FB

FB


Ads

Jumat, 20 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 070

“Menyerahlah kalian untuk kami tangkap!” Panglima Louw Kit Siang membentak.

“Kami hanya mau menyerah kepada Panglima sendiri!” Kian Bu menjawab.

“Aku sudah berada di sini!”

Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah seorang panglima bertubuh kurus tinggi dan berjenggot pendek, wajahnya gagah dan keras, diikuti oleh seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara yang cantik jelita.

Semua perwira segera mundur ketika melihat komandan mereka keluar. Tentu saja di depan komandan mereka, para perwira ini tidak berani berbuat sembrono dan hanya menanti perintah.

“Orang muda, siapakah kalian? Dan perlu apa kalian hendak bertemu dengan aku?”

Panglima Thio Luk Cong bertanya dan suaranya menggeledek penuh wibawa. Akan tetapi Kian Lee dan Kian Bu tidak menjawab, hanya memandang kepada dara itu dengan mata terbelalak, terpesona. Kian Lee memandang dengan penuh kekecewaan karena biarpun ada persamaan antara dara ini dengan Ceng Ceng, namun wajahnya berbeda sekali. Jelas bahwa dara itu bukanlah Ceng Ceng yang dicari dan diharapkannya akan dapat dia jumpai di dalam benteng perkemahan ini.

Sedangkan Kian Bu juga memandang dengan terbelalak karena pemuda ini benar-benar terpesona oleh kecantikan dara itu. Pandang matanya seperti melekat pada wajah itu, sukar untuk dialihkan dan jantungnya berdebar keras, hatinya jungkir balik karena selama hidupnya di antara sekian banyaknya dara cantik jelita yang dijumpainya, belum pernah dia melihat seorang dara secantik ini! Seperti bidadari dari kahyangan yang baru saja turun dari langit!

Biarpun berbeda dasarnya, namun kakak beradik ini tidak mendengar pertanyaan menggeledek dari panglima itu dan tanpa menoleh mereka terus memandang dara itu yang agaknya merasa betapa dua orang pemuda tampan itu memandang kepadanya maka dia lalu menundukkan mukanya dengan alis berkerut dan kedua pipi kemerahan.

“Hei, Thio-ciangkun telah bertanya kepada kalian!” Louw Kit Siang membentak marah.

“Oh, maaf....” Kian Lee berkata sambil menyentuh lengan adiknya yang masih terlongong memandang dara itu. “Maaf, Tai-ciangkun. Kami berdua kakak beradik adalah tukang-tukang pijit yang diundang ke sini, akan tetapi entah mengapa, setelah memijiti banyak perwira, kami hendak ditangkap.”

“Tai-ciangkun, mereka bukan tukang-tukang pijit sembarangan. Mereka memiliki kepandaian tinggi dan tentu mereka adalah mata-mata!”

“Ihh, orang yang ketakutan selalu mencurigai siapa saja!” Kian Bu berkata sambil melirak-lirik ke arah dara yang masih menundukkan mukanya itu.

“Begitukah?” Panglima Thio membentak. “Hemm, hendak kucoba sendiri. Orang muda, cobalah engkau memijiti lenganku!”

“Boleh kalau Tai-ciangkun menghendakinya,” Kian Bu berkata tenang. “Silakan duduk di sini.”

Dia menunjuk ke arah bangku di dekat meja dan sengaja dia duduk menghadapi ke arah dara itu agar selalu dapat memandangnya!

Akan tetapi sebelum panglima itu melangkah maju, orang setengah tua yang menjadi tamunya dan yang tadi berdiri dengan tenang di belakang dara jelita itu, melangkah maju dan berkata halus,

“Biarkanlah saya yang dipijitnya, Ciangkun, karena saya pun merasa agak lelah.”

Dia lalu duduk di atas bangku dekat meja, menyingsingkan lengan bajunya, menaruh tangan kiri di atas meja dan mengulurkan lengan kanannya kepada Kian Bu sambil berkata,

“Nah, kau pijitlah lenganku, orang muda yang baik.”

Melihat sikap orang setengah tua ini, diam-diam Kian Bu tidak berani berbuat sembarangan. Orang tua ini biarpun kelihatan amat sederhana dalam pakaian, sikap dan kata-katanya yang halus, namun ada sesuatu yang mengejutkan hatinya terpancar dari sinar matanya.

Dan dia pun sudah dapat menduga bahwa seorang yang diterima sebagai seorang tamu agung oleh komandan itu, tentulah bukan orang sembarangan pula. Maka dia tidak berani main-main dan ingin memijit biasa saja, memijati otot-otot lengan itu agar orang ini merasa nyaman dan hilang kelelahannya.

Akan tetapi betapa kaget hati Kian Bu ketika dia mulai meraba dan mengerahkan tenaga memijat lengan itu, tiba-tiba ada getaran keluar dari lengan itu, getaran yang disertai hawa sin-kang yang amat kuat! Panaslah hati Kian Bu. Hemm, kiranya orang ini memiliki juga kepandaian. Baiklah, kalau orang ini ingin mengadu sin-kang, dia tidak akan mundur!

Apalagi, agaknya orang ini mengawal dara itu, dan dia harus dapat memamerkan kepandaiannya agar mendatangkan kesan kepada orang ini dan terutama bagi dara itu yang berdiri dengan muka agak khawatir menonton adu tenaga yang tidak nampak oleh orang iain itu.

Akan tetapi begitu Kian Bu mengerahkan tenaga sin-kangnya yang melalui jari-jari tangannya menekan lengan orang itu, pada saat yang sama orang itu pun mengerahkan sin-kang dan bertemulah dua tenaga dahsyat yang tidak tampak oleh mata. Dua tenaga panas dari Hwi-yang Sin-kang, yaitu tenaga inti api yang amat panas. Tenaga yang sama kuatnya dan sama pula panasnya! Kian Bu terkejut dan orang itu pun kaget sekali!

Akan tetapi dasar Kian Bu seorang pemuda yang tidak mau kalah oleh orang lain, dia lupa bahwa dia berhadapan dengan seorang yang amat pandai, maka dia yang ingin mendemonstrasikan kepandaiannya, biarpun tidak langsung dan melalui orang ini, kepada dara cantik jelita itu, cepat mengerahkan seluruh sin-kangnya dan merubah hawa sin-kangnya. Kini dia mengeluarkan ilmu sin-kang yang khas dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sin-kang (Tenaga Inti Salju)!






Kian Lee terkejut sekali. Melihat muka dan sikap adiknya, dia sudah dapat mengerti bahwa adiknya itu mengeluarkan ilmu simpanan mereka ini, maka dia makin terheran dan memandang orang laki-laki setengah tua yang nampaknya juga terkejut ketika merasakan perubahan pada jari-jari tangan pemuda yang memijiti lengannya. Hawa sin-kang yang amat dingin menggetar dengan dahsyatnya melalui jari-jari tangan itu.

“Uhhh....!”

Terdengar suara ini dari laki-laki setengah tua itu dan tiba-tiba wajah Kian Bu berubah saking kagetnya. Kiranya lawannya itu kini juga mengerahkan tenaga yang sama dinginnya! Tenaga mujijat dan dahsyat yang mampu menandingi Swat-im Sin-kang! Dan kedua tenaga itu kini saling dorong dan saling menindih, dan perlahan-lahan Kian Bu terdesak, mukanya makin pucat dan matanya mulai mengantuk!

“Bu-te, agaknya Locianpwe ini terlalu kuat untukmu. Biar aku membantumu memijatnya!”

Kian Lee yang mengikuti “pertandingan” itu, dapat melihat keadaan adiknya, maka timbul kekhawatirannya dan dia sudah mengulurkan tangannya untuk membantu.

“Cukuplah!”

Laki-laki setengah tua itu mengerahkan tenaganya dan.... kedua tangan Kian Bu seperti ditolakkan oleh tenaga mujijat dan terlepas dari lengan orang itu yang segera bangkit berdiri, berpaling kepada Panglima Thio Luk Cong sambil berkata,

“Ciangkun, mari kita kembali ke kamar bersama kedua orang muda ini. Saya ingin bicara dengan mereka.”

Thio Luk Cong sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak tahu jelas apa yang telah terjadi, hanya menduga-duganya saja bahwa tamunya itu tentu telah menguji kepandaian pemuda itu dan mendapatkan sesuatu yang amat penting. Maka dia mengangguk dan berkata kepada Kian Lee dan Kian Bu,

“Orang-orang muda, silakan ikut bersama kami.”

Kian Lee dan Kian Bu mengangguk dan kini Kian Bu yang merasa girang sekali, sungguhpun dia juga ikut merasa kecewa demi kakaknya yang melihat bahwa dara itu bukanlah gadis yang dicari-carinya. Mereka berlima, Panglima Thio, laki-laki setengah tua, dara cantik jelita itu, Kian Lee dan Kian Bu, semua memasuki ruangan, diikuti pandang mata para perwira yang terheran-heran melihat sikap panglima komandan mereka.

Setelah mereka memasuki ruangan dan pintunya ditutup, laki-laki setengah tua itu langsung menghadapi Kian Lee dan Kian Bu sambil bertanya, suaranya sungguh-sungguh dan pandang matanya tajam penuh selidik,

“Nah, orang-orang muda yang baik, sekarang katakan saja terus terang, siapakah kalian sesungguhnya?”

Kian Lee sudah dibisiki oleh adiknya ketika mereka berjalan masuk tadi betapa orang setengah tua itu mampu menghadapi Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, maka dia menjura sambil berkata penuh hormat,

“Kami kakak beradik adalah utusan-utusan dari Jenderal Kao dan Puteri Milana.”

“Aihhh....!” Laki-laki itu dan juga Panglima Thio berseru kaget.

“Ah, mengapa Ji-wi tidak berterus terang saja sehingga kami dapat menyambutnya dengan baik? Silakan duduk.... dan mari kita bercakap-cakap dengan baik.”

Panglima itu cepat berkata. Mereka lalu duduk mengelilingi meja, dan betapa girangnya hati Kian Bu ketika melihat bahwa duduknya tepat berhadapan dengan dara itu sehingga kini dia dapat melihat dengan jelas betapa cantik jelitanya dara itu. Bukan main! Dia sampai menelan ludahnya sendiri dan sukarlah baginya untuk memindahkan pandang matanya dari mata itu, hidung dan bibir itu. Demikian luar biasa kecantikan gadis ini!

Kian Bu lalu bangkit berdiri dan menjura kepada orang laki-laki setengah tua tadi sambil berkata,

“Harap Locianpwe maafkan saya yang lancang.”

Orang itu tersenyum dan tampaklah ketampanan wajahnya yang tersembunyi di balik kesederhanaan dan awan kedukaan yang menyelimuti wajahnya.

“Tidak perlu bersikap sungkan, kalau tidak mengadu ilmu tidak saling mengenal kata orang. Dan sekali mengadu ilmu, agaknya aku dapat menduga siapa sebenarnya kalian. Kalau ada orang-orang muda yang memiliki sin-kang seperti apa yang saya rasakan tadi, di dunia ini tentu hanya dimiliki oleh orang-orang muda yang mempunyai nama keturunan (she) Suma. Benarkah dugaanku ini?”

Suma Kian Bu memandang dengan mata terbelalak heran, akan tetapi Kian Lee segera bangkit dan menjura kepada laki-laki itu.

“Dan kami berdua telah bersikap kurang hormat kepada Gak-suheng!”

Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Mendengar ini, dia tertawa, bangkit berdiri dan merangkul dua orang muda itu.

“Kau anak nakal, siapa namamu, Sute?” tanyanya sambil memeluk pundak Kian Bu.

“Aih, kiranya Gak-suheng!”

Kian Bu juga berseru girang bukan main. Tentu saja sudah lama dia mendengar nama ini disebut-sebut ayah bunda mereka, dan biarpun orang ini bukan langsung murid ayah mereka, namun karena pernah menerima ilmu dari ayah mereka, mereka menyebutnya suheng.

“Namaku adalah Suma Kian Bu, Puteri Milana adalah kakak kandungku, dan ini adalah kakak Suma Kian Lee, putera dari ibu Lulu.”

“Ahh....!” Panglima Thio berseru kaget sekali mendengar Suma Kian Bu memperkenalkan diri sebagai adik kandung Puteri Milana. “Gak-taihiap.... apakah benar bahwa kedua orang muda ini adalah.... adalah.... dari Pulau Es....?”

Gak Bun Beng mengangguk.

“Maaf.... maaf.... betapa bahagia hatiku, dalam beberapa hari dikunjungi oleh orang-orang seperti Gak-taihiap dan Ji-wi Siauw-taihiap dari Pulau Es! Aih, kalau Pulau Es ikut turun tangan, aku yakin dalam waktu singkat saja semua pemberontak dapat dibasmi habis!”

Semua orang tersenyum mendengar ini, kecuali dara cantik jelita itu.
“Ji-wi Sute, tugas apakah yang kalian laksanakan sekarang ini sehingga kalian tiba di sini?”

“Kami ditugaskan untuk pergi ke kota benteng Khi-ciang, selain untuk melihat keadaan karena kabarnya kota itu dirampas oleh pemberontak, juga untuk melindungi dan menyelamatkan seorang puteri yang bernama Syanti Dewi dan berada di benteng itu. Akan tetapi setelah kami tiba di sana, Sang Puteri lenyap tanpa ada yang tahu kemana. Maka kami mencari-cari sampai ke sini, dengan maksud untuk mengunjungi Teng-bun mencari puteri itu....”

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Tanpa diperintah lagi, kedua orang kakak beradik itu melesat dengan cepat bersama Gak Bun Beng. Ternyata tukang pijit buta dan pelayan rumah penginapan tadi, di waktu keadaan ribut-ribut ketika kedua orang kakak beradik itu hendak dikeroyok, telah menyelinap dan memasuki kamar kerja panglima! Ketika ketahuan, mereka mengamuk, membunuh empat orang perwira dan berhasil kabur sambil membawa catatan-catatan tentang keadaan di perkemahan itu, kekuatan pasukan dan rencana penjagaan!

Gak Bun Beng dan dua orang sutenya cepat melakukan pengejaran, namun dua orang mata-mata pemberontak itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Panglima Thio cepat memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah rumah penginapan, akan tetapi pemilik rumah penginapan itu hanya menyatakan bahwa pelayan itu baru bekerja di situ selama satu bulan, dan pemijit buta itu pun baru beberapa hari berada di dusun itu sehingga tidak ada yang mengenalnya betul. Jelas bahwa kedua orang itu adalah mata-mata pemberontak!

Ketika memeriksa kamar kerjanya dan mendapatkan bahwa yang dicuri adalah catatan rahasia tentang kekuatan pasukan dan rencana penjagaan, Panglima Thio menjadi pucat wajahnya.

“Jelas, ini tentu perbuatan mata-mata pemberontak yang berilmu tinggi. Keadaan kami di sini merupakan benteng pertama, kalau mereka tahu akan keadaan kami tentu mereka dapat mengetahui kelemahan-kelemahan kami dan akan menghancurkan kami dengan mudah.”

“Mereka berdua tentu lari ke Teng-bun yang menjadi pusat pemberontak. Jangan khawatir, Ciangkun, biarlah kami pergi menyelundup ke Teng-bun. Kami akan menyelidiki apa yang akan terjadi setelah mereka mencuri barang-barang rahasia itu.”

Wajah panglima itu berseri.
“Kalau Sam-wi Taihiap sudi membantu, kami atas nama seluruh pasukan dan pemerintah menghaturkan terima kasih.”

“Ji-wi Sute, sekarang juga kita menyusul mereka, pergi menyelundup ke Teng-bun,” kata Gak Bun Beng kepada dua orang kakak beradik itu.

“Akan tetapi, Suheng. Kami harus mencari Puteri Syanti Dewi....” Kian Lee membantah.

“Tak perlu dicari lagi. Inilah dia!”

Dua orang kakak beradik itu terkejut bukan main. Dara cantik jelita itu, yang bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi, menjura sambil berkata manis.

“Terima kasih atas bantuan kalian.”

Kian Bu termenung dan menatap wajah itu dengan bengong. Setelah kakaknya menyentuh lengannya, barulah dia sadar, menarik napas panjang meniru perbuatan kakaknya menjura dengan hormat kepada puteri itu, lalu berkata,

“Tak kusangka.... kiranya.... kiranya.... Sang Puteri.... ah, sukurlah bahwa Anda selamat!”

Syanti Dewi membalas pandang mata pemuda yang dianggapnya nakal dan lucu itu sambil tersenyum dan berkata singkat dengan sikap manis,

“Terima kasih.”

Hadirnya Syanti Dewi bersama Gak Bun Beng di tempat itu bukanlah hal yang aneh. Sungguhpun Gak Bun Beng telah meninggalkan kota Khi-ciang, yaitu kota perbentengan yang dikuasai oleh Jenderal Kao, namun hati pendekar sakti ini tidak rela secara menyeluruh meninggalkan puteri itu begitu saja.

Dia percaya penuh akan perlindungan Jenderal Kao kepada Syanti Dewi, akan tetapi betapapun juga, jenderal itu adalah seorang militer yang penuh dengan tugas-tugas berat, padahal keadaan sekarang amat berbahaya dengan adanya pemberontakan-pemberontakan itu. Dia ingin pergi menyelidiki tentang Si Jari Maut yang telah menodakan namanya, akan tetapi hatinya tidak tega meninggalkan Syanti Dewi sehingga perginya tidaklah terlalu jauh dari Khi-ciang.

Setiap malam, apabila dia tidak dapat tidur pulas dan gelisah memikirkan keadaannya, berulang kali dia menghela napas panjang. Mengapa dia tidak dapat melupakan Puteri Bhutan itu sejenak pun? Mengapa wajah yang jelita itu terbayang terus di depan matanya dan mengapa pula dia selalu mendengar suara tangis dara itu, mendengar pula suara gadis itu yang mengatakan cinta kepadanya? Mengapa setiap kali teringat akan ini, hatinya menjadi seperti ditusuk oleh keharuan yang membuat dia ingin sekali terbang ke tempat gadis itu untuk sekedar memandang wajahnya dan mendengar suaranya? Mengapa?

Cintakah ini? Dia tidak dapat menyangkalnya, karena perasaan ini dahulu hanya pernah dirasakan terhadap Milana, bahkan perasaan itu sampai sekarang masih berakar di hatinya. Belum pernah dia merasakan sesuatu seperti ini terhadap Milana dan kedua kalinya terhadap Puteri Bhutan itulah.

Akan tetapi perasaan ini hendak selalu dibuangnya jauh-jauh, ditolak dan disangkalnya sendiri. Tidak boleh dia begitu lemah, membiarkan hatinya jatuh cinta kepada Syanti Dewi sungguhpun dia yakin bahwa gadis itu patut menjadi anaknya! Usianya sudah hampir empat puluh tahun dan Syanti Dewi belum ada dua puluh tahun! Mana mungkin?

Betapapun juga, dia harus melihat puteri itu berada di tempat aman. Berada di kota raja atau sebaiknya berada di Bhutan, di istana ayahnya sendiri. Kalau Syanti Dewi masih berada di benteng Khi-ciang, berarti sewaktu-waktu puteri itu akan terancam bahaya. Karena inilah maka ketika Panglima Kim Bouw Sin yang telah menjadi tawanan itu dibebaskan kaki tangannya dan benteng diambil alih oleh panglima pemberontak ini dan kaki tangannya, Gak Bun Beng yang tidak berada di tempat terlalu jauh itu segera mendengarnya dan cepat dia menyelinap masuk ke dalam kota benteng Khi-ciang dan kedatangannya tepat sekali karena Puteri Syanti Dewi yang ikut pula melarikan diri belum diketahui oleh pihak musuh!

Pertemuan mengharukan terjadi ketika puteri yang ikut berlari bersama sebagian penduduk Khi-ciang itu tiba-tiba berhadapan dengan Gak Bun Beng.

“Paman....!” Dia menjerit dan di lain saat dia telah menangis di dalam pelukan Bun Beng.

“Tenanglah, mari kita cepat pergi dari tempat ini.”

Bun Beng berbisik lalu mengajak puteri itu untuk cepat melarikan diri keluar dari kota benteng itu dan lari mengungsi ke selatan sampai akhirnya mereka tiba di dusun Ang-khok-teng, dan ketika Bun Beng mendengar bahwa Panglima Thio, komandan dari perkemahan di luar dusun itu adalah bawahan Jenderal Kao, dia langsung mengajak Syanti Dewi menemuinya. Panglima Thio sudah mendengar mereka dari Jenderal Kao, maka dia menyambut Gak Bun Beng sebagai tamu agung.

Demikianlah mengapa Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tahu-tahu berada disitu dan tanpa disangka-sangkanya di tempat itu dia bertemu dengan dua orang sutenya, putera-putera dari Suma Han, Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es!

“Sebaiknya kita berangkat sekarang juga. Ini adalah tugas kalian sebagai utusan dari kota raja, akan tetapi aku akan membantu kalian sampai berhasil. Pertama, kita mencoba untuk mencari Si Buta itu, dan kedua kita melakukan penyelidikan tentang keadaan pemberontak di sana agar dapat kalian bawa sebagai laporan ke kota raja.”

“Baik, Suheng, kami siap berangkat,” jawab Kian Lee.

“Dewi, engkau tinggal di sini dulu, menanti sampai aku kembali....”

“Tidak.... tidak, harap jangan tinggalkan aku sendirian lagi...., biarlah aku ikut ke Teng-bun,” puteri itu menjawab sambil memandang Bun Beng dengan sinar mata penuh permohonan.

Pertemuannya dengan Bun Beng kembali seolah-olah mendatangkan sinar kebahagiaan di hatinya. Biarpun dia tahu bahwa pendekar sakti yang dikagumi dan dicintanya itu tidak berani membalas cintanya karena Puteri Milana, dan biarpun selama pertemuan mereka sampai tiba di dusun Ang-kiok-teng dia tidak pernah menyinggung soal cintanya, namun dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya ditinggalkan atau terpisah dari pendekar yang amat dikaguminya, dipercaya, dipuja dan dicintanya itu.

Pandang mata yang demikian penuh permohonan, demikian penuh arti seolah-olah pandang mata itu merupakan tanda penyerahan jiwa raga dan segala-galanya, membuat Bun Beng menunduk dan tidak mampu menjawab sampai lama.

“Kalau Sang Puteri ikut, kami akan.... ikut melindunginya, Suheng,” tiba-tiba Kian Bu berkata penuh semangat.

Mendengar suara sutenya ini, tiba-tiba timbul suatu harapan di dalam hati Bun Beng. Mengapa tidak? Dua orang sutenya ini adalah dua orang pemuda yang hebat!

Lihat, mana mungkin mencari dua orang muda sedemikian tampan dan gagahnya? Putera-putera Pendekar Super Sakti pula, selain tampan juga memiliki kepandaian yang amat hebat, bahkan dia sendiri tadi sudah mengukur betapa hebatnya kepandaian Kian Bu. Sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berjodoh dengan seorang diantara mereka ini, bukan dengan dia! Dan Kian Bu, sutenya ini agaknya begitu bersemangat ingin melindungi Syanti Dewi. Siapa tahu! Kian Bu adalah adik Milana, Kian Bu adalah cucu Kaisar, putera dari Puteri Nirahai!

“Baik!”

Tiba-tiba dia berkata sehingga Syanti Dewi menjadi berseri-seri wajahnya dan menangkap tangan Gak Bun Beng dengan girang, kemudian menoleh kepada Kian Bu dengan senyum lebar sambil berkata,

“Terima kasih!”

“Akan tetapi, engkau harus menyamar sebagai pria!” kata Gak Bun Beng.

“Saya kira tidak perlu demikian, Gak-taihiap.” tiba-tiba Panglima Thio berkata. “Menurut penyelidikan, biarpun Teng-bun telah direbut pemberontak, namun kota itu masih terbuka bagi umum dengan adanya para pengungsi yang keluar masuk, tentu saja rakyat juga terpecah, ada yang pro dan ada yang kontra pemberontak. Hanya penjagaan di sana amat ketat sehingga sukarlah bagi penyelidik kami untuk memasukinya. Semua orang laki-laki digeledah dengan teliti, hanya wanita yang tidak mengalami penggeledahan hebat. Kalau Sang Puteri menyamar sebagai pria, dia tentu malah akan digeledah.”

“Wah, kalau begitu bagaimana baiknya, Thio-ciangkun?”

Bun Beng bertanya kepada panglima yang tentu lebih paham akan bagaimana baiknya untuk memasuki tempat yang telah dikuasai oleh pemberontak.

“Hanya ada dua cara,” panglima itu menjawab. “Pertama tentu saja menggunakan kepandaian Cu-wi yang begitu tinggi untuk menyelundup masuk secara sembunyi di waktu malam. Ke dua, jalan yang lebih aman lagi mengingat bahwa Sang Puteri ikut bersama Sam-wi (Anda Bertiga), masuk secara terang-terangan di waktu siang bersama dengan para pengungsi yang lain. Akan tetapi Sam-wi akan mengalami penggeledahan yang amat teliti, maka kalau mengambil cara ini, surat-surat kuasa yang dibawa oleh Ji-wi Suma-taihiap sebaiknya dititipkan dulu kepada saya. Dan diantara dua cara itu baru dapat ditentukan oleh Sam-wi sendiri setelah melihat keadaan di sana karena tentu saja setiap hari bisa terjadi perubahan hebat.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar