan liar hanya mampu mempertahankan diri sambil bersembunyi di sana-sini dan akhirnya, ketika malam tiba, sisa mereka tinggal sedikit dan mereka kini hanya berani melawan kalau ketahuan tempat sembunyi mereka dan hanya karena terpaksa saja.

Ceng Ceng makin bingung karena tidak melihat Topeng Setan. Dia mencari-cari ke seluruh kota namun tidak berhasil karena dia pun harus selalu menghindari pertemuan dengan pasukan-pasukan pemberontak yang mengadakan operasi pembersihan. Dia tadi melihat bahwa pasukan pemberontak itu dipimpin oleh seorang kakek raksasa dan seorang wanita cantik yang amat lihai.

Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, raksasa lihai sekali Ketua Pulau Neraka yang pernah dijumpainya, bahkan pernah menangkapnya di Lembah Bunga Hitam, ayah dari Kim Hwee Li yang pernah menolong dan membebaskannya.

Ceng Ceng gentar menghadapi raksasa itu, dan pula, selain dia amat lelah, juga dia telah merasa puas dengan siasatnya, menghancurkan pasukan Tambolon dan merugikan besar sekali kepada pasukan pemberontak.

Ceng Ceng menjadi bingung juga karena hari telah menjadi gelap dan hanya terjadi pertandingan-pertandingan kecil di sana-sini antara sisa tentara Tambolon yang ketahuan tempat persembunyian mereka melawan pasukan pemberontak yang mengadakan pembersihan. Dia masih belum berhasil menemukan kembali Topeng Setan. Dan tadi dia melihat sinar dari anak panah berapi meluncur tinggi di angkasa, berwarna kebiruan dan indah. Dia tidak tahu apa artinya anak panah berapi itu yang meluncur dari tengah kota Koan-bun.

Selagi dia menyelinap di antara rumah-rumah di dalam cuaca yang mulai gelap itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan tahu-tahu dia telah dikepung oleh belasan orang tentara pemberontak yang dipimpin oleh seorang wanita cantik yang memegang sebatang pedang.

“Ini dia wanita pemimpin pasukan liar itu!” terdengar bentakan seorang perajurit.

Wanita cantik yang bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li itu, memandang Ceng Ceng yang tak dapat melarikan diri lagi itu penuh perhatian, lalu sambil tersenyum dia bertanya,

“Ah, benarkah Tambolon mempunyai pembantu secantik ini?”

“Tidak salah lagi, Kouw-nio (Nona). Kami tadi melihat dia mengamuk di samping Tambolon dan para pembantunya. Dia lihai sekali!” kembali terdengar suara meyakinkan dari seorang perajurit pemberontak.

Mauw Siauw Mo-li melangkah maju.
“Eh, perempuan cantik, apakah engkau selir Tambolon? Hayo katakan di mana adanya Tambolon dan para pembantunya itu!”

Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan marah hati Ceng Ceng mendengar kata-kata dan pertanyaan yang dianggapnya menghina itu.

“Perempuan pemberontak rendah!” Dia memaki sambil menyerang ke depan dengan Ban-tok-kiam di tangannya.

“Sing.... wuuuuttt-tranggg....!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang Ban-tok-kiam di tangan Ceng Ceng bertemu dengan pedang di tangan Mauw Siauw Mo-li. Ceng Ceng terhuyung ke belakang, akan tetapi siluman kucing itu pun terperanjat melihat betapa ujung pedangnya patah dan ada hawa beracun yang mengerikan keluar dari pedang di tangan lawannya itu.

Jelas bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Ceng Ceng masih kalah oleh lawannya, akan tetapi keampuhan Ban-tok-kiam juga mengejutkan hati Mauw Siauw Mo-li. Pada saat itu, dua orang perajurit menubruk dari kanan kiri menggunakan golok mereka menyerang. Ceng Ceng memutar pedangnya dan terdengar suara nyaring disusul runtuhnya dua batang golok yang menjadi buntung berikut lengan kedua orang itu!

“Mundur kalian....!”

Mauw Siauw Mo-li berteriak nyaring dan ketika belasan orang pasukan itu mundur, dia sudah melemparkan bola-bola hitam berturut-turut sebanyak lima buah ke arah Ceng Ceng.

Gadis ini maklum bahwa lawan menggunakan senjata rahasia yang aneh dan belum dikenalnya, maka cepat dia menjatuhkan diri bergulingan dan untung saja dia melakukan pengelakan secara ini, karena ketika bola-bola itu terbanting ke atas tanah terdengar ledakan-ledakan dan tentu Ceng Ceng akan terluka kalau saja dia tidak bergulingan di atas tanah.

Ceng Ceng terkejut bukan main. Cepat dia menggerakkan pedang menangkis sambil meloncat bangun ketika wanita itu menubruknya dan mengirim tusukan, tusukan maut yang nyaris mengenai perutnya.

Namun berkat keampuhan Ban-tok-kiam yang membuat lawan menjadi jerih dan tidak berani beradu pedang secara langsung, Ceng Ceng mampu meloncat tinggi dan terus mencelat ke atas genteng lalu melarikan diri! Dia maklum akan kelihaian wanita itu dan kalau sampai datang lebih banyak pasukan pemberontak lagi lebih-lebih kalau sampai Hek-tiauw Lo-mo muncul, tentu dia akan celaka.

“Kejar dia....!”

Mauw Siauw Mo-li berteriak sambil meloncat naik ke atas genteng dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Untung bahwa Ceng Ceng telah lebih dulu menghilang di atas genteng, kalau tidak agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena dalam hal gin-kang, dia pun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing itu.

Mauw Siauw Mo-li terus mencari dengan penasaran, bahkan mendatangkan pasukan lebih banyak lagi. Biarpun pasukan bantuan dari Teng-bun berhasil mengalahkan dan hampir membasmi habis pasukan liar Tambolon, namun pasukan pemberontak itu sendiri kehilangan banyak sekali anggauta tentara dan kalau dia atau suhengnya tidak mampu menangkap Tambolon dan para pembantunya, mati atau hidup, hati Mauw Siauw Mo-li belum puas.

Ceng Ceng berlari-larian, kadang-kadang di atas genteng, kemudian meloncat turun dan menyelinap di antara bayangan-bayangan rumah yang gelap. Ketika dia berhenti sebentar di belakang sebuah rumah, tiba-tiba terdengar suara bisikan,

“Lu-bengcu.... mari sini....!”

Ceng Ceng terkejut, apalagi ketika mengenal Raja Tambolon dan dua orang pembantunya yang lihai itu. Kiranya Tambolon, Liauw Kui Si Petani Maut dan Si Siucai Yu Ci Pok bersembunyi di dalam rumah kosong itu!

Biarpun hatinya tidak suka, namun Ceng Ceng yang sedang dikejar-kejar Mauw Siauw Mo-li dan pasukannya itu segera meloncat masuk melalui pintu kecil di belakang rumah yang dibuka oleh Tambolon. Mereka berempat segera menutup pintu dan memasuki rumah kosong. Ceng Ceng memandang ruangan yang diterangi lentera itu penuh harapan, akan tetapi hatinya kecewa ketika dia tidak melihat Topeng Setan di situ.

“Untung ada kalian di sini....” kata Ceng Ceng. “Akan tetapi di mana adanya Topeng Setan?”

“Hemmm.... justeru kami hendak bertanya kepadamu, Lu-bengcu. Di manakah Topeng Setan pembantumu itu?”

Mendengar suara dan melihat sikap Raja Tambolon, Ceng Ceng terkejut, apalagi ketika melihat bahwa tiga orang itu membuat gerakan mengurungnya, Tambolon di depannya sedangkan dua orang pembantu raja di kanan kirinya, sikap mereka seperti orang yang marah kepadanya.

“Eh, apa maksudmu, Raja Tambolon?” Ceng Ceng bertanya dengan sikap biasa.

“Ha-ha, engkau masih pandai berpura-pura lagi! Sikap dan maksudku sudah jelas! Engkau telah menjebloskan kami ke dalam perangkap. Engkau telah menyebabkan pasukan kami terbasmi habis dan sekarang pembantumu itu tidak tampak bayangannya dan engkau masih berpura-pura lagi, Nona.”

Di dalam hatinya Ceng Ceng terkejut sekali. Akan tetapi dia cerdik dan dia berkata dengan nada suara dan penasaran.

“Raja Tambolon, begitu tidak tahu terima kasihkah engkau? Apakah engkau tidak melihat betapa aku tadi hampir celaka oleh pasukan yang dipimpin wanita lihai itu? Kalau usaha kita tidak berhasil karena keburu datang bala bantuan dari Teng-bun, apakah itu salahku? Mengapa engkau tidak menyalahkan pasukanmu sendiri yang tidak becus dan kurang mampu!”

Raja Tambolon yang sudah kehilangan segala-galanya itu masih bisa tertawa. Kemudian dia berkata,

“Nona Lu Ceng, kalau tadi kami tidak melihat betapa engkau dikejar-kejar, tentu sekarang engkau sudah mati di tanganku! Akan tetapi jangan mengira bahwa hal itu sudah cukup bagi kami. Tidak hadirnya Topeng Setan di sampingmu memperkuat dugaan kami bahwa kalian telah mempermainkan kami dan karena engkaulah maka kini pasukanku terbasmi habis. Mana bisa aku mendiamkannya saja hal ini? Tidak! Untuk meyakinkan hatiku bahwa engkau tidak mengkhianati aku, engkau tidak boleh lagi berpisah dari sampingku.”

Berdebar jantung Ceng Ceng mendengar ucapan ini. Sudah cukup jelas baginya apa yang terkandung di dalam hati raja liar ini. Akan tetapi untuk mengulur waktu sambil memutar otaknya mencari akal dia berpura-pura tidak mengerti dan bertanya,

“Maksudmu?”

“Ha-ha-ha! Pasukanku boleh terbasmi habis, akan tetapi aku masih mempunyai dua orang sahabat dan pembantuku yang setia ini, ditambah lagi memiliki engkau yang cantik jelita, muda lagi pintar dan cerdik sebagai sahabat dan penghiburku, sebagai permaisuriku! Dengan adanya kita berempat, mudah bagi kita untuk menghimpun pasukan lagi dan membangun sebuah negara yang kuat, ha-ha-ha!”

Makin berdebar rasa jantung Ceng Ceng. Tepat seperti telah diduganya. Akan tetapi melihat Tambolon dan dua orang pembantunya itu menghadapi dengan sikap siap untuk menghalangi dia melarikan diri, dia masih berkata,

“Hemm, rencanamu memang bagus sekali, akan tetapi bagaimana dengan Topeng Setan?”

“Dia? Ha-ha-ha, kalau memang dia itu bukan pengkhianat dan saat ini tidak bergabung kepada musuh, dia pun bisa menjadi orang ke lima, bisa menjadi pembantuku. Akan tetapi kalau tidak muncul, persetan dengan dia. Kita berempat sekarang juga harus kabur keluar dari kota terkutuk ini!”

“Engkau memang manusia hina!”

Tiba-tiba Ceng Ceng membarengi makiannya itu dengan gerakan kedua tangannya yang menyebar jarum-jarum hitam beracun yang tadi diam-diam sudah disiapkannya di kedua tangannya.

“Ehhhh!”

“Heiitttt!”

“Hyaattt!”

Tambolon dan dua orang pembantunya itu memang bukan orang-orang sembarangan. Mereka bertiga itu selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga sudah puluhan tahun menghadapi segala macam keadaan sehingga tentu saja mereka sudah waspada akan akal yang dipergunakan Ceng Ceng tadi yang mereka anggap tiada lebih sebagai akal kanak-kanak saja.

Maka begitu kedua tangan dara itu bergerak dan ada sinar hitam menyambar ke arah mereka, tiga orang ini sudah bergerak cepat, membuang diri ke bawah dan bergulingan sehingga serangan jarum-jarum beracun yang mendadak itu dapat mereka elakkan.

Akan tetapi kesempatan ini cukup bagi Ceng Ceng untuk secepat kilat meloncat keluar dari rumah itu melalui jendela, terus berloncatan ke atas genteng melarikan diri karena dia maklum bahwa menghadapi tiga orang pandai itu dia tidak akan mampu menang.

“Ha-ha, betina liar, kau hendak lari ke mana?”

Tambolon berseru dan bersama dua orang pembantunya, dia mengejar dengan cepat. Mereka bertiga juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang membuat gerakan mereka cepat sekali sehingga setelah melewati empat wuwungan rumah, Ceng Ceng yang meloncat turun telah dikurung lagi di sebelah kebun kosong yang sunyi.

“Ha-ha-ha-ha, sungguh hebat! Makin liar dan hebat engkau melawan, akan makin manis dan mesra kalau engkau sudah terjatuh ke dalam pelukanku, ha-ha!” Tambolon tertawa bergelak.

“Tambolon, manusia iblis! Kau hanya dapat menguasai aku kalau aku sudah dapat menjadi mayat!”

Ceng Ceng berteriak sambil mencabut pedangnya, yaitu Ban-tok-kiam yang mengeluarkan hawa mujijat dan menyeramkan. Dengan nekat Ceng Ceng yang maklum bahwa melarikan diri pun percuma saja lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya yang mengandung hawa beracun itu dengan sengit dan membabi buta.

Akan tetapi jangankan dikurung bertiga, baru melawan seorang di antara mereka saja Ceng Ceng tidak akan mampu menang. Petani Maut Liauw Kui menggerakkan pikulannya dan senjatanya ini saja sudah cukup untuk menahan gulungan sinar pedang Ban-tok-kiam sehingga tidak dapat bergerak leluasa karena selalu terhalang oleh pikulan yang digerakkan secara lihai sekali.

Sedangkan dari kanan kiri, Yu Ci Pok yang menggunakan sepasang senjata poan-koan-pit mengancam dengan totokan-totokan cepat dan Tambolon yang tertawa itu menggunakan kedua lengannya yang panjang berbulu untuk menerkam tubuh Ceng Ceng!

Tentu saja Ceng Ceng menjadi sibuk sekali. Semua kepandaiannya telah dikeluarkannya, bahkan dia telah menggunakan pukulan tangan kiri beracun, juga menggunakan ludah yang telah menjadi beracun karena pengerahan ilmunya, namun tiga orang lawan itu terlalu kuat baginya. Hanya karena Tambolon menghendaki dia hidup-hidup sajalah maka dia masih belum roboh.

Kalau mereka itu ingin membunuhnya, tentu sudah sejak tadi dia tewas. Justeru karena tahu bahwa dia akan ditangkap hidup-hidup dan dijadikan barang permainan oleh Tambolon, Ceng Ceng merasa ngeri. Dia tidak takut mati, akan tetapi dia menggigil penuh kengerian kalau teringat betapa dia akan diperkosa dan dipermainkan oleh raja liar itu.

Teringat akan pengalamannya ketika diperkosa orang, Ceng Ceng ingin menjerit. Dia tidak sudi dijadikan permainan oleh Tambolon, akan tetapi dia pun tidak ingin mati sebelum mampu membalas sakit hatinya kepada Kok Cu, pemuda murid Si Dewa Bongkok yang telah memperkosanya. Tidak, dia tidak ingin mati sebelum dapat berhadapan dengan Kok Cu! Akan tetapi dia pun tidak sudi menderita perkosaan lagi, perkosaan yang lebih mengerikan dan lebih menghina kalau dia sampai tertangkap oleh Tambolon!

“Cringgg....!”

Tiba-tiba pedang Ban-tok-kiam yang bertemu dengan pukulan Petani Maut tidak dapat dia tarik kembali, seolah-olah melekat pada pikulan itu. Pada saat itu, ujung senjata pensil di tangan siucai itu menyentuh jalan darah di pergelangan tangan kanannya. Ceng Ceng menjerit dan terpaksa melepaskan pedangnya karena lengannya itu seketika menjadi lumpuh.

“Ha-ha-ha, kuda betina liar! Apakah engkau masih belum mau jinak?” Tambolon yang sudah menyambar pedang Ban-tok-kiam itu kini tertawa bergelak.

Ceng Ceng mengeluarkan suara melengking nyaring dan dengan penuh kenekatan dia menerjang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dada Tambolon.

“Plakk....! Dukkk!”

Tubuh Ceng Ceng terjengkang dan dia roboh bergulingan ketika pukulannya ditangkis dan tubuhnya didorong oleh Tambolon sambil tertawa-tawa itu.

“Wah, kuda betina seperti ini harus ditundukkan dan dijinakkan sekarang juga, kalau tidak, dia akan bertingkah terus! Liauw Kui, Yu Ci Pok, pegang dia, biar dia merasakan dan mengenal siapa yang berkuasa! Ha-ha-ha!” Tambolon tertawa-tawa dan dengan gerakan tenang mulai menanggalkan jubah luarnya.

Ceng Ceng membelalakkan matanya. Dia akan diperkosa begitu saja, dengan kedua orang itu memegangnya dan Tambolon menggagahinya.

“Tidaaaakkk....! Jangan....!”

Jeritnya penuh kengerian ketika dua orang lihai itu mendekatinya. Dia masih duduk di atas tanah karena kepalanya agak pening ketika dia terbanting tadi.

“Hemm, engkau perawan liar memang harus dipaksa!” Si Petani berkata dan bersama Yu Ci Pok dia menubruk ke depan.

“Plak! Plakk!”

“Eihhhh....?”

“Heiiii....!”

Liauw Kui dan Yu Ci Pok terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak kepada Kian Lee yang sudah berdiri di situ dengan sikap tenang akan tetapi mukanya merah dan alisnya berkerut, matanya seperti bercahaya di tempat gelap itu ketika dia memandang kepada mereka.

“Raja Tambolon, kiranya selain raja orang-orang liar engkau sendiri juga seorang manusia biadab!”

Kian Lee berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka raja tinggi besar itu. Sementara itu, Ceng Ceng yang masih terduduk tadi memandang kepada Kian Lee tanpa mengenalnya. Dia menduga-duga siapa adanya pemuda tampan dan gagah perkasa yang muncul secara tiba-tiba dan yang sekali menangkis membuat dua orang pembantu Tambolon terhuyung mundur itu.

Tadi Kian Lee sedang menyaksikan kehancuran pasukan liar Tambolon yang didesak oleh pasukan-pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun ketika tiba-tiba dia melihat bayangan-bayangan orang berkelebatan cepat sekali di atas genteng. Ketika melihat seorang wanita dikejar tiga orang, dia merasa heran apalagi melihat betapa gerakan mereka amat cepat.

Ketika mendengar percakapan mereka dan tahu bahwa tiga orang laki-laki itu adalah Tambolon dan dua orang pembantunya, Kian Lee makin menaruh perhatian. Akan tetapi dia baru turun tangan membantu ketika melihat dengan hati kaget dan berdebar aneh bahwa gadis yang dikeroyok itu bukan lain adalah Lu Ceng, saudara angkat Syanti Dewi, penolong Jenderal Kao Liang, gadis yang telah beberapa kali dijumpainya dan yang tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu! Begitu dia mengenal Ceng Ceng, cepat dia bergerak dan menangkis dua orang yang hendak menangkap gadis itu.

Tambolon memandang dengan matanya yang lebar dan ganas, kemudian tertawa lagi karena dia memandang rendah kepada pemuda yang baru muncul itu.

“Liauw dan Yu, kalian bereskan bocah lancang itu, biar aku menjinakkan sendiri betina liar ini karena kita tidak mempunyai banyak waktu.” Sambil berkata demikian, dia sudah menubruk Ceng Ceng yang baru saja hendak bangkit berdiri.

“Keparat!”

Kian Lee membentak akan tetapi ketika dia bergerak maju, Yu Ci Pok sudah mengirim totokan bertubi-tubi dengan sepasang poan-koan-pit ke arah jalan-jalan darah berbahaya di depan tubuh Kian Lee, sedangkan Liauw Kui sudah mengayun pikulannya menghantam ke arah kepalanya.

Kian Lee terpaksa mengelak dan ketika dia melirik, ternyata Ceng Ceng sudah menyambut tubrukan itu dengan tendangan kakinya. Ditendang seperti itu, Tambolon tertawa saja dan ketika tendangan mengenai perutnya, bukan dia yang roboh, bahkah Ceng Ceng sendiri yang terjengkang dan terbanting telentang di atas rumput. Sambil tertawa, Tambolon menubruk tubuh gadis yang sudah telentang itu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar