FB

FB


Ads

Jumat, 20 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 063

Ceng Ceng menangis di dalam kamar penginapan, sampai mengguguk akan tetapi dia menutupi mukanya dengan bantal agar tidak ada suara tangisnya keluar dari kamar itu. Makin diingat, makin hancur rasa hatinya. Tidak mungkin dia dapat bertemu dengan Jenderal Kao yang telah menyembahyanginya itu. Dia tidak pantas bertemu dengan jenderal gagah perkasa itu, merasa betapa dirinya sudah kotor. Dan pula, jelas bahwa pemuda laknat yang dicarinya tidak berada di tempat itu, tidak berada bersama Jenderal Kao. Kalau ada, tentu tadi dia sudah melihatnya.

Ingin sekali dia mengunjungi istana Puteri Milana yang dijunjung tinggi oleh mendiang kakeknya, siapa tahu Syanti Dewi telah berada di situ. Akan tetapi bagaimana dia mampu bertemu muka dengan seorang puteri yang demikian mulia? Dan dia merasa malu juga bertemu dengan Syanti Dewi karena sekali bertemu dengan kakak angkatnya itu, tentu dia tidak lagi dapat menyimpan rahasianya, tentu dia akan menceritakan segalanya dan hal ini hanya berarti mati membunuh diri saking malunya.

Teringat olehnya akan nasibnya yang amat buruk. Sejak kecil tidak melihat ayahnya, bahkan ibunya meninggalkannya menjadi seorang anak yatim piatu di dalam asuhan kakeknya. Dan kakeknya....

“Aihh, Kong-kong...!”

Dia merintih dan tangisnya makin menjadi-jadi ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas secara menyedihkan itu.

Teringat pula dia akan peristiwa yang paling hebat, yang sekaligus menghancurkan hidupnya, peristiwa di dalam guha yang menimbulkan dendam yang sedalam lautan, kebencian yang setinggi langit. Hidupnya kini hanya untuk satu tujuan saja, mencari dan membunuh pemuda laknat yang telah memperkosanya itu!

“Ahhh....!”

Dia mengepal tinju dan menggigit gigi. Dia tahu bahwa pemuda laknat itu memperkosanya di bawah pengaruh racun yang hebat. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi kebenciannya, tidak mengurangi dendamnya. Kalau diingat betapa dia telah berusaha menolong pemuda itu!

Menolongnya, membebaskannya dari ancaman maut, dari dalam kerangkeng, akan tetapi pemuda itu malah membalasnya dengan perbuatan yang lebih keji daripada kalau membunuhnya! Pemuda itu telah mendatangkan siksa dan derita hebat sehingga dia dalam keadaan mati tidak hiduppun tidak.

Betapa dendam memainkan peran penting di dalam kehidupan manusia, bahkan dendam mencengkeram sebagian besar dari kehidupan manusia sehingga di seluruh pelosok dunia terjadilah pertentangan, permusuhan, benci-membenci dan akhirnya membesar menjadi perang antara bangsa, perang antara negara. Dendam yang menimbulkan kebencian bersumber kepada si aku.

Si aku yang dirugikan lahir maupun batin melahirkan kemarahan dan dendam, kebencian, maka timbullah kekerasan dari dendam dan kebencian ini. Aku diganggu dan dirugikan, keluargaku diganggu, hartaku, namaku, kedudukanku, kepercayaanku, bangsaku, maka aku menjadi marah, dendam dan benci!

Segala hal yang tampak maupun yang tidak tampak, yang menjadi kepunyaan si aku, tidak boleh diganggu. Kalau yang diganggu itu keluarga, harta benda, kedudukan, agama, bangsa dan negara orang lain, biasanya kita tidak peduli. Maka si akulah yang menjadi sumber timbulnya dendam dan kekerasan yang mengikutinya.

Dimana terjadi pertentangan dan permusuhan yang disusul dengan bentrokan, tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pihak yang kalah atau lebih tepat lagi, pihak yang dirugikan, tentu akan mendendam dan selalu rindu akan kesempatan untuk membalas dendam itu. Setelah kesempatan tiada maka terjadilah kekerasan yang lain lagi dan hal ini menimbulkan dendam kepada pihak yang kalah, baik perorangan maupun kelompok, maupun negara.

Maka dendam-mendendam tidak habisnya di dunia ini, diantara manusia, diantara bangsa dan negara. Jika dendam masih mencengkeram manusia tidak mungkin ada perdamaian dalam hidup manusia. Selama dendam belum lenyap dari batin manusia, segala macam usaha kearah perdamaian akan sia-sia belaka.

Akan tetapi, apabila dendam dan kebencian tidak lagi bertahta di dalam batin manusia, apakah akan ada permusuhan, apakah akan ada perang lagi? Kiranya tidak perlu orang bersusah payah mengadakan usaha perdamaian lagi karena tidak akan ada lagi permusuhan dan perang!

Jika dendam kebencian masih bernyala di hati dan pikiran kita, maka segala usaha kita untuk berdamai dengan musuh yang kita benci merupakan kepalsuan dan hanya akan menghasilkan perdamaian palsu belaka. Hanya setelah kita bebas dari dendam kebencian, baru kita dapat hidup damai dengan orang lain, dan tidak perlu lagi usaha perdamaian itu karena kita tidak mempunyai musuh siapapun, tidak mendendam maupun membenci siapa pun!

Yang penting harus disadari bahwa sumber segala dendam kebencian terletak kepada si aku, yaitu si pikiran yang menciptakan si aku. Kita selalu ingin merubah yang di luar, untuk disesuaikan demi kesenangan dan keenakan si aku, kita lupa bahwa sumber segala kekacauan terletak kepada si aku.

Diri sendirilah yang harus berubah, si sumber yang harus berubah. Dan perubahan akan terjadi apabila ada pengertian dan pengenalan diri sendiri, melihat dengan mata terbuka akan kekotoran yang memenuhi diri sendiri. Melihat tanpa pamrih, tanpa keinginan apapun, tanpa ingin merubah, tanpa ingin memperbaiki, menambah atau mengurangi. Dari penglihatan ini timbul pengertian karena penglihatan tanpa pamrih ini merupakan kewaspadaan, menimbulkan kesadaran penuh dan otomatis akan timbul tindakan-tindakan dari pengertian dan kesadaran itu yang akan menimbulkan perubahan.

Sayang bahwa Ceng Ceng tidak sadar akan semua kenyataan sederhana itu. Dia merasa sengsara, diracuni oleh dendam dan kebencian sehingga seperti seorang yang mabok, dia kadang-kadang menangis, kadang-kadang beringas dan beberapa kali dia hampir-hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri!

Tiba-tiba dia bangkit duduk, tidak bergerak dan perhatiannya tertarik oleh suara burung malam yang lapat-lapat di atas genteng. Bagi telinga orang biasa, tentu akan menganggap bahwa itu adalah suara burung malam tulen. Namun pendengaran Ceng Ceng yang terlatih menangkap sesuatu yang aneh dalam suara itu, apalagi ketika dia mendengar suara berkeresekan diatas genteng rumah penginapan, kecurigaannya timbul.

Ditiupnya lilin di dalam kamarnya, disambarnya buntalan pakaian dan pedang Ban-tok-kiam, dibereskan kembali pakaiannya yang kusut, kemudian dia membuka jendela dan meloncat keluar jendela, menuju ke belakang rumah penginapan dan meloncat ke atas genteng. Dari situ tampak olehnya dua orang yang berpakaian hitam bergerak diatas genteng bagian depan rumah itu, maka dia cepat mendekati dan membayangi. Dua sosok bayangan itu melayang turun dengan gerakan yang ringan sekali. Ceng Ceng mengintai dari atas dan mendengarkan percakapan singkat mereka.

“Sudah pastikah engkau, Twako?”

“Sudah jelas dia, siapa lagi? Pangeran itu masuk dengan menyamar sebagai pedagang sayur dan sekarang disembunyikan oleh perwira itu di rumahnya.”






“Kalau begitu kita harus cepat menangkapnya sebelum dia sempat menghadap istana!”

“Memang perintahnya begitu, akan tetapi kita menunggu teman-teman yang dikirim ke sini untuk membantu kita.”

Tidak terlalu lama mereka menunggu karena segera muncul lima orang laki-laki yang memiliki gerakan ringan dan cepat. Setelah berbisik-bisik dan berunding, tujuh orang itu lalu berlari ke jurusan utara.

Ceng Ceng cepat mengejar dan terus membayangi tujuh orang itu tanpa turun tangan karena dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan oleh mereka itu. Yang jelas, mereka itu mempunyai niat buruk terhadap diri seorang pangeran. Dia teringat akan Puteri Milana yang dipuji-puji mendiang kakeknya. Puteri Milana juga keluarga Kaisar, maka tentu masih ada hubungan dengan Pangeran ini. Maka sepantasnyalah kalau dia menyelidiki dan melindungi Pangeran itu.

Siapakah tujuh orang itu dan siapa pangeran yang hendak mereka tangkap? Tujuh orang itu adalah kaki tangan Pangeran Tua Liong Khi Ong yang menyamar sebagai orang-orang biasa dan memang banyak terdapat kaki tangan pangeran ini berkeliaran di kota raja. Sungguhpun mereka tidak berani banyak bergerak karena di kota raja terdapat banyak pula anak buah Puteri Milana, namun mereka ini merupakan penyelidik-penyelidik dari Pangeran Liong Khi Ong. Adapun pangeran yang hendak mereka tangkap adalah Pangeran Yung Hwa.
Telah diceritakan di bagian depan bahwa Pangeran Yung Hwa adalah pangeran putera Kaisar dari selir, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang amat tampan dan halus gerak-geriknya, seorang ahli sastra yang halus budi bahasanya dan romantis jiwanya. Pangeran Yung Hwa ini pernah mendengar berita tentang kecantikan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan sehingga dia tergila-gila oleh berita itu.

Tidaklah mengherankan kalau seorang seperti pangeran muda ini tergila-gila kepada seorang dara yang belum pernah dilihat sebelumnya, tergila-gila hanya karena mendengarkan berita tentang puteri itu! Memang jiwa seorang yang suka akan seni seperti Pangeran Yung Hwa amat romantis, amat peka dan halus, mudah tergerak dan mudah terpesona.

Mendengar tentang Puteri Syanti Dewi yang kabarnya ahli dalam hal seni sastra, tari dan lukis, pandai pula meniup suling dan mainkan alat tetabuhan lain, bahkan kabarnya pandai pula menari pedang, di samping memiliki kecantikan yang luar biasa seperti seorang dewi dari kahyangan, hatinya tergerak dan sekaligus dia telah jatuh cinta! Karena tergila-gila dan tidak dapat pula menahan rindunya, dia menghadap ayahnya, yaitu Kaisar, dan mengajukan permohonan agar dia dilamarkan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu!

Akan tetapi Kaisar yang telah dipengaruhi oleh adik tirinya, Pangeran Liong Bin Ong, berpendapat lain. Kaisar menolak permintaan puteranya ini, bahkan melamar Puteri Bhutan itu untuk dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah berusia lima puluh tahun dan sudah mempunyai banyak selir!

Mendengar ini, remuklah hati Pangeran Yung Hwa dan dengan berani dia menulis sajak memaki-maki pamannya itu sebagai seorang tua yang tidak tahu malu, yang mata keranjang dan lain-lain untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Kemudian dia lolos dari istana melarikan diri!

Pangeran Liong Khi Ong tentu saja marah sekali kepada keponakannya ini karena sajak yang memaki-makinya itu dipasang di kuil besar dekat istana sehingga sebentar saja banyak orang yang tahu dan dia menjadi buah tertawaan orang. Dengan seijin Kaisar yang memang sudah mendengar akan hal itu dan hendak menghukum puteranya, Pangeran Liong Khi Ong mengerahkan pasukan untuk menangkap kembali Pangeran Yung Hwa yang minggat.

Di bagian depan dari cerita ini telah diceritakan betapa Pangeran Yung Hwa yang sedang melarikan diri dalam kereta dan dikejar oleh pasukan Pangeran Liong Khi Ong, secara kebetulan bertemu dengan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi yang menyamar, lalu pangeran muda itu mendapat pertolongan Gak Bun Beng sehingga lolos dari bahaya. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa dara cantik yang berada bersama penolongnya itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang menjadi gara-gara semua keributan itu!

Dengan bantuan seorang pamannya, yaitu saudara dari ibunya yang menjadi selir Kaisar, dia bersembunyi diluar kota raja. Ketika dia mendengar dari pamannya akan gerakan pemberontakan yang agaknya dikendalikan dari kota raja oleh kedua orang pangeran tua, Yung Hwa terkejut sekali. Dia segera melakukan penyelidikan-penyelidikan, kemudian pada malam hari itu, dengan bantuan pamannya dia berhasil menyelundup masuk ke kota raja dengan niat menghadap ayahnya untuk minta ampun dan untuk menyampaikan hasil-hasil penyelidikannya tentang gerakan pemberontakan dua orang pangeran tua.

Pangeran Yung Hwa tidak tahu bahwa penyeludupannya itu telah diketahui oleh kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong yang cepat melapor kepada pangeran tua itu. Pangeran Liong Khi Ong segera memerintahkan tujuh orang kaki tangannya itu untuk menangkap Pangeran Yung Hwa.

Ketika Ceng Ceng melihat betapa tujuh orang itu yang harus diakuinya memiliki gerakan yang ringan dan gesit sekali dan diketahuinya merupakan lawan-lawan yang berat, mengepung sebuah rumah di ujung kota, dia lalu langsung menghampiri pintu rumah itu dan mengetuknya.

Dia maklum bahwa perbuatannya itu diintai oleh tujuh orang itu dengan penuh keheranan dan perhatian, namun dia tidak peduli dan mengetuk terus dengan kuat sampai terdengar suara seorang laki-laki dari sebelah dalam,

“Siapakah di luar?”

“Aku ingin berjumpa dengan Pangeran,” kata Ceng Ceng.

Hening sejenak di belakang pintu itu, kemudian penutup lubang digeser dan tampak sebuah mata mengintai dari balik lubang. Ketika orang di balik pintu itu melihat bahwa yang mengetuk pintu hanyalah seorang dara cantik dan sendirian pula, sinar matanya membayangkan kelegaan hati.

“Nona, engkau siapakah dan apa maksud kedatanganmu?”

“Biarkan aku masuk, aku ingin berjumpa dengan Pangeran. Dia terancam bahaya dan aku ingin melindunginya.”

Sinar mata itu kelihatan terkejut dan heran, lalu nampak ragu-ragu. Pengintai ini adalah Perwira Chi yang melindungi dan menyembunyikan Pangeran Yung Hwa sebelum Pangeran itu sempat menghadap ayahnya di istana Kaisar.

“Bukalah sebelum terlambat,” Ceng Ceng berbisik. “Rumah ini sudah mereka kurung!”

Perwira itu makin kaget dan cepat dia membuka daun pintu, membiarkan Ceng Ceng menyelinap masuk dan cepat menutupkan kembali pintunya.

“Dimana dia?” Ceng Ceng bertanya.

Laki-laki berusia empat puluh tahun lebih itu mengangguk dan memberi isyarat kepada dara itu untuk mengikutinya ke sebelah dalam rumahnya. Dalam perjalanan menuju ke ruangan dalam ini, Ceng Ceng bertemu dengan isteri Perwira Chi dan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil, berusia di bawah sepuluh tahun, dan dua orang pelayan. Mereka kelihatan takut-takut dan memandang kepada Ceng Ceng dengan muka pucat.

Ketika Ceng Ceng mengikuti orang itu masuk ke sebuah ruangan, seorang pemuda bangkit dari duduknya dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik.

Begitu berhadapan, diam-diam Ceng Ceng harus mengakui bahwa baru sekali ini dia berjumpa dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Pemuda itu usianya tentu sudah dua puluh tahun lewat, wajahnya yang berkulit putih itu bentuknya tampan sekali, dan ada keagungan dalam sikapnya.

Wajah itu agak bundar, dengan alis hitam tebal dan hidung mancung. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, dan mulutnya selalu tersenyum. Bentuk tubuhnya sedang dengan sikap seorang yang berhati tabah dan merasa lebih tinggi daripada orang lain. Pakaiannya serba indah, sungguhpun bentuknya sederhana.

“Paman Chi, siapakah Nona ini?”

Suaranya halus sekali ketika dia mengajukan pertanyaan ini dan dari sikapnya yang agak membungkuk dan pandang matanya, jelas bahwa dia terheran akan tetapi juga menghormat, sehingga Ceng Ceng juga segera menjura dengan hormat mengingat bahwa pemuda tampan ini adalah seorang pangeran!

Ceng Ceng tidak menanti perwira itu menjawab karena dia maklum bahwa perwira itu tentu saja juga tidak mengenalnya, maka dengan singkat dia berkata,

“Apakah Paduka seorang pangeran?”

Pangeran Yung Hwa tersenyum dan Ceng Ceng memandang kagum. Begitu tersenyum pemuda ini kelihatan makin tampan dengan deretan giginya yang putih seperti mutiara.

“Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Yung Hwa, dan baru padamulah aku berterus terang.”

“Saya bernama Lu Ceng, dan tadi saya melihat ada tujuh orang yang mengurung rumah ini. Saya mendengar percakapan mereka bahwa mereka akan menyerbu dan menangkap paduka, oleh karena itu saya sengaja datang untuk melindungi paduka.”

Perwira itu kelihatan terkejut, mengeluarkan suara perlahan di tenggorokannya dan mencabut pedang dari pinggangnya, mukanya pucat dan matanya memandang ke kanan kiri. Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya yang tampan.

“Tenanglah, Paman Chi, Nona Lu, kalau boleh aku bertanya, mengapa Nona menempuh bahaya dan bagaimana pula Nona akan melindungi aku?”

“Mendengar bahwa paduka seorang Pangeran yang terancam bahaya, sudah sementinya kalau saya berusaha melindungi dan biarpun sedikit, saya pernah belajar ilmu dan tidak takut menghadapi tujuh orang itu.”

“Ah, kiranya Nona adalah seorang pendekar wanita!” Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar. “Masih begini muda...., betapa mengagumkan! Akan tetapi.... sebaiknya kalau Nona cepat pergi dari sini. Nona masih amat muda, kalau dalam melindungiku sampai Nona tertimpa bencana, aku Yung Hwa selama hidupku akan menyesal.”

Ceng Ceng memandang sejenak dan ada perasaan lembut mengelus perasaannya. Pemuda bangsawan ini benar-benar seorang pemuda yang selain tampan dan halus, juga amat berbudi, tidak mengingat diri sendiri saja. Betapa jauh bedanya kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda nakal dan ceriwis yang dijumpainya tiga kali, pertama kali di pasar kuda, kedua kalinya ketika dia terkurung oleh banyak pengeroyok di Lembah Bunga Hitam dan mereka berdua membantunya, ketiga kalinya ketika dia melihat mereka mengejarnya di rumah Jenderal Kao.

Lebih jauh lagi bedanya kalau dibandingkan dengan Ang Tek Hoat, pemuda jahat yang menjadi kaki tangan pemberontak itu! Dan makin jauh lagi kalau dibandingkan dengan pemuda laknat, pemuda tinggi besar yang telah memperkosanya!

“Harap paduka jangan khawatir, dan sebaiknya Paduka bersembunyi di kamar ini saja. Paman, harap Paman menjaga beliau dan keluarga Paman juga sebaiknya dikumpulkan semua di kamar ini. Biar aku sendiri yang menghadapi kalau mereka berani masuk!” Sambil berkata demikian, Ceng Ceng mencabut pedangnya.

“Singgg....!”

Perwira Chi berseru kaget melihat berkelebatnya sebatang pedang yang begitu menyilaukan mata dan yang mengandung hawa dingin menyeramkan.

“Lu-siocia (Nona Lu)....!” Pangeran Yung Hwa berkata. “Sekali lagi kumohon kepadamu, jangan mempertaruhkan nyawa demi aku. Aku adalah seorang laki-laki dan sudah biasa akhir-akhir ini menghadapi ancaman bahaya. Akan tetapi kau.... tidak boleh engkau menghadapi bahaya maut untukku, Nona!”

“Awas....! Trang-cring-cring-cring....!”

Pedang di tangan Ceng Ceng berkelebatan dan membentuk sinar bergulung-gulung ketika menangkis datangnya puluhan batang senjata rahasia yeng menyambar-nyambar dari atas genteng di empat penjuru.

“Kau hebat, Nona.... tapi aku tetap khawatir....”

Pangeran Yung Hwa memuji ketika menyaksikan kelihaian Ceng Ceng, akan tetapi Perwira Chi yang sudah datang bersama anak isterinya dan dua orang pelayan, mendesaknya agar memasuki ruangan dalam yang tidak berjendela sehingga tidak dapat diserang dari luar. Kemudian dia menutupkan pintu ruangan itu dan meloncat keluar dengan pedang di tangan, berdiri di dekat Ceng Ceng sambil berkata,

“Terima kasih, Lihiap. Saya bersedia membantumu dan melindungi Beliau dengan taruhan nyawa.”

Akan tetapi diam-diam Ceng Ceng merasa khawatir sekali. Tadi ketika dia menggunakan pedang menangkis, lengan kanannya sampai tergetar hebat, tanda bahwa para musuh yang melepas senjata rahasia itu memiliki tenaga yang amat kuat!

Kalau tujuh orang yang pandai itu semua menyerbu ke tempat yang sempit ini, terpaksa dia harus menggunakan racun, dan hal ini bahkan akan membahayakan perwira ini, mungkin juga membahayakan Pangeran dan keluarga Perwira Chi.

“Paman, harap Paman masuk saja ke dalam ruangan dan menjaga mereka di dalam, dan jangan Paman atau siapa saja keluar karena di depan pintu ruangan ini akan kusebari racun agar tidak ada yang dapat masuk. Percayalah kepadaku!”

Perwira itu membelalakkan mata. Dia maklum bahwa dara yang muda ini tentu memiliki kepandaian tinggi, dan memang hatinya akan lebih tenang kalau dia menjaga Pangeran dan keluarganya dibawah matanya sendiri, maka dia mengangguk dan membuka pintu, lalu meloncat ke dalam dan menutupkan pintunya kembali.

Ketika pintu terbuka sebentar itu, Ceng Ceng melihat betapa Pangeran Yung Hwa duduk dengan tenang dan tersenyum lalu mengangguk kepadanya. Hati dara ini makin kagum. Dalam keadaan menegangkan seperti itu, Pangeran itu kelihatan tenang saja. Sungguh sikap yang luar biasa gagahnya bagi seorang pangeran yang lemah.

Setelah Perwira Chi memasuki ruangan itu dan menutupkan pintu satu-satunya dari ruangan itu, Ceng Ceng lalu mengeluarkan bubuk racun berwarna putih dari saku bajunya. Bubuk racun itu tinggal sedikit, dan sisa ini ditaburkan semua di depan pintu ruangan, dari pintu sampai dua meter jauhnya sehingga siapapun yang akan memasuki ruangan melalui pintu itu tentu akan menginjak bubuk racun yang telah ditaburkannya dan tidak tampak itu. Kemudian Ceng Ceng lalu meloncat keluar dan langsung dia melayang keatas genteng.

Baru saja tubuhnya mencelat dan hinggap di atas genteng, dari empat penjuru dia diserang oleh tujuh orang kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong itu. Ceng Ceng yang sudah siap, tidak menjadi gentar dan cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam untuk melindungi tubuhnya sedangkan tangan kirinya menyebarkan bubuk racun merah yang juga tinggal bersisa sedikit dan tadi sudah dipersiapkannya.

Bubuk racun merah ini merupakan racun yang memabokkan dengan keharumannya yang luar biasa, dan sungguhpun lawan tidak akan tewas oleh racun ini, akan tetapi yang mencium baunya tentu akan roboh dan lemas, pening dan tidak dapat bertanding lagi.

“Awas racun....!”

Seorang diantara tujuh lawan itu berseru nyaring dan cepat meloncat mundur. Kawan-kawannya juga meloncat mundur, namun seorang diantara mereka terhuyung dan roboh diatas genteng, setengah pingsan karena dia telah mencium racun itu!

Enam orang yang lain, seorang diantara mereka berpakaian perwira menjadi marah dan menyerbu lagi setelah mereka menutup hidung mereka dengan kapas yang sudah dicelup obat penawar.

Melihat ini, Ceng Ceng makin khawatir. Kiranya mereka itupun merupakan orang-orang lihai yang mengerti sedikit banyak tentang racun. Dan kini Ceng Ceng terdesak hebat. Biarpun dia sudah memutar pedang Ban-tok-kiam sekuatnya dan secepatnya, namun senjata pedang dan golok itu menekan berat sekali.

Dalam belasan jurus saja dia sudah mandi keringat. Celakanya, dorongan pukulan tangan beracun dari tangan kirinya agaknya kurang kuat bagi enam orang lawan ini yang menangkis dengan hawa pukulan sin-kang dari jauh sehingga tidak pernah bersentuhan tangan.

“Mampuslah....!”

Ceng Ceng membentak marah, pedangnya menusuk tiga kali yang merupakan serangkaian serangan kearah tiga orang lawan, sedangkan kepalanya bergerak ke kanan kiri, dan dari mulutnya yang manis bentuknya itu meluncur air ludah yang beracun kearah tiga orang lawan yang lain!

“Aduhhh....!”

Seorang diantara mereka, yang memandang rendah serangan ludah itu, dengan tepat terkena percikan ludah di lehernya dan dia berteriak-teriak sambil memegangi lehernya yang seperti dibakar rasanya, lalu bergulingan roboh di atas genteng, tidak dapat bertanding lagi.

Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan kilat mengenai pinggul Ceng Ceng. Dara ini mengeluh, terhuyung dan hanya berkat kecepatan gerak pedangnya saja yang diputar melindungi diri maka dia terhindar dari bahaya maut ketika lima orang itu menerjang secara berbareng ketika dara itu terhuyung.

“Trang-cring-cring-cring....!”

Ceng Ceng bergulingan diatas genteng sambil menggerakkan pedang Ban-tok-kiam menangkisi pedang dan golok yang mengejarnya. Banyak genteng pecah oleh gerakannya ini dan tubuhnya terus bergulingan karena lima orang lawannya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk meloncat berdiri.

Dia terdesak benar-benar sampai bergulingan ke pinggir atas dan nyaris terjatuh ke bawah. Terpaksa dia menghentikan gerakannya dan terus menangkisi pedang dan golok yang bertubi-tubi menyerangnya.

Lima orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah pengawal-pengawal kelas satu yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, maka tentu saja mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Selain itu, juga mereka telah berpengalaman di dunia kang-ouw, maklum bahwa gadis yang dikeroyoknya itu biarpun ilmu silatnya tidak terlalu hebat, namun memiliki kepandaian tentang racun yang mengerikan, karena inilah mereka tidak berani sembarangan menggunakan tangan kiri menyerang agar tubuh mereka tidak bersentuhan dengan gadis beracun itu, melainkan menggunakan pedang atau golok mereka untuk menyerang. Tendangan tadi yang mengenai pinggang Ceng Ceng, tentu akan mencelakakan yang menendang kalau saja dia tidak memakai sepatu kulit tebal.

“Wuuuutt-plak-plak-plak!”

Lima orang itu terkejut sekali, terhuyung ke belakang karena sambaran angin dorongan yang amat kuat. Ketika mereka melihat bahwa yang mendorong mereka itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka buruk sekali, mereka terkejut dan maklumlah mereka bahwa orang ini memiliki sin-kang yang amat hebat.

Maka mereka lalu berpencar, ada yang meloncat keatas wuwungan yang lebih tinggi untuk bersiap-siap dengan senjata rahasia mereka. Ceng Ceng sendiri terkejut dan cepat bangkit, menggigit bibir karena pinggangnya terasa nyeri.

Pada saat itu, laki-laki tinggi besar bermuka buruk itu membuka mulut dan mengeluarkan teriakan melengking yang amat dahsyat, teriakan yang seolah-olah membuat semua atap disekitar tempat itu tergetar, genteng-genteng banyak yang merosot dan lima orang pengeroyok itu mengeluh, senjata mereka terlepas dan tubuh mereka terguling diatas genteng dalam keadaan pingsan!

Ceng Ceng sendiri merasa betapa tubuhnya seperti kemasukan tenaga yang dahsyat, telinganya seperti akan pecah rasanya, dan dia terhuyung-huyung. Akan tetapi tiba-tiba sebuah tangan yang besar menepuk punggungnya dan dia sadar kembali, memandang laki-laki tinggi besar itu dengan penuh kagum dan juga serem.

Wajah orang ini sungguh buruk dan menakutkan. Kulit mukanya kasar seperti kulit punggung buaya, agak hitam kemerahan, mulutnya yang lebar seperti tidak pernah tertutup, hidungnya besar bengkok dan matanya besar sebelah, rambutnya riap-riapan dan panjang sedangkan sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar yang aneh. Sungguh wajah yang menakutkan seperti wajah setan dalam dongeng!

“Kau pergilah, kenekatanmu tadi berbahaya....”

Orang itu berkata dan Ceng Ceng makin terheran-heran. Mukanya begitu buruk menakutkan, akan tetapi suaranya halus dan kepandaiannya luar biasa tingginya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar