FB

FB


Ads

Rabu, 25 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 085

Ceng Ceng mengerahkan tenaga dalamnya untuk membebaskan totokan, namun sebelum dia berhasil, dia telah dibelenggu dengan erat sehingga tidak mampu bergerak lagi. Juga Topeng Setan yang agaknya masih di bawah pengaruh obat bius itu telah dibelenggu erat-erat. Keduanya lalu diangkat dan didudukkan di atas kursi.

Tambolon tertawa bergelak dan minum arak untuk memberi selamat kepada diri sendiri yang telah merobohkan gadis lihai dengan pembantunya yang bertopeng itu, ditemani oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut yang lihai, menanti sampai dua orang yang sudah terbelenggu itu sadar, atau tepatnya menanti Topeng Setan sadar karena gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh obat bius yang terkandung di dalam arak yang disuguhkan kepada mereka sebagai ucapan selamat jalan tadi.

Topeng Setan siuman kembali dan mengeluh, menggerakkan kepalanya yang tadi terkulai menunduk.

“Ha-ha-ha-ha!” Tambolon tertawa nyaring, “Betapapun lihai kalian berdua, mana mampu menandingi kecerdikan kami!”

“Tak tahu malu!” Ceng Ceng memaki sambil memandang dengan mata berapi. “Katakan saja kecurangan, siapa bilang kecerdikan?”

Tambolon menghirup araknya lalu melempar cawan arak ke atas meja sambil berkata,
“Ha-ha-ha, Nona manis, engkau seperti seekor kuda betina liar yang pernah kukejar-kejar di padang rumput! Ketahuilah, setiap muslihat yang berhasil selalu merupakan kecerdikan bagi yang menang akan tetapi dianggap kecurangan oleh yang kalah! Kalau hendak membunuhmu, apa sukarnya? Akan tetapi aku sayang sekali, sayang akan kecantikanmu, keliaranmu, dan kepandaianmu, ha-haha. Kuda betina liar seperti engkau ini amat menarik, harus kujinakkan sendiri!”

Raja Tambolon yang sudah setengah mabok itu mengusap mulutnya dengan ujung lengan bajunya, lalu dia memberi aba-aba kepada dua orang pengawal yang berjaga di situ,

“Bawa kuda betina ini ke kamarku!”

Dua orang pengawal itu memberi hormat, lalu menghampiri Ceng Ceng yang sudah terbelenggu kaki tangannya seperti seekor lembu hendak disembelih itu. Mereka mengulur tangan dan mengangkat tubuh Ceng Ceng dari kanan kiri.

Pada saat itu, Ceng Ceng mengerahkan tenaga sin-kangnya karena totokan di tubuhnya tadi sudah buyar sendiri, lalu mengumpulkan hawa beracun, mengerahkan ilmunya yang dipelajarinya dari Ban-tok Moli.

“Cuhh! Cuhh!”

Dua kali dia meludah ke kanan kiri, tepat mengenai muka kedua orang pengawal yang sedang mengangkatnya itu. Mereka menjerit, melepaskan tubuh Ceng Ceng dan roboh bergulingan di atas lantai sambil berteriak-teriak, mencakar-cakar muka sendiri yang terkena ludah beracun tadi!

Raja Tambolon kaget, memerintahkan pengawal-pengawal lain untuk menyeret pergi dua orang yang terkena ludah beracun itu dan dia sudah mencabut sebatang pedang panjang sambil memandang kepada Ceng Ceng dengan mata marah,

“Iblis betina! Kiranya engkau benar-benar iblis beracun! Untung ketahuan kini bahwa engkau adalah ular beracun, siluman ular yang harus dibasmi sebelum mencelakakan kami semua!”

“Huh, mau bunuh lekas bunuh! Siapa sih yang takut mati? Seribu kali lebih baik mati dengan gagah daripada hidup menjadi pengecut curang macam kamu, raja liar!” Ceng Ceng memaki-maki.

Tiba-tiba Topeng Setan berkata,
“Sri Baginda, tahan dulu! Kita merupakan dua kekuatan yang kalau bersatu padu akan mendatangkan keuntungan besar. Mengapa menjadi bentrok sendiri? Membunuh kami berdua pun tidak ada gunanya karena Sri Baginda bersama seluruh pasukan telah masuk perangkap dan hanya kami berdualah yang akan dapat menolong.”

Ceng Ceng merasa heran sekali mendengar ucapan Topeng Setan itu, akan tetapi dia juga amat cerdas dan dapat menduga bahwa tentu orang yang menjadi pembantunya, juga penolong dan sahabatnya, boleh dibilang gurunya pula, mempunyai suatu akal yang belum dapat dia menduganya.

“Eh, Topeng Setan!” bentaknya. “Perlu apa bicara dengan raja biadab ini? Biar saja dia dan pasukannya tertumpas habis, hendak kulihat bagaimana dia akan dapat membunuh kita!”

Raja Tambolon mengerutkan alisnya, tangannya yang memegang pedang ragu-ragu.






“Sri Baginda, jangan mendengar gertakan mereka!” Yu Ci Pok Si Siucai berkata.

“Bunuh saja, Sri Baginda. Wanita ini terlalu berbahaya dengan kelihaian racunnya!” Liauw Kui juga berkata.

Tiba-tiba Topeng Setan tertawa bergelak.
“Sayang sekali! Sri Baginda Tambolon yang benar-benar gagah perkasa itu mempunyai pembantu-pembantu yang tolol. Sahabatku ini seorang beng-cu, mana mungkin hanya menggertak sambal belaka? Kalau kita berniat buruk, apa sih sukarnya meloloskan diri?”

Sambil berkata demikian, Topeng Setan menggerakkan kaki tangannya. Terdengar suara keras dan semua belenggu itu patah-patah dan dia sudah bebas! Dengan cepat dia lalu menghampiri Ceng Ceng dan mematah-matahkan belenggu kaki tangan dara itu.

“Aihh, kenapa engkau tergesa-gesa?” Ceng Ceng berkata, seolah-olah menegur Topeng Setan. “Apa kau kira aku sendiri tidak bisa membebaskan diri? Tadinya aku masih ingin melihat apakah raja liar ini akan dapat membunuh kita.”

“Maaf, Beng-cu. Kiranya Sri Baginda Tambolon sudah dapat mendengar kata-kata kita yang bermaksud baik.”

Tambolon dan dua orang pembantunya kaget setengah mati. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang ini benar-benar lihai bukan main dan tadi agaknya hanya pura-pura saja. Jelas bahwa gadis itu tidak terpengaruh obat bius, akan tetapi Topeng Setan itu pun agaknya hanya pura-pura pingsan saja!

“Kepung....!” Tambolon berteriak karena khawatir kalau-kalau dua orang ini akan mengamuk dan lolos.

“Sri Baginda, apakah masih tidak percaya kepada kami?” Topeng Setan berkata. “Pasukanmu sengaja disuruh menduduki dusun yang tidak ada artinya ini, karena pasukan Kim Bouw Sin sebenarnya menganggap pasukan Paduka hanya pasukan liar yang harus dibasmi, akan tetapi lebih dulu akan dipergunakan menentang pemerintah.”

“Bohong! Sudah lama aku berhubungan dengan Pangeran Liong!” Tambolon berteriak.

“Paduka sungguh tidak dapat berpikir panjang. Pangeran Liong adalah dua orang saudara pemberontak, mana mungkin mempunyai hati setia? Seorang pemberontak adalah orang yang tidak setia kepada rajanya. Kalau kepada rajanya sendiri, bahkan dalam hal ini kakaknya sendiri, tidak dapat setia, apalagi terhadap Paduka yang dianggap raja bangsa liar? Selama mereka membutuhkan, tentu saja mereka bersikap baik kepada paduka, akan tetapi mereka akan menghancurkan pasukan Paduka begitu mereka tidak memerlukannya lagi.”
Ceng Ceng terheran-heran mendengar semua kata-kata Topeng Setan ini. Biasanya, pembantunya yang tak pernah dia lihat mukanya ini jarang bicara, dan amat pendiam. Akan tetapi sekarang pandai sekali bicara, dan mengerti tentang seluk-beluk pemerintah dan pemberontakan agaknya.

“Hemmm.... hemmm.... orang bertopeng! Siapakah engkau? Mari duduk dan bicara, apa yang menjadi kehendakmu.”

Raja Tambolon mempersilakan mereka duduk dan memberi tanda dengan tangannya, sehingga semua anggauta pasukan yang sudah mengepung tempat itu mengundurkan diri. Dia tidak khawatir terhadap dua orang lihai ini karena selain dia sendiri dan dua orang pembantunya juga berkepandaian tinggi, juga di luar masih ada pasukannya yang amat banyak dan tidak mungkin dua orang ini dapat lolos. Akan tetapi dia tertarik sekali oleh kata-kata Topeng Setan tadi.

Setelah mereka duduk, Ceng Ceng yang mulai mengerti bahwa temannya itu tentu hendak menggunakan suatu taktik yang amat lihai, berkata mengejek,

“Sri Baginda, apakah masih ada arakmu yang mengandung racun lebih hebat daripada tadi?”

Raja Tambolon tertawa,
“Ha-ha-ha, engkau memang hebat, Nona, baik sebagai kawan maupun sebagai lawan engkau amat mengesankan. Apa artinya arak beracun bagi seorang dewi beracun seperti engkau? Haii, pelayan! Ambil arak wangiku dari kamar!”

Pelayan berlari-lari dan tak lama kemudian mereka berlima kembali duduk seperti tadi, mengelilingi meja sambil minum arak wangi.

“Nah, sekarang perkenalkan dirimu dan ceritakan maksud hatimu,” kata Tambolon.

“Semua orang mengenal saja sebagai Topeng Setan dan Nona ini adalah Nona Lu Ceng beng-cu dari kalangan liok-lim yang terkenal dan baru-baru ini diangkat dalam pemilihan. Kami tahu betul bahwa pihak pemberontak hanya mempergunakan pasukan Paduka untuk memperkuat diri. Karena melihat bahwa Paduka adalah orang gagah, maka kami lebih senang berkawan daripada berlawan. Dengan berkawan kita dapat bersama-sama menghadapi Kim Bouw Sin dan pasukan pemberontaknya.”

“Huh! Topeng Setan, jangan bicara yang bukan-bukan! Kalau memang Pangeran Liong dan Panglima Kim Bouw Sin berhati bengkok, kami pasti akan membasminya. Akan tetapi jangan mengharap kami akan membantu Kerajaan Ceng-tiauw! Kalian agaknya adalah mata-mata Pemerintah Ceng!”

“Raja Tambolon, jangan engkau bicara sembarangan saja!” Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. “Aku adalah seorang bengcu, mana sudi merendahkan diri menjadi mata-mata?” Lalu dia menoleh kepada Topeng Setan sambil berkata, “Apa kubilang tadi! Percuma saja bicara dengan orang-orang bodoh ini, membuang-buang tenaga dan waktu saja. Biarkan saja mereka ini hancur lebur!”

Raja Tambolon menepuk meja.
“Baiklah, aku mendengarkan! Coba katakan, mengapa engkau menduga bahwa kami ditipu oleh pasukan pemberontak?”

“Bukan menduga saja, Sri Baginda. Beng-cu telah menyebar banyak penyelidik dan dari para penyelidik itulah kami mengetahui akan hal itu.”

“Nanti dulu, Topeng Setan. Kalau kalian bukan mata-mata Pemerintah Ceng, mengapa kalian tadi membela Panglima Thio yang mengepalai pertahanan di Ang-kiok-teng ini?” Si Siucai yang cerdik bertanya dan kembali Tambolon timbul kecurigaannya.

“Phuihhh!” Ceng Ceng bangkit berdiri dan menggebrak meja sehingga mangkok piring berloncatan di atas meja. “Masih tidak percaya? Apakah hal begitu saja kalian tidak dapat menduga? Kalau kami tidak membantu mereka, tentu mereka itu akan tahu bahwa kami berada di pihak musuh dan semua anak buah kami tentu akan celaka! Dan kalau memang kami membantu musuh apa kau kira aku sudi memberi obat penyembuh seratus orang-orangmu? Pendeknya, pilih satu antara dua. Percaya dan menjadi sahabat kami, atau tidak percaya dan menjadi musuh kami!”

Tambolon mengangkat tangannya.
“Sabarlah, Nona.... eh, Beng-cu. Kalian muncul dengan tiba-tiba membuat kami bingung, apalagi mendengar akan berita yang aneh dan mengejutkan itu.”

“Sri Baginda, kalau memang Panglima Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong berniat baik, mengapa pasukanmu tidak disuruh masuk ke Koan-bun saja? Mengapa diberi dusun kecil tidak ada artinya ini? Padahal pemusatan kekuatan pasukan mereka berada di Teng-bun! Dusun ini miskin dan tidak mempunyai benteng yang ketat, sebaliknya Koan-bun penuh dengan harta benda dan benteng yang kuat. Bahkan semua perbekalan untuk pasukan pemberontak dipusatkan di Koan-bun. Nah, kalau pasukan Sri Baginda di sini dikepung dan diserbu, bagaimana akan dapat mempertahankan diri? Maka usul kami, mari kita bersatu, anak buah kami akan kami kerahkan sebagai penyelundup-penyelundup dan kita serbu Koan-bun. Kalau pasukan Paduka sudah berkedudukan di benteng itu, kita tidak takut terhadap serbuan siapa pun.”

“Bagus!” Tambolon berteriak girang. “Sungguh pikiran yang bagus! Andaikata tidak benar Pangeran Liong memusuhi dan menipu kami, masih bisa kami kemukakan alasan bahwa pasukanku tidak suka di dusun ini, maka kami mengambil alih Koan-bun. Bagus! Kita bergerak malam nanti!”

“Nanti dulu, Sri Baginda....!” Liauw Kui Si Petani Maut berkata sambil mengerutkan alisnya, “Topeng Setan, usulmu memang baik sekali. Akan tetapi, mengapa kalian mengusulkan kerja sama menyerbu Koan-bun ini? Kalau kalian tidak berpihak kepada Pemerintah Ceng, mengapa kalian memusuhi Pangeran Liong dan Panglima Kim?”

Diam-diam Ceng Ceng dan Topeng Setan memuji kecerdikan dua orang pembantu dari Raja Tambolon itu. Ceng Ceng cepat membantu Topeng Hitam dengan jawaban yang lantang,

“Kami tidak membantu siapa-siapa dan memusuhi siapa-siapa, melainkan bergerak demi kepentingan kami sendiri, demi kepentingan perkumpulan kami. Aku diangkat menjadi beng-cu tidak percuma, aku hanya dapat memperlihatkan bahwa mereka tidak sia-sia memilih aku sebagai beng-cu! Kami melihat betapa sia-sia usaha para pemberontak hendak menggulingkan pemerintah yang terlalu kuat, dan kami melihat betapa pasukan pemberontak telah mengumpulkan harta benda yang arnat banyak di Koan-bun dan Teng-bun. Maka, kesempatan baik ini mengapa kami sia-siakan? Selagi para pemberontak saling gempur, kita turun tangan mencari keuntungan di sini, bukankah itu baik sekali?”

Topeng Setan berkata dengan nada mencela,
“Beng-cu, urusan pribadi kita mengapa harus diberitahukan orang lain?”

“Biarlah. Mereka telah menjadi sahabat kita, bukan?” Ceng Ceng menjawab.

Raja Tambolon tertawa girang.
“Baik, kita bekerja sama. Di mana anak buah kalian?”

“Mereka tersebar di Koan-bun dan Teng-bun dan setiap saat dapat bergerak, tinggal menanti perintah dari Beng-cu,” kata Topeng Setan.

“Kalau begitu, pergilah seorang di antara kalian untuk menggerakkan mereka. Malam nanti kita mengadakan persiapan dan besok malam kita menyerbu Koan-bun,” Raja Tambolon berkata.

“Topeng Setan, kita pergi!” Ceng Ceng bangkit berdiri.

“Nanti dulu!” Raja Tambolon juga berdiri dan mengangkat tangan kanannya ke atas. “Maaf, bukan karena kurang percaya, melainkan kami harus berhati-hati. Kami hanya mau bekerja sama dan mau percaya kalau seorang di antara kalian yang pergi melaksanakan tugas itu. Orang ke dua tinggal di sini bersama kami!”

“Kau tetap tidak percaya?” Ceng Ceng membentak marah.

“Harap Lu-bengcu suka beristirahat saja di sini, biarlah saya yang menghubungi teman-teman kita. Malam nanti atau selambat-lambatnya besok pagi saya tentu sudah kembali.”

Ceng Ceng mengangguk. Dia tahu bahwa sahabatnya itu hendak menjalankan sesuatu yang tidak diketahuinya. Yang jelas, siasat Si Topeng Setan itu telah mengadu domba antara Tambolon dan pasukan pemberontak, suatu siasat yang baik sekali untuk membantu pemerintah secara tidak langsung dan untuk mengurangi kekuatan pemberontak!

Dia makin kagum kepada pembantunya ini. Kiranya Topeng Setan juga berjiwa patriotik, menggunakan kesempatan itu untuk berpura-pura tertawan, kemudian menjalankan siasat bersahabat dengan mengadu domba dua kekuatan yang merupakan bahaya bagi pemerintah.

Setelah Topeng Setan berangkat, Ceng Cang lalu beristirahat di dalam sebuah kamar yang disediakan untuknya, hatinya girang bahwa dengan bantuan Topeng Setan dia akan dapat melakukan sesuatu untuk negara.

Akan tetapi kalau dia teringat akan nasibnya, semua rasa girang itu lenyap. Setelah selesai urusan ini, aku akan mengerahkan seluruh waktuku untuk mencari Si Jahanam itu, demikian pikirnya ketika dia teringat akan musuh besarnya, pemuda laknat itu. Dan aku akan minta bantuan Topeng Setan!

**** 085 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar