FB

FB


Ads

Senin, 23 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 079

Alisnya hitam kecil panjang tanpa dibantu alat, memang bagus bentuknya, dan sepasang matanya amat indah dan hidup, lebar dan bening sekali, kadang-kadang dapat mengeluarkan sinar tajam menembus jantung, kadang-kadang keras seperti baja dan dingin seperti salju, akan tetapi kadang-kadang, dibarengi suara rintihan seperti kucing merayu, mata itu mengeluarkan sinar yang halus lembut dan penuh kehangatan dan janji muluk.

Bulu matanya lentik panjang, menambah keindahan sepasang mata itu. Hidungnya sedang saja, akan tetapi mulutnya! Banyak pria menelan ludah kalau menatap mulutnya karena setiap gerak bibirnya mengandung janji kenikmatan dan kemesraan yang menggairahkan. Wajah yang cantik jelita ini masih ditambah lagi oleh bentuk tubuh yang langsing, ramping padat berisi dengan lekuk-lengkung yang penuh kewanitaan dan kelembutan.

Pendeknya, Si Kucing Liar ini memiliki tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk membangkitkan gairah berahi kaum pria, dan semua gerak-geriknya menunjukkan kecondongan yang khas seperti telah dikhususkan untuk bercinta.

Akan tetapi di balik semua kecantikan yang mempesonakan ini bersembunyi sesuatu yang membuat semua orang bergidik dan merasa ngeri. Wanita ini dapat membunuh siapa saja, kapan saja dan di mana saja tanpa berkedip! Dan kepandaiannya sedemikian hebatnya sehingga menggetarkan semua petualang di utara. Selain itu, yang membuat orang bergidik ngeri, adalah kebiasaan wanita ini yang suka mengeluarkan suara seperti seekor kucing, dan celakalah kalau terdengar suara ini. Pasti disusul dengan matinya seorang atau lebih dalam keadaan yang mengerikan!

Siluman kucing ini sebenarnya adalah seorang wanita yang kini menjadi setan yang haus akan belaian pria. Semenjak berusia enam belas tahun, dia telah menjadi janda karena setelah menikah selama satu tahun suaminya meninggal dunia!

Di waktu menjanda, beberapa kali dia diambil isteri muda oleh bermacam orang, akan tetapi semua itu telah gagal. Ada yang mati secara aneh, ada pula yang meninggalkannya karena mengejar lain perempuan. Semua pengalaman ini membuat dia menjadi seorang yang binal. Kemudian dia diambil sebagai seorang peliharaan oleh seorang tokoh besar dari Korea, yaitu guru dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang kakek yang bernafsu dan tenaganya melebihi orang-orang muda!

Setelah menjadi kekasih kakek ini, barulah ada yang kuat bertahan menjadi pasangan atau “suami” wanita cantik ini sampai belasan tahun lamanya! Si kakek tidak pernah menjadi bosan karena memang kekasihnya ini muda, kuat dan cantik jelita, penuh gairah hidup dan penuh nafsu berapi-api. Sebaliknya, wanita itu pun merasa cukup puas karena Si Kakek memang luar biasa, seorang yang memiliki kesaktian hebat dan yang amat menyenangkan hatinya adalah karena dia yang disayang mulai menerima latihan-latihan ilmu-ilmu silat yang tinggi.

Demikianlah, dia menjadi kekasih dan juga murid, menjadi sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo, bahkan karena “suaminya” amat sayang kepadanya, dia diberi ilmu-ilmu simpanan sehingga kepandaiannya dapat mengimbangi suhengnya dan melebihi sucinya! Namun, suami atau guru itu akhirnya menyerah juga terhadap kekasihnya yang tak pernah mengenal puas dalam permainan cinta nafsu itu, juga menyerah terhadap usianya yang tinggi. Dia meninggal dunia meninggalkan tiga muridnya.

Wanita cantik jelita yang baru berusia tiga puluh tahun itu kembali menjadi janda. Akan tetapi berbeda dengan dahulu, dia kini adalah seorang janda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, juga merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan yang telah “matang”, dan celakanya, nafsunya menjadi makin menggila, dia menjadi seorang wanita yang haus akan laki-laki dan semua kehausan itu dipuaskannya kapan saja dan di mana saja dia bertemu dengan pria yang muda dan tampan.

Tentu diculiknya pria itu, dirayunya dan hampir tidak ada pria yang dapat bertahan terhadap rayuan mautnya sehingga bagaikan mabok setiap pria yang dirayunya akan jatuh ke dalam pelukannya, dibuai oleh rayuan, belain dan permainan cintanya sehingga seperti seekor lalat yang tertangkap di sarang laba-laba, meronta-ronta namun tak dapat lepas, dihisap sari tubuhnya perlahan-lahan sampai habis dan kering, kemudian mati dalam keadaan masih bermimpi nikmat!

Entah sudah berapa puluh, berapa ratus atau berapa ribu orang laki-laki yang telah menjadi korbannya. Celaka bagi Kucing Liar ini, makin dicari makin banyak dia memeluk pria yang menjadi korbannya, makin hauslah dia, makin tak terpuaskan dan dia masih terus mencari-cari karena dia pun rindu akan cinta kasih seorang pria saja. Kalau saja dia berhasil menemukan seorang pria yang dapat dijadikan teman hidup selamanya! Akan tetapi selalu pria yang dinikmatinya itu akan menjemukan hatinya kemudian, menimbulkan kebencian sehingga dibunuh tanpa pria itu sadar dari kenikmatan.

Ciri khas dari wanita ini adalah suara yang keluar dari kerongkongannya, suara seperti kucing, bahkan persis kucing dan suara ini otomatis keluar dari kerongkongannya apabila perasaannya tersentuh dan bergelora, di waktu dia marah, bingung, senang dan terutama sekali di waktu dia bermain cinta! Dan suara kucing inilah yang membuat dia dijuluki orang Siluman Kucing atau Kucing Liar!

Selama bertahun-tahun ini, baik Hek-wan Kui-bo yang merupakan nenek buruk rupa, dan Mauw Siauw Mo-li yang cantik jelita, selalu berkeliaran di daerah utara, di antaranya gurun pasir dan pegunungan sehingga nama mereka hanya terkenal di kalangan suku bangsa Mongol, Mancu, dan di perbatasan Negara Korea.






Dunia kang-ouw di selatan atau pedalaman tidak ada yang mengenal nama-nama ini. Akan tetapi karena mereka berdua menerima undangan dari suheng mereka, Hek-tiauw Lo-mo untuk datang ke Koan-bun, maka berangkatlah mereka sendiri-sendiri ke Koan-bun.

Seperti kita ketahui, nenek buruk Hek-wan Kui-bo Si Lutung Hitam telah membantu pemberontak karena dia melihat kesempatan untuk memperoleh keuntungan dengan mernbantu pemberontak. Adapun Mauw Siauw Mo-li masih berkeliaran karena dia sudah mulai ketagihan karena sudah beberapa lama tidak pernah bertemu dengan pemuda tampan. Kebetulan dia melihat rombongan anggauta Tiat-ciang-pang yang hendak keluar dari kota itu dan dia tertarik oleh A Ciang yang segera diincarnya sebagai korbannya malam itu.

Kini, Si Gendut dan teman-temannya melewatkan malam itu di daerah batu gunung berkapur itu. Malam terlalu gelap bagi mereka untuk dapat melanjutkan perjalanan mereka. Pada keesokan harinya, dari jauh mereka melihat pasukan berkuda datang lagi ke tempat itu. Mereka segera berunding. Kini jumlah mereka hanya tinggal lima belas orang.

“Kita tidak bisa lari,” Si Gendut berkata. “Kalau kita melarikan diri, tentu akan tampak oleh mereka dan dikejar terus. Lebih baik kita bersembunyi dan setelah mereka pergi, baru kita melanjutkan perjalanan ke selatan, bergabung dengan pasukan pemerintah.”

“Ihhhh.... begitukah sikap orang-orang gagah, hanya bersembunyi saja seperti segerombolan pengecut?”

Tiba-tiba terdengar suara halus ini. Mereka terkejut dan cepat menengok. Kiranya di belakang mereka telah berdiri wanita cantik yang malam tadi telah memukul mundur pasukan yang membakar ladang ilalang! Tentu saja mereka menjadi girang, akan tetapi juga merasa ngeri karena munculnya wanita ini seperti setan saja, tidak ada yang mengetahuinya dan tidak ada yang mendengarnya, pula, mereka juga masih bingung memikirkan kematian A Ciang yang demikian anehnya.

“Ah, kiranya engkau yang datang, Kouw-nio? Kami amat berterima kasih atas bantuan Kouw-nio yang demikian besar dan maafkan kami yang tidak tahu bahwa Kouw-nio adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian setinggi langit,” kata Si Gendut.

Bibir yang merah itu mencibir, akan tetapi kelihatannya tambah manis!
“Kalau kalian memang bermusuhan dengan pasukan itu, kenapa tidak menyambut mereka dengan perlawanan?”

“Jumlah kami hanya lima belas orang, dan mereka ada lima puluh orang lebih....”

“Lima belas orang sudah terlalu banyak untuk menghadapi pasukan itu. Kalau kalian dapat membuat mereka terpencar dengan jalan menyelinap di balik batu-batu ini, dan menyerang mereka dengan tiba-tiba seperti kucing menerkam tikus, apa sih sukarnya mengalahkan mereka? Aku pun akan berpesta membantu kalian menghadapi mereka.”

Semua orang berseri wajahnya.
“Dengan Kouw-nio sebagai pimpinan kami, apa lagi yang kami takuti? Kami tidak takut sekarang!” Si Gendut berkata.

“Benar, kami tidak takut kalau Kouw-nio yang sakti membantu kami!”

Teriak seorang lain, yaitu yang masih muda dan yang sejak tadi memandang ke arah dada wanita itu dengan mata seperti mata seekor anjing melihat tulang!

Mereka lalu keluar dari tempat persembunyian mereka, dan bersama Kucing Liar berdiri memperlihatkan diri menanti datangnya pasukan yang dipimpin oleh perwira muda berkuda putih itu. Perwira itu tinggi besar dan gagah, kelihatannya tangkas dan lihai.

“Kalian permainkan pasukan itu, akan tetapi berikan perwira itu kepadaku. Biar aku yang menghadapinya!”

Mauw Siauw Mo-li berkata sambil tersenyum dan dari kerongkongannya keluar suara lirih melengking seperti suara kucing! Mendengar ini, Si Gendut dan teman-temannya menggigil dan merasa serem, teringat mereka akan suara kucing itu malam tadi ketika mereka berada di dalam ladang ilalang.

“Cepat menyebar dan bersembunyi....!”

Wanita itu berkata dan begitu pasukan itu sudah mendekat, mereka menyelinap ke kanan kiri dan bersembunyi di balik batu-batu kapur itu. Akan tetapi Kucing Liar tidak bersembunyi, bahkan berdiri dengan dada yang sudah busung itu dibusungkan lagi dan matanya memandang tajam kepada perwira muda yang menahan kendali kudanya. Kuda putih itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya dan perwira itu mengayun pedangnya, gagah bukan main.

“Haii kalian mata-mata hina! Menyerahlah sebelum kami bunuh semua!”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum.
“Apakah engkau juga mau membunuh aku, Ciangkun (Perwira) muda yang gagah perkasa?” Dia malah melangkah maju menghampiri kuda yang meringkik-ringkik itu.

Perwira muda itu terkejut melihat bahwa di antara para mata-mata yang dikejarnya itu terdapat seorang wanita yang begini cantik dan menariknya. Akan tetapi karena dia maklum bahwa mata-mata pemerintah banyak yang pandai dan merupakan orang-orang berbahaya yang harus dibasminya, maka sambil berseru keras dia menggerakkan kudanya maju ke depan menerjang wanita cantik itu sambil mengayun pedangnya.

Akan tetapi dengan mudah sekali Si Kucing Liar mengelak ke kiri. Empat orang perajurit menyambutnya dengan senjata golok mereka, menyerang dengan berbareng untuk membantu komandan mereka. Amat mudah bagi wanita itu untuk mengelak sambil tersenyum dan kaki tangannya bergerak, maka robohlah empat orang itu tanpa dapat bangkit kembali! Tentu saja Si Perwira Muda terkejut sekali, kudanya diputar dan kembali pedangnya menyerang dari atas kuda dengan dahsyat.

“Ihh, benarkah engkau kejam hendak membunuhku?”

Mauw Siauw Mo-li bertanya halus sambil terkekeh dan matanya mengerling genit. Pedang itu bersuitan menyambar-nyambar, namun tak pernah dapat menyentuh baju wanita itu yang mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti gerakan seekor burung walet. Tiba-tiba dia berseru,

“Turunlah kau!” dan sambil mengelak tangannya terus menyambar ke samping.

“Crotttt....!”

Tangan yang berjari kecil-kecil dan runcing halus itu masuk ke dalam perut kuda seperti ujung golok saja. Kuda putih itu meringkik kesakitan, melonjak-lonjak dan ketika perwira itu berusaha menenangkannya, kakinya ditarik dan robohlah dia, terjatuh dari atas kuda yang terus melarikan diri itu.

Melihat komandannya jatuh, delapan orang anggauta pasukan cepat menerjang wanita itu sehingga Si Perwira sempat bangkit kembali. Maka dikeroyoklah wanita itu dan dikepung rapat. Namun, Mauw Siauw Mo-li hanya tersenyum-senyum saja dan tubuhnya tidak banyak bergerak, seolah-olah menanti datangnya serangan.

Hebatnya, siapa saja yang berani mendahului menyerangnya, kalau tidak roboh tentu senjatanya terlempar karena dengan gerakan cepat sekali kaki atau tangan wanita cantik itu sudah menangkis tangan yang memegang pedang atau golok.

Sementara itu, Si Gendut dan kawan-kawannya juga mulai melakukan perang kucing-kucingan dan berhasil merobohkan banyak lawan dengan penyergapan tiba-tiba lalu menyelinap dan lari bersembunyi lagi di belakang batu-batu yang amat banyak terdapat di tempat itu. Pasukan yang menunggang kuda sudah turun semua dari kuda masing-masing karena makin berbahayalah bagi mereka kalau mengejar sambil menunggang kuda.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan teriakan gemuruh. Ternyata yang datang adalah pasukan terdiri dari seratus orang, pasukan bantuan yang keluar dari kota Koan-bun karena perwira yang cerdik itu sudah mengirim seorang utusan berkuda untuk mendatangkan bala bantuan.

Melihat ini, paniklah para anggauta Tiat-ciang-pang. Mereka lalu bersembunyi dan biarpun tetap melakukan perang kucing-kucingan atau perang gerilya, namun karena para anggauta pasukan itu kini mengejar dan mencari mereka dengan berkelompok mengandalkan banyak orang, Si Gendut dan kawan-kawannya tidak berani sembarangan menyergap seperti tadi.

Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li dikepung dengan ketat sekali oleh banyak lawan. Biarpun tidak merasa gentar, wanita ini menjadi lelah dan jemu juga, maka sambil tertawa dia lalu meloncat ke belakang, melempar benda hitam ke depan.

“Darrr....!”

Benda itu meledak dan belasan orang perajurit musuh yang berdiri rapat itu roboh! Para pengeroyok dan pengepungnya terkejut dan kacau, lari berlindung ke kanan kiri. Hanya terdengar suara seperti kucing terpijak ekornya dan ketika mereka memandang lagi setelah asap hitam membubung ke atas, ternyata wanita itu telah lenyap.

“Kejar mereka! Cari mereka sampai dapat. Tangkap atau bunuh! Terutama wanita itu yang tentu menjadi pemimpin mereka!” Perwira itu dengan hati penasaran dan marah memberi aba-aba.

Terjadilah kejar-kejaran sampai sehari penuh. Wanita itu lenyap, dan belasan orang anggauta Tiat-ciang-pang terpaksa terus melarikan diri dan selalu bersembunyi-sembunyi di balik batu-batu gunung sampai akhirnya mereka terdesak di pegunungan batu kapur terakhir, dekat gurun pasir.

Kalau dikejar terus, mereka akan terpaksa lari ke arah padang pasir yang berbahaya. Akan tetapi ketika itu, hari telah berganti malam dan baik yang dikejar maupun yang mengejar, sudah lelah sekali sehingga masing-masing melewatkan malam sambil beristirahat.

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan para anggauta Tiat-ciang-pang. Mereka dikejar-kejar sehari penuh, terus berlarian dan kini mereka mengaso tanpa ada ransum sama sekali sehingga selain kehabisan tenaga, mereka pun lapar dan lemas. Tidak demikian dengan pasukan itu yang tentu saja dapat makan ransum dari perlengkapan mereka.

Akan tetapi malam itu, di pihak pasukan yang jumlahnya kini seratus orang lebih itu terjadi keributan. Komandan mereka, Si Perwira Muda yang tadi masih tampak makan minum sambil duduk di atas batu-batu, tiba-tiba kini lenyap! Kejadiannya amatlah aneh.

Ketika itu, perwira mereka masih tampak makan minum di dekat api unggun, wajahnya agak keruh karena perwira ini merasa jengkel sekali tidak dapat membasmi belasan orang buruannya. Tiba-tiba terdengar suara kucing. Di tempat yang sunyi menyeramkan itu terdengar suara kucing, tentu saja merupakan hal yang amat aneh dan semua orang menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dari mana datangnya suara kucing itu. Suara itu makin keras, seolah-olah Si Kucing makin dekat di tempat itu.

“Kucing keparat!” Seorang perajurit memaki sambil menyambar tombaknya. “Kalau kau dapat olehku, akan kusate dagingnya!”

“Haii, Lai-ciangkun ke mana?”

Teriakan ini terdengar dari seorang perajurit yang tadi duduknya tidak jauh dari perwira itu. Semua orang memandang dan terheran-heran. Kemudian berlarian mendatangi dan saling pandang, sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi. Perwira muda itu lenyap! Mangkoknya yang masih berisi sayuran yang agaknya baru dimakannya, terguling dan sepasang sumpitnya juga berceceran.

Semua orang mencari, akan tetapi tidak melihat jejak perwira dan lapat-lapat dari jauh terdengar suara kucing mengeong! Untuk mencari lebih jauh mereka tentu saja tidak berani karena tidak ada yang memerintah mereka, dan mereka tahu betapa berbahayanya mencari di waktu malam gelap itu, di mana sewaktu-waktu musuh dapat muncul dan menyerang mereka dari tempat gelap. Mereka terpaksa menanti-nanti dengan hati berdebar tegang, menanti datangnya pagi.

Sementara itu, di antara batu-batu gunung kapur, di mana Si Gendut dan kawan-kawannya bersembunyi dengan tubuh lelah, perut lapar dan hati tegang penuh kekhawatiran, juga terjadi peristiwa yang menegangkan. Karena pegunungan yang sunyi melengang itu tiba-tiba menjadi menyeramkan ketika mereka semua mendengar suara kucing mengeong-ngeong!

Dan suara kucing itu makin lama makin ramai, persis seperti keadaan mereka ketika bersembunyi di dalam ladang ilalang kemarin malam, suara kucing betina merengek-rengek, merintih-rintih dan seperti suara kucing kalau sedang memadu kasih di bawah terang bulan di atas genteng!

Mendengar suara ini, mereka semua menjadi serem dan otomatis mereka saling mendekati dan berkumpul di dalam sebuah guha, bersama-sama mendengarkan suara yang menyeramkan itu. Jumlah mereka tinggal tiga belas orang karena ada beberapa orang yang tewas di waktu pertempuran gerilya siang tadi.

“Menyeramkan....!” Si Gendut mengomel.

“Tentu suara siluman kucing.”

“Mengingatkan aku akan kematian A Ciang.”

“Hushh, jangan sembarangan. Mungkin itu memang kucing penduduk yang tersesat di sini.”

“Ah, mana bisa! Kucing tersesat yang kebingungan atau ketakutan tentu suaranya satu-satu, berulang-ulang. Tapi itu.... hemm, dengarkan.... suaranya merengek tinggi rendah, persis suara kucing kawin!”

“Suaranya datang dari atas sana, di mana banyak batu-batu besar....”

“Sudah,” Si Gendut akhirnya berkata untuk meredakan ketegangan hati kawan-kawannya. “Suara apa pun adanya itu, besok pagi-pagi sekali kita melihatnya sambil melarikan diri. Kalau besok kita tidak dapat melarikan diri dari mereka itu, berarti kita semua akan mati konyol.”

Suara kucing itu terdengar terus-menerus semalam suntuk, hanya kadang-kadang berhenti beberapa lama lalu diulang lagi. Hal ini mendatangkan suasana menyeramkan sehingga tiga belas orang pelarian itu sama sekali tidak dapat tidur dan hati mereka selalu tegang. Mereka menanti datangnya pagi dengan tidak sabar lagi. Di tempat sesunyi itu, gelap pekat lagi, dalam keadaan terancam pasukan musuh yang berada tidak jauh di belakang mereka, mendengar suara kucing yang penuh rahasia itu sungguh amat menegangkan hati dan syaraf mereka.

Pada keesokan harinya, baru saja terang tanah dan memungkinkan mereka bergerak, tiga belas orang ini sudah menyelinap di antara batu-batu menuju ke atas bukit terakhir yang penuh dengan batu-batu besar itu. Suara kucing sudah tak terdengar lagi sejak tadi.

Tiba-tiba mereka berhenti dan Si Gendut menudingkan telunjuknya ke depan, mereka semua berindap maju beberapa langkah untuk dapat melihat dengan jelas. Di dalam keremangan pagi, tampak olehnya seorang wanita yang pakaiannya awut-awutan setengah telanjang, sedang duduk di atas batu besar membelakangi mereka.

Rambut wanita itu hitam dan panjang sekali, agaknya dilepas dari sanggulnya, terurai ke bawah dan kini wanita itu sedang menyisiri rambutnya, kadang-kadang mengulet. Dipandang dari tempat itu, dia menyerupai seekor kucing besar yang sedang mengulet-ulet dan menjilat-jilati bulu-bulunya!

Akan tetapi yang membuat tiga belas orang itu terbelalak dengan muka pucat adalah ketika mereka melihat sebujur tubuh pria tinggi besar telentang di dekat batu itu, telanjang bulat dan lehernya tampak merah penuh darah, akan tetapi mulutnya seperti orang tersenyum. Persis seperti keadaan A Ciang yang mati sambil tersenyum dan lehernya penuh guratan-guratan seperti dicakar kucing! Mereka bergidik! Apalagi ketika melihat bahwa tak jauh dari tempat mayat itu rebah, terdapat setumpuk pakaian perwira!

Teringat kepada A Ciang, Si Gendut menjadi marah sekali. Jelas bahwa wanita siluman inilah yang telah membunuh A Ciang, maka dia lalu mengajak teman-temannya untuk menerjang maju sambil berseru,

“Siluman kucing keparat!”

Dua belas orang meloncat dan menerjang, mengepung batu besar di mana wanita itu menyisir rambutnya. Yang seorang lagi, seorang muda dengan muka pucat, tidak ikut menyerang karena kedua lututnya sudah menjadi lemas dan menggigil tak dapat digerakkan. Pemuda ini bukan seorang penakut. Menghadapi musuh manusia, dia amat gagah berani tidak takut mati. Akan tetapi dia mempunyai kelemahan, yaitu takut sekali kepada setan dan iblis. Baru mendengar ceritanya saja, dia sudah menggigil. Apalagi sekarang dia berhadapan dengan siluman kucing, siluman yang benar-benar! Maka dia tidak mampu bergerak, hanya menonton sambil bersembunyi, seluruh tubuhnya menggigil.

“Hi-hi-hik!” Wanita itu terkekeh genit sambil membalikkan tubuhnya dan bangkit berdiri di atas batu.

“Ahhh....!”

“Ohhhh....!”

“Kauw-nio....!”

Semua orang terbelalak memandang.

Wanita itu bukan lain adalah Si Wanita Cantik yang telah menolong mereka, kini berdiri dengan tegak di atas batu, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang sehingga tampak bentuk tubuhnya yang mulus dan menggairahkan, rambutnya terurai panjang sampai ke lutut, matanya bersinar-sinar.

“Kalian memaki aku siluman kucing keparat? Nggg....!”

Kembali terdengar suara lengking dahsyat seperti pekik kucing takut air, dan tiba-tiba mata mereka menjadi silau melihat berkelebatnya tubuh wanita itu melayang turun dan menyambar ke arah mereka.

Terdengar bunyi pekik susul-menyusul dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu. Setiap kali jari-jari tangan Mouw Siauw Mo-li bergerak dan kukunya yang runcing merah itu menyambar, tentu seorang lawan roboh dan akhirnya tinggal Si Gendut yang menjadi marah dan menyerang dengan goloknya. Namun dengan mudah Kucing Liar itu mengelak, kemudian dari samping sambil mengelak tadi tangan kirinya menyambar ke depan.

“Crottt....! Retttt....!”

Tubuh Si Gendut terjengkang dan dari perutnya yang pecah oleh tusukan tangan kanan Mouw Siauw Mo-li memancar darah merah, sedangkan lehernya penuh dengan guratan kuku tangan kiri, juga mengucurkan darah.

Orang kurus pucat yang bersembunyi, memandang dengan terbelalak dan hampir saja dia pingsan. Hanya terdengar suara kucing menangis, makin lama makin lirih dan wanita itu sudah lenyap dari situ.

Si Kurus Pucat ini memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk pergi dari situ, menyelinap di antara batu-batu, jatuh bangun dan hampir terkencing-kencing saking takutnya, akan tetapi akhirnya dia dapat juga berlari jauh dan tujuannya hanya satu, yaitu kembali ke selatan dan melaporkan semua itu kepada pemimpinnya yang baru, yaitu Nona Lu atau Lu-bengcu.

Rombongan pasukan yang setelah pagi tiba kini berani mencari-cari komandannya, kini telah tiba di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa geger keadaan mereka ketika menemukan komandan mereka dalam keadaan telanjang bulat telah menjadi mayat, mayat yang tersenyum seolah-olah ketika mati dia berada dalam keadaan yang amat menyenangkan.

Dan tak jauh dari situ terdapat mayat-mayat dua belas orang buronan yang berserakan malang-melintang, semua terluka di leher oleh bekas-bekas cakaran seperti yang terdapat pula di leher perwira komandan mereka. Terpaksa pasukan ini menggotong mayat komandan mereka, kemudian kembali ke Koan-bun untuk melapor, dan di sepanjang perjalanan, tiada hentinya mereka bicara tentang semua keanehan itu yang muncul bersama dengan suara kucing!

**** 079 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar