FB

FB


Ads

Rabu, 25 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 086

“Gak-suheng, kita harus mencari Lee-ko!”

Kian Bu berkata setelah dia berhasil diselamatkan oleh Gak Bun Beng dari pengeroyokan Tek Hoat dan Hek-wan Kui-bo yang lihai.

“Dan kita harus juga mencari Dewi,” Gak Bun Beng berkata pula.

Mereka berdua lalu berusaha mencari dua orang itu, namun hasilnya sia-sia belaka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah ditawan oleh Hek-wan Kui-bo dan dibawa lari ke Teng-bun, sedangkan Kian Lee dirawat oleh anak perempuan dari Ketua Pulau Neraka di dalam sebuah rumah.

Pada waktu itu, kota Koan-bun geger karena pihak pemberontak mengadakan operasi pembersihan. Hal ini menghalangi Bun Beng dan Kian Bu melanjutkan usaha mereka mencari Syanti Dewi dan Kian Lee. Setiap kali bertemu dengan pasukan pemberontak yang melakukan penggeledahan di sana-sini, mereka segera bersembunyi.

“Ah, aku khawatir sekali bahwa mereka keduanya telah tertawan pihak pemberontak,” akhirnya Gak Bun Beng berkata dengan suara penuh kekhawatiran.

Tentu saja dia memikirkan Syanti Dewi. Kalau sampai terjatuh ke tangan Pangeran Liong Khi Ong, tentu sukar untuk ditolong lagi. Diam-diam dia menyesal mengapa dia begitu lengah sehingga dapat terpisah dari gadis yang seharusnya berada di dalam perlindungannya itu.

Tiba-tiba mereka melihat dari tempat persembunyian mereka sebuah kereta yang tertutup dan dikawal oleh pasukan pengawal di depan, sedangkan di belakang tampak mengawal seorang pemuda. Bun Beng dan Kian Bu segera mengenal pemuda lihai yang mereka lawan tadi.

“Ah, yang di dalam kereta itu jangan-jangan orang yang kita cari....” Gak Bun Beng berkata.

“Kita serbu saja....?” Kian Bu berbisik.

Bun Beng yang lebih berhati-hati itu menggeleng kepala. Dia maklum bahwa kalau mereka berdua menggunakan kekerasan di dalam kota yang sudah tertutup itu, berarti mencari mati karena tentu mereka akan dikeroyok oleh ratusan, bahkan ribuan orang pasukan pemberontak, belum lagi orang-orang lihai sekali yang menjadi kaki tangan pemberontak.

“Tunggu sebentar di sini, aku ada akal!” kata Bun Beng dan sekali berkelebat dia lenyap dari situ, membuat Kian Bu yang juga memiliki kepandaian tinggi itu menjadi kagum.

Dan tak lama kemudian, Bun Beng sudah datang lagi membawa seorang perajurit pemberontak yang tadi menyendiri dan berhasil ditangkap dan ditotoknya, lalu dibawanya ke belakang rumah kosong di mana mereka bersembunyi itu.

“Hayo katakan siapa yang berada di dalam kereta yang lewat tadi! Kalau membohong, terpaksa kubunuh engkau!”

Bun Beng menghardik dan memijat suatu urat di punggung yang mendatangkan rasa nyeri luar biasa sehingga orang itu berkata sambil menyeringai.

“Ampun.... di dalam kereta adalah Pangeran Liong Khi Ong dan Panglima Kim Bouw Sin....!”

Bun Beng dan Kian Bu terkejut mendengar ini.
“Mereka ke mana?”

“Ke.... ke Teng-bun....!”

Bun Beng mendorong orang itu ke samping dan terdengar suara berdesing disusul jerit tertahan. Bun Beng menoleh dan melihat orang itu telah tewas disambar batu kepalanya.

“Mengapa kau melakukan itu?” tanyanya dengan alis berkerut kepada Kian Bu.

Kian Bu menarik napas panjang.
“Suheng, dalam keadaan sekacau ini terpaksa kita harus bertindak keras. Kalau tidak kubunuh dia, tentu dalam waktu sebentar saja mereka akan mengerahkan pasukan besar untuk mencari dan mengejar-ngejar kita. Pula, keterangan itu amat penting. Setelah Pangeran Liong Khi Ong sendiri berada di sini dan pergi ke Teng-bun bersama panglima pemberontak itu, sudah pasti mereka akan melakukan gerakan.”

Gak Bun Beng mengangguk.
“Memang, dan hal itu amat penting sekali untuk segera dilaporkan kepada.... Puteri Milana dan Jenderal Kao. Akan tetapi, kita belum dapat menemukan kakakmu dan Syanti Dewi....”

“Habis, bagaimana baiknya, Gak-suheng? Kedua urusan itu penting!”

“Sebaiknya engkaulah yang pergi melapor tentang Pangeran Liong dan Panglima Kim itu kepada kakakmu Puteri Milana dan Jenderal Kao, sedangkan aku mencari Syanti Dewi dan Kian Lee di tempat berbahaya ini.”

“Ke mana aku harus mencari mereka?”

“Kubantu engkau keluar dari pintu gerbang selatan, dan dari situ engkau langsung ke selatan di mana terdapat sebuah bukit. Setelah engkau mendaki bukit itu, di balik bukit terdapat hutan lebat. Di sanalah Jenderal Kao mempersiapkan pasukannya.”

Setelah menerima petunjuk-petunjuk Gan Bun Beng, Kian Bu bersama pendekar sakti itu lalu mencari jalan di antara rumah-rumah penduduk menuju ke gerbang selatan. Hari telah mulai gelap sekali, awan menutupi angkasa yang seolah-olah ingin menyembunyikan diri agar jangan menyaksikan kebuasan manusia-manusia di dalam perang.






Penjagaan di sepanjang pagar tembok ketat sekali. Kota Koan-bun ini merupakan benteng pertahanan pertama dari barisan pemberontak, maka Panglima Kim Bouw Sin telah memerintahkan agar dilakukan operasi pembersihan dan penjagaan yang amat ketat dan telah mengerahkan sebagian pasukannya untuk mempertahankan dan menjaga Koan-bun itu. Terutama sekali penjagaan empat pintu gerbang di empat penjuru, ada kurang lebih seratus orang tentara menjaga di setiap pintu gerbang.

Tiba-tiba terdengar teriakan seorang peronda di bawah pagar tembok sambil menuding ke depan. Tampak ada bayangan berkelebat di sebelah barat. Teriakan ini disusul oleh berkumpulnya puluhan orang penjaga dan nampak anak panah berserabutan meluncur ke arah bayangan tadi yang dengan cepat menghilang. Selagi para penjaga mencari-cari dan memperketat penjagaan di bagian itu, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang tadi di sebelah timur.

“Tuh dia....!”

“Tangkap mata-mata!”

“Serang anak panah!”

Kembali orang-orang yang menjaga di bagian itu berlarian ke arah tempat itu dan anak-anak panah beterbangan. Namun hanya sebentar saja bayangan itu memperlihatkan diri karena dia sudah lenyap lagi dan tak lama kemudian dia muncul kembali di barat. Sekali ini dia berdiri di tempat terang di bawah lentera yang tergantung di pagar tembok.

Tentu saja para penjaga, baik yang di bawah maupun di atas benteng, segera berdatangan ke tempat orang itu dan lebih dulu mereka menghujankan anak panah. Akan tetapi orang itu hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya dan semua anak panah runtuh ke sekeliling tubuhnya, menancap di atas tanah di sekitarnya!

Kini puluhan orang pasukan pemberontak menyerbu dengan pedang, golok, atau tombak di tangan mereka. Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng yang segera menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana ke mari mengelak dari semua serangan dengan amat mudahnya.

Kemudian tiba-tiba dia menghilang di tempat gelap dan selagi para penjaga itu sibuk mencarinya, dia sudah muncul lagi di tempat lain yang tampak dari situ sehingga para penjaga ini dibikin kacau dan bingung oleh gerakannya yang amat cepat itu, sampai akhirnya semua kekuatan pasukan penjaga di bagian selatan dikerahkan untuk menangkap atau membunuh pengacau yang amat lihai ini.

Dan memang itulah yang dikehendaki oleh Bun Beng. Pada saat semua penjaga tertarik perhatiannya oleh pengacauannya itu, Kian Bu memperoleh kesempatan baik sekali, meloncat ke pintu gerbang, bagian paling rendah di antara pagar tembok itu, merobohkan dua orang yang bertugas menjaga di situ sedangkan semua penjaga yang lain ikut mengeroyok Bun Beng, kemudian terus naik ke pagar tembok dan dengan mudahnya keluar dari kota Koan-bun.

Teriakan dua orang penjaga pintu gerbang yang dirobohkan Kian Bu menarik perhatian mereka yang mengeroyok Bun Beng. Sebagian meninggalkan pengacau ini karena terlalu banyak orang mengeroyok pun tidak ada artinya, bahkan gerakan mereka menjadi kaku dan kacau.

Sebagian dari mereka berlari-larian ke pintu gerbang, akan tetapi mereka tidak dapat melihat siapa yang telah merobohkan dua orang penjaga itu, sedangkan Bun Beng yang melihat Kian Bu telah berhasil keluar dari kota, lalu menghilang pula di dalam kegelapan malam!

Kian Bu mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sekali ke selatan. Untung bahwa mendung tebal telah pergi terbawa angin ke utara, sehingga kini tampaklah sinar bulan sepotong yang dibantu oleh beberapa buah bintang menerangi jalan kecil itu.

Bukit di depan nampak seperti seorang raksasa berdiri tegak dan Kian Bu mempercepat larinya menuju ke bukit itu. Ternyata bahwa bukit itu tidak berapa jauh dari Koan-bun dan segera dia dapat melewati puncaknya, lalu menurun menuju ke hutan yang hanya tampak dari atas sebagai tempat menghitam yang mengerikan.

Akan tetapi baru saja dia tiba di luar hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan hampir saja dia jatuh menelungkup ketika kakinya terjerat tali yang ditarik orang kanan kiri dan bermunculanlah orang-orang dari depan kanan kiri dan mengepungnya!

“Tahan....!”

Kian Bu berseru karena dapat menduga bahwa dia telah tiba di tempat yang dituju dan mereka ini tentulah penjaga-penjaga pasukan Jenderal Kao yang mempunyai barisan pendam di hutan itu.

“Aku datang untuk bertemu dengan Puteri Milana! Aku bukan musuh!”

Orang-orang yang sudah mengepung ketat itu datang makin rapat, menodongkan senjata mereka ke arah pemuda itu. Seorang di antara mereka menghardik,

“Ikut dengan kami menghadap!”

Kian Bu bersikap sabar dan dengan todongan senjata di sekelilingnya, dia digiring masuk ke dalam hutan. Beberapa orang perajurit mendekatkan lentera sehingga mereka dapat melihat wajah Kian Bu, akan tetapi tidak ada seorang pun mengenalnya, maka tentu saja pengepungan menjadi makin ketat.

Diam-diam Kian Bu memuji mereka ini sebagai perajurit-perajurit yang baik, karena kalau perajurit-perajurit seperti ini yang menjaga pagar tembok kota Koan-bun tadi, agaknya dia tidak dapat keluar demikian mudahnya.

Masuknya seorang mata-mata di tempat pemusatan pasukan rahasia itu tentu saja merupakan hal yang amat penting. Kalau pihak pemberontak mengetahui akan pemusatan pasukan pemerintah di tempat itu, tentu semua rencana akan menjadi gagal. Maka begitu mendengar bahwa ada mata-mata memasuki hutan dan telah ditangkap, Jenderal Kao sendiri bersama Puteri Milana keluar untuk melihat tawanan mata-mata itu. Ketika melihat bahwa yang disangka mata-mata itu adalah Kian Bu, tentu saja mereka menjadi girang sekali.

“Lepaskan dia, orang sendiri!” Jenderal Kao membentak.

Para penjaga itu terkejut dan girang sekali bahwa mereka tadi tidak lancang tangan menyerang pemuda itu yang kelihatan begitu akrab dengan Jenderal Kao dan Puteri Milana, bahkan puteri itu sudah memegang lengannya dengan senyum manis. Mereka lalu memberi hormat kepada Kian Bu dan pemimpin mereka mengucapkan pernyataan maaf.

Kian Bu tertawa.
“Kalian adalah penjaga-penjaga yang amat baik.”

Maka kembalilah pasukan penjaga itu ke tempat penjagaan masing-masing dengan hati lega karena mereka tidak dimarahi, bahkan dipuji.

Sementara itu, Kian Bu cepat diajak masuk ke dalam pondok darurat oleh Milana dan Jenderal Kao. Tak lama kemudian pemuda itu sudah menceritakan semua keadaan di kota Koan-bun dengan jelas. Juga diceritakannya betapa munculnya pasukan liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri menggegerkan kota Koan-bun sehingga dia bersama Kian Lee terpisah dari Bun Beng dan Syanti Dewi. Kemudian betapa Kian Lee terluka oleh senjata peledak yang dilepas nenek buruk rupa, kemudian betapa dia pun terpisah dari Kian Lee sampai dia ditolong oleh Gak Bun Beng.

“Gak-suheng cepat menyuruh saya datang melapor ke sini setelah kami ketahui bahwa Pangeran Liong Khi Ong ternyata tadinya juga berada di Koan-bun dan sekarang bersama Kim Bouw Sin telah berada di Teng-bun.”

Milana mengerutkan alisnya. Dia khawatir sekali mendengar bahwa adik tirinya, Suma Kian Lee, terluka dan lenyap, juga bahwa Puteri Syanti Dewi lenyap dan kini masih dicari-cari oleh Gak Bun Beng di Koan-bun. Akan tetapi karena dia sedang menghadapi tugas pemerintah yang lebih penting lagi, maka dia tidak menyinggung urusan yang amat dikhawatirkannya itu dan dia berkata kepada Jenderal Kao,

“Hadirnya Pangeran Tua itu tentu merupakan tanda bahwa mereka sudah siap untuk menyerbu ke selatan. Agaknya kedua orang Pangeran Tua itu memecah diri, yang seorang mendampingi Kim Bouw Sin merupakan penyerbuan dari luar, sedangkan yang seorang lagi tentu melakukan gerakan dari dalam.”

Jenderal Kao mengangguk-angguk dan mengusap-usap jenggotnya.
“Jalan satu-satunya hanyalah menghancurkan mereka sebelum mereka bergerak! Kalau sampai terjadi perang di selatan tentu akan menimbulkan kerusakan hebat di kalangan rakyat. Akan tetapi, saya tahu betapa kuatnya benteng Teng-bun, dan menurut penyelidikan saya kekuatan mereka cukup besar, terdiri dari tiga puluh ribu orang lebih. Menyerbu Teng-bun merupakan pekerjaan yang sulit dan tentu akan makan korban banyak perajurit.”

“Bagaimana kalau kita menyerbu Koan-bun?”

Puteri Milana mengajukan usul, tentu saja masih dipengaruhi kekhawatirannya tentang Kian Lee dan Syanti Dewi.

“Merebut Koan-bun jauh lebih mudah, akan tetapi tidak begitu besar manfaatnya, bahkan sisa pasukan mereka tentu akan lari ke Teng-bun, membuat benteng itu menjadi makin kuat. Kalau saja ada jalan untuk memecah kekuatan mereka menjadi dua....”

Jenderal Kao tidak melanjutkan kata-katanya karena mendengar teriakan penjaga minta diperkenankan masuk. Setelah perkenan diberikan, dua orang perajurit masuk dan memberi tahu bahwa lagi-lagi ada seorang yang disangka mata-mata telah ditangkap dan sudah digiring ke situ.

“Hemm, sungguh aneh.... tempat kita amat rahasia, siapa yang bisa tahu bahwa kita berada di sini?” kata jenderal itu. “Bawa dia ke sini!”

Dua orang perajurit memberi hormat, ke luar dan tak lama kemudian, sepasukan penjaga menggiring seorang pemuda tinggi besar memasuki pondok itu.

“Kok Cu....!” Jenderal Kao melompat bangun saking kaget dan girangnya melihat puteranya itu! “Lihat baik-baik!” katanya kepada para penjaga. “Dia ini adalah Kao Kok Cu, puteraku sendiri. Hayo kalian semua pergi dan menjaga lagi yang waspada!”

Kok Cu sudah melangkah maju dan berlutut di depan Jenderal Kao.
“Ayah....!”

Jenderal Kao mengangkat bangun puteranya dan memandang dengan mata berseri.
“Aih, ke mana saja engkau, Anakku? Cepat kau beri hormat kepada beliau ini. Beliau adalah Puteri Milana.”

“Kiranya inilah puteramu yang dikabarkan kembali setelah lenyap bertahun-tahun, Jenderal? Sungguh gagah dia!” Milana berkata memuji ketika Kok Cu memberi hormat kepadanya.

“Apa kabar, Saudara Kok Cu yang gagah!”

Kian Bu berkata dan Kok Cu juga menyalam pemuda Pulau Es yang pernah dijumpai sebentar di rumah ayahnya di kota raja.

“Ayah, maaf, agaknya tidak ada waktu untuk bicara tentang urusan pribadi dalam saat seperti ini. Anak datang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi gerakan Ayah untuk membasmi pemberontak.”

Jenderal Kao membelalakkan matanya, lalu menghela napas dengan perasaan gembira dan lega yang amat besar. Kiranya puteranya ini sama sekali tidak mengecewakan sebagai puteranya! Tanpa pernah dia memberi didikan sedikit pun, sikap puteranya ini sudah seperti seorang gagah sejati, seorang berjiwa pahlawan, dan tentu saja dia merasa amat bangga karena ucapan puteranya itu dikeluarkan di depan Puteri Milana, pahlawan wanita yang amat dikaguminya itu.

“Tentu saja, Anakku,” jawabnya dengan nada biasa padahal hatinya membesar saking bangganya. “Ceritakanlah, berita apa yang kau bawa itu?”

“Ayah, dan Paduka Puteri.... Ang-kiok-teng pagi hari tadi telah terjatuh ke tangan pasukan Tambolon!”

Jenderal Kao mengerutkan alisnya. Kalau hanya itu beritanya, sama sekali tidak penting lagi.
“Hemm, kami sudah mendengar dengan jelas tentang itu, Kok Cu, Panglima Thio telah tiba di sini menceritakan tentang terampasnya Ang-kiok-teng, dan bahkan betapa dia diselamatkan oleh seorang gadis cantik yang lihai dan seorang laki-laki bermuka buruk seperti setan.” Dia berhenti sebentar, termenung.

“Aku sangat tertarik akan kelihaian gadis penolongnya itu, yang kabarnya dengan menggunakan racun merobohkan seratus orang anak buah Tambolon. Apakah engkau juga tahu dia itu siapa, Kok Cu?” Jenderal Kao bertanya.

“Ayah sudah mengenal dia baik-baik,” Kok Cu berkata. “Dia adalah gadis yang gambarnya Ayah sembahyangi dahulu itu....”

“Apa....? Kau maksudkan Nona Lu Ceng....?”

Jenderal Kao bangkit dan memegang pundak puteranya. Kalau bukan Kok Cu yang dicengkeram pundaknya seperti itu saking kaget dan girangnya hati jenderal raksasa ini, agaknya akan remuk tulang pundaknya!

“Benar, Ayah. Saya telah menyelidiki dengan jelas.”

“Dan laki-laki bermuka buruk seperti setan itu?”

“Dia disebut Topeng Setan, kabarnya menjadi pembantu Nona Lu Ceng yang telah menjadi beng-cu orang-orang golongan hitam. Sekarang mereka bersekutu dengan Tambolon.”

“Apa....?” jenderal itu berseru kaget.

“Akan tetapi berita yang amat penting yang hendak anak sampaikan adalah bahwa besok malam pasukan-pasukan liar yang dipimpin Tambolon secara serentak akan meninggalkan Ang-kiok-teng dan menyerang Koan-bun untuk dirampasnya.”

“Heiii....?” Milana berseru kaget. Berita ini mengejutkan dan tidak terduga-duga sama sekali.

Jenderal Kao Liang memejamkan matanya, alisnya yang tebal berkerut-kerut dan dia berpikir-pikir. Tiba-tiba dia membuka matanya, memandang puteranya dan suaranya memecah kesunyian,

“Engkau yakin benar akan berita ini, Kok Cu?”

“Sudah pasti, Ayah. Saya mendengar sendiri keputusan itu keluar dari mulut Raja Tambolon dan mereka kini sedang bersiap-siap.”

Tiba-tiba Jenderal Kao tertawa bergelak dan memukul-mukul pahanya sendiri.
“Ha-ha-ha-ha! Bodoh sekali aku, hampir saja meragukan kebersihan hati seorang gadis pahlawan!” Lalu dia menoleh kepada Puteri Milana sambil berkata,

“Thian telah mengirim gadis itu untuk memberi jalan kepada kita! Tentu dia telah menggunakan siasat, bersekutu dengan Tambolon dan mengajaknya menghantam pemberontak di Koan-bun. Entah dengan janji dan siasat apa dia berhasil! Inilah kesempatan kita. Kita biarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak saling hantam, sampai salah satu hancur, kemudian kita gunakan kesempatan selagi pihak yang menang lengah dan lelah, kita serbu Koan-bun dan Teng-bun. Untuk membantu Koan-bun, tentu pasukan di Teng-bun akan dikurangi dan benteng itu tidak sekuat sekarang.”

Puteri Milana mengangguk-angguk.
“Siapakah dia Nona Lu Ceng itu, Kao-goanswe?”

“Ha-ha-ha, sungguh dia hebat dan sudah membikin aku seorang tua tertipu beberapa kali. Tadinya dia terjungkal di dalam sumur maut ketika menolongku dari pengkhianatan Kim Bouw Sin, dia kusangka mati dan bahkan sudah kusembahyangi! Kiranya dia benar masih hidup! Tadi kusangka dia telah menjadi orang sesat karena selain menjadi ahli racun juga menjadi beng-cu kaum sesat, kiranya dia masih seorang patriot yang dengan caranya sendiri membasmi pemberontak!”

Malam ini juga Jenderal Kao dan Puteri Milana mengatur siasat dan membagi-bagi tugas. Sepertiga jumlah pasukan akan memasang barisan pendam di sekitar Koan-bun dan akan menanti sampai pasukan liar Tambolon menyerbu Koan-bun, membiarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak perang sendiri dan Kok Cu ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin pasukan ini.

“Tunggu sampai perang itu selesai dan pihak pemenang, baik pihak pemberontak maupun pihak Tambolon, berpesta merayakan kemenangannya sehingga lengah, baru turun tangan serbu dan rampas Koan-bun. Pasukan itu terdiri dari lima ribu orang perajurit pilihan, dan engkau dibantu oleh Perwira Thio Luk Cong, bekas komandan di Ang-kiok-teng. Nah, kau atur dan rundingkan dengan Thio-ciangkun, sedangkan urusan pribadi kita bicarakan kalau semua tugas sudah selesai dengan baik.”

“Baik, Ayah.”

Thio Luk Cong lalu dipanggil dan bersama Kok Cu mereka lalu keluar dari pondok itu untuk merundingkan dan mengatur pasukan mereka yang bertugas bergerak di Koan-bun setelah membiarkan pihak pemberontak bertempur sendiri dengan pasukan liar yang dipimpin Tambolon.

Kok Cu menyerahkan pimpinan pasukan kepada Panglima Thio karena dia sendiri merasa tidak mampu mengatur barisan dan dia berjanji akan menyelundup lebih dulu ke Koan-bun dan menyelidiki keadaan.

Panglima Thio memberikan anak panah-anak panah berapi kepada Kok Cu dan mereka berjanji bahwa panah berapi itulah yang akan menjadi tanda dari Kok Cu bahwa saatnya yang tepat telah tiba bagi pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Thio-ciangkun untuk turun tangan menyerbu Koan-bun.

Lima ribu orang pasukan lagi bertugas untuk memotong jalan kalau barisan pemberontak dari Teng-bun mengirim bala bantuan ke Koan-bun, dan lima ribu orang pasukan lagi bertugas menyerbu Teng-bun. Pasukan pertama dipimpin oleh Puteri Milana dan pasukan ini juga bertugas sebagai pembantu pasukan yang menyerbu Teng-bun yang menjadi pusat kekuatan pemberontak, sedangkan pasukan penyerbu Teng-bun itu dipimpin oleh Jenderal Kao sendiri, dibantu oleh Kian Bu.

Pemuda ini masih merasa gelisah memikirkan Kian Lee yang tidak tahu berada di mana, juga Puteri Syanti Dewi yang lenyap. Akan tetapi karena keadaan tidak mengijinkan untuk mencari, dan perang sudah berada di depan mata, pemuda ini terpaksa menekan kekhawatirannya dengan hiburan bahwa kakaknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan biarpun mengalami luka di pahanya, kiranya masih akan mampu menjaga diri dengan baik. Hanya dia gelisah memikirkan Syanti Dewi, karena kalau puteri itu terjatuh ke tangan pemberontak, tentu celaka. Akan tetapi dia mempunyai harapan dan kepercayaan bahwa Gak Bun Beng kiranya akan dapat mencari dan menemukan kedua orang yang lenyap itu.

Setelah Kok Cu berunding dengan Panglima Thio Luk Cong dan menerima pesan-pesan ayahnya, menjelang pagi dia meninggalkan hutan itu untuk mulai dengan tugasnya, membantu Panglima Thio yang diam-diam menggerakkan pasukannya menjadi barisan pendam di sekitar kota Koan-bun.

**** 086 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar