FB

FB


Ads

Minggu, 22 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 074

Dapat dibayangkan betapa khawatir hati Kian Bu melihat betapa Puteri Syanti Dewi kini tidak kelihatan lagi. Tadinya dia masih dapat melihat topi caping buatannya itu yang dapat dijadikan tanda di mana adanya Sang Puteri, akan tetapi kini tanda itu pun lenyap pula ditelan kegelapan dan ditelan arus manusia.

“Celaka, Lee-ko, kita harus mengejarnya!”

“Tenanglah, Bu-te. Kulihat tadi dia bergerak mengikuti arus ini, mari kita maju terus ke sana,” jawab Kian Lee.

Kian Bu menjadi tidak sabar karena cemasnya. Dia menjadi kasar dan dengan nekat dia mendorong sana-sini di antara orang-orang itu. Melihat sikap adiknya, Kian Lee menggeleng kepala, akan tetapi agar jangan sampai tertinggal dan terpisah dari adiknya pula, dia pun terpaksa menggunakan kedua tangannya untuk membuka jalan sehingga ke mana pun kedua orang muda ini bergerak, orang-orang di depannya berteriak-teriak dan terdorong ke kanan kiri, tidak kuat menahan dorongan tangan kedua orang muda yang amat kuat itu.

Namun, sampai pagi kedua orang muda itu masih belum berhasil menemukan Syanti Dewi sehingga tentu saja mereka berdua, terutama sekali Kian Bu, menjadi sangat gelisah. Orang-orang tidaklah berdesak-desakan seperti tadi lagi dan keduanya dapat mengaso dan duduk di tepi jalan yang masih penuh orang hilir mudik.

“Jangan gelisah, Bu-te. Tentu Suheng juga mencarinya, mungkin mereka berdua sudah berkumpul kembali, tinggal kita yang harus mencari mereka.”

“Mudah-mudahan begitu, Lee-ko. Akan tetapi hatiku khawatir sekali. Jangan-jangan hilangnya adik Syanti Dewi memang dibuat orang. Ingat saja mereka yang mengepung kita ketika keributan itu mulai.”

Sejenak mereka mengaso, kemudian mereka berjalan lagi. Dalam keadaan cemas dan gemas itu, Kian Bu dan Kian Lee mendorong lagi ke kanan kiri mencari jalan. Tiba-tiba Kian Lee terkejut sekali ketika lengan kanannya sedang mendorong orang di sebelah depan, sebuah lengan lain menangkisnya dengan keras sekali.

“Dessss....!”

Karena tidak mengira bahwa dia akan ditangkis orang sedemlklan hebatnya, pula karena memang dia hanya menggunakan sedikit tenaga saja untuk mendorong, Kian Lee terdorong oleh tangkisan itu dan terhuyung ke belakang, menabrak beberapa orang yang tentu saja menjadi marah-marah,

“He, apa kau buta?”

“Kurang ajar, jalan begini lebar menabrak orang!”

Banyak makian dari orang-orang yang sudah cemas dan marah itu kepada Kian Lee yang masih terhuyung-huyung. Untuk menjaga agar tidak sampai roboh terpelanting, Kian Lee mengeluarkan tenaganya mencengkeram ke arah baju orang terdekat, yaitu seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus yang memanggul pikulan.

Akan tetapi, tiba-tiba orang itu terhuyung ke samping sehingga cengkeraman Kian Lee luput dan seperti tidak disengaja, pikulannya menyambar karena tangan Kian Lee yang luput mencengkeram baju tadi.

“Plakkk!”

Kian Lee sudah dapat mengatur keseimbangan badannya dan dia menarik tangannya sambil menyeringai. Sakit bukan main punggung tangannya dihantam ujung pikulan tadi. Dia memandang dengan marah, akan tetapi orang itu seperti tidak tahu apa-apa dan Kian Lee menahan kemarahannya.

Orang itu tidak bersalah, pikirnya, karena dia sendirilah yang salah mendorong orang. Dia melirik ke depan dan melihat seorang laki-laki tinggi besar dengan brewok kasar seperti kawat, sedang berdiri bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan mata melotot.

Kian Lee terkejut. Dia maklum bahwa laki-laki brewok ini dan Si Pembawa Pikulan adalah orang-orang pandai dan dia heran sekali mengapa di tempat itu terdapat begitu banyak orang pandai. Dia terkejut ketika mendengar ribut-ribut di sebelah belakangnya. Ketika dia menoleh, dia melihat Kian Bu sudah bersitegang dengan seorang yang berpakaian sastrawan, seorang yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, sikapnya halus akan tetapi sinar matanya liar. Cepat dia menghampiri adiknya yang sudah mengepal tinju hendak menyerang sastrawan itu.

“Bu-te, jangan berkelahi!”

“Habis dia hendak membokongmu, Lee-ko. Ketika kau terhuyung tadi, aku melihat dia menghampirimu dan tentu saja aku menangkap tangannya agar tidak memukulmu.”

“Hemm, bocah lancang. Kalau aku memukulnya, apakah dia masih bisa bicara denganmu?” Sastrawan itu berkata halus akan tetapi penuh dengan ejekan.

“Sudahlah, Bu-te, mari kita pergi.”

Kian Lee menangkap tangan adiknya dan diajak pergi dari situ. Dia maklum bahwa kecemasan hati adiknya karena kehilangan Syanti Dewi membuat adiknya itu menjadi pemarah. Setelah pergi agak jauh Kian Lee berkata,

“Mereka bertiga tadi bukanlah orang sembarangan.”

“Aku pun menduga begitu, akan tetapi aku tidak takut!”

Kian Lee tersenyum.
“Siapa takut? Akan tetapi, dalam keadaan kacau seperti ini tidak baik kalau mencari permusuhan. Tugas klta belum selesai, kita belum menyelidiki sesuatu, bahkan kini kita berpisah dari Suheng dan Syanti Dewi. Kalau kita melibatkan diri dalam perkelahian yang tidak ada sebabnya, tentu lebih repot lagi. Hayo kita terus mencari, dekat pintu depan gedung besar itu banyak orang-orang, siapa tahu mereka berada di sana.”






“Minggir! Minggir!”

Orang-orang cepat minggir ketika dari dalam pekarangan gedung itu keluar sebuah kereta berkuda, dikawal oleh selosin tentara di depan dan selosin lagi di belakang. Kian Lee dan Kian Bu ikut minggir, akan tetapi ketika tirai kereta tersingkap sedikit, mereka dapat melihat Si Pemuda tampan berpedang dan seorang laki-laki tua duduk di dalamnya. Mereka tidak tahu siapa lagi yang berada di dalam kereta itu karena tirainya sudah tertutup kembali.

“Lee-ko....!” Tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya. “Kau melihat pemuda itu?”
Kian Lee mengangguk. “Dia muncul di mana-mana, sungguh aneh.”

“Ingat sikapnya kepada Syanti? Jangan-jangan dia yang menculiknya, jangan-jangan Syanti berada di dalam kereta itu!”

“Ah, mungkinkah itu....?”

“Mari kita mengikuti kereta itu, Lee-ko!”

Kian Lee mengangguk dan keduanya lalu menyelinap di antara orang banyak, mengikuti kereta berkuda yang dikawal ketat itu. Untung jalan terhalang banyak orang sehingga kereta itu tidak terlalu cepat jalannya dan dapat diikuti terus oleh mereka yang harus menyelinap ke kanan kiri agar jangan menabrak orang lain. Kereta itu menuju ke sebuah rumah gedung besar sekali yang letaknya di dekat tembok benteng. Itulah rumah kepala daerah!

Melihat kereta itu memasuki pintu gerbang halaman gedung, dan karena semua penjaga sibuk menyambut kereta itu dengan pengawasan ketat sehingga mereka agak lengah, Kian Lee dan Kian Bu mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat dan memasuki kebun samping gedung itu, terus menyelinap dan bersembunyi di antara tetumbuhan kembang di tempat itu, perlahan-lahan mendekati gedung.

Melihat besarnya gedung itu, mereka makin bersemangat karena menyangka bahwa tentu dara yang mereka cari berada di gedung itu, entah menjadi tamu entah menjadi tawanan. Teringat mereka ketika pemuda tampan itu menawarkan tempat penginapan kepada Syanti Dewi. Bukan hal tidak mungkin bahwa ketika terpisah dari mereka, Syanti Dewi tertolong oleh pemuda berpedang itu dan dibawa ke gedung ini!

Dua orang pemuda itu tentu saja tidak pernah menduga bahwa mereka telah memasuki tempat yang dijadikan sarang dan pertemuan oleh para pimpinan pemberontak! Gedung itu adalah milik Kepala Daerah yang pada saat itu telah tewas dibunuh oleh Tek Hoat, dan keluarganya semua ditahan di dalam gedung dan dijaga. Pendeknya, tanpa ada yang mengetahuinya, Tek Hoat dan anak buahnya telah merampas gedung ini dan dijadikan tempat pertemuan dengan diam-diam dan tentu saja gedung Kepala Daerah itu tidak dicurigai orang.

Ketika itu, di dalam ruangan yang paling dalam dari gedung itu, tampak beberapa orang sedang duduk berunding. Mereka ini bukanlah orang-orang sembarangan, karena mereka merupakan puncak pimpinan para pemberontak dan tokoh-tokoh sakti yang membantu mereka.

Seorang yang berpakaian panglima tinggi duduk memimpin perundingan itu dan mereka semua sedang mempelajari sebuah peta gambar dengan diterangkan oleh panglima tinggi itu. Panglima itu bukan lain adalah Panglima Kim Bouw Sin, bekas wakil Jenderal Kao Liang yang telah memberontak dan menjadi kaki tangan nomor satu dari kedua orang Pangeran Liong di kota raja!

Di belakang panglima ini kelihatan dua orang pengawalnya yang amat diandalkan, dan yang telah membebaskannya dari tahanan di Teng-bun tempo hari, yaitu dua orang kakek kembar Siang Lo-mo! Dua orang kakek kembar ini oleh Pangeran Liong Bin Ong sendiri dikirim ke Teng-bun untuk mengepalai pembebasan Kim Bouw Sin dan selanjutnya diangkat sebagai pengawal pribadi panglima yang amat penting bagi gerakan pemberontakan itu.

Juga terdapat beberapa orang perwira pembantu yang mulai memperoleh tugas dan petunjuk dari Panglima Kim Bouw Sin untuk mengamati gerakan pemberontakan mereka yang dianggap sudah matang untuk mulai digerakkan. Akan tetapi mereka sedang bingung juga menghadapi munculnya pasukan liar secara tiba-tiba itu.

Mereka sedang merundingkan soal pasukan liar itu ketika pengawal datang mengiringkan Tek Hoat dan orang tua yang duduk di dalam kereta. Semua orang bangkit berdiri lalu memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki ketika orang tua itu masuk. Kiranya orang ini bukan lain adalah Pangeran Liong Khi Ong, orang ke dua dari biang keladi pemberontak!

Kini lengkaplah tokoh-tokoh pemberontak berkumpul dan berunding di situ. Panglima Kim Bouw Sin secara lengkap melaporkan keadaan mereka kepada pangeran tua itu.

“Seribu orang pasukan liar itu menurut hasil penyelidikan adalah pasukan dari barat dan kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri yang belum kelihatan muncul. Kami masih sangsi harus mengambil tindakan apa dan kami semua menanti keputusan dari Paduka Pangeran,” Kim Bouw Sin berkata.

“Hemm, orang-orang liar itu menambah repot saja,” Liong Ki Ong berkata. “Padahal menurut penyelidikan, Milana juga sudah bergerak, bahkan wanita itu sudah meninggalkan kota raja secara diam-diam, kabarnya mengerahkan orang-orang pandai untuk menghadapi gerakan kita. Juga berita rahasia menyampaikan bahwa pasukan istimewa dari kota raja sudah diberangkatkan. Hal ini harus kita selidiki dan jangan sampai kita kedahuluan oleh mereka,” Liong Ki Ong berkata.

“Selain itu, juga Jenderal Kao Liang telah mengirim beberapa orang penyelidik ke Koan-bun sini dan ke Teng-bun, maka kita harus waspada,” kata pula Kim Bouw Sin. “Kabarnya, ada beberapa orang yang mencurigakan telah berada di kota ini, akan tetapi kami telah menyebar mata-mata sehingga Paduka tidak perlu khawatir.”

“Yang mengkhawatirkan hanyalah gerakan Puteri Milana dan datangnya pasukan liar dari Tambolon itu,” kata Liong Khi Ong. “Bagaimana pendapatmu, Tek Hoat?” Pangeran ini selalu mengandalkan nasehat pembantunya yang amat lihai ini.

“Sudah jelas bahwa Puteri Milana tentu menggunakan tenaga orang-orang pandai dari golongan kang-ouw. Harap Paduka jangan khawatir karena saya pun sudah mengerahkan bantuan kaum hek-to. Sayang saya tidak dapat mengerahkan seluruh anggauta kaum sesat karena hanya sebagian saja yang tunduk kepada saya, akan tetapi jumlah mereka cukup banyak. Sebagian sudah saya suruh, bersiap-siap di kota raja menanti saat penyerbuan dan sebagian lagi saya suruh bersiap-siap di sekitar Teng-bun. Adapun puteri itu sendiri, biarpun kabarnya amat lihai, namun saya tidak jerih menghadapinya, apalagi di sini terdapat Siang Lo-mo.”

Dua orang kakek kembar itu mengangguk-angguk.
“Dia hebat tapi kami tidak takut,” kata Pak-thian Lo-mo.

“Dengan ilmu kami yang baru, sekali ini kami sanggup mengalahkannya,” kata pula Lam-thian Lo-mo.

“Bagus! Kalau begitu kita tidak perlu mengkhawatirkan orang-orang kang-ouw yang membantu Puteri Milana. Akan tetapi bagaimana dengan pasukan liar itu? Biarpun Tambolon pernah bersekutu dengan kita, akan tetapi kedatangannya ini hanya mengacaukan rencana kita saja. Bagaimana baiknya?”

“Pasukannya hanya seribu orang, kalau menggempurnya sekarang saya kira tidak banyak kesukaran. Dalam waktu sehari saja saya sanggup membasmi mereka semua, cukup mengerahkan lima ribu orang saja!” Kim Bouw Sin berkata.

“Saya kira itu bukan merupakan siasat yang baik, Kim-ciangkun,” kata Tek Hoat. “Dalam keadaan seperti sekarang ini, menghadapi kekuatan kerajaan yang besar dan kuat, kita harus menyimpan tenaga, bahkan kalau perlu menambah kekuatan kita. Tambolon datang pada saat kacau ini tentu hanya untuk mencari kesempatan baik guna mengeduk keuntungan, maka mengapa kita tidak bujuk saja mereka? Biarlah kita suruh mereka menyerbu dusun Ang-kiok-teng dan menggempur pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Thio Luk Cong dengan janji menyerahkan dusun itu kepadanya! Ini hanya untuk sementara saja, biar anak buahnya puas merampok membunuh dan memperkosa. Selain hal ini melemahkan kedudukan musuh, juga kita mendapatkan bantuan mereka. Kelak, apa sih sukarnya menendang mereka keluar kalau urusan sudah selesai?”

“Bagus!” Pangeran Liong Khi Ong menepuk-nepuk tangan. “Bagus, Tek Hoat. Akalmu ini memang hebat. Bagaimana pendapatmu, Ciangkun?”

Liong Khi Ong bertanya sambil memandang kepada semua orang dan Panglima Kim bersama semua perwira mengangguk-angguk. Memang siasat itu baik sekali.

“Kalau begitu, sekarang juga hubungilah Tambolon, Kim-ciangkun. Sebaiknya kalau engkau sendiri yang berhadapan dengan dia agar dia percaya penuh.”

Kim Bouw Sin mengangguk lalu bersama dua orang kakek kembar yang menjadi pengawalnya dan beberapa orang perwira meninggalkan tempat itu. Mereka langsung menuju ke benteng dan naik ke benteng itu mengatur siasat. Seorang kurir diutus menyerahkan surat panggilan kepada pimpinan pasukan liar yang bertenda di luar kota itu.

Tak lama kemudian muncullah tiga orang penunggang kuda yaitu seorang komandan pasukan liar yang dikawal oleh dua orang tinggi besar. Mereka ini dipersilakan turun di atas jembatan gantung, lalu komandan pasukan liar yang rambutnya awut-awutan dan dahinya diikat kain putih itu melangkah maju dengan kasar dan sombong.

Dia menoleh ke kanan kiri dan memandang rendah kepada barisan penjaga, kemudian bertemu di tengah jembatan dengan Panglima Kim Bouw Sin. Begitu bertemu, dia bertolak pinggang dan suaranya keras dan kasar sekali ketika dia bertanya,

“Urusan apakah yang hendak dibicarakan?”

Dia mengerti bahasa Han, akan tetapi bahasa itu diucapkan dengan kaku dan tidak memakai banyak peraturan sopan santun.

Kim Bouw Sin mendongkol. Orang ini hanyalah seorang perwira pasukan liar yang besarnya hanya seribu orang. Kalau dia menghendaki, betapa mudahnya membasmi mereka habis! Dan orang ini bersikap demikian kasar kepadanya, padahal dia adalah panglima besar barisan pemberontak yang kelak tentu akan menjadi panglima besar dari pemerintah baru di kerajaan! Sekarang pun dia telah mengepalai barisan yang tidak kurang dari lima laksa orang banyaknya!

“Apakah engkau komandan dari pasukan yang berada di luar itu?” Panglima Kim Bouw Sin bertanya.

“Benar, akulah yang diserahi pimpinan atas pasukan maut kami itu!” jawab Si Komandan dengan bangga.

“Kalau begitu, kami persilakan Ciangkun untuk masuk benteng agar kita dapat mengadakan perundingan.”

“Ha-ha, apalagi yang hendak dirundingkan? Tugasku hanya memimpin pasukan, istirahat menggempur, membasmi, menawan atau membunuh. Kami sedang menanti perintah, begitu perintah tiba kami akan menghancurkan dan membumi hanguskan kota ini, ha-ha-ha!”

Tentu saja Kim Bouw Sin menjadi makin marah. Kalau saja tidak ingat akan perintah Pangeran Liong Khi Ong, tentu dia sudah menyuruh tangkap dan bunuh komandan pasukan asing ini.

“Kalau begitu, dengan siapakah kami harus berunding?”

“Dengan pimpinan kami, dengan raja kami yang sakti dan yang sudah siap menghancurkan kota ini.”

“Hemm, dengan Raja Tambolon? Kalau begitu, di mana adanya beliau?”

Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan beberapa orang penjaga di pintu benteng itu terlempar ke kanan kiri. Muncullah tiga orang laki-laki dan seorang diantara mereka menudingkan ibu jari kiri ke hidungnya sendiri sambil berkata,

“Inilah aku Raja Tambolon!”

Kim Bouw Sin terkejut sekali dan menoleh. Orang yang mengaku sebagai Raja Tambolon itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka brewok, kelihatan kasar dan kuat, matanya terbelalak lebar penuh kebengisan. Biarpun pada saat itu orang ini berpakaian seperti seorang petani atau buruh kasar namun jelas betapa sikapnya keagung-agungan dan sikap ini adalah sikap orang yang biasanya ditaati perintahnya.

Orang ke dua yang berada di sebelah kiri Raja Tambolon yang menyamar itu, adalah seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus, bersikap angkuh dan pandang matanya seperti pandang mata seorang guru besar terhadap murid-muridnya, tangan kirinya memegang sebatang pikulan keranjang kosong di pundak kirinya. Adapun orang ke tiga yang berusia empat puluh tahunan, termuda diantara mereka, adalah seorang berpakaian sastrawan miskin dan berada di belakang raja suku bangsa liar itu.

Panglima Kim Bouw Sin bermata tajam dan dapat mengenal orang. Jelas bahwa tiga orang yang menyamar ini bukanlah orang-orang biasa dan komandan pasukan liar di depannya itu tertawa sambil memandang kemudian memberi hormat dengan sigapnya kepada Raja Tambolon, maka dia pun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil berkata,

“Maafkan kami yang tidak mengenal sehingga tidak mengadakan penyambutan!”

“Ha-ha-ha!” Raja Tambolon tertawa bergelak. “Kami pun tidak membutuhkan sambutan melainkan diam-diam menyelinap ke dalam. Kalian lihat betapa mudahnya kalau kami melakukan gerakan, ha-ha-ha. Engkau tentu Kim Bouw Sin Tai-ciangkun yang terkenal itu, bukan?”

“Benar, Ong-ya. Dan kami persilakan Ong-ya untuk masuk ke benteng dan mengadakan perundingan bagi keuntungan kita bersama.”

“Bagus, bagus! Ha-ha-ha, Kimonga, kau tarik mundur semua pasukan. Kirim gerobak untuk mengambil ransum dari kota ini dan.... heh-heh-heh, Tai-ciangkun, engkau tentu tidak begitu pelit untuk memberi sekedar hiburan kepada anak buah pasukanku, bukan? Ha-ha-ha!”

“Jangan khawatir, Ong-ya,”

Berkata panglima itu dan mereka lalu memasuki benteng untuk mengadakan perundingan seperti yang telah direncanakan oleh Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong tadi.

Selagi Panglima Kim Bouw Sin yang dikawal oleh kedua orang kakek kembar Siang Lo-mo memasuki kamar perundingan di dalam tempat penjagaan di benteng bersama Raja Tambolon yang dikawal oleh dua orang pengawalnya yang menyamar sebagai sastrawan dan petani itu, di gedung kepala daerah yang telah dijadikan sarang para pimpinan pemberontak itu terjadi geger.

Ternyata bahwa tidak hanya bekas gedung Kepala Daerah ini yang kini telah dikuasai pemberontak dan dijaga oleh pasukan yang telah menjadi kaki tangan pemberontak, bahkan malam ketika terjadi keributan itu, pihak pemberontak mempergunakan kesempatan itu untuk bertindak.

Bukan hanya Perwira Phang yang diserbu sehingga Puteri Milana dan yang lain-lain terpaksa melarikan diri, juga semua perwira yang setia kepada pemerintah disergap dan dibunuh! Pasukan dikuasai dan mereka yang melawan dibunuh, dan banyak pula yang melarikan diri.

Mereka yang menaluk masih dipergunakan berikut para perwira mereka yang menaluk sehingga penjagaan tetap dapat dilakukan, hanya kini dicampur dengan pasukan dari pemberontak, diawasi oleh perwira-perwira dari pemberontak.

Demikian hebatnya pengaruh pemberontak sudah mencengkeram Koan-bun yang hanya sepuluh li jauhnya dari Teng-bun, sehingga dalam waktu semalam saja tanpa banyak perlawanan kota benteng itu telah terjatuh ke tangan pemberontak yang operasinya dipimpin sendiri oleh Panglima Kim Bouw Sin.

Pengambil alihan kota Koan-bun itu terjadi diam-diam dan dengan amat mudah sehingga pasukan dari Teng-bun hanya tinggal masuk saja melalui pintu benteng yang sudah dibuka lebar. Dan semua peristiwa ini ditonton oleh pasukan Tambolon yang berkemah di luar kota sambil tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi secara liar tanpa melakukan sesuatu karena mereka menanti perintah dari pemimpin besar mereka, yaitu Raja Tambolon yang bersama dua orang pengawalnya menyelundup masuk kota Koan-bun. Maka ketika datang kurir dari Panglima Kim Bouw Sin, komandan pasukan Kimonga yang datang memenuhi undangan itu tidak berani mengambil keputusan apa-apa.

Tentu saja semua peristiwa ini diketahui dengan baik oleh Puteri Milana dan Jenderal Kao Liang. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil tindakan, bahkan membiarkannya saja karena merasa belum tiba waktunya. Pada saat itu, Jenderal Kao sedang menyusun kekuatan dan diam-diam telah melakukan persiapan-persiapan untuk menumpas pemberontak dan sekaligus membasmi pasukan liar pimpinan Raja Tambolon yang telah muncul di tempat itu.

Pasukan Tambolon ini terdiri dari pasukan inti, pasukan pilihan dan anggautanya terdiri dari bermacam suku bangsa, campuran dari suku bangsa Tibet, Mongol, Turki dan ada pula orang Han bekas anggauta Pek-lian-kauw. Namun mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang liar dan ganas, pandai berkelahi dan berani mati.

Sementara itu, kegegeran pagi hari itu di gedung Kepala Daerah disebabkan oleh Kian Lee dan Kian Bu. Seperti kita ketahui, dua orang kakak beradik itu berhasil menyelundup masuk ke taman bunga gedung itu dan diam-diam mereka menghampiri gedung dan terus saja mereka menyelinap masuk melalui pintu belakang dan ubek-ubekan mencari Syanti Dewi!

Mereka telah menangkap pelayan sampai lima orang banyaknya yang mereka paksa mengaku, akan tetapi tidak seorang pun diantara mereka yang tahu tentang Syanti Dewi. Terpaksa mereka menotok pingsan para pelayan itu dan terus masuk makin dalam dengan maksud mencari Syanti Dewi atau menyelidiki pemuda berpedang dan orang tua yang naik kereta tadi.

Ketika mereka tiba di gudang belakang mereka mendengar keluh-kesah dan tangis dari dalam gudang itu. Kian Bu dan Kian Lee meloncat ke atas genteng dan mengintai. Tampaklah oleh mereka isteri kepala daerah dan keluarganya yang dikumpulkan menjadi satu di tempat itu. Mereka hanya saling pandang akan tetapi tidak mampu melakukan sesuatu.

“Beginilah perang.” Kian Lee berbisik. “Betapa kejam dan jahatnya!”

Ketika mereka turun, tiba-tiba terdengar jerit wanita tertahan dari sebuah kamar belakang dekat gudang. Kian Bu yang menyangka bahwa suara itu mungkin suara Syanti Dewi, sudah cepat mencelat dan mengintai dari celah jendela kamar itu, diikuti oleh Kian Lee.

Apa yang tampak oleh mereka membuat Kian Bu hampir saja mendobrak jendela kalau tidak cepat lengannya ditangkap oleh kakaknya. Seorang laki-laki berpakaian perwira kelihatan sedang memperkosa seorang wanita muda yang melihat pakaiannya tentulah keluarga dari kepala daerah tadi!

“Diamlah, kalau aku mau, betapa mudahnya membunuhmu sebagai anggauta keluarga yang melawan kami. Diam!”

Kian Lee menarik tangan Kian Bu menjauh dari situ. Muka mereka merah sekali, sepasang mata Kian Bu mengeluarkan sinar berapi dan sampai lama mereka duduk berlindung di belakang bangunan untuk menenteramkan hati yang bergolak panas. Tak lama kemudian, tampak perwira tadi keluar dari kamar itu.

Kian Lee tidak dapat mencegah adiknya memungut sebuah batu sebesar kepalan tangan dan sekali menggerakkan tangan, batu itu menyambar dan tepat mengenai pelipis perwira itu. Tanpa sempat mengeluarkan teriakan, perwira itu terjungkal dengan pelipis pecah dan tentu saja dia tewas seketika!

Terdengar suara aneh di dalam kamar itu dan ketika mereka cepat mengintai lagi, mereka melihat wanita muda itu dengan tubuh telanjang bulat sudah rebah telentang di atas lantai dan sebatang gunting menancap di antara buah dadanya yang masih muda. Wanita itu telah membunuh diri!

“Perang.... akibat perang....” Kian Lee mengeluh.

“Bedebah dia! Bukan akibat perang Lee-ko. Di waktu damai sekalipun ada saja manusia keji yang melakukan perbuatan biadab seperti ini!”

“Benar, Bu-te, akan tetapi tidaklah sebanyak di waktu perang. Semua itu terjadi karena terbuka kesempatan, dan di waktu perang terbuka segala macam kesempatan bagi orang-orang yang batinnya lemah sehingga mudah ia menurutkan nafsu jahat melakukan hal-hal yang biadab seperti ini. Engkau tentu sudah membaca tentang perang sejak dahulu kala, pembunuhan kejam tanpa sebab tertentu, perampokan semena-mena, perkosaan yang biadab, semua terjadi dalam perang. Di waktu damai, membunuh manusia pun akan berurusan dengan yang berwajib, akan tetapi di waktu perang, membunuh sebanyak-banyaknya bukan apa-apa, bahkan makin banyak makin baik, makin besar jasanya!”

“Perang! Phuh, muak aku, Lee-ko!”

“Hemm, kau lupa apa yang menyebabkan kita berdua berada di sini?”

“Ya, sebabnya adalah pemberontakan.”

“Perang juga!”

“Kita terseret mau tidak mau karena kita membela Enci Milana.”

“Dan Enci Milana terseret karena hendak membela kerajaan.”

“Dan kerajaan membela siapa?”

“Aha, membela diri sendiri tentunya, membela kedudukannya. Pemerintah mana yang tidak akan membela kedudukannya, Bu-te? Semua pemerintah di dunia ini, yang sedang berkuasa, tentu tidak akan rela begitu saja kalau ditentang, dan setiap penentangnya dianggap pemberontak dan akan dibasmi oleh pemerintah itu.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar