FB

FB


Ads

Minggu, 22 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 071

Kian Lee setuju dan segera meninggalkan dua surat kuasa dari Jenderal Kao dan dari Puteri Milana itu kepada Panglima Thio. Kemudian berangkatlah empat orang ini menuju ke Teng-bun, yang masih cukup jauh dari tempat itu, makan waktu perjalanan sampai dua hari.

Tentu saja kalau mereka mempergunakan ilmu berlari cepat atau naik kuda, jarak itu dapat ditempuh tidak sampai satu hari. Akan tetapi mereka tidak berani mempergunakan ilmu karena hal ini tentu akan menarik perhatian orang, sedangkan kalau naik kuda, mana ada pengungsi bermewah-mewahan naik kuda?

Perjalanan dilakukan biasa saja, seperti orang-orang lain yang banyak terdapat di jalan-jalan sekarang, karena perjalanan antara tempat yang dikuasai pemberontak dan tempat yang masih dikuasai pasukan pemerintah itu merupakan daerah pengungsian di mana para pengungsi setiap harinya hilir mudik seperti anak-anak ayam ketakutan dan mencari tempat perlindungan dari marabahaya.

Di sepanjang perjalanan di bawah terik panas matahari dan banyak melalui lapangan tandus yang kering, amat melelahkan dan menyiksa badan ini, yang paling bergembira adalah Suma Kian Bu! Pemuda ini secara langsung saja sudah jatuh hati dan tergila-gila kepada Syanti Dewi! Dan sekali ini bukan kepalang tanggung! Tidak seperti biasanya, terhadap setiap orang gadis muda memang dia senang untuk dekat, senang untuk memandang dan mengagumi kecantikan orang, senang untuk bicara dengan gadis manis, berkenalan dan bersendau gurau.

Akan tetapi terhadap Syanti Dewi ini Kian Bu merasakan sesuatu yang lain terjadi dalam hatinya! Tak pernah bosan-bosannya dia memandang wajah itu, mengikuti garis, bibir, hidung dan mata itu dengan pandang matanya, seolah-olah dia hendak melukis semua itu dengan pandang matanya, ingin menyentuh dan membelai segala keindahan itu dengan sinar matanya!

Ketika mereka melewati padang rumput yang bergerak-gerak seperti ombak samudera karena banyaknya dan besarnya angin, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu melepaskan jubah luarnya yang lebar dan menyerahkannya kepada Syanti Dewi sambil berkata, atas nasihat Bun Beng kini menyebut “adik” kepada Syanti Dewi karena mereka menyamar sebagai paman, dua orang kakak dan adik.

“Adik Syanti, kau pakailah ini. Angin terlalu besar, agar engkau jangan masuk angin.”

Wajah gadis itu menjadi agak merah karena dia merasa sungkan dan malu terhadap Bun Beng dengan kebaikan yang diperlihatkan pemuda ini. Akan tetapi Bun Beng yang melihat ini semua, melihat sikap Kian Bu semenjak mula-mula bertemu menaruh harapan besar dan sambil tersenyum dia berkata,

“Dewi, terimalah. Kakakmu yang seorang ini memang baik sekali hatinya.”

Terpaksa Syanti Dewi menerima jubah itu, memakainya dan kembali mengucapkan “terima kasih”. Ucapan terima kasih yang telah diterimanya beberapa kali dari gadis ini semenjak bertemu, tidak menyenangkan hati Kian Bu. Ucapan seperti itu mendatangkan kerenggangan dan kekakuan dalam hubungan yang baik, karena membayangkan kesungkanan hati.

“Tidak usah berterima kasih. Bukankah kita adalah orang-orang sendiri? Apalagi dalam perjalanan ini engkau adalah adikku, kalau seorang kakak tidak mempedulikan adiknya, tentu malah mendatangkan kecurigaan!”

“Betul sekali! Betapa cerdas dan telitinya engkau, Bu-te. Tidakkah begitu, Adik Syanti? Adikku Kian Bu ini memang benar hebat, bukan?”

Nada suara Kian Lee menggoda yang ditujukan kepada Kian Bu, akan tetapi sekali ini Kian Bu malah melempar pandang penuh terima kasih kepada kakaknya itu. Malam itu mereka terpaksa melewatkan malam di dalam sebuah hutan bersama belasan orang pengungsi yang juga melakukan perjalanan. Kian Bu cepat-cepat membuat api unggun dan mempersilakan “adiknya” duduk menghadapi api unggun.

Ketika Bun Beng dan Kian Lee menangkap dua ekor kelinci dan seekor ayam hutan dan Bun Beng menyerahkannya kepada Syanti untuk dipanggang, Kian Bu cepat mendahului gadis itu, menguliti bangkai-bangkai binatang itu dan baru menyerahkannya kepada Syanti Dewi setelah dia tusuk dengan bambu dan tinggal memegang untuk memanggangnya saja! Seolah-olah dia hendak menghindarkan gadis itu dari pekerjaan kasar atau berat.

Bun Beng makin girang melihat perkembangan ini, sedangkan Kian Lee hanya tersenyum-senyum saja. Apalagi ketika dilihatnya Kian Bu dengan susah payah mencarikan air untuk gadis itu hanya karena melihat Syanti Dewi kotor tangannya sehabis makan dan mengusap-usapkan jari tangannya pada rumput, Kian Lee tertawa sambil membalikkan tubuh agar tidak terlihat oleh Syanti Dewi dan Kian Bu.

Malam itu, Syanti Dewi tidur bersandarkan pohon berselimut jubah panjang pemberian Kian Bu. Bun Beng tidur terlentang. Kian Lee juga bersandar pohon tak jauh dari situ. Kian Bu yang berkeras untuk berjaga lebih dulu duduk sambil menjaga api agar jangan sampai padam karena malam itu hawanya dingin sekali dan banyak nyamuknya. Hatinya girang sekali.

Dia telah menemukan seorang wanita yang memenuhi segala idaman hatinya! Akan tetapi dia termangu dan perasaannya tertekan ketika dia teringat akan cerita Jenderal Kao tentang gadis ini. Gadis ini adalah tunangan Pangeran Liong Khi Ong! Tunangan seorang diantara dua pangeran pemberontak! Pangeran yang kabarnya sudah berusia lima puluh tahun lebih itu, tua dan pemberontak pula. Mana mungkin dara seperti ini harus terjatuh ke dalam pelukan pemberontak tua bangka itu?

“Tidak boleh....!”

Tiba-tiba dia memukul ke arah api dengan sebatang ranting sehingga abu mengepul ke atas dan api itu bergoyang-goyang.

“Apanya yang tidak boleh?” Syanti Dewi yang masih belum tidur dan duduknya tidak jauh dari api, terkejut dan bertanya.

Kian Bu menoleh, mukanya merah dan sejenak kehilangan kelincahannya karena dia sendiri terkejut bahwa suara hatinya sampai terlontarkan melalui mulut.

“Apanya yang tidak boleh, Bu-koko?” Syanti Dewi bertanya lagi.






“Ah, tidak apa-apa.... aku.... aku hanya melamun, maafkan kalau mengagetkan engkau, Moi-moi.”

Syanti Dewi tersenyum sendiri, memejamkan matanya. Pemuda ini seperti kanak-kanak. Memang masih kanak-kanak, pikirnya. Agaknya usia pun tidak mungkin lebih tua daripada dia. Akan tetapi harus diakuinya bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda yang tampan, dan berilmu tinggi, juga amat baik hati terhadapnya. Sifatnya agak nakal, suka menggoda dan riang gembira, lincah dan jenaka. Betapa jauh bedanya dengan Kian Lee, yang pendiam dan serius, halus dan penuh hormat.

Akan tetapi keduanya memiliki segi-segi yang mengagumkan dan menyenangkan dalam sifat masing-masing. Hanya bedanya, kalau Kian Lee menghadapinya dengan sikap menghormat dan sopan, adalah Kian Bu jelas sekali memperlihatkan perhatian penuh dan rasa suka yang tidak disembunyi-sembunyikan! Pandang mata Kian Bu terhadapnya demikian penuh kekaguman, penuh rasa sayang. Kadang-kadang jantungnya terasa berdebar tegang dan dia merasakan sesuatu yang aneh.

Heran dia mengapa Gak Bun Beng agaknya girang menyaksikan sikap Kian Bu sedemikian itu terhadap dirinya, bahkan dia merasa betapa pendekar yang dicintanya itu seperti mendorong-dorong dan memberi semangat kepada pemuda yang menjadi sutenya itu!

Pada keesokan harinya, mereka kembali melakukan perjalanan. Kini perjalanan melalui pegunungan kapur yang gundul dan panasnya bukan main matahari siang hari itu! Kedua pipi Syanti Dewi sampai kemerah-merahan, basah dahi dan lehernya oleh keringat, hati Kian Bu merasa tidak tega sekali.

Dari pagi tadi dia sudah berusaha dengan susah payah membuat topi caping dari bambu dan rumput alang-alang, dan kini biarpun bentuk topi buatannya itu kasar, namun lumayan juga untuk melindungi wajah cantik dengan kulitnya yang putih halus itu dari sengatan sinar matahari yang panas.

“Kau pakailah ini, lumayan untuk menahan sinar matahari,” katanya sambil memberikan caping yang sudah diberi tali anyaman rumput alang-alang itu kepada Syanti Dewi.

“Terima kasih, kau baik sekali,” kata Syanti Dewi yang menerima topi itu dan memakainya di atas kepala.

Kian Bu memandang penuh kagum, kekaguman yang tidak disembunyikannya melihat betapa gadis ini makin cantik dan manis saja memakai topi buatannya! Padahal topi caping itu amat kasar dan bersahaja!

Rasa suka dan benci memang mengakibatkan perangai yang lucu dan aneh kepada manusia. Barang siapa merasa suka akan sesuatu, baik sesuatu itu benda mati atau hidup, baik benda tampak maupun tidak, maka perasaan suka itu akan membuat sesuatu itu selalu kelihatan baik dan menarik, menyenangkan!

Sebaliknya, perasaan benci membuat sesuatu yang dibencinya itu kelihatan selalu buruk dan tidak menyenangkan. Terutama sekali rasa suka dan benci terhadap seorang manusia lain. Rasa suka membuat orang yang disuka itu dalam keadaan cemberut, kusut dan kotor atau bagaimanapun juga akan kelihatan makin menarik dan menyenangkan saja. Sebaliknya, rasa benci membuat orang yang dibencinya itu dalam keadaan tersenyum atau sudah bersolek bagaimana pun akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan! Ada kelakar yang mengatakan bahwa bau kentut seorang yang sedang disuka adalah harum. Sebaliknya, kalau seorang yang dibenci sedang tertawa wajar karena gembira, dianggap mentertawakan dan mengejek!

Rasa suka dan benci ini timbul dari pikiran yang berkeliling sekitar si pusat ialah si aku yang menciptakan prasangka dan lain-lain perasaan yang timbul dari keinginan si aku mengulang yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan. Si aku yang selalu haus akan kesenangan, baik kesenangan lahir maupun batin, dan yang selalu ingin menjauhkan ketidak nikmatan yang tidak menyenangkan, selalu ingin mengerahkan segala sesuatu di dunia ini demi kesenangan dirinya dan demi menjauhkan segala yang tidak menyenangkan bagi dirinya.

Karena itu timbullah suka dan benci. Suka akan sesuatu yang menyenangkan dirinya dan benci akan segala yang tidak menyenangkan dirinya. Jika batin kita sudah dipengaruhi oleh rasa suka dan tidak suka, senang akan sesuatu dan benci akan sesuatu, maka tidak ada lagi kewajaran, tidak ada lagi kebijaksanaan dan selalu bermunculan pertentangan-pertentangan lahir batin.

Betapapun jahat dan busuknya seseorang bagi seluruh orang lain, kalau dia baik kepada kita, tentu akan kita suka. Sebaliknya, biar orang sedunia menyatakan bahwa seseorang itu baik dan budiman, kalau orang itu tidak baik kepada kita, merugikan kita lahir maupun batin, tentu akan kita benci!

Jelaslah bahwa segala penilaian kita akan diri seseorang atau akan sesuatu, suka dan benci kita bukan karena keadaan si orang atau sesuatu itu seperti apa adanya sesungguhnya, melainkan didasari atas untung rugi atau menyenangkan tidak menyenangkan bagi si aku, baik lahir maupun batin.

Sifat yang sudah mendarah daging pada diri kita semua inilah, yang dikuasai oleh si aku yang sesungguhnya adalah sang pikiran dengan segala ingatannya tentang segala pengalaman dan pengetahuan masa lalu, sifat inilah yang membuat hidup penuh dengan pertentangan seperti sekarang ini!

Pertentangan batin maupun pertentangan lahir, karena sesungguhnya, konflik di luar diri kita konflik antara kita dengan orang atau benda dengan siapa kita berhubungan, hanyalah pencetusan dari konflik yang terjadi di dalam diri kita sendiri. Batin yang penuh konflik tentu menimbulkan tindakan yang penuh konflik, dan konflik perorangan ini makin meluas menjadi konflik antara kelompok, antara suku, antara bangsa dan antara negara, maka terjadilah perang di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini!

Bun Beng dan rombongannya memasuki sebuah dusun. Melihat betapa Syanti Dewi sudah amat lelah karena kepanasan, Kian Bu mengusulkan kepada suhengnya untuk berhenti mengaso dan membeli minuman di sebuah warung di tengah dusun. Bun Beng menyetujuinya dan mereka masuk ke sebuah warung, satu-satunya warung di dusun itu.

Akan tetapi warung itu penuh sesak dengan para tamu. Beberapa orang pelayan hilir-mudik dengan sibuknya melayani para tamu yang amat banyak. Padahal ruangan warung itu cukup luas dan bangku-bangkunya cukup banyak, akan tetapi semua telah diduduki orang.

Agaknya hari yang amat panas itu telah memaksa semua orang untuk meninggalkan jalan dan berteduh sambil makan minum di warung itu, dan tentu saja, mereka ramai membicarakan tentang kekacauan dan ancaman perang yang sedang terjadi di daerah mereka itu. Mereka adalah sebagian besar para pengungsi yang kebingungan.

Kian Lee berbisik kepada suhengnya sambil menunjuk ke sudut yang menghadap ke luar. Di situ duduk seorang pemuda sendirian saja menghadapi meja, sedangkan tiga bangku yang lain di sekeliling meja itu kosong. Pemuda itu seorang diri, kelihatan tenang dan pendiam, membawa pedang. Agaknya sikapnya dan pedangnya itu yang membuat para tamu segan untuk minta duduk semeja dengan pemuda itu, namun pemuda yang amat tampan itu agaknya juga tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya yang demikian bising, bahkan dia kelihatan termenung dan tengelam dalam pikirannya sendiri.

Bun Beng mengargguk. Dalam keadaan seperti itu, tidak mengapalah menumpang di meja orang pikirnya. Terutama sekali Syanti Dewi memang perlu untuk beristirahat, sekedar makan dan minum sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat yang penuh bahaya itu. Dia melangkah lebar menghampiri meja pemuda tampan berpedang itu, diikuti oleh Syanti Dewi, Kian Lee dan Kian Bu.

“Maafkan kami, Sobat.” Bun Beng membungkuk dan berkata dengan halus dan hormat. “Karena kami melihat tiga buah bangku ini masih kosong dan kami sendiri belum memperoleh tempat duduk, bolehkah kami ikut duduk di sini?”

Pemuda itu terkejut, mengangkat mukanya memandang kepada empat orang itu penuh perhatian, kemudian wajahnya melembut ketika dia memandang Syanti Dewi, dan dia bangkit berdiri membalas penghormatan Bun Beng sambil berkata,

“Silakan, memang saya sendirian dan bangku-bangku itu kosong.”

Dia lalu duduk kembali dan selanjutnya seolah-olah tidak tahu bahwa di depannya kini terdapat tiga orang yang duduk dan seorang yang terpaksa berdiri karena kehabisan tempat. Yang berdiri itu adalah Kian Bu. Dia mengalah dan berdiri saja dan dialah yang memesankan makanan mi-bakso dan minuman teh dingin kepada pelayan.

Sejenak tadi pandang mata Kian Lee bertemu dengan pandang mata pemuda tampan berpedang itu dan keduanya mengerutkan alis karena merasa seperti pernah saling berjumpa, akan tetapi keduanya lupa lagi kapan dan di mana.

Bun Beng yang bermata tajam dan sudah berpengalaman itu diam-diam juga memperhatikan pemuda di depannya. Pedang yang dibawanya itu, biarpun sarungnya biasa saja dan baru, akan tetapi gagangnya menunjukkan bahwa pedang itu sudah amat tua dan ada sesuatu yang menyeramkan pada gagang pedang itu seperti halnya pedang-pedang pusaka yang ampuh.

Dan sukar pula mengukur keadaan pemuda yang pendiam dan tenang itu, akan tetapi Bun Beng diam-diam waspada karena dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia membandingkan pemuda ini dengan kedua orang sutenya. Mereka bertiga sebaya, sama tampan dan gagahnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mengira sama sekali bahwa pemuda itu dapat memiliki kepandaian setinggi kepandaian Kian Lee atau Kian Bu. Kiranya di dunia ini sukar dicari orang ke tiga yang mampu mengimbangi ilmu kepandaian dua orang sutenya itu!

Tentu saja Bun Beng sekali ini salah menduga sama sekali. Kalau saja dia tahu siapa pemuda tampan berpedang itu! Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Pemuda yang menganggapnya sebagai seorang musuh besar yang telah mati, pemuda yang sengaja menggunakan namanya di samping Si Jari Maut, pemuda yang dicari-carinya karena dianggap telah menodakan namanya. Dan pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan dahsyat, pewaris dari kitab-kitab peninggalan dua orang datuk besar Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin.

Memang Tek Hoat pernah berjumpa dengan dua orang kakak beradik itu, bahkan sudah dua kali bertemu ketika kudanya akan menubruk Kian Bu, kemudian berjumpa lagi ketika Tek Hoat dan kawan-kawannya menyerbu rombongan Jenderal Kao dan dua orang kakak beradik itu membela Jenderal Kao. Akan tetapi pertemuan itu hanya sepintas lalu saja, maka kedua pihak tidak saling mengenal lagi.

Tek Hoat sendiri begitu melihat Syanti Dewi, tentu saja segera mengenalnya dan jantungnya sudah berdebar dengan amat kerasnya. Biarpun puteri itu kini telah mengenakan pakaian biasa, tidak mungkin dia dapat melupakan Sang Puteri ini. Andaikata Syanti Dewi menyamar sebagai pria atau bagaimana pun, dia akan mengenal wanita yang telah membuatnya tergila-gila ini.

Akan tetapi, Tek Hoat juga bukan seorang bodoh yang sembrono. Dia sudah mendengar bahwa Sang Putri itu diselamatkan oleh seorang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian luar biasa, seorang yang tidak terkenal.

Maka dia dapat menduga dengan pasti bahwa laki-laki setengah tua yang duduk di depannya ini tentulah penolong itu, dan dia pun dapat mengenal orang pandai, sungguhpun orang itu tidak memperlihatkan sesuatu. Selain laki-laki setengah tua itu, dia pun menaruh curiga terhadap dua orang pemuda tampan ini, karena gerak-gerik dua orang pemuda tampan ini jelas memperlihatkan orang-orang yang berilmu.

Maka dia tidak berani sembrono, apalagi dia pun kini telah berubah pendiriannya mengenai diri Puteri Syanti Dewi. Dia jatuh cinta kepada puteri ini, dan sampai bagaimana pun dia tidak akan suka menyerahkan Sang Puteri ini kepada Pangeran Liong Khi Ong!

Maka terjadilah pertemuan itu yang amat aneh sekali! Tek Hoat mengenal Puteri Syanti Dewi dengan baik tapi sebaliknya puteri itu sama sekali tidak mengenalnya sebagai tukang perahu yang pernah menolong dia dan Ceng Ceng!

Bun Beng mencari orang yang memalsu namanya, yaitu Si Jari Maut, tidak tahu bahwa orang yang dicarinya itu kini duduk di depan. Tek Hoat tidak tahu pula bahwa laki-laki yang duduk di depannya ini adalah Gak Bun Beng musuh besar ibunya yang disangkanya sudah mati, orang yang menurut ibunya adalah pembunuh ayahnya, padahal ibunya telah berbohong kepadanya karena ibunya menganggap bahwa Gak Bun Beng yang disangka sudah mati itu adalah pemerkosa ibunya dan karenanya ayah dari dia sendiri!

Dan juga ada hubungan yang amat dekat antara Suma Kian Lee dan Tek Hoat. Seperti kita ketahui, sesungguhnya yang dahulu memperkosa Ang Siok Bi yaitu ibu Tek Hoat adalah mendiang Wan Keng In, (dan Wan Keng Ini adalah putera dari Lulu, ibu Suma Kian Lee!) Betapa dekat hubungan antara orang-orang yang kini duduk semeja itu, namun tidak diketahui oleh mereka sendiri, kecuali bahwa Tek Hoat mengenal Syanti Dewi dengan diam-diam.

Mi-bakso yang dipesan sudah datang diantarkan oleh pelayan, dan Bun Beng, Syanti Dewi dan Kian Lee sudah mulai makan setelah menawarkan kepada pemuda tampan berpedang yang mengangguk sopan dan ramah.

Kian Bu terpaksa makan sambil berdiri. Tentu saja diam-diam dia merasa mendongkol juga. Lain orang dapat beristirahat dan makan dengan enak, akan tetapi dia harus makan sambil berdiri, kadang-kadang harus mengelak ke sana-sini karena tempat itu penuh dengan orang yang hilir mudik! Untuk menghindarkan diri dari bersentuhan dengan orang-orang yang hilir mudik, Kian Bu membawa mangkok mi-baksonya itu ke sana-sini mencari tempat yang longgar sehingga akhirnya dia berada di pintu luar karena memang meja mereka itu berada di sudut luar ruangan.

Dari luar tampak serombongan orang datang menghampiri warung. Melihat bahwa tamunya terus bertambah, Kian Bu makin mendongkol. Kalau ditambah orang lagi warung itu, mana bisa dia makan dengan sedap? Dia memandang ke kanan kiri dan tampak olehnya sebatang tonggak besar bekas tempat penambatan kuda yang sudah roboh dan menggeletak tidak terpakai. Dia memperoleh suatu akal yang baik. Dihampirinya balok yang besarnya sepaha orang itu, kemudian dengan mangkok masih di tangan kiri dia menggunakan tangan kanannya membabat sambil mengerahkan tenaga.

“Krakkk!”

Tonggak atau balok besar itu patah dan dia lalu membawa potongan balok yang panjangnya satu meter itu ke dalam warung. Semua orang memandang dengan mata terbelalak, kagum dan kaget melihat betapa pemuda itu, dengan mi-bakso masih penuh di mangkok yang dipegang tangan kiri, dapat mematahkan balok itu sedemikian mudahnya dengan tangan yang dimiringkan. Akan tetapi Kian Bu seperti tidak mempedulikan atau tidak melihat mata orang-orang yang memandang kagum itu, sambil tersenyum dia berkata kepada suhengnya, dan Syanti Dewi,

“Aku sudah memperoleh tempat duduk!”

Setelah berkata demikian, dia menancapkan potongan balok itu ke atas lantai, tentu saja dia memilih tempat di dekat bangku yang diduduki Syanti Dewi. Kemudian sekali tangannya menepuk ujung balok, kayu itu amblas ke lantai hampir separuhnya dan duduklah dia di atas “bangku” darurat yang aneh namun cukup dapat dipakai itu sambil tersenyum dan mulai menggerakkan sumpitnya memindahkan mi-bakso dari dalam mangkok ke dalam mulutnya!

Banyak tamu bersorak memuji menyaksikan ini, akan tetapi Kian Bu tidak peduli, seolah-olah mereka itu bersorak untuk hal lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya!

Dusun itu merupakan dusun yang berbahaya dan gawat karena sudah dekat dengan Teng-bun. Orang-orang yang berada di dusun itu adalah orang-orang penuh rahasia, mungkin saja seseorang di situ bisa mata-mata pemberontak, bisa pula penyelidik pemerintah. Maka kini orang-orang yang berada di situ, diam-diam menduga-duga, golongan siapakah pemuda yang lihai itu dan teman-temannya.

Sementara itu, Bun Beng yang memperhatikan pemuda tampan di depannya, melihat betapa pemuda itu juga memandang kepada Kian Bu dengan alis berkerut dan ada getaran sedikit pada tangan kiri pemuda itu yang berada di atas meja. Bun Beng melihat betapa tangan yang sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga itu membuat bekas di atas meja kayu, bekas menghitam! Maka terkejutlah dia karena dia tahu bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat dan waktu perasaannya terguncang oleh perbuatan Kian Bu tadi, tanpa disengaja sedikit tenaga sin-kang pemuda itu tersalur di tangan kirinya dan akibatnya demikian hebat!

Pada saat itu terdengar suara gaduh di pintu depan. Kiranya rombongan baru yang tadi dilihat Kian Bu menghampiri warung, kini sudah masuk ke dalam warung. Mereka terdiri dari empat orang, dipimpin oleh seorang laki-laki yang perawakannya gendut pendek sehingga seperti karung beras. Empat orang itu masing-masing membawa potongan balok seperti yang dibawa oleh Kian Bu tadi, dan mereka tadi setelah menyaksikan perbuatan Kian Bu, lalu menirunya.

Akan tetapi mereka memotong balok dengan menggunakan golok dan kini masing-masing memegang sepotong balok memasuki warung mencari-cari ruangan yang masih agak longgar, kemudian mereka sibuk memasang balok-balok itu ke atas lantai.

Akan tetapi kalau tadi Kian Bu memasang balok untuk dijadikan tempat duduk dengan sekali tepuk membuat balok itu amblas ke dalam lantai, kini empat orang itu berkutetan dengan susah payah untuk “menanam” balok itu ke lantai yang keras. Apalagi Si Gendut yang kelihatannya kuat itu sampai mandi peluh dan dia memegang balok dengan kedua tangan, memeluk balok itu dan mendorongnya ke lantai sekuat tenaga, sehingga perutnya yang gendut dengan daging-daging menonjol berlebihan itu terguncang-guncang dan kelihatan lucu sekali.

Setelah menghabiskan tenaga, kadang-kadang mendorong balok dan kadang-kadang menggunakan kaki untuk menginjak-injaknya ke bawah, akhirnya empat orang itu berhasil juga “memasang” balok-balok itu sehingga menjadi semacam tempat duduk yang doyong ke sana-sini, tidak lurus karena cara memasangnya tadi dengan tenaga paksaan, tidak sekaligus jadi.

Melihat kejadian ini, banyak diantara para tamu tertawa geli, bahkan Syanti Dewi juga tersenyum geli menyaksikan hal ini. Tek Hoat mengerling tajam ke arah Syanti Dewi dan jelas bahwa dia terpesona melihat gadis ini tersenyum. Semua ini tidak terluput dari pengawasan Bun Beng, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan pemuda itu. Siapakah yang tidak akan terpesona melihat wajah Syanti Dewi? Apalagi kalau dia sedang tersenyum simpul!

Akan tetapi jelas kelihatan bahwa pemuda tampan berpedang itu nampak seperti orang gelisah atau tidak senang setelah empat orang yang dipimpin Si Gendut itu muncul. Bun Beng juga melihat betapa empat orang itu berkali-kali melirik ke arah pemuda itu, agaknya mempunyai niat tertentu.

“Maaf, saya harus pergi lebih dulu. Silakan Cu-wi (Anda Sekalian) melanjutkan makan minum,” tiba-tiba pemuda itu bangkit, membungkuk sebagai tanda hormat, mengerling tak kentara ke arah Syanti Dewi, kemudian meninggalkan meja itu melangkah keluar.

Akan tetapi, tiba-tiba Si Gendut pemimpin dari empat orang tadi meloncat bangun. Gerakannya amat cepat bagi seorang gendut seperti dia dan dia sudah menghadang pemuda itu, membuat gerakan-gerakan dengan tangannya dan berbisik-bisik. Syanti Dewi menoleh dan semua orang juga memandang ke arah mereka berdua itu. Kini teman-teman Si Gendut juga sudah berdiri di belakang Si Gendut dan siap dengan golok mereka.

“Pergilah kalian!” Akhirnya terdengar pemuda itu membentak.

“Tidak!” Si Gendut membantah, kini tidak berbisik-bisik lagi. “Kami mentaati perintah beng-cu (ketua)....”

“Pulanglah dulu, aku sedang sibuk!”

“Maaf, kami terpaksa....”

“Setan!” Tek Hoat melangkah ke luar, lalu menanti di luar.

Empat orang itu bergegas keluar sambil mencabut golok mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Tek Hoat. Pemuda ini tidak mau menghunus pedangnya, hanya mempergunakan sarung pedang menangkis dan tangan kirinya menyambar.

Dalam beberapa gebrakan saja empat orang itu roboh terpelanting dan Si Gendut berteriak kesakitan karena perutnya yang gendut ditonjok oleh Tek Hoat yang menggunakan gagang pedangnya. Terasa mulas dan agaknya usus buntunya kena disodok!

Akan tetapi dari jauh datang serombongan orang lain yang agaknya merupakan kawan-kawan Si Gendut. Melihat ini, Tek Hoat yang tidak ingin ribut-ribut dengan mereka, sudah melompat pergi dan melarikan diri.

Si Gendut itu pun tidak banyak ribut lagi, segera mengajak teman-temannya yang tiga orang dan rombongan yang baru datang, untuk pergi dengan berpencar. Mereka tidak membayar kepada tukang warung karena memang belum sempat makan atau minum apa-apa.

Melihat ini, Bun Beng memberi tanda. Kian Lee membayar harga makanan dan mereka berempat juga pergi dari situ. Mereka keluar dari dusun dan melanjutkan perjalanan ke barat, menuju ke Teng-bun yang tidak jauh lagi, hanya kurang lebih tiga puluh li dari situ.

“Kiranya dia lihai juga!” Kian Bu berkata.

“Dia malah lebih lihai daripada yang tampak, jauh lebih lihai kalau saja diberi kesempatan. Sungguh seorarg pemuda yang aneh, entah siapa dia dan apa yang dilakukannya di tempat ini,” kata Bun Beng.

“Aku seperti pernah melihatnya, entah di mana....” Kian Lee berkata.

“Engkau benar, Lee-ko! Aku pun merasa pernah bertemu dengan dia, akan tetapi lupa lagi kapan....” Kian Bu juga berkata.

“Sudahlah, kita tidak perlu berurusan dengan dia, kita mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, dia agaknya juga hendak menghindarkan diri dari kita,” kata Bun Beng.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar