FB

FB


Ads

Senin, 23 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 076

Bun Beng terkejut melihat pedang ini dan cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya, sambil mengelak tangan kanannya menyambar tanah pasir dan begitu tangan ini bergerak, tanah pasir yang merupakan senjata rahasia yang amat dahsyat menyambar ke arah pedang itu, disusul dorongan telapak tangan kirinya ke arah Tek Hoat.

“Trikk-trikk-cringgg.... aihh....!”

Tek Hoat cepat meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Hantaman tanah pasir pada pedangnya tadi selain membuat pedangnya menyeleweng, juga tangannya yang terkena pasir terasa sakit dan bahkan kulitnya terluka berdarah sedangkan hantaman tangan kiri tadi biarpun tidak sampai mengenai dadanya, namun hawa pukulannya hampir tidak kuat dia menahannya, begitu dingin seperti membekukan isi dadanya! Dia menjadi jerih dan hanya melongo melihat kedua orang itu melarikan diri dan lenyap di balik rumah-rumah.

“Kejar....!”

Dia berseru dan menyuruh para perajurit mengejar, sedangkan dia sendiri menghampiri nenek itu.

“Mereka hebat, dan laki-laki yang baru datang tadi.... hemm, hanya satu orang saja di dunia ini yang memlliki kepandaian seperti itu.” kata Si Nenek menghela napas panjang.

“Siapa?” Tek Hoat bertanya penasaran. “Pendekar Super Sakti?”

“Memang, dan itulah anehnya. Dia bukan Pendekar Super Sakti, akan tetapi kepandaiannya hebat, dan dua orang pemuda itu! Hemmm, aku tidak akan heran kalau mendengar bahwa mereka adalah keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”

“Dan Toanio (Nyonya Besar) sendiri siapakah? Saya berterima kasih atas bantuan Toanio.”

“Hi-hi-hik, karena kau tampan sekali maka aku membantumu! Memang kami berniat membantu pemberontakan menumbangkan pemerintah yang sudah banyak merugikan kami, akan tetapi Suheng dan Sumoi adalah orang-orang yang ku-koai (aneh), mereka membawa mau sendiri sehingga hanya aku seorang yang mencoba membantumu. Aku mendengar bahwa pihak pemberontak mempunyai seorang tangan kanan yang lihai, muda, tampan dan berjuluk Si Jari Maut. Tentu engkau, bukan?”

Tek Hoat tersenyum.
“Saya bernama Ang Tek Hoat dan tidak salah dugaan Toanio. Marilah kita masuk ke dalam gedung itu dan kita bicara. Toanio tidak keliru membantu kami dan akan kuperkenalkan kepada Pangeran Liong Khi Ong yang kebetulan berada di sini.”

Mereka lalu berjalan sambil bercakap-cakap menuju ke gedung bekas kepunyaan Kepala Daerah itu.

Ke manakah perginya Kian Lee? Pemuda ini yang merasa betapa dada kirinya sakit sekali maklum bahwa pecahan besi itu tentu mengandung racun dari obat peledak, terasa panas, perih dan kaku. Dan dia mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Terlalu banyak lawan, dan nenek itu, juga pemuda berpedang itu amat lihai. Dia sendiri tentu tidak akan kuat menghadapi mereka, dan kalau Kian Bu harus melawan sendiri, tentu berbahaya.

Akan tetapi dia pun tahu bahwa sampai mati pun Kian Bu tentu tidak akan mau meninggalkannya. Maka dialah yang harus meninggalkan adiknya agar Kian Bu juga pergi dari tempat berbahaya itu, tidak melanjutkan pertandingan dan akan mencarinya.

Kesempatan ini tiba ketika dia melihat seekor kucing bergerak memasuki sebuah pintu yang terbuka sedikit. Cepat dia menyelinap dan tanpa diketahui oleh siapapun dia lalu membuka daun pintu itu, menyelinap masuk, lalu memasang palang pintu dari dalam. Kemudian dia terhuyung-huyung memasuki rumah itu yang ternyata cukup besar dan lega.

“Meong....! Meong....! Meonggg....!”

Kian Lee terbelalak melihat begitu banyaknya kucing di dalam rumah ini! Ada lima enam ekor kucing yang bagus-bagus merubungnya dan dia bergidik seolah-olah kucing itu adalah musuh-musuh yang hendak mengeroyoknya. Matanya memandang ke arah binatang-binatang itu penuh perhatian, siap untuk melawan kalau mereka menyerang!

“Meong.... meong.... meooongggg....!”

Kucing-kucing itu mengelilingi, seolah-olah terheran-heran dan menyelidikinya sambil mengeluarkan bunyi bermeong saling sahut dan dari dalam muncullah kucing-kucing lain. Semua indah dan cantik, bermacam-macam warna bulunya, semua bersih terpelihara dengan leher dihias kalung yang mengeluarkan bunyi maka riuh rendahlah suara kerincingan di kalung itu ketika kini muncul lagi belasan ekor kucing dari dalam sehingga jumlanya ada dua puluh ekor lebih!






Betapa pun cantik dan bagus kucing-kucing gemuk itu, dengan bulu halus bersih bermacam warna, namun bergidik juga Kian Lee melihat begini banyak kucing mengurungnya. Menghadapi pengeroyokan orang-orang yang ganas dia tidak gentar, akan tetapi dikelilingi begini banyak kucing, menimbulkan perasaan ngeri dan serem!

Pahanya yang sebelah kiri terasa sakit dan panas, mengucurkan darah cukup banyak dan dia menggoyang-goyang kepalanya karena terasa pening. Lebih dua puluh pasang mata kucing yang bersinar tajam dan aneh itu seolah-olah menyihirnya, membuatnya pusing dan berkunang-kunang. Dia berusaha menggoyang-goyang kepala, membuka-buka lebar matanya, akan tetapi kepalanya makin berat dan pusing, dia terhuyung-huyung.

“Ouhhhh....”

Hampir dia roboh kalau dia tidak menangkap sebatang tiang di dalam ruangan itu, sejenak ia bersandar pada tiang.

“Heiii, Belang....! Putih....! Heiii, Hitam.... ada apa kalian ribut-ribut di situ....?”

Suara yang halus bening dan penuh keriangan ini masih dapat menembus pendengaran Kian Lee yang mulai terngiang-ngiang.

“Hei, kucing-kucing lucu, di mana Su-kouw (Bibi Guru....?”

Lalu pandang mata Kian Lee yang sudah mulai gelap itu melihat bayangan seorang gadis cantik yang tampak olehnya seperti munculnya sinar terang dalam kegelapan, seolah-olah dia melihat seorang bidadari terbang melayang dan turun dari angkasa mengulurkan tangannya untuk menolong.

“Uuhhh....!” Dan dia pun terguling dan roboh ke atas lantai tak sadarkan diri.

Kian Lee mengeluh dan mengerang, dia mendapatkan dirinya teruruk sebuah rumah yang terbakar, kakinya terhimpit balok terbakar. Seluruh tubuh terasa panas, kaki yang terhimpit balok nyeri bukan main dan tak dapat digerakkan.

Tiba-tiba hujan turun, api yang membakar sekelilingnya padam, paha kirinya yang terhimpit balok terkena air, terasa dingin akan tetapi rasa dingin yang menggantikan kedudukan api yang tadi menyiksa. Rasa dingin yang menusuk-nusuk, terasa sampai di tulang paha kaki kirinya dan lapat-tapat dia mendengar suara menghiburnya, seperti suara gadis yang selama ini terbayang di depan matanya, suara Lu Ceng. Tercium olehnya bau harum sedap yang lamat-lamat, dan tampak olehnya seraut wajah, cantik bukan main, wajah Lu Ceng yang dirindukannya....!

Kian Lee membuka sedikit matanya dan ternyata mimpinya itu menjadi kenyataan, karena benar saja dia melihat seraut wajah cantik jelita. Dia menjadi terharu! Mengapa mimpinya menjadi kenyataan dan mungkinkah Lu Ceng begini baik kepadanya, duduk bersimpuh di dekatnya, menggunakan jari-jari tangan yang halus lentik menyusuti dahinya dengan sehelai saputangan yang dibasahi, begitu lembut dan mesra!

Mungkinkah gadis itu begini baik kepadanya, dengan sepasang mata yang menyinarkan kelembutan dan kemesraan, bibir yang tipis basah kemerahan itu membentuk senyum menggairahkan? Keharuan membuat Kian Lee menggerakkan tangan kanannya, seperti bukan kemauannya sendiri dia mengusap dagu dan pipi wajah cantik di depannya itu, berbisik halus,

“Engkaukah ini.... engkau....?”

Sepasang mata yang tadinya memandang lembut dan mesra itu terbelalak keheranan, lalu bibir yang mungil itu terbuka, terkekeh, tampak deretan gigi yang kecil rata dan putih mengkilap.

“Hi-hi-hik, kau lucu....!”

Kian Lee mengejap-ngejapkan matanya, kini baru sadar betul. Ketika dia membuka mata dan memandang lagi, dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa wajah itu bukanlah wajah Ceng Ceng, bukanlah wajah gadis yang dirindukan, sungguhpun wajah ini juga cantik, bahkan terlalu cantik jelita, wajah seorang gadis cilik, seperti setangkai kuncup bunga yang sudah mulai tampak keindahannya, menjanjikan keadaan dan kecantikan luar biasa apabila telah mekar menjadi bunga tak lama lagi!

Kian Lee cepat menggerakkan tubuhnya, bangkit duduk. Hampir dia berteriak karena paha kirinya terasa nyeri.

“Ngeonggg....! Ngeooongggg....!” Kian Lee terperanjat dan memandang ke kanan kiri. Penuh kucing!

“Hushh, Belang! Hitam! Jangan nakal lho!”

Gadis itu membentak halus dan kucing-kucing itu menyingkir agak menjauh dari Kian Lee, sedangkan gadis itu lalu membungkuk dan memondong seekor kucing kecil berbulu putih yang amat cantik.

Kian Lee mendapatkan dirinya tadi rebah di atas lantai, ketika dia meraba paha kirinya yang dia ingat telah terluka, dia mendapatkan kenyataan bahwa paha di dalam pipa celananya itu telah diobati dan dibalut orang. Dia meraba-raba, mengerahkan tenaga sin-kang ke arah paha dan mendapat kenyataan yang menggirangkan hatinya bahwa rasa panas dari racun obat peledak itu telah lenyap, atau telah menjadi tawar oleh obat penolaknya yang mujarab sekali.

“Eh, di mana aku....?” Dia berkata.

Gadis itu sambil mengusap-usapkan pipinya yang tadi diraba tangan Kian Lee kepada punggung kucing yang penuh bulu halus memandang kepadanya dengan muka dimiringkan dan mata bersinar, wajah berseri-seri, tersenyum menjawab nakal,

“Di dalam rumah!”

“Ya, tentu. Tapi rumah siapa?”

Sepasang mata itu bergerak nakal, bibir merah itu tersenyum dikulum sebelum menjawab, seolah-olah dia hendak mencari “akal” untuk menjawab, kemudian keluar jawabannya dengan mata bersinar-sinar,

“Rumah orang!”

Kian Lee tertegun sejenak, memandang gadis cilik itu dan tiba-tiba dia tertawa. Gadis ini mengingatkan dia kepada adiknya, Kian Bu! Betapa sama sifatnya, sama-sama nakal dan suka menggoda orang, karena dia yakin benar bahwa jawaban-jawaban aneh itu disengaja untuk menggoda, jelas tampak dari pandang mata gadis itu yang persis seperti pandang mata Kian Bu kalau sedang menggodanya.

“Eh, kenapa kau ketawa-tawa? Apanya yang lucu?”

Tiba-tiba sifat gadis itu berubah, kalau tadi menahan geli mempermainkan orang, kini penuh penasaran!

“Aku tertawa karena engkau mengingatkan aku akan seseorang. Akan tetapi sudahlah, adik yang baik. Ini rumah siapakah?”

“Rumah bibiku, bibi guruku.”

“Jadi diakah yang mengobati kakiku yang terluka?”

Gadis itu menggeleng.
“Bukan, dia belum datang. Yang ada hanya kucing-kucingnya yang kelaparan karena belum diberi makan. Kalau tidak kebetulan aku datang ke sini, tentu kucing-kucing kelaparan ini sudah menggerogoti habis daging-dagingmu ketika kau pingsan tadi.”

Kian Lee bergidik. Dara cilik ini cantik manis sekali, akan tetapi di dalam kata-kata dan sikapnya tersembunyi sesuatu yang menyeramkan, seperti ketika membayangkan betapa kucing-kucing kelaparan itu akan menggerogoti daging-dagingnya!

“Kalau begitu, siapa yang mengobati kakiku?”

“Di rumah ini hanya ada kucing-kucing ini dan aku. Kucing-kucing ini tentu tidak bisa mengobati luka di kakimu yang penuh dengan racun obat peledak, biarpun mereka akan menggunakan lidah-lidah mereka yang kasar untuk secara bergantian menjilati luka di kakimu itu.”

Kembali Kian Lee bergidik. Cara gadis cilik ini menggambarkan sesuatu benar-benar membikin orang merasa ngeri.

“Kalau begitu, engkaulah yang telah mengobatinya?” tanyanya dengan heran sekali.

“Hemm, entah siapa, kau cari saja sendiri. Yang ada hanya aku dan kucing-kucing ini, dan kucing-kucing ini tentu saja tidak bisa mengobati. Eh, masih ada lagi selain aku dan kucing-kucing ini, tapi aku sangsi apakah mereka itu dapat mengobatinya.”

“Mereka siapa?”

Kian Lee bertanya sambil memandang ke kanan kiri, siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

“Mereka inilah.”

Gadis cilik itu telah melepaskan anak kucing yang tadi dipondongnya, dan tahu-tahu dia kini sudah mengeluarkan dua ekor ular yang membuat Kian Lee terbelalak dan melongo karena mengenal ular-ular itu sebagai dua ekor ular yang paling berbisa! Dan jelas bahwa dua ekor ular itu bukanlah ular-ular yang telah dijinakkan atau telah tidak mengandung bisa lagi. Dua ekor binatang menjijikkan itu mendesis-desis dan desisnya saja sudah mengepulkan uap hitam yang amat berbisa! Akan tetapi, gadis cilik itu mempermainkan dua ekor ular itu seperti memainkan dua helai saputangan sutera saja layaknya!

Kini Kian Lee memandang gadis itu dengan pandang mata lain. Mengertilah dia bahwa betapapun halus dan cantik manis tampaknya, ternyata gadis cilik itu memiliki kepandaian hebat untuk menaklukkan ular berbisa, dan tentu dengan sendirinya ahli tentang racun, maka dapat mengobati pahanya yang terluka dan terkena racun. Buktinya, gadis cilik ini tadi mengatakan bahwa luka di pahanya terkena racun obat peledak!

Kian Lee lalu bangkit berdiri. Pahanya masih agak nyeri, akan tetapi karena sudah terbebas dari racun, rasa nyeri dapat dipertahankan dan dia dapat menggerakkan kaki kirinya seperti biasa. Lalu dia menjura kepada gadis cilik yang sudah memondong lagi anak kucing putih sedangkan dua ekor ular tadi entah disembunyikan dimana, mungkin di saku baju luarnya yang panjang dan lebar itu.

“Nona, saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Nona yang amat besar tadi. Saya Suma Kian Lee tidak melupakan....”

“Wah, kau she Suma?” tiba-tiba gadis cilik itu membentak.

“Benar, mengapa?”

Kian Lee bertanya heran, apalagi melihat betapa sepasang mata itu kini terbelalak lebar memandangnya seperti mata orang marah!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar