FB

FB


Ads

Minggu, 22 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 072

Akan tetapi Bun Beng tidak tahu bahwa sama sekali Tek Hoat tidak berniat mehghindarkan diri atau menjauhkan diri dari mereka. Sama sekali tidak, terutama sekali karena di situ terdapat Syanti Dewi!

Siapakah orang-orang yang tadi mengeroyok Tek Hoat di depan warung dan mengapa Tek Hoat yang jelas akan mudah saja kalau mau membasmi dan membunuh mereka, malah melarikan diri seolah-olah segan melayani mereka?

Si Gendut dan kawan-kawannya itu adalah orang-orang Tiat-ciang-pang yang diutus oleh beng-cu mereka! Seperti telah kita ketahui, Ceng Ceng berhasil menjadi beng-cu dengan cara membuat Tek Hoat tidak berdaya dengan sumpah dan janjinya. Bahkan dia memaksa Tek Hoat untuk menjadi pembantunya bersama Si Topeng Setan yang telah ditawannya atau yang sesungguhnya telah menyerahkan diri untuk ditawan!

Diam-diam Tek Hoat mengerti bahwa atasannya, yaitu kedua Pangeran Liong, tentu akan marah kepadanya bahwa dalam hal mempengaruhi kaum sesat di sekitar kota raja ini dia telah gagal, akan tetapi dia tidak dapat melakukan sesuatu terhadap Ceng Ceng.

Tentu saja bukan semata-mata karena sumpah dan janjinya, akan tetapi karena terhadap gadis itu dia merasa lemah dan tidak tega untuk mengganggu atau memusuhinya, lebih-lebih karena gadis ini adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicintanya. Akan tetapi, ambisi pribadinya juga tidak memungkinkan dia meninggalkan dua orang Pangeran Tua yang memberontak itu, karena dia ingin mencapai kedudukan setinggi-tingginya melalui mereka.

Karena dia harus kembali ke kota raja, maka dia segera minta diri kepada Ceng Ceng dengan dalih untuk mulai membantu gadis itu mencari pemuda tinggi besar tampan dan lihai yang menjadi musuh besar Ceng Ceng tanpa dia ketahui sebab-sebabnya itu.

Karena Ceng Ceng juga maklum bahwa dekat dengan Tek Hoat merupakan bahaya besar, bukan hanya bahaya pribadi karena sewaktu-waktu pemuda itu dapat mengingkari janji dan sumpahnya, melainkan juga karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membujuk kaum sesat untuk menggabungkan diri kepada pemberontak, maka dia segera menyatakan persetujuannya.

Apalagi, kalau ada orang yang akan dapat membantunya menemukan musuh besarnya itu, kiranya orang itu adalah Tek Hoat, karena hanya pemuda itulah yang pernah bertemu muka dengan musuh besarnya, si pemuda laknat, yaitu ketika pemuda laknat itu menolong Jenderal Kao dari tangan Tek Hoat. Selain sudah mengenal muka musuh besarnya itu, juga Tek Hoat mempunyai kebencian pribadi kepada pemuda laknat itu yang telah menghalangi usahanya menculik Jenderal Kao.

Demikianlah, Tek Hoat meninggalkan Ceng Ceng dan ketika dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong, dia mendengar berita akan berhasilnya Siang Lo-mo membebaskan Panglima Kim Bouw Sin dan bahwa benteng Teng-bun telah dikuasai. Karena saat yang dinanti-nanti telah hampir tiba, yaitu menggerakkan pasukan dari utara menyerbu kota raja, Pangeran Liong Bin Ong tidak begitu mempedulikan urusan kaum sesat, dan dia segera memerintahkan Tek Hoat untuk ke utara, memimpin orang-orang lihai yang telah menjadi kaki tangan pemberontak dan membantu Panglima Kim Bouw Sin. Bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri berkenan berangkat pula ke utara dan selain dikawal oleh pasukan istimewa, juga Tek Hoat mengawalnya.

Setelah mengawal rombongan pangeran yang menyamar ini memasuki kota Koan-bun di sebelah timur Teng-bun, hanya terpisah sepuluh mil dan pangeran yang menyamar itu menyelundup ke dalam gedung pembesar setempat, Tek Hoat lalu keluar dan berjalan-jalan sampai ke dusun itu dalam usahanya untuk melakukan penyelidikan guna persiapan penyerbuan ke kota raja.

Di dusun inilah dia bertemu dengan rombongan Syanti Dewi, hal yang membuat semua rencananya menjadi kacau karena dia tidak lagi dapat mencurahkan perhatiannya kepada tugasnya membantu Pangeran Liong Bin Ong, bahkan kini sebagian besar perhatiannya tercurah kepada diri Puteri Bhutan itu.

Inilah sebabnya mengapa dugaan Bun Beng itu meleset jauh. Mereka boleh jadi tidak mempunyai urusan dengan pemuda tampan berpedang itu, akan tetapi pemuda itu mempunyai urusan dengan mereka, atau setidaknya dengan Syanti Dewi! Dan tidak mengherankan pula kalau di hari itu juga, di luar dugaan mereka rombongan Bun Beng ini bertemu kembali dengan Tek Hoat!

Ketika itu hari telah menjelang senja dan Bun Beng bersama rombongannya tiba di kota Koan-bun, yaitu kota yang merupakan kota terdekat dari Teng-bun yang menjadi benteng pertahanan dan pusat para pemberontak. Untuk menyelidiki keadaan di Teng-bun, mereka harus bermalam dulu di Koan-bun, karena kota ini masih termasuk kota yang bebas dari cengkeraman pemberontak, sungguhpun orang tidak tahu lagi berapa banyak kaki tangan pemberontak dan siapa saja mereka itu yang berada di Koan-bun.

Boleh jadi setiap orang pedagang, setiap orang buruh, adalah mata-mata pemberontak atau kaki tangan pemerintah, tidak ada yang dapat menduganya lebih dulu. Karena itu, suasana di Koan-bun amat menegangkan seolah-olah setiap saat akan terjadi ledakan perang di tempat ini.

Pembesar setempat telah melakukan penjagaan ketat dan setiap orang yang memasuki pintu gerbang kota Koan-bun mengalami penggeledahan. Tidak aneh dan memang telah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu bahwa pada setiap terjadi kekacauan, orang-orang yang mempunyai kedudukan dan wewenang akan mempergunakan kesempatan di waktu keadaan keruh itu untuk mencari keuntungan demi dirinya sendiri. Demikian pula dengan para penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang.

Keadaan yang “panas” itu membuka kesempatan bagi mereka untuk bertindak seolah-olah merekalah yang paling berkuasa di dunia ini dan mereka pulalah yang berkuasa untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh masuk ke kota Koan-bun. Tentu saja mereka membiarkan segala macam jenis ikan teri lewat tanpa banyak bicara lagi, akan tetapi setiap kali ada ikan jenis kakap lewat, otomatis sikap mereka berubah dan tanpa ada sesuatu yang menguntungkan mereka, jangan mengharap akan dapat lewat begitu saja tanpa gangguan.

Rombongan Bun Beng segera menarik perhatian mereka, terutama sekali karena di situ terdapat seorang nona muda yang cantik.

“Menurut peraturannya, semua yang akan memasuki kota ini harus digeledah! Tidak terkecuali!”

Berkata kepala penjaga yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat seperti orang yang kekurangan darah, akan tetapi lagaknya seolah-olah dia bertubuh tinggi tegap menakutkan, dadanya yang kerempeng dibusungkannya ke depan.

Melihat lagak seperti ini, otomatis Kian Bu menjadi naik darah.
“Boleh saja menggeledah kami bertiga,” katanya.

“Hemm....!” Si Kurus itu mengeluarkan suara dari hidungnya. “Kalian berempat, mengapa hanya bertiga yang harus digeledah? Harus keempat-empatnya....”






“Tapi dia ini wanita! Masa adikku, seorang wanita harus digeledah oleh para penjaga pria?”

“Peraturan tetap peraturan, kalian tidak boleh melawan!”

Makin merah muka Kian Bu. Jangankan sampai menggeledah, baru berani menjamah sedikit saja tubuh Syanti Dewi, dia akan mematahkan tangan laki-laki yang berani melakukannya!

“Mengapa yang baru lewat tadi tidak ada yang digeledah? Aturan mana ini membeda-bedakan orang?” bentaknya menuding kepada orang-orang yang telah dan sedang lewat dan yang didiamkan saja oleh penjaga itu.

“Hemm, itu adalah urusan kami! Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!”

Si Kurus membentak pula dan kini para penjaga sudah berdatangan dan mengurung rombongan Bun Beng.

Pada saat itu, diantara banyak orang yang mulai tertarik dan menonton, muncullah seorang pemuda yang segera menghampiri komandan jaga dan berkata,

“Mereka ini adalah sahabat-sahabatku, jangan kalian mengganggunya.”

Berkata demikian, pemuda itu mengeluarkan sekantong uang dan memberikannya kepada si komandan.

“Ah, terima kasih.... harap Cu-wi sekalian maafkan....” Dia mengangguk-angguk seperti seekor ayam kelaparan makan beras.

Panas rasa perut Kian Bu ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah si pemuda tampan berpedang yang mereka jumpai di warung bakmi tadi. Apalagi ketika ia melihat Syanti Dewi memandang pemuda itu, membungkuk sedikit dan mengeluarkan kata-kata halus yang sudah amat dikenalnya,

“Terima kasih!” perutnya menjadi bertambah panas.

Pemuda itu mengangguk dan tersenyum kepada Syanti Dewi, untuk beberapa lama sepasang matanya memandang dengan amat tajamnya. Dua pasang mata bertemu dan wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali karena tertangkap olehnya betapa sepasang mata itu memandangnya penuh kagum dan penuh kemesraan, maka dia cepat menundukkan mukanya.

Melihat hal ini, Kian Bu hampir tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi.
“Siapa suruh engkau mencampuri....?”

Akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Kian Lee dan Bun Beng yang juga cepat melangkah maju dan menjura kepada pemuda itu sambil berkata,

“Terima kasih atas bantuanmu, Sobat.” Dia lalu menoleh kepada Kian Bu dan Kian Lee, berkata, “Hayo kita cepat masuk kota agar jangan sampai kehabisan kamar penginapan!”

Mendengar ini, Tek Hoat lalu menjura penuh hormat kepada Syanti Dewi dan dengan halus berkata,

“Mencari tempat penginapan akan sukar sekali, dan kalaupun ada tidak cukup pantas untuk tempat Nona menginap. Kalau Cu-wi sudi, saya dapat menawarkan tempat menginap....”

“Ah, terima kasih, mana kami berani membikin repot Sicu? Biarlah kami mencari penginapan sendiri, terima kasih dan maaf!”

Bun Beng cepat menolak dengan halus karena dia maklum bahwa pemuda berpedang ini jelas amat tertarik kepada Syanti Dewi dan kalau hal ini dibiarkan saja, bisa timbul keributan antara pemuda itu dan Kian Bu. Di tempat seperti itu, apalagi mengingat akan tugas mereka, sebaiknya menjauhkan keributan karena urusan pribadi.

Sambil bersungut-sungut Kian Bu mengikuti rombongannya pergi dari pintu gerbang itu, sedangkan pemuda berpedang itu pun pergi ke lain jurusan.

“Lagaknya, seperti dia seorang yang mempunyai uang! Laginya, aku tidak sudi kalau harus menyogok-nyogok!” Kian Bu mengomel.

“Sute, dia telah melakukan itu untuk membantu kita, mengapa kau marah-marah?”

Bun Beng menegur, di dalam hatinya terasa geli melihat sikap pemuda yang masih kekanak-kanakan ini.

“Bu-ko, orang itu baik, kita semestinya berterima kasih,” Syanti Dewi juga berkata dengan suara wajar.

Kian Bu terdesak, hatinya tidak puas, akan tetapi tentu dia tidak dapat membantah karena memang tidak ada bukti kesalahan orang itu. Mereka lalu mulai mencari tempat penginapan.

Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakan oleh pemuda berpedang tadi, amat sukar mencari tempat penginapan. Semua penginapan telah penuh, bahkan rumah-rumah kosong dan kuil-kuil telah penuh dengan orang sampai berdesak-desakan dan banyak pula yang tidur di emper-emper depan toko dan rumah penduduk!

Mereka ini adalah para pengungsi yang tinggal di dusun-dusun sekitar kota Koan-bun. Mereka mendengar akan ancaman perang yang sewaktu-waktu meletus, berbondong-bondong mereka mengungsi ke kota-kota sebelah timur dan selatan, dan tentu saja kota Koan-bun dibanjiri pengungsi karena kota ini pun merupakan kota yang terjaga oleh pasukan dan yang mereka anggap aman karena terlindung.

Memang pada jaman itu, dusun-dusun yang tidak terjaga selalu menjadi korban pertama dari keganasan manusia dalam perang, bukan hanya gangguan dari para serdadu pihak musuh yang membunuh, memperkosa dan merampok, akan tetapi juga gangguan dari gerombolan-gerombolan orang jahat yang mempergunakan kesempatan itu untuk bersimaharajalela.

Cuaca sudah gelap, malam sudah tiba dan rombongan Bun Beng masih juga belum memperoleh tempat penginapan.

“Tidak mengapalah, Paman,” Akhirnya Syanti Dewi berkata karena maklum bahwa mereka bertiga itu bersusah payah mencarikan penginapan, khusus untuk dia seorang! “Kalau memang di mana-mana penuh, mencari pun tidak ada gunanya. Malam ini kita lewatkan di pinggir jalan juga tidak apa. Paman tahu bahwa aku bukan seorang yang takut menghadapi kesukaran.”

Bun Beng tersenyum. Tentu saja dia tahu. Selama melakukan perjalanan dengan Syanti Dewi ke utara, di waktu dia sakit payah dan jalan pun tidak bisa, boleh dibilang gadis itulah yang merawatnya, yang mengatur segalanya, bahkan setiap malam tidur di mana saja! Akan tetapi dia tahu bahwa Kian Bu bersikeras untuk mencarikan tempat penginapan yang baik bagi gadis itu!

“Suheng, bagaimana kalau aku memasuki sebuah diantara gedung-gedung besar itu? Aku boleh paksa seorang diantara mereka meminjamkan kamar untuk Adik Syanti!” Kian Bu berkata.

Bun Beng menggeleng kepala.
“Jangan mencari perkara di dalam suasana seperti ini, Sute. Biarlah kita melewatkan malam di tepi jalan, kita pilih yang agak sunyi seperti dikatakan Dewi tadi. Malam nanti aku akan pergi ke Teng-bun untuk menyelidiki suasana. Engkau dan kakakmu menjaga Dewi di sini.”

Terpaksa Kian Bu menurut dan mereka lalu memilih pinggir jalan yang agak sunyi, lalu duduk di atas tanah begitu saja. Banyak pula para pengungsi lain yang juga seperti mereka, melewatkan malam di pinggir jalan! Suasana makin tegang dan agaknya malam itu tentu akan terjadi sesuatu yang hebat.

Bun Beng mulai penyelidikannya dengan mendengarkan percakapan-percakapan diantara kelompok-kelompok pengungsi tak jauh dari situ. Bermacam-macam keterangan diperolehnya tentang kota Koan-bun ini.

Ada yang mengatakan bahwa pembesar setempat masih setia kepada pemerintah, akan tetapi sebagian banyak pembesar lainnya sudah condong kepada pemberontak. Bahkan kabarnya pasukan di situ pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Ada yang mengabarkan lagi bahwa malam itu pemberontak akan melakukan serangan.

Pendeknya, bermacam-macam berita simpang-siur yang didengarnya. Dia menceritakan semua yang didengarnya itu kepada Kian Lee, Kian Bu dan Syanti Dewi sambil makan malam sederhana berupa roti kering yang dibawa oleh kedua orang kakak beradik itu sebagai bekal. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng menghentikan ceritanya dan diam-diam dia memberi isyarat kepada mereka bertiga untuk tidak bicara, telunjuknya menuding ke arah belakangnya.

Orang itu agaknya juga seorang pengungsi, sudah tua dan membawa bungkusan. Dia datang dan berjongkok, mengeluh panjang pendek tak jauh dari rombongan Bun Beng. Ketika tiba-tiba rombongan itu berhenti bicara, dia berdiri lagi dan pergi. Akan tetapi sejak itu, sering sekali kakek ini lewat di situ, juga beberapa orang lain yang Bun Beng lihat adalah orang-orang yang sama sehingga tahulah dia bahwa mereka telah dimata-matai atau diawasi!

Jalan itu makin ramai, dan makin banyak saja orang-orang yang berkelompok di tepi jalan. Agaknya mereka pun kehabisan tempat, ataukah memang sengaja berkelompok di situ? Bun Beng mulai curiga dan dia memperingatkan kedua orang sutenya agar waspada.

“Siapa tahu kalau-kalau mereka ini adalah pengungsi-pengungsi palsu yang sengaja mengurung kita,” bisiknya.

“Sikat saja!” Kian Bu sudah bangkit dan memandang marah.

“Sttt, tenanglah, Bu-te!”

Kian Lee menarik tangannya sehingga dia terduduk kembali. Kian Lee maklum bahwa adiknya itu benar-benar telah mabuk asmara dan serangan demam cinta itu membuat Kian Bu selalu ingin menonjolkan dirinya di depan gadis yang dicintanya. Diam-diam dia mendoakan mudah-mudahan adiknya itu lebih berbahagia dalam cintanya, tidak seperti dia, mencinta seorang gadis yang dia tidak ketahui sekarang berada di mana!

Akan tetapi karena dia sudah mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa Lu Ceng itu adalah adik angkat dari Syanti Dewi dan hal itu tidak pernah disinggungnya, juga tidak oleh Kian Bu yang dipesannya selama mereka berdua melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi, maka sekarang dalam kesempatan menanti dalam suasana tegang itu, ingin dia mencari keterangan kepada Syanti Dewi tentang diri gadis yang dicintanya itu.

“Adik Syanti, aku.... aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu,” katanya berbisik agar jangan terdengar orang lain kecuali mereka berempat.

“Apakah itu, Lee-koko?”

“Aku ingin bertanya tentang Lu Ceng atau Candra Dewi....”

“Aihhh....!”

Syanti Dewi hampir menjerit ketika mendengar disebutnya nama Lu Ceng dan tak terasa lagi air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Tentu saja Kian Lee dap Kian Bu terkejut.

Gak Bun Beng menghela napas panjang.
“Sute, mengapa engkau menanyakan dia? Dia adalah adik angkat Dewi, dan sudah tewas secara menyedihkan sekali.”

“Justeru itulah yang akan saya bicarakan, Suheng! Adik Candra.... dia itu.... Nona Lu Ceng itu, dia belum mati!”

Sepasang mata yang lebar itu terbelalak, dan dengan bingung Syanti Dewi menoleh kepada Bun Beng. Pendekar ini memandang Kian Lee dengan tajam dan penuh teguran, kemudian dia berkata,

“Sute, jangan bicara yang bukan-bukan! Aku sendiri telah turun ke dalam sumur di mana dia terjerumus untuk menyelidiki dan baru turun sebagian saja aku sudah pingsan. Dia sudah tewas.”

“Kami juga mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa dia sudah mati di dalam sumur maut, sungguhpun Jenderal Kao tidak bercerita tentang Suheng,” kata Kian Bu. “Akan tetapi.... tenangkan hatimu, Moi-moi.... sesungguhnya Nona Lu Ceng itu masih hidup. Kami sudah berjumpa beberapa kali dengan dia, bahkan yang terakhir ini kami melihat dia di kota raja!”

“Ahhh....! Be.... benarkah? Benarkah itu?”

Kian Lee lalu menceritakan pertemuannya dengan Ceng Ceng di rumah Jenderal Kao, dan betapa gadis itu melarikan diri tidak mau menemui mereka atau Jenderal Kao, betapa jenderal itu sekeluarganya menyembahyangi nona itu!

“Kami yakin dia masih hidup, Adik Syanti. Hanya entah mengapa dia tidak mau menjumpai siapa pun, seperti menyimpan rahasia....” Kian Lee berkata dengan nada duka.

“Aahhh, benarkah itu? Benarkah dia masih hidup....? Ahh, Paman.... semoga begitu....!”

Syanti Dewi dalam kegembiraan dan pengharapannya memegang lengan Gak Bun Beng erat-erat dan air matanya bercucuran.

“Mudah-mudahan begitulah....! Dia seorang gadis yang amat baik, menurut penuturanmu dan penuturan Jenderal Kao,” kata Bun Beng sambil dengan halus menarik lengannya yang dipegang erat-erat oleh dara itu.

“Lee-ko, mengapa engkau menanyakan dia?”

Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya sambil memandang wajah Kian Lee. Untung mereka duduk di tepi jalan yang gelap sehingga tidak kelihatan betapa wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Akan tetapi Kian Bu mengerti betapa kakaknya menjadi gugup mendengar pertanyaan ini, maka dialah yang menjawab,

“Kami mendengar dari Jenderal Kao bahwa dia adalah adik angkatmu, maka Lee-ko mengajukan pertanyaan tadi.”

Syanti Dewi menghela napas panjang.
“Dia adalah seorang yang amat baik, dan biarpun hanya adik angkat, akan tetapi kucinta seperti saudara kandungku sendiri. Kalau tidak ada dia, mungkin aku tidak kuat menanggung derita ketika kami berdua melarikan diri.”

Lalu dengan suara perlahan dia menceritakan tentang pengalamannya ketika dia meninggalkan Bhutan dan diserbu di tengah perjalanan kemudian dia bersama Ceng Ceng dan kakeknya melarikan diri. Betapa Kakek Lu tewas dan Ceng Ceng terus mengawalnya sampai akhirnya mereka celaka karena perahu yang ditumpanginya terguling dan dia ditolong oleh Gak Bun Beng.

“Tadinya aku mengira dia tewas di sungai itu karena kami berdua tenggelam dan hanyut. Akan tetapi, ternyata dia tidak tewas di sungai dan tahu-tahu aku mendengar tentang dia di utara, tewas di sumur maut hanya beberapa saat sebelum aku bersama Paman Gak tiba di sana. Dan sekarang, kembali ada berita bahwa dia tidak mati.... ya Tuhan, semoga benar demikianlah!”

“Sayang dia selalu melarikan diri....” Kian Lee berkata lirih yang kemudian disambungnya untuk menyembunyikan perasaan hatinya. “Kalau tidak, tentu dia sekarang sudah dapat bertemu dengan engkau, Moi-moi.”

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara genta yang dipukul keras sekali. Genta atau lonceng itu digantung di atas benteng penjagaan dan kalau genta itu dipukul sedemikian rupa berarti bahwa kota itu terancam bahaya!

Keadaan menjadi geger! Dari berita mulut ke mulut, ternyata bahwa kota itu malam-malam kedatangan pasukan asing dari utara yang berkekuatan kurang lebih seribu orang pasukan liar dan ganas dari suku bangsa biadab. Pintu-pintu benteng ditutup, penjagaan diperketat dan semua perajurit lari hilir mudik dengan sibuknya.

Orang-orang berlarian pulang ke rumah masing-masing, pintu-pintu rumah ditutup namun di jalan tidak menjadi sunyi, bahkan sebaliknya karena para pengungsi yang berada di jalan-jalan lari berserabutan tidak karuan. Jerit-jerit tangis mulai terdengar dari mereka yang terpisah dari keluarganya, anak-anak hilang, barang-barang hilang, dan terjadilah keributan yang amat membingungkan. Berbondong-bondong orang berlari dan memenuhi jalan di mana rombongan Bun Beng berada.

“Awas, siap dan jaga....!”

Bun Beng berbisik dan dia sudah mengelak ketika ada sesosok bayangan menerjangnya dengan pukulan. Cepat dia menggerakkan tangannya dan bayangan itu roboh tanpa bersuara karena sudah ditotoknya pingsan. Bayangan-bayangan lain datang mengurung dan kedua orang saudara Suma juga cepat beraksi dan merobohkan beberapa orang.

Akan tetapi, mereka segera hanyut oleh banjir manusia yang saling dorong, karena ada pasukan berkuda yang lewat di situ. Itu adalah pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi bahaya sewaktu-waktu di pintu gerbang, siap untuk menerjang keluar.

Saking paniknya, rakyat mengira bahwa itulah pasukan liar dan ganas yang dikabarkan datang, maka mereka tidak ingat apa-apa lagi, satu-satunya keinginan hanya untuk lari menjauh sehingga terjadilah dorong-mendorong dan himpit-menghimpit.

Biarpun Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun menghadapi arus manusia yang seperti air membanjir itu, mereka kewalahan juga. Tentu saja mereka tidak mungkin harus memukul semua orang yang tidak berdosa itu karena orang-orang itu juga terdorong dan terdesak serta terhimpit oleh arus manusia.

“Dewi....!”

“Moi-moi....!”

Bun Beng dan Kian Bu berusaha sekuat mungkin untuk mencegah Syanti Dewi terseret oleh arus manusia, namun tidak mungkin lagi. Manusia sudah berdempet-dempet, tidak ada lagi tempat untuk kaki berpijak dan mau tidak mau mereka terbawa oleh arus manusia dan melihat betapa Syanti Dewi makin menjauh dari mereka!

“Paman....!”

Syanti Dewi menjerit, akan tetapi jeritannya bercampur dengan jeritan-jeritan wanita dan kanak-kanak lain yang terjepit dan terhimpit. Keadaan menjadi panik dan geger, seolah-olah dunia sedang kiamat. Karena keadaan gelap, maka kini topi caping buatan Kian Bu yang dipakai oleh Syanti Dewi hampir tidak tampak lagi dan tiba-tiba saja topi itu lenyap.

“Dewi....!”

“Moi-moi...! Moi-moi...!”

Kian Bu berteriak-teriak, memaksa dengan tenaganya untuk mendekat, akan tetapi setibanya di tempat di mana yang terakhir kali dia melihat Syanti Dewi tadi, gadis itu sudah tidak nampak bayangannya lagi.

Sepasukan tentara yang datang melalui jalan itu membelah arus manusia. Karena takut para pengungsi itu saling desak memberi jalan dan keadaan menjadi makin panik. Arus manusia yang tadinya memenuhi jalan itu terbelah menjadi dua, semua mepet ke tepi jalan di kanan kiri.

Bun Beng terpisah dari dua orang saudara Suma, dia terpaksa terdorong ke kiri jalan sedangkan dua orang saudara itu di seberang lain dan tak lama kemudian Bun Beng tidak dapat melihat mereka lagi karena obor-obor yang dibawa para perajurit tadi sudah menjauh sehingga keadaan menjadi gelap lagi.

Dia merasa khawatir sekali akan diri Syanti Dewi, namun dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin mencari Syanti Dewi. Nanti kalau sudah agak reda dan dia dapat leluasa bergerak, tentu dia akan bisa menemukan gadis itu. Betapapun juga, Syanti Dewi bukanlah gadis lemah dan sudah cukup pandai untuk menjaga diri sendiri. Selain itu, juga dia yakin bahwa Kian Lee dan Kian Bu tentu juga berusaha keras untuk menemukan gadis itu kembali.

Tiba-tiba seorang wanita setengah tua yang berada di tempat itu, tidak jauh dari tempat dia berdiri, menjerit dan roboh. Dia sudah sejak tadi terhimpit dan tidak dapat keluar dari himpitan manusia. Karena tidak tahan dia menjerit dan roboh pingsan dalam keadaan masih berdiri di antara himpitan orang-orang!

Melihat ini, tentu saja semua orang berusaha menjauhkan diri dan Bun Beng cepat mendesak ke depan, menarik dan memanggul tubuh wanita yang pingsan dan bermuka biru itu keluar dari himpitan dan menuju ke pinggir sekali di mana orang tidak begitu berdesakan. Orang-orang itu berdesakan karena mereka hendak berdulu-duluan pergi dari tempat itu mencari tempat yang lebih aman, tidak tahu bahwa di seluruh kota keadaannya sama saja, semua orang dalam keadaan panik dan geger.

Bun Beng menurunkan tubuh wanita itu, memeriksa sebentar lalu memijat beberapa jalan darah sehingga wanita itu mengeluh dan siuman kembali. Akan tetapi dia tidak dapat berdiri karena kakinya salah urat dan membengkak, terinjak banyak orang dalam himpitan tadi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar