FB

FB


Ads

Rabu, 25 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 087

Tek Hoat melayani Pangeran Liong Khi Ong makan minum. Pemuda ini kelihatannya biasa saja, akan tetapi sebenarnya hatinya merasa risau bukan main. Semenjak dia bertemu dengan Syanti Dewi dan melihat puteri bangsawan itu terjatuh ke tangan Pangeran Tua ini, hatinya selalu gelisah. Dia sendiri tidak mengerti mengapa, akan tetapi dia merasa betapa semua semangatnya lenyap, kegairahannya untuk membantu pihak pemberontak agar dapat cepat mencapai kemenangan dan dia memperoleh kesempatan untuk meraih kedudukan tinggi, kini menjadi dingin dan kehilangan artinya.

Bahkan kegembiraan Pangeran Liong Khi Ong yang makan minum sampai mabok ditemani oleh panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan dia sendiri bersama Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak mendatangkan kegembiraan pula di dalam hatinya, bahkan sebaliknya dia merasa tidak senang, sungguhpun ketidak senangannya ini tidak dia perlihatkan. Tanpa disadarinya sendiri, terjadi perubahan di dalam hati Tek Hoat, dan perubahan itu terjadi di luar pengetahuannya dan hanya disebabkan oleh kehadiran Syanti Dewi sebagai orang tawanan Pangeran Liong Khi Ong.

Memang Pangeran Liong Khi Ong gembira sekali setelah dia dapat menawan Syanti Dewi yang ternyata luar biasa cantiknya, melebihi semua kabar yang pernah diperolehnya tentang Puteri Bhutan yang oleh Kaisar dijodohkan dengan dia itu. Kehadiran puteri itu secara tak terduga-duga sampai terjatuh ke tangannya sungguh merupakan hal yang amat menguntungkan, baik untuk pribadinya sendiri maupun untuk perjuangannya.

Puteri Bhutan itu merupakan orang penting pada waktu itu. Pertama-tama, siasat mereka menimbulkan sakit hati Raja Bhutan dengan lenyapnya Syanti Dewi ketika diantar ke timur telah berhasil, dan kelak, kalau perjuangan itu berhasil dan dia bersama kakaknya menduduki tampuk pemerintahan, lalu mereka “berjasa” menemukan kembali Puteri Bhutan yang hilang itu, berarti menanam hubungan baik dengan Bhutan. Ketiganya, dia dapat memiliki puteri cantik jelita itu disamping jasa-jasa baik ini!

“Eh, Kim-ciangkun, bagaimana beritanya tentang Tambolon dengan pasukannya yang menyerbu Ang-kiok-teng?” Pangeran yang mukanya sudah merah itu bertanya kepada Panglima Kim Bouw Sin.

Kim Bouw Sin tersenyum lebar.
“Tepat seperti yang kita rencanakan, berkat siasat Ang-taihiap yang cerdik sekali. Tambolon dan anak buahnya itu seperti gerombolan anjing kelaparan, diberi tulang-tulang busuk pun sudah berebutan! Kini mereka kekenyangan tulang busuk dan tidak banyak menggonggong lagi. Tunggu beberapa hari lagi dan kalau mereka sudah mulai lapar, kita pergunakan mereka sebagai pasukan-pasukan pelopor menyerbu ke selatan.”

Pangerap Liong Khi Ong tertawa gembira dan berkata sambil memandang Tek Hoat,
“Untuk jasa itu kami perlu memberi selamat kepadamu dengan secawan arak, Ang Tek Hoat.”

Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong Khi Ong memberi selamat dengan minum arak yang terpaksa diterima dan diikuti oleh Tek Hoat dengan hati berat, akan tetapi Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak mengangkat cawan arak mereka. Melihat hal ini, Tek Hoat mengerutkan alisnya akan tetapi dia diam saja.

Liong Khi Ong yang melihat hal ini menjadi tidak senang hatinya. Tek Hoat adalah pembantunya yang utama, tangan kanannya, sedangkan dua orang kakek aneh itu kini merupakan pembantu-pembantu Kim Bouw Sin.

“Eh, Ji-wi Siang Lo-mo mengapa tidak ikut memberi selamat kepada Ang Tek Hoat yang sudah berjasa besar?”

Pak-thian Lo-mo yang mukanya putih itu tidak menjawab, hanya menunduk dan mengerling ke arah Tek Hoat dengan pandang mata tidak senang. Sedangkan Lam-thian Lo-mo yang lebih pandai bicara, mengangguk hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong sambil berkata,

“Siasat itu memang baik sekali dan sudah sepatutnya kalau semua memujinya. Akan tetapi setelah apa yang kami dengarkan dari Hek-wan Kui-bo, kami berdua menjadi agak ragu-ragu untuk memberi selamat, sebelum Ang-sicu memberi penjelasan akan perbuatannya itu.”

Tek Hoat memandang kakek kembar itu dengan sinar mata tajam dan mereka pun menatap wajahnya dengan penuh selidik sehingga mereka saling pandang dengan sinar mata yang makin lama makin menjadi panas! Api persaingan telah mulai menyala di antara para pembantu utama pimpinan pemberontak itu!

Tek Hoat yang cerdik itu tentu saja telah dapat menduga apa yang telah diceritakan oleh nenek buruk itu, akan tetapi dengan cerdik dia malah sengaja menantang untuk menimbulkan kesan bahwa dia tidak menyimpan rahasia apa-apa, dan dia bertanya,

“Siang Lo-mo, di depan Pangeran dan Kim-ciangkun, tidak perlu bicara sembunyi-sembunyi, katakan saja mengapa kalian meragukan aku dan apa yang telah diceritakan oleh nenek iblis itu kepada kalian mengenai diriku.”

Sepasang kakek kembar itu saling pandang dan nampaknya mereka terheran melihat sikap pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gugup atau takut sebagaimana biasanya orang yang melakukan kesalahan. Kemudian Lam-thian Lo-mo berkata lagi,

“Kami mendengar dari Hek-wan Kui-bo bahwa ketika engkau diajak oleh Kui-bo melihat gadis yang ditawannya, tiba-tiba engkau menyerangnya sehingga nenek itu terpaksa melarikan diri dan cepat melapor kepada Pangeran tentang Puteri Bhutan itu. Bukankah perbuatanmu itu aneh sekali, Ang-sicu?”

Suasana menjadi sunyi dalam ruangan itu setelah Lam-thian Lo-mo mengajukan pertanyaan ini. Pangeran Liong Khi Ong dan Panglima Kim memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata jelas membayangkan keheranan dan keinginan tahu, menuntut penjelasan. Tek Hoat telah memutar otaknya dan kelihatan tenang saja, bahkan tersenyum ketika dia berkata kepada kakek kembar itu,

“Tentu saja ada penjelasanku untuk hal itu. Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku lebih dulu ingin mengetahui bagaimana pendapat dan dugaan Siang Lo-mo tentang perbuatanku itu sehingga kalian menaruh curiga kepadaku?”

Pertanyaan ini jelas merupakan tantangan kepada sepasang kakek kembar untuk membuka isi hatinya di depan Pangeran Liong dan Panglima Kim. Pak-thian Lo-mo yang tidak pandai bicara, melihat saudara kembarnya ditantang, segera bertepuk tangan dan berkata tegas,

“Ang-sicu mendengar Kui-bo hendak mempersembahkan gadis itu kepada Pangeran lalu menyerangnya, tentu berniat hendak memiliki sendiri dara cantik itu!”






Tek Hoat tersenyum dan memandang kepada Lam-thian Lo-mo.
“Demikiankah pendapatmu pula?”

Lam-thian Lo-mo mengangguk.
“Apa lagi kalau tidak begitu niatmu, Sicu? Karena kecantikan seorang gadis, hampir engkau meninggalkan kesetiaanmu!”

Tek Hoat lalu menoleh kepada Pangeran Liong dan Panglima Kim yang memandangnya tajam, lalu bertanya,

“Apakah saya diharuskan menjelaskan perbuatan saya menyerang Hek-wan Kui-bo?”

Pangeran Liong mengangguk.
“Karena pertanyaan telah diajukan, hati kami tidak akan merasa puas sebelum mendengar penjelasanmu, Ang Tek Hoat.”

Tek Hoat lalu berkata, suaranya lantang dan tenang,
“Memang saya akui bahwa saya telah menyerang nenek iblis itu. Saya bertemu dengan nenek itu di jalan dan hal ini saja sudah menimbulkan kecurigaan saya, menyangka bahwa dia adalah seorang mata-mata musuh. Kemudian dia menyatakan hendak mempersembahkan seorang gadis. Tentu saja kecurigaan saya bertambah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, siapa tidak mencurigai nenek iblis yang tiba-tiba saja hendak mengabdi dan mempersembahkan seorang gadis sebagai sogokan? Dan ketika saya dibawanya masuk ke dalam gedung Coa-wangwe, melihat Coa-wangwe sekeluarga dibelenggu, saya hampir yakin bahwa nenek iblis itu tentulah seorang mata-mata musuh yang amat berbahaya.

Coa-wangwe adalah seorang sahabat kita yang banyak membantu perjuangan, melihat dia sekeluarga diperlakukan seperti itu, siapa yang tidak merasa marah dan curiga? Apalagi setelah saya melihat bahwa gadis itu bukan lain adalah Sang Puteri Syanti Dewi yang tentu saja saya segera mengenalnya, kecurigaan saya menjadi bulat bahwa nenek ini mempunyai niat yang jahat, maka tanpa banyak cakap lagi saya lalu menyerangnya. Sampai detik itu pun saya masih mencurigai nenek itu, apakah hal ini berarti aku kehilangan kesetiaan?”

Tek Hoat bicara dengan tenang dan lancar, dan alasannya cukup meyakinkan sehingga bukan hanya Pangeran Liong dan Panglima Kim yang mengangguk-angguk, bahkan Siang Lo-mo sendiri juga mengangguk dan lenyaplah kecurigaan mereka.

Pangeran Liong tertawa girang.
“Bagus, dengan demikian teranglah sudah segalanya. Dan engkau tidak perlu meragukan, Tek Hoat. Nenek itu adalah seorang tokoh besar golongan hitam, mana mungkin dia membantu Pemerintah Ceng? Bahkan dia menyatakan bahwa suhengnya yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, yang katanya memiliki kepandaian paling tinggi di dunia ini, juga sudah berada di kota ini dan siap membantu perjuangan kita, demikian pula seorang sumoinya yang amat lihai berjuluk Mauw Siauw Mo-li.”

Tek Hoat mengangguk-angguk.
“Kalau begitu, saya tidak curiga lagi akan tetapi kecurigaan saya hanya karena saya setia terhadap perjuangan, tidak seperti kecurigaan Siang Lo-mo terhadap saya yang didasari oleh perasaan iri hati!”

“Hemm, apa maksudmu dengan kata-kata itu, Ang-sicu?” Pak-thian Lo-mo bertanya dengan suara keren dan pandang mata tajam.

Tek Hoat tersenyum dan memandang kepada kakek kembar itu dengan sinar mata mengejek,
“Maksud saya sudah jelas! Kalian tidak suka memberi selamat kepadaku karena iri, maka biarlah sekarang saya yang memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!”

Sambil tersenyum, Tek Hoat membuka kedua tangannya ke arah dua buah cawan arak kosong yang terletak di atas meja, di depan dua orang kakek kembar itu dan seperti bernyawa saja, dua buah cawan arak kosong itu “terbang” ke arah kedua tangan Tek Hoat.

Pemuda ini cepat mengisi dua cawan arak itu dengan arak sampai penuh, kemudian mengangkat dua cawan yang penuh arak itu dengan lengan kedua tangan dilonjorkan dan disodorkannya kedua cawan itu ke arah Siang Lo-mo sambil berkata,

“Nah, terimalah pemberian selamat saya kepada kalian!”

“Tek Hoat dan Siang Lo-mo, jangan melakukan kekerasan dan bertentangan antara kawan sendiri!” Pangeran Liong Khi Ong berkata dengan khawatir.

“Saya hanya memberi selamat kepada Siang Lo-mo, Pangeran,” Tek Hoat menjawab tenang.

Lam-thian Lo-mo tertawa,
“Ha-ha-ha, harap Paduka jangan khawatir, agaknya Ang-sicu hanya ingin menguji hamba berdua.” Dia menoleh kepada Pak-thian Lo-mo dan berkata, “Mari kita menerima pemberian selamat Ang-sicu.”

Dua orang kakek kembar itu lalu meluruskan lengan dan menyambut cawan arak itu dengan tangan kanan mereka, tentu saja mereka yang maklum bahwa pemuda itu bukannya memberi selamat secara biasa saja, mereka telah mengerahkan sin-kang mereka, disalurkan melalui lengan sampai ke tangan mereka ketika jari-jari tangan mereka menyentuh cawan arak.

Jari-jari tangan tiga orang itu melekat pada dua buah cawan itu dan lengan mereka mulai tergetar hebat. Adu tenaga sin-kang terjadi, satu melawan dua! Sepasang kakek kembar itu sudah mengenal Tek Hoat dan maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi karena mereka maju berdua, mereka tidak menjadi gentar dan mereka yakin bahwa tidaklah mungkin lawan semuda itu akan dapat mengalahkan tenaga sin-kang mereka yang tergabung.

Pangeran Liong Ki Ong dan Panglima Kim Bouw Sin memandang dengan hati tegang akan tetapi juga gembira karena mereka memang sering menduga-duga siapa di antara mereka yang lebih lihai, sungguhpun terdapat kekhawatiran di dalam hati mereka bahwa adu tenaga sin-kang itu akan berubah menjadi pertandingan sungguh-sungguh.

Mereka memandang dengan hati berdebar dan terkejutlah mereka melihat betapa arak di dalam dua cawan itu tiba-tiba menjadi naik dan terguncang. Mereka melihat Tek Hoat tersenyum dan agaknya pemuda itu hendak menggunakan sin-kangnya untuk membuat arak itu terus naik dan muncrat ke arah dua orang kakek kembar.

Akan tetapi, dua orang kakek itu mengerahkan tenaga mereka dan arak itu turun kembali. Beberapa kali arak itu naik lagi, bahkan sampai melampaui bibir cawan, dan anehnya tidak tumpah seolah-olah arak itu menjadi beku, dan setelah dua orang kakek itu kelihatan mengerahkan seluruh tenaga, barulah arak itu turun lagi.

Mereka bersitegang beberapa lamanya dan sepasang kakek kembar itu sudah mulai berkeringat dahi mereka akan tetapi Tek Hoat masih tenang dan tersenyum, seolah-olah dia tidak mengeluarkan seluruh tenaganya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa biarpun dia dikeroyok dua, namun dia sama sekali tidak terdesak.

Melihat keadaan dua orang kakek yang menjadi pengawal dan pembantu-pembantunya itu kelihatan terdesak dan berkeringat, Panglima Kim hendak menghentikan adu tenaga ilmu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa halus seorang wanita dan tampak dua bayangan orang berkelebat dan di situ tahu-tahu telah berdiri dua orang yang kedatangannya seperti setan saja!

Yang seorang adalah kakek yang tubuhnya tinggi besar dan mukanya menyeramkan seperti raksasa liar, akan tetapi orang ke dua merupakan seorang wanita yang cantik dengan pakaian mewah dan dia muncul didahului bau harum semerbak! Sambil tersenyum wanita dan kakek raksasa itu mendekati meja.

“Aihh, suguhan arak kalau tidak diterima sungguh sayang. Biar aku mengambil satu cawan!”

“Ha-ha, kau benar sekali, Mo-li! Engkau secawan dan aku secawan!” Kakek raksasa itu pun berkata sambil tertawa dan tampaklah dua buah taring di dalam mulutnya.

Mereka membuka mulut dan menyedot, dan.... arak dari dalam cawan yang sedang diperebutkan oleh Tek Hoat dan Siang Lo-mo itu tiba-tiba bergerak naik dan keluar, terus memancar naik memasuki mulut wanita dan kakek raksasa itu yang menelannya dengan enak sekali.

Melihat ini, Tek Hoat dan Siang Lo-mo menarik kembali tenaga mereka. Mereka tidak merasa heran dengan perbuatan dua orang pendatang baru itu. Karena tadi mereka saling mengadu tenaga dan mempertahankan cawan, tentu saja dua orang yang juga memiliki sin-kang kuat itu berhasil “mencuri” arak dari dalam kedua cawan. Andaikata mereka bertiga tidak sedang mengadu tenaga dan mempertahankan, tidak mungkin dua orang itu akan dapat “minum” semudah itu.

Tek Hoat dan Siang Lo-mo sudah meloncat berdiri untuk melindungi Pangeran Liong dan Panglima Kim, sedangkan panglima itu sendiri sudah berteriak memanggil para pengawal yang berada di luar. Pasukan pengawal berlari masuk dan mereka terheran-heran melihat adanya dua orang itu yang tidak mereka lihat masuknya.

“Heh-heh, harap Paduka Pangeran dan Ciangkun tidak salah paham. Suhengku dan sumoiku sudah datang untuk menyumbangkan tenaga!” Suara ini terdengar dari dalam, suara Nenek Hek-wan Kui-bo.

Mendengar ini, Pangeran Liong Khi Ong mengangkat tangan menahan pasukan pengawal yang sudah mengurung dua orang itu, lalu bertanya,

“Apakah kalian yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li?”

Kakek tinggi besar dan wanita cantik itu menjura dengan hormat, dan kakek raksasa itulah yang menjawab,

“Tepat dugaan Paduka Pangeran Liong Khi Ong!”

“Maafkan kedatangan kami yang tidak diundang,” kata pula Mauw Siauw Mo-li dengan suaranya yang halus, lirikan matanya menyambar ke wajah Tek Hoat yang tampan dan senyumnya memikat.

Pangeran Liong Khi Ong terkenal sebagai seorang yang pandai mengambil hati orang-orang pandai, maka dia ditugaskan oleh kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong sebagai penghimpun tenaga di luar kota raja yang ternyata berhasil baik. Bahkan Panglima Kim Bouw Sin adalah panglima yang kena dipikat oleh pangeran ini. Kini, menghadapi dua orang pandai dari golongan hitam itu, Pangeran Liong yang cerdik segera dapat menentukan sikapnya. Sambil tertawa dia lalu berkata,

“Ah, sudah lama kami menanti kedatangan kalian berdua. Silakan duduk dan terimalah ucapan selamat datang dari kami!”

Panglima Kim Bouw Sin menyuruh pengawal-pengawal mundur dan mereka lalu menjamu dua orang yang baru datang itu. Mauw Siauw Mo-li segera tertarik sekali kepada Tek Hoat dan dia mengangkat cawan araknyaa, memandang tajam penuh daya pikat kepada pemuda itu, berkata halus sambil tersenyum dan ketika bicara bibirnya bergerak penuh tantangan,

“Saya telah mendengar nama besar pendekar muda Ang Tek Hoat dan sungguh seperti mimpi saja rasanya dapat bertemu dan makan semeja dengan pendekar muda Ang. Saya menghaturkan secawan arak untuk persahabatan antara kita!”

Biarpun hatinya masih bercuriga kepada dua orang ini, namun karena mereka sudah diterima oleh Pangeran Liong sendiri, Tek Hoat terpaksa bersikap manis, menerima pemberian selamat itu dan mengucapkan terima kasih.

Pangeran Liong menjadi makin gembira ditemani oleh dua orang pembantu baru ini, apalagi sikap Mauw Siauw Mo-li yang penuh daya pikat itu membuat dia lupa bahwa sejak tadi dia sudah terlampau banyak minum arak keras. Akhirnya pangeran itu menjadi agak mabok oleh pengaruh arak.

“Ha-ha-ha, perutku sudah kenyang.... aih, aku ngantuk sekali, ingin tidur.... akan tetapi siapa yang mau menemaniku?”

Berkata demikian, dia bangkit dari bangkunya sambil memandang dengan penuh ajakan kepada Mauw Siauw Mo-li yang cantik. Melihat ini, Lam-thian Lo-mo yang mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu dan belum percaya betul kepada wanita yang baru datang ini, cepat berkata,

“Apakah Paduka lupa akan bunga segar dari Bhutan itu?”

Berkata demikian, Lam-thian Lo-mo melirik ke arah Tek Hoat dengan pandang mata penuh arti. Kiranya kakek bermuka merah yang cerdik ini tidak saja ingin mencegah pangeran itu tidur bersama Mauw Siauw Mo-li yang belum dipercayanya, akan tetapi juga ingin membuktikan bahwa Tek Hoat memang tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Puteri Bhutan itu.

“Ha-ha-ha-ha, engkau benar sekali, Lam-thian Lo-mo. Mengapa aku sampai terlupa? Kelak dia menjadi isteriku, sekarang pun apa bedanya? Ha-ha-ha-ha, Mo-li, lain kali saja kita melanjutkan persahabatan kita, ya? Silakan kalian melanjutkan pesta ini, aku mau.... mau.... menikmati bunga segar dari Bhutan, ha-ha-ha!”

Pangeran yang mabok itu bangkit dari kursinya dan terhuyung-huyung meninggalkan ruangan itu menuju ke kamar di mana Syanti Dewi dikeram dan dijaga oleh Hek-wan Kui-bo di luar kamarnya.

Dapat dibayangkan betapa mendongkol rasa hati Tek Hoat. Dia mengerti akan lirikan mata Lam-thian Lo-mo dan dia menahan kemarahan hatinya. Dalam bingungnya dia tidak tahu harus berbuat apa. Dibayangkannya betapa Syanti Dewi meronta-ronta di bawah dekapan Pangeran Liong Khi Ong yang memperkosanya, dan dia merasa jantungnya seperti berhenti berdetik.

“Ang-sicu, mari kita minum arak bahagia untuk memberi selamat kepada pangeran yang sedang berpengantin di dalam kamar bersama Puteri Bhutan!” Lam-thian Lo-mo berkata sambil mengangkat cawan araknya.

Tek Hoat terpaksa minum araknya dengan hati panas karena dia maklum bahwa kakek itu sengaja hendak mengejeknya. Namun Tek Hoat adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa betapapun tinggi kepandaiannya, dia tidak mungkin akan dapat menandingi begitu banyaknya orang pandai.

Sepasang kakek kembar itu mungkin dapat dia tandingi, biar dibantu oleh nenek Hek-wan Kui-bo sekalipun, akan tetapi kedatangan Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li merubah keadaan dan kalau mereka ini pun maju menentangnya, tentu dia akan celaka.

“Hi-hik, Ang-taihiap.... pangeran itu sungguh romantis.... hemmm, membuat orang menjadi tertarik dan timbul semangat! Ang-taihiap, bagaimana kalau kita berdua juga mengaso dan saling menuturkan riwayat hidup kita untuk mempererat persahabatan?”

“Ha-ha-ha, engkau sungguh mata keranjang, Sumoi!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak.

“Aih, Suheng! Hidup satu kali kalau tidak bersenang-senang mau apa lagi? Kalau sudah mati, kepingin pun tidak akan mampu bergerak lagi. Betul tidak, Ang-taihiap?”

Sambil berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li menggeser bangkunya mendekat dan tangannya meraba-raba dari bawah meja ke paha Tek Hoat. Selagi pemuda ini bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar ruangan itu dan dua orang pengawal masuk dan memberi hormat kepada Panglima Kim Bouw Sin, lalu berkata lantang,

“Lapor! Peristiwa hebat terjadi di Koan-bun!”

Kim Bouw Sin bangkit berdiri dan matanya terbelalak.
“Lekas katakan. Apa yang terjadi di Koan-bun?”

Dengan sikap gugup pengawal itu lalu menjawab,
“Koan-bun pada saat ini sedang diserbu oleh pasukan liar Raja Tambolon dan membutuhkan bantuan, Ciangkun.”

Berita ini amat mengejutkan.
“Celaka....!” Tek Hoat sudah meloncat dari kursinya. “Pangeran harus segera diberi tahu!”

Bagaikan kilat cepatnya tubuhnya sudah meloncat ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah menggedor pintu kamar Pangeran Liong Khi Ong.

“Ihh, engkau mau apa?” Nenek Hek-wan Kui-bo menegur dan tongkatnya sudah siap untuk menyerang.

“Bodoh!” Tek Hoat membentak. “Ada laporan penting untuk Pangeran!”

Dia mengetuk pintu lagi dan pintu terbuka dari dalam. Dengan muka merah karena setengah mabok dan juga marah Pangeran Liong Khi Ong memperlihatkan mukanya sambil memandang marah kepada pembantunya itu.

“Ang Tek Hoat, mengapa engkau menggangguku?”

Dari pintu yang terbuka sedikit itu Tek Hoat dapat melihat ke dalam dan ketika dia melihat Syanti Dewi duduk di atas kursi di kamar itu dengan mata terbelalak dan muka pucat, akan tetapi hanya kelihatan marah sedangkan pakaiannya masih lengkap, hatinya menjadi lega. Dia cepat memberi hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong lalu berkata,

“Berita buruk sekali, Pangeran. Baru saja datang laporan bahwa Tambolon yang curang itu telah mengerahkan pasukannya menyerbu Koan-bun.”

Seketika rasa mabok oleh arak dan oleh kecantikan Puteri Bhutan terbang meninggalkan benak pangeran ini.

“Apa....?”

Dia sudah membuka lebar daun pintu dan berlari ke ruangan, diikuti oleh Tek Hoat sedangkan Hek-wan Kui-bo tetap menjaga di depan pintu kamar Syanti Dewi. Memang bagi dua orang kakak beradik Pangeran Liong, urusan pemberontakan mereka merupakan hal terpenting bagi hidup mereka, oleh karena itu tidak mengherankan apabila Pangeran Liong Khi Ong segera melupakan semua kesenangan pribadinya begitu mendengar berita diserbunya Koan-bun oleh Raja Tambolon.

Ketika dia tiba di ruangan itu, Panglima Kim Bouw Sin, Siang Lo-mo, Hek-tiauw Lo-mo, dan Mauw Siauw Mo-li sedang mendengarkan pelaporan lengkap dari pembawa berita itu. Kemunculan pangeran ini mengharuskan Si Pengawal mengulang semua laporannya.

“Mereka datang sebagai sahabat,” pengawal itu menutup laporannya. “Akan tetapi begitu pintu gerbang dibuka untuk membiarkan Raja Tambolon dan para pengikutnya masuk, tiba-tiba rombongan raja liar itu membunuhi penjaga pintu gerbang dan pasukannya yang bersembunyi dalam gelap langsung menyerbu ke dalam kota.”

Pangeran Liong Ki Ong marah sekali mendengar ini.
“Raja biadab itu! Panglima Kim Bouw Sin, kita harus menghajar dan menumpas mereka!”

Panglima Kim Bouw Sin segera mengumpulkan para perwira pembantunya dan menyiapkan pasukan yang besar untuk membantu Koan-bun dan menumpas pasukan liar Tambolon itu.

Tek Hoat maklum bahwa karena dia yang mengusulkan untuk membiarkan Tambolon dan pasukannya menetap di Ang-kiok-teng, sudah sepatutnya kalau dia yang kini membantu dan ikut memimpin pasukan itu. Andaikata tidak ada Syanti Dewi di situ, tentu sudah tadi dia mengajukan diri. Kini dia berpendapat lain dan kecerdikannya membuat dia cepat berkata kepada Panglima Kim Bouw Sin, akan tetapi tentu saja kata-katanya ini ditujukan untuk menarik perhatian Pangeran Liong Khi Ong.

“Tambolon seperti anjing, diberi sejengkal ingin sehasta! Manusia macam dia harus dibasmi, dan kesempatan yang amat baik ini hendaknya dipergunakan untuk menguji kesanggupan dua orang pembantu baru kita yaitu Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li. Hal-hal aneh terjadi, maka kita harus tetap waspada dan terutama keselamatan pangeran harus dijaga baik.”

Ucapan ini diterima baik oleh Panglima Kim dan juga Pangeran Liong. Maka segera diputuskan bahwa pasukan besar yang akan membantu Koan-bun itu selain dipimpin oleh para perwira, juga dibantu pula oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.

“Saya sendiri akan melakukan perondaan dan mengatur penjagaan ketat di Teng-bun, karena dalam keadaan segawat ini, kita harus tetap waspada dan memperkuat penjagaan,”

Tek Hoat berkata pula dan tanpa menanti persetujuan, dia sudah keluar pula dan lenyap di dalam kegelapan malam. Pasukan besar yang diperbantukan kepada pertahanan kota Koan-bun itu segera berangkat pada malam hari itu juga.

**** 087 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar