FB

FB


Ads

Senin, 23 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 075

“Hemm, siapakah pemerintah itu, Lee-ko?”

“Pemerintah? Tentu saja kaisar dan para pembesarnya.”

“Jadi orang-orang juga, bukan? Orang-orang yang telah memperoleh kedudukan tinggi, tentu saja mempertahankan kedudukannya. Dan siapakah yang memberontak?”

“Yang memberontak sudah jelas adalah kedua orang Pangeran Liong dan para pembantunya.”

“Juga orang-orang yang tidak mendapat bagian, atau orang-orang yang tidak puas dengan kekuasaan mereka sekarang ini, dan ketidak puasan itu tentulah karena mereka berada di bawah, bukan? Hemm, andaikata pemberontakan mereka berhasil, tentu mereka akan berbalik menjadi di atas dan memperoleh kekuasaan, Lee-ko, dan merekalah yang menjadi pembesar-pembesar wakil pemerintah.”

“Ya, dan tentu timbul pula mereka yang tidak puas karena tidak mendapat bagian tadi, karena iri dan ingin di atas. Maka tidak akan ada habisnyalah pemberontakan dan peperangan ini, Bu-te!”

Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya.
“Manusia memang gila!”

“Kita juga. Kita juga manusia dan kita sekarang pun terlibat!”

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang perajurit.
“Tangkap mata-mata!”

“Jangan sampai lolos!”

“Bunuh! Dia telah membunuh Kok-ciangkun!”

“Ada pelayan-pelayan yang pingsan!”

Kian Lee dan Kian Bu terkejut. Karena keenakan bercakap-cakap tadi mereka kurang waspada, sehingga ketahuan oleh penjaga yang segera mengajak teman-teman mengepung mereka. Kian Lee dan Kian Bu meloncat dengan niat untuk melarikan diri keluar dari gedung itu. Akan tetapi para perajurit pemberontak itu menerjang mereka dan dengan cepat kedua orang kakak beradik itu menggerakkan kaki tangan dan enam orang perajurit berpelantingan ke kanan kiri!

“Bu-te, lari....!”

Kian Lee berseru kepada adiknya karena dia khawatir bahwa adiknya yang suka bergurau dan suka menggoda orang, suka berkelahi pula itu akan memperpanjang waktu pertempuran di situ, padahal tempat itu adalah tempat yang amat berbahaya, sarang dari para pimpinan pemberontak. Agaknya sekali ini Kian Bu juga maklum akan bahaya, maka dia cepat melompat mengejar kakaknya setelah kembali dia merobohkan dua orang pengeroyok terdepan.

Sisa para perajurit pemberontak itu mengejar, akan tetapi tentu saja mereka jauh kalah cepat oleh Kian Lee dan Kian Bu yang sudah meloncat ke bagian belakang dari kompleks gedung besar itu. Mereka maklum bahwa lari melalui depan amat berbahaya.

Akan tetapi, begitu tiba di halaman belakang, mereka bertemu dengan banyak perajurit yang dipimpin oleh pemuda berpedang!

“Huh, kiranya kalian mata-mata!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Tek Hoat.

“Dan engkau anjing pemberontak!” Kian Bu memaki. Memang dia sudah tidak senang dan benci kepada pemuda ini semenjak dia hampir ditabrak oleh kudanya, dan baru sekaranglah dia teringat akan pemuda ini yang pernah menculik Jenderal Kao. “Kiranya engkau Si Penculik itu!”

Bentakan Kian Bu ini pun menyadarkan Kian Lee dan marahlah pemuda ini. Tak disangkanya bahwa pemuda yang kelihatan sopan dan gagah itu ternyata adalah pemuda kaki tangan pernberontak yang pernah menculik Jenderal Kao. Kini dia pun teringat dan cepat dia menerjang maju pula bersama Kian Bu.

Tek Hoat yang terlalu percaya kepada kepandaiannya sendiri, biarpun dia maklum bahwa dua orang pemuda ini lihai, memandang rendah. Apalagi dia masih belum ingat bahwa dua orang ini adalah mereka yang dulu pernah membela Jenderal Kao. Terlalu banyak dia berhubungan dengan orang-orang pandai dalam pekerjaannya membantu Pangeran Liong sehingga dia lupa kepada dua orang pemuda ini.

Akan tetapi begitu mendengar Kian Lee menyebutnya penculik, dia terkejut dan mengingat-ingat. Seketika teringatlah dia akan dua orang pemuda yang dulu pernah membantu Jenderal Kao ketika dia dan Siang Lo-mo menyerbu rombongan jenderal itu.

“Aihh, jadi kaliankah mereka itu?”

Bentaknya sambil mengerahkan kedua tangannya dengan tenaga sin-kang untuk menangkis pukulan Kian Lee dan Kian Bu.

“Duk! Plakkk!”

“Ahhhh....!”

Tubuh Tek Hoat terlempar ke belakang dan dia merasa sambungan lengannya hampir terlepas. Demikian dahsyat pukulan-pukulan yang ditangkisnya tadi, pukulan yang mendatangkan hawa dingin dan tentu sudah melukai sebelah dalam dadanya melalui tangkisannya kalau dia tidak cepat-cepat bergulingan sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi tubuh sebelah dalam. Dia sudah meloncat lagi dan mencabut Cui-beng-kiam!






Sementara itu, ketika Tek Hoat terlempar dan bergulingan, para perajurit sudah menerjang dua orang pemuda itu, dibantu oleh beberapa orang berpakaian preman yang merupakan kaki tangan Tek Hoat dan bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik. Ilmu silat mereka ini tentu saja lebih tinggi daripada para perajurit, akan tetapi dengan mudah Kian Bu dan Kian Lee menyapu mereka seperti petani membabat rumput saja.

Melihat Tek Hoat mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan hawa menyeramkan, dua orang saudara itu maklum bahwa itu adalah sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, maka mereka cepat mengulur tangan menyambut serangan para perajurit bertombak dan sambil menendangi mereka, Kian Lee dan Kian Bu berhasil merampas dua batang tombak bergagang besi.

“Mundur semua, kurung saja mereka!”

Tek Hoat membentak marah sekali ketika melihat betapa para perajurit dan kaki tangannya sama sekali tidak berdaya menghadapi dua orang pemuda itu. Semua perajurit lalu mundur dan mengurung dengan senjata ditodongkan ke depan. Jumlah mereka banyak sekali, membuat dua orang kakak beradik itu memandang khawatir.

Akan tetapi Tek Hoat tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mencari jalan lari karena dia sudah mengeluarkan suara melengking yang menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ kecuali Kian Lee dan Kian Bu, lalu tubuhnya mencelat ke depan didahului oleh sinar pedang Cui-beng-kiam yang menyeramkan.

Pedang ini adalah pedang ciptaan mendiang Cui-beng Koai-ong, datuk Pulau Neraka yang seperti iblis, maka dibuatnya juga dengan cara mujijat dan entah sudah minum berapa banyak darah manusia, sudah menghisap berapa banyak nyawa korbannya sehingga kalau dipergunakan, pedang itu mengeluarkan hawa mujijat yang amat menyeramkan.

“Sing.... sing.... tranggg.... krek! Krek....!”

Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali ketika tombak rampasan mereka patah bertemu dengan sinar pedang di tangan lawan itu. Tek Hoat tersenyum mengejek dan terus menyerang dengan gencar, pedang Cui-beng-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang dahsyat menyambar-nyambar.

Namun dua orang lawannya itu adalah putera-putera dari Pulau Es yang sejak kecil telah digembleng oleh orang tua mereka yang sakti. Maka Kian Lee dan Kian Bu sedikit pun tidak menjadi gentar biarpun mereka maklum bahwa lawan mereka ini bukan orang sembarangan melainkan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memegang sebatang pedang yang ampuh dan mujijat pula.

Tanpa bersepakat lebih dulu mereka sudah tahu bagaimana caranya menghadapi lawan yang berpedang mujijat sedangkan mereka sendiri hanya memegang potongan tombak! Cepat mereka mengeluarkan ilmu mereka dan mengerahkan tenaga, menggunakan keringanan tubuh yang luar biasa sehingga tubuh mereka kini bergerak mencelat ke sana sini seperti dua ekor burung walet yang amat ringan beterbangan diantara sambaran sinar pedang Cui-beng-kiam, kadang-kadang menggunakan tombak buntung mereka untuk menusuk dan menotok jalan darah!

“Ahhh....!”

Tek Hoat berseru kaget sekali. Dia juga mengeluarkan kecepatannya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang, akan tetapi menghadapi pengeroyokan dua orang yang sama sekali tidak dapat dicium oleh sinar pedangnya itu, yang mengelak ke sana-sini amat cepatnya dan tidak pernah mau menangkis pedang dengan tombak mereka, kemudian sambil mengelak, ujung tombak buntung mereka memasuki lowongan antara gerakan pedang di waktu menyerang untuk melakukan penotokan jalan darah yang amat berbahaya, perlahan-lahan Tek Hoat mulai terdesak!

Hampir saja Tek Hoat yang selama ini menganggap diri sendiri paling pandai di dunia, bahkan Siang Lo-mo sendiri mengaku kelihaiannya, tidak percaya bahwa dia sampai bisa terdesak, padahal dia memegang Cui-beng-kiam sedangkan dua orang lawannya hanya memegang tombak buntung. Mana mungkin ini?

Dengan penasaran dia mengeluarkan pekik mengerikan, pekik yang mengandung khi-kang luar biasa sehingga beberapa orang perajurit yang terlampau dekat terjungkal pingsan, kemudian dia mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin secara bergantian.

Namun sia-sia belaka. Sungguhpun Kian Lee dan Kian Bu terkejut menyaksikan gerakan yang bermacam-macam dan kesemuanya amat luar biasa itu, namun dengan ilmu silat mereka yang kokoh kuat dan bersih dari Pulau Es, mereka dapat menandingi gerakan lawan dan selalu dapat mengelak sambil mengirim tusukan-tusukan kilat.

Mereka terus mendesak Tek Hoat dan setiap kali ada perajurit atau pembantu Tek Hoat berani maju, dua orang maju, roboh dua orang, empat orang maju roboh pula semua, bahkan pernah sekaligus delapan orang roboh oleh dua orang pemuda lihai ini sehingga akhirnya tidak ada lagi yang berani maju melainkan mengurung dan berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tombak dan golok.

Tek Hoat menyesal sekali mengapa dua orang pembantunya yang paling diandalkan, yaitu Pak-thian Lo-mo, pada saat itu mengawal Panglima Kim Bouw Sin mengadakan perundingan dengan Raja Tambolon. Kalau berada di situ, tentu dia dibantu oleh Siang Lo-mo akan dapat menawan dua orang pemuda hebat ini.

“Bu-te, mundur ke jembatan!”

Tiba-tiba Kian Lee berseru dan tombak buntungnya diputar cepat melakukan penusukan kilat bertubi-tubi ke arah sepasang mata lawan. Tek Hoat terkejut sekali dan karena khawatir menghadapi serangan aneh yang amat berbahaya itu dia memutar pedangnya di depan mukanya untuk melindungi matanya yang terus diserang oleh ujung tombak buntung.

Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang saudara Suma untuk mundur ke jembatan yang merupakan jalan terakhir di taman belakang menuju ke tembok yang mengurung kompleks gedung. Kalau dapat melewati jembatan sungai buatan kecil di taman itu mereka akan dekat dengan dinding dan sekali melompat melewati dinding tentu akan berada di luar dan mudah melarikan diri.

Akan tetapi, tiba-tiba bayangan yang amat cepat gerakannya, bahkan seperti dilontarkan saja, melayang dari dinding itu dan tahu-tahu telah tiba di atas jembatan itu. Semua orang terkejut menyaksikan betapa ada orang dapat meloncat dari dinding ke jembatan bagitu saja!

Tek Hoat sendiri tidak mengenal orang ini, juga semua perajurit tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, Kian Lee dan Kian Bu juga belum pernah melihat wanita yang buruk rupanya ini. Wajah wanita ini buruk sekali untuk ukuran wanita, serba kasar dan serba besar dan kaku, pantasnya wajah seorang laki-laki kasar yang tidak tampan. Rambutnya riap-riapan sudah bercampur uban dan sekiranya buah dadanya tidak menonjol dan tampak membusung di balik bajunya yang panjang itu tentu dia akan disangka laki-laki. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat akar pohon yang bentuknya seperti ular.

Beberapa lamanya nenek ini berdiri di atas jembatan, kemudian dia mengeluarkan suara tertawa aneh dan suaranya juga besar seperti suara laki-laki. Kemudian sekali kedua kakinya bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan dan dari atas tongkatnya bergerak menusuk ke arah ubun-ubun Kian Lee!

“Hehhh!”

Kian Lee mengelak sambil berseru kaget, otomatis tombak buntungnya menusuk dari bawah ke arah lambung nenek itu, seperti kilat menyambar cepatnya.

“Heiii.... kau hebat juga!” Nenek itu memekik, tongkatnya menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya.

“Takkk!”

Tubuh nenek itu mencelat lagi, jelas bahwa menghadapi tenaga Swat-im Sin-kang dari Kian Lee, dia terkejut dan tidak dapat bertahan selagi tubuhnya berada di udara. Akan tetapi begitu kakinya menyentuh tanah, dia sudah mencelat tapi ke arah Kian Bu dan tongkatnya membuat gerakan seperti pedang menyambar ke arah leher Kian Bu dan disambung dengan tusukan ke arah bawah pusar.

Gerakan nenek ini cepat dan kuat, namun Kian Bu yang biarpun masih muda sudah memiliki tingkat kepandaian hebat itu secara otomatis sudah menangkis dan berbareng meloncat ke belakang, kemudian tombak buntungnya membalas dengan serangan maut yang ditujukan ke arah hidung Si Nenek Buruk!

“Huh, luar biasa!”

Nenek itu berseru, mencelat ke belakang lalu melompat lagi ke depan, terus menyerang Kian Bu dan Kian Lee secara bergantian. Dua orang pemuda itu kini menghadapi serangan-serangan aneh dari wanita buruk itu dan juga dari Tek Hoat yang menjadi girang dan sudah memutar pedangnya lagi. Karena terkejut dan bingung melihat gerakan aneh dari wanita itu, untuk beberapa lamanya Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu terdesak hebat.

Gerakan wanita itu memang aneh sekali. Tubuhnya mencelat ke atas dengan kedua kaki berbareng, mencong ke kanan kiri, depan belakang, bahkan mumbul-mumbul seperti seorang anak kecil bermain-main, kadang-kadang sampai tinggi sekali dan menyerang dengan tongkatnya dari atas.

Menghadapi gaya serangan yang aneh seperti ini, yang belum pernah dilihatnya, Kian Lee dan Kian Bu takjub dan terdesak. Juga Tek Hoat menjadi kagum sekali, juga girang karena nenek yang tidak dikenalnya siapa ini datang-datang terus membantunya, sehingga dia terbebas dari desakan dua orang muda yang amat lihai itu.

“Bu-te, mari pergunakan pelajaran terakhir!” tiba-tiba Kian Lee berseru kepada adiknya.

Kian Bu mengangguk dan tiba-tiba mereka melontarkan tombak buntung itu ke depan. Kian Lee melontarkan tombaknya ke arah Tek Hoat dan Kian Bu melontarkannya ke arah nenek buruk. Biarpun hanya tombak buntung akan tetapi lontaran kedua orang kakak beradik ini tidak boleh dipandang ringan. Kalau mengenai dinding tebal sekalipun, tombak buntung itu akan dapat menembus, apalagi tubuh manusia! Tenaga yang mendorong tombak sehingga meluncur ini adalah tenaga sakti yang membuat tombak meluncur melebihi anak panah cepatnya.

“Cringg....!”

“Trakkk....!”

Tek Hoat dan nenek itu berhasil menangkis tombak buntung yang menyambar mereka akan tetapi mereka merasa betapa telapak tangan mereka yang memegang senjata menjadi panas dan nyeri sehingga mereka terkejut sekali. Tek Hoat menjadi makin girang melihat dua orang pemuda itu “membuang” senjata mereka, agaknya mereka sudah putus harapan dan agaknya pelajaran terakhir adalah melontarkan tombak tadi.

“Ha-ha, itukah pelajaran terakhir kalian?” ejeknya.

Akan tetapi dia berseru kaget dan cepat memutar pedang dan meloncat ke belakang ketika Kian Bu sudah menerjangnya dengan kedua tangan kosong. Dari kedua tangan pemuda itu menyambar hawa yang amat dingin dan amat panas, yang dingin keluar dari tangan kiri, yang panas keluar dari tangan kanan. Betapa mungkin ini?

Tek Hoat sendiri telah mempelajari ilmu-ilmu sin-kang dari kitab-kitab peninggalan kedua datuk Pulau Neraka, bahkan dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin dia telah melatih ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi, akan tetapi baru sekarang dia menghadapi lawan yang sekaligus dapat menggunakan dua pukulan yang berbeda, bahkan berlawanan tenaga sin-kangnya, panas dan dingin! Selain kedua pukulan yang mengandung dua hawa sakti bertentangan atau berlawanan ini, juga gerakan Kian Bu amat cepatnya, tubuhnya meluncur ke sana-sini seperti kilat!

Melihat adiknya Sudah bergerak, Kian Lee juga melakukan gerakan yang sama. Tubuhnya mencelat seperti kilat menyambar, mengimbangi gerakan nenek yang aneh tadi, dan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri, mengeluarkan hawa panas dan dingin secara berbareng sehingga nenek itu terkejut, berteriak keras dan mencelat mundur.

Memang itulah pelajaran terakhir yang dimaksudkan oleh Kian Lee tadi. Sebelum mereka keluar dari Pulau Es, ayah mereka telah menggembleng mereka secara tekun untuk mempelajari ilmu ini, ilmu yang dikombinasikan oleh Pendekar Super Sakti, mengambil inti dari gerakan ilmu silatnya Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Badai dan Kilat) dengan menggunakan inti pukulan Hwi-yang Sin-ciang (Tenaga Sakti Inti Api) dan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) digabung menjadi satu!

Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun tidak mungkin dapat dipelajari oleh orang yang berkaki dua maka Pendekar Super Sakti hanya mengambil inti gerakannya saja, membuat gerakan kedua orang puteranya itu seperti kilat cepatnya, mencelat ke sana-sini tak terduga-duga oleh lawan! Dan karena ilmu ini harus dimainkan dengan kedua tangan yang masing-masing merupakan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, maka dua orang pemuda itu tadi telah membuang tombak buntung mereka.

Setelah kedua orang kakak beradik itu mengeluarkan ilmu yang aneh dan hebat ini, mereka dapat mengimbangi lawan dan tidak terdesak lagi sungguhpun hawa pukulan mereka yang berselang-seling panas dan dingin itu hanya dapat mendesak lawan agak menjauh dan tidak berani terlalu dekat, akan tetapi mereka pun tidak dapat terlalu mendesak karena senjata kedua orang lawan mereka amat lihai.

Tek Hoat menjadi penasaran bukan main. Kembali dia bertemu dengan “batu”! Tak disangkanya sama sekali bahwa di dunia ini terdapat orang muda yang begini hebat, setelah dia terkejut bertemu dengan pemuda tinggi besar yang dulu menolong Jenderal Kao, yang juga amat lihai ilmunya.

Kiranya bukan dia seorang saja yang menjadi jago muda di kolong langit ini. Kenyataan ini sedikitnya telah menghancur leburkan kebanggaannya, membuka matanya sehingga dia tidak akan berani lagi menganggap dirinya sebagai jago muda nomor satu di dunia!

Sementara itu, nenek yang didesak oleh Kian Lee yang lebih berani mendesak daripada Kian Bu karena nenek itu hanya bersenjata tongkat, bukan pedang mujijat seperti yang dipegang oleh lawan Kian Bu, berkali-kali mengeluarkan lengking mengerikan dan aneh, seperti suara jerit seekor binatang yang terjepit.

Tiba-tiba dia meloncat agak jauh ke belakang dan ketika Kian Lee mengejarnya dengan gerakan kilat, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya melontarkan sebuah benda bulat ke arah pemuda ini. Kian Lee sedang meloncat dan lontaran itu cepat sekali, maka dia tidak sempat lagi mengelak dan sambil mengerahkan tenaga ke arah kaki kirinya dia menendang benda hitam bulat itu.

“Darrr....!”

Benda itu meledak ketika ditendang oleh Kian Lee dan pemuda ini mengeluh, terlempar ke bawah dan darah membasahi celana karena pahanya telah terluka oleh pecahan besi. Kiranya benda itu adalah semacam senjata peledak yang ampuh dan karena tidak mengira sama sekali bahwa benda itu akan meledak, maka Kian Lee menjadi kurang hati-hati dan pahanya terkena pecahan besi sehingga kulit dan dagingnya terluka yang lumayan parahnya.

“Lee-ko....!”

Kian Bu berseru kaget sekali dan sekali meloncat, dia telah berada di depan nenek itu, terus menyerangnya dengan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaga. Dipukul dengan Hwi-yang Sin-ciang berbareng dengan Swat-im Sin-ciang secara hebat itu, Si Nenek terkejut dan biarpun dia sudah mengelak, tetap saja dia terdorong oleh hawa pukulan sehingga dia terhuyung dengan muka pucat dan roboh. Cepat dia bergulingan kemudian meloncat ke atas lagi.

Suma Kian Bu sudah menarik kakaknya bangun, kemudian menggandeng kakaknya itu, meloncat ke atas jembatan.

“Lepaskan aku, aku bisa membela diri. Mari kita ke dinding itu....” kata Kian Lee sambil menyeret kaki kirinya yang sukar digerakkan.

Melihat seorang pemuda telah terluka, para perajurit dan pembantu Tek Hoat menjadi berani. Mereka mengejar dan beberapa orang telah menyerang dengan tombaknya. Kian Bu menjadi marah, dia membalik, merampas sebatang tombak dan memutar tombak itu, merobohkan enam orang sekaligus, ada yang dikemplang tombak, ada yang ditusuk, ada yang ditendang dan ada yang didorong oleh tangan kirinya.

“Hayo, Lee-ko....!”

Dia hendak menggandeng kakaknya lagi akan tetapi pada saat itu, seorang pembantu Tek Hoat yang gerakannya cukup gesit dan kuat, seorang yang berjenggot dan berkumis pendek telah menusuk dari belakang dengan tombaknya.

“Haiiittt....!”

Kian Bu berseru, kaki kirinya yang seperti bermata itu diputar ke belakang dan dengan tepat menangkis tombak itu, kemudian dia membalik, tombak yang dipegangnya menyambar ke arah kepala orang berkumis pendek, sedangkan pedang Si Kumis itu telah terlempar oleh tangkisan kaki Kian Bu.

“Ouhhhh....!”

Orang itu mengelak, akan tetapi tetap saja telinga kirinya kena dihantam tombak sehingga remuk.

“Wadouuuhhh....!”

Dia berloncatan sambil memegangi telinga kirinya yang sudah tidak berdaun lagi, dan saking sakitnya dia tidak melihat kanan kiri atas depan lagi, maka tanpa disengaja dia menabrak dan menghalangi Tek Hoat yang sedang lari hendak mengejar Kian Lee dan Kian Bu. Karena tiba-tiba ditabrak pembantunya sendiri yang sedang kesakitan, Tek Hoat marah-marah dan ditendangnya pembantu yang sudah tidak berdaun telinga kiri lagi itu.

“Ngekkk!” Pembantu itu terlempar, terbanting dan tidak bergerak lagi.

Kian Bu dan Kian Lee sudah dikepung lagi oleh nenek dan para perajurit dan selain Kian Bu mengamuk dengan hebat, Kian Lee yang sudah terluka pahanya itu pun masih melawan dan setiap ada tombak menusuknya, dia menangkis dan pemegang tombaknya terpelanting.

Pada saat yang amat berbahaya itu tampaklah berbondong-bondong bayangan orang banyak berloncatan dari dinding belakang. Mereka itu bukan lain adalah Si Gendut anggauta Tiat-ciang-pang bersama kawan-kawannya. Mula-mula hanya belasan orang saja yang berloncatan masuk dan langsung saja Si Gendut dan kawan-kawannya itu menerjang para perajurit pemberontak yang mengeroyok Kian Bu dan Kian Lee.

Melihat ini, Tek Hoat menjadi kaget dan marah, dan mengira bahwa orang-orang yang datang itu ada yang sepandai dua orang pemuda tadi. Akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa yang datang hanya gerombolan kaum sesat dari Tiat-ciang-pang yang dipimpin Si Gendut, dia memandang rendah dan cepat dia melakukan pengejaran karena Kian Bu dan Kian Lee sudah tidak kelihatan di tempat itu lagi.

Kian Bu yang tadi melihat kesempatan baik selagi keadaan kacau dengan munculnya Si Gendut dan kawan-kawannya, cepat mengempit tubuh kakaknya dan meloncat naik ke atas dinding kebun lalu meloncat pula turun. Banyak perajurit yang juga berloncatan naik dan melakukan pengejaran.

“Lepaskan aku, biar aku dapat melawan!” Kian Lee berkata.

Kian Bu yang mendapat kenyataan bahwa kakaknya tidak terluka terlalu berat dan hanya terpincang-pincang itu, melepaskan kakaknya. Mereka melakukan perlawanan sambil melarikan diri menyelinap ke tengah kota diantara rumah-rumah orang. Akan tetapi, nenek buruk itu sudah dapat menyusul mereka dan bersama banyak perajurit dia telah mengeroyok Kian Bu yang terpaksa berpisah dari kakaknya karena nenek itu merupakan lawan yang tidak ringan.

“Toanio, tangkap dia hidup-hidup!”

Suara Tek Hoat ini mengejutkan Kian Bu, apalagi ketika dia menengok dan tidak dapat melihat kakaknya lagi, hatinya menjadi panik sekali, dan dia tidak dapat menghindarkan pukulan tongkat nenek itu yang mengenai pundaknya. Baiknya, tubuh pemuda itu sudah secara otomatis dihuni oleh tenaga sakti yang amat hebat sehingga tanpa pengerahan pun, tenaga saktinya melindungi pundak dan biarpun terasa nyeri bukan main, tidak ada tulang yang patah oleh pukulan maut dari nenek itu.

Akan tetapi dia terhuyung dan menabrak pohon di pinggir rumah, dan pada saat itu, Tek Hoat sudah meloncat dekat, tangan kiri pemuda ini menghantam ke arah punggung Kian Bu untuk merobohkan dan menangkap pemuda ini hidup-hidup.

“Wuuuutttt.... plakkkk!”

Tek Hoat terbelalak ketika melihat betapa telapak tangannya bertemu dengan telapak tangan orang lain dan seluruh tubuhnya menjadi tergetar hebat. Dia masih mengerahkan tenaga Inti Bumi ke telapak tangannya dan mendorong, akan tetapi sedikit pun tangan itu tidak bergeming, bahkan ketika laki-laki setengah tua yang dikenalnya sebagai laki-laki teman kedua orang pemuda lihai tadi mendorong, dia tidak dapat bertahan dan terhuyung ke belakang! Hebat!

Ternyata laki-laki ini malah lebih lihai dari dua orang pemuda itu, dan bukan itu saja, agaknya laki-laki ini pun mahir menggunakan tenaga sakti Inti Bumi! Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Cepat dia menarik tangan Kian Bu dan berkata,

“Mari kita pergi....!”

Kian Bu meragu,
“Lee-ko....”

“Di mana dia?”

“Entah, kami berpisahan, dia terluka pahanya....”

“Keparat!”

Tek Hoat berteriak marah dan kini menyerang Gak Bun Beng dengan pedang Cui-beng-kiam!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar