FB

FB


Ads

Jumat, 20 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 062

“Kau.... kau.... Nona Ceng....” Jenderal Kao hanya dapat berkata demikian karena hatinya tergoncang hebat.

Ceng Ceng cepat menggunakan asap tebal sebagai selimut dan melompat lari melalui jendela di seberang lain dari kamar itu.

“Bangsat, hendak lari kemana kau?” Dua orang putera Jenderal Kao yang berada di situ hendak meloncat mengejar.

“Jangan.... mengganggunya....! Biarkan dia pergi....!”

Jenderal Kao membentak dan dua orang pemuda yang usianya belasan tahun itu dengan kaget menahan gerakan mereka.

Dari jendela dari mana Ceng Ceng masuk tadi berkelebat dua sosok bayangan dan Kian Lee bersama Kian Bu sudah berada di dalam kamar itu. Lega hati mereka melihat bahwa keluarga Jenderal Kao selamat, maka cepat mereka berlari ke arah jendela di seberang yang sudah terbuka.

“Ji-wi Siauw-sicu (Kedua Orang Gagah Muda), harap jangan mengejar dia....!”

Kembali Jenderal Kao berseru keras kepada dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka kaget dan heran, lalu membalik dan memandang kepada jenderal itu.

“Dia.... dia tadi...., dia bukan manusia melainkan arwah! Aihhh, sungguh kasihan Nona Ceng....!” Jenderal itu lalu menoleh kepada dua orang puteranya. “Lekas kau suruh pelayan mempersiapkan meja sembahyang. Aku harus menyembahyangi rohnya agar tidak penasaran dan dapat tenang....”

Dua orang putera Jenderal Kao itu, yang bernama Kao Kok Tiong berusia enam belas tahun dan Kao Kok Han berusia tiga belas tahun, mengangguk dan meninggalkan kamar untuk melakukan perintah ayah mereka. Kedua orang pemuda ini, seperti juga ayah mereka, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat dan ilmu perang, mereka memiliki kepandaian yang lumayan dan amat taat serta tunduk kepada ayah mereka, sikap perajurit-perajurit yang amat baik!

“Kao-goanswe, dia bukan arwah, dia manusia biasa,” Kian Bu berkata.

Jenderal itu menggeleng kepala dan memandang dua orang pemuda itu, wajahnya masih pucat sekali dan pandang matanya sayu.

“Aku belum menceritakan tentang dia secara panjang lebar kepada kalian dan kepada Puteri Milana. Akan tetapi kalau tidak ada Nona Lu Ceng atau Candra Dewi itu, sekarang aku tentu sudah menjadi setan penasaran di dalam sumur maut.”

Ketika dua orang puteranya kembali bersama pelayan yang membawa meja dan segala keperluan sembahyang, jenderal itu menceritakan tentang usaha pemberontak menjebaknya di sumur maut dan betapa Lu Ceng telah menyelamatkan nyawanya dengan pengorbanan dirinya.
“Akan tetapi, kami berdua pernah berjumpa dengan dia, Goanswe! Bahkan kami membantu dia menghadapi segerombolan orang liar yang merupakan ahli-ahli tentang racun di Lembah Bunga Hitam!” Kian Bu kembali membantah. “Dan memang dia amat berubah dibandingkan dengan dahulu, dia menjadi liar dan ganas, akan tetapi....”

Dia tidak melanjutkan karena di ujung bibirnya sudah terdapat kata-kata pujian terhadap gadis itu.

“Yang kalian jumpai tentulah orang lain, Siauw-sicu. Tidak mungkin dia, karena aku melihat dengan mata sendiri betapa dia terjerumus ke dalam sumur maut, bahkan Gak-taihiap yang mencoba untuk menyelidikinya, sudah pingsan ketika baru tiba di tengah sumur.”

“Akan tetapi dia tadi....” Kian Bu mencoba membantah.

“Yang muncul tadi jelas adalah arwahnya. Sungguh gadis yang amat baik.... sampai matipun masih berusaha menemui dan melindungiku. Dia menghilang bersama asap putih, dia.... dia arwah Nona Ceng.... akan terus berkeliaran dan penasaran kalau tidak kusembahyangi.”

“Tapi....”

Kian Lee menyentuh tangan adiknya sehingga Kian Bu tidak banyak bicara lagi. Dengan hati tidak karuan rasanya, bingung dan juga penasaran, Kian Lee melihat betapa jenderal itu mengeluarkan sehelai gambar nona yang telah menarik hatinya itu, memasang gambar itu pada meja sembahyang, kemudian dia menyalakan lilin dan berkata kepada isteri dan kedua orang puteranya,

“Kalian lihat baik-baik wajah itu. Dialah yang telah menyelamatkan nyawaku dengan mengorbankan diri dan nyawanya sendiri. Dialah mendiang Nona Lu Ceng atau Nona Candra Dewi dari Bhutan.”

Sebelum jenderal itu mengajak isteri dan dua orang puteranya bersembahyang, tiba-tiba muncul seorang penjaga yang memberi hormat kepada jenderal itu dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang berkeras menyatakan hendak bertemu dengan keluarga Jenderal Kao Liang.

Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan sepasang matanya memandang penjaga itu dengan marah,
“Engkau mengatakan bahwa aku berada di sini?”

Penjaga itu cepat memberi hormat dengan berlutut.
“Tentu saja tidak, Taijin. Saya telah menegurnya bahwa malam seperti ini bukan waktunya orang bertemu, dan saya malah mengatakan bahwa tuan rumah, yaitu Jenderal Kao Liang, bertugas di benteng utara. Akan tetapi dia berkeras minta bertemu dengan keluarga jenderal, katanya ada urusan yang amat penting. Sikap orang itu mencurigakan dan andaikata paduka tidak ada di sini, tentu saya akan mengerahkan teman-teman untuk mengusirnya dengan kekerasan. Akan tetapi karena paduka berada di sini, saya tidak berani lancang dan terpaksa melapor....”

Wajah yang tadinya marah itu kini berseri.
“Bagus! Kau melakukan tugasmu dengan baik. Kalau begitu, antarkan dia masuk!”

“Ayah....!” Kao Kok Tiong berseru khawatir. “Biarkan aku yang menemuinya.”






Ayahnya menggeleng.
“Orang yang datang malam-malam begini tentu hanya mempunyai dua maksud, yaitu kalau baik tentu dia membawa kabar yang amat penting bagiku, sebaliknya kalau buruk tentu dia berbahaya sekali. Maka biar dia langsung ke sini dan kuhadapi sendiri.”

Kian Lee dan Kian Bu mengangguk setuju dan menganggap sikap jenderal ini amat bijaksana. Mereka berdua pun merasa curiga sekali karena orang yang datang bertamu malam hari begitu, apalagi dalam keadaan yang penuh ketegangan karena kehadiran Jenderal Kao di sini adalah suatu rahasia, memang merupakan kejadian yang aneh dan amat mencurigakan. Mereka berdua sudah siap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka menduga bahwa orang yang datang itu lebih banyak membawa bahaya daripada membawa kebaikan.

Tak lama kemudian terdengar derap langkah dua orang menuju ke kamar itu. Semua orang memandang ke pintu dengan hati tegang. Penjaga itu muncul, memberi hormat dan melapor,

“Tamu telah datang menghadap!”

Jenderal Kao memberi isyarat supaya penjaga itu mundur. Penjaga itu melangkah keluar dan muncullah tamu yang dinanti-nanti itu.

“Aha, kiranya engkau yang datang, orang muda yang gagah?”

Jenderal Kao berseru girang sekali ketika melihat bahwa tamu yang muncul itu bukan lain adalah pemuda tinggi besar yang pernah menolongnya dari tangan penculiknya ketika dia hendak dibakar hidup-hidup di dalam kuil tua. Sambil memegang lengan pemuda tinggi besar itu, Jenderal Kao menoleh kepada kedua orang pemuda Pulau Es dan kepada anak-anak dan isterinya,

“Inilah dia pemuda gagah perkasa yang telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi yang sama sekali tidak mau menyebutkan namanya! Mari masuk, dan duduklah.”

Pemuda tinggi besar itu kelihatan canggung dan sungkan. Dia menjura kepada jenderal itu dan semua orang, kemudian berkata kepada Jenderal Kao,

“Harap Tai-ciangkun sudi memaafkan kedatanganku yang mengganggu ini. Sebetulnya, terpaksa sekali aku datang mengganggu.”

“Aihhh! Engkau adalah seorang pemuda perkasa, penolongku yang budiman, bagaimana bisa mengucapkan kata-kata mengganggu?”

“Sungguh, kalau tidak terpaksa saya tidak akan datang ke sini, Tai-ciangkun. Kedatanganku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa yang lalu diantara kita. Akan tetapi karena aku mendengar bahwa Tai-ciangkun adalah komandan di utara, maka aku datang untuk minta keterangan tentang diri seorang perwira yang belasan tahun yang lalu bertugas disana, dan tentu dia adalah anak buah Tai-ciangkun. Aku sedang mencari-cari orang itu, maka harap Tai-ciangkun berbaik hati untuk memberitahu kepadaku dimana adanya orang itu.”

Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan mengangguk.
“Tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin untuk membantumu, orang muda. Siapakah adanya orang yang kau cari itu?”

“Iiihhh....”

Jerit tertahan dari isteri jenderal ini membuat semua orang memandang kepadanya. Wanita ini sedang memandang pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

“Kenapa kau?” Jenderal itu membentak heran. Isterinya hanya menggeleng kepala lalu menutupi mukanya.

“Nah, orang muda, katakan siapa orang yang kau cari itu?”

“Aku.... aku tidak tahu namanya....”

Pemuda itu menjawab gagap dan kelihatan bingung. Memang dia bingung sekali. Ketika dia masih kecil dan tersesat di gurun pasir, dia mengalami penderitaan yang amat mengerikan, seolah-olah melihat maut mendekati dirinya sedikit demi sedikit sehingga berkali-kali dia pingsan dan siuman kembali, batinnya mengalami tekanan yang amat hebat dan berat.

Ketika dia ditemukan oleh suhunya, Si Dewa Bongkok, yang diingat hanyalah namanya sendiri, bahkan she-nya (nama keluarga) nya pun dia sudah lupa, apalagi nama ayahnya. Akan tetapi samar-samar dia masih ingat bahwa ayahnya adalah seorang perwira dan mengingat bahwa dia tersesat di gurun pasir utara, maka tentu ayahnya itu seorang perwira di benteng utara.

Kao Liang memandang tajam dengan alis berkerut, penuh iba dan penasaran.
“Orang muda yang baik, bagaimana aku bisa membantumu kalau kau tidak tahu nama orang yang kau cari itu? Apakah dia musuhmu?”

“Dia.... dia adalah ayahku.... akan tetapi aku tidak tahu namanya.... hanya kuingat bahwa dia adalah seorang perwira....”

Tiba-tiba Nyonya Kao bangkit dari tempat duduknya, wajahnya masih pucat dan dia menghampiri pemuda tinggi besar itu, langsung bertanya dengan bibir gemetar,

“Kau.... kau.... siapa namamu....?”

Tentu saja sikap dan perbuatan nyonya ini mengherankan semua orang. Pemuda tinggi besar itu memandang Nyonya Kao dengan ragu-ragu, kemudian menjawab lirih,

“Nama saya Kok Cu....”

“Kok Cu....?”

Teriakan ini keluar dari mulut empat orang, yaitu Jenderal Kao sendiri, isterinya, dan dua orang puteranya.

“Kok Cu anakku....!”

Nyonya Kao sudah menubruk dan merangkul leher pemuda tinggi besar itu sambil menangis.
“Kok Cu, ya Tuhan.... engkau ini....?”

Jenderal Kao juga sudah mencengkeram pundak pemuda tinggi besar itu, mukanya pucat matanya terbelalak dan bibirnya bergetar menahan keharuan hatinya.

“Twako....!” Kao Kok Tiong memegang lengan kakak sulungnya.

“Twako...!” Kok Han juga mendekat.

Tentu saja Kok Cu, pemuda tinggi besar yang berambut panjang terurai itu, terkejut setengah mati dan sejenak dia terlalu bingung. Kenyataan yang dihadapinya terlalu mengejutkan dan sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya.

Siapa menyangka bahwa pembesar gagah perkasa yang ditolongnya di tengah perjalanan itu, yang kemudian dia ketahui Jenderal Kao yang dijunjung tinggi seluruh rakyat di daerah utara, ternyata adalah ayah kandungnya sendiri! Sukar untuk menerima dan mempercayai kenyataan yang amat mengejutkan ini.

“Ayah dan ibuku....? Ah, bagaimana....?” Dia dipeluki empat orang yang sudah menangis saking bahagia dan terharu itu.

Jenderal Kao melihat kebingungan pemuda itu.
“Mari kita semua duduk. Kok Cu, dengarlah baik-baik. Ketika engkau dan ibumu kubawa ke utara, pada suatu hari engkau lenyap ketika sedang bermain-main di luar benteng. Pada waktu itu terjadi badai yang amat besar, maka kami semua mengira bahwa engkau tentu telah terseret badai dan terkubur di dalam gurun pasir karena berhari-hari kami mengerahkan pasukan mencarimu tanpa hasil. Ketika itu engkau baru berusia sepuluh tahun. Adikmu Kao Kok Tiong ini baru berusia setahun, dan adikmu yang bungsu Kao Kok Han belum terlahir. Memang ketika itu aku belum menjadi jenderal, akan tetapi sudah menjadi komandan dari benteng kecil di utara.”

Jenderal itu lalu menuturkan dengan jelas sehingga Kok Cu baru tahu bahwa dia adalah bermarga keluarga Kao.

“Ayah...., Ibu....!”

Akhirnya dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang tuanya itu. Ibunya memeluknya dan Jenderal Kao tertawa bergelak, menenggak araknya sambil menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.

“Ha-ha-ha-ha, susah dan senang memang sudah menjadi pakaian manusia hidup! Suka dan duka silih berganti menjadi bumbu manis dan pahit dalam hidup! Ji-wi Siauw-sicu, di dalam keprihatinan yang hebat bertemu dengan anak yang hilang, bukankah ini merupakan hiburan yang amat menggembirakan?”

“Kao-goanswe, kami berdua menghaturkan kionghi (selamat) kepadamu!” Kian Lee berkata sambil membungkuk bersama adiknya.

“Terima kasih, terima kasih....!”

“Mengapa kalian begitu bodoh?” Nyonya Kao yang masih merangkul puteranya itu berkata. “Apakah kalian tidak melihat betapa miripnya dia dengan ayahnya? Lihat saja, bentuk badannya, mulutnya, hidungnya! Begitu melihatnya, aku sudah menduganya.... aihh, Kok Cu, kedatanganmu menambah umur ibumu....” Wanita itu tertawa dengan air mata bercucuran.

“Ayah....” Sebutan yang amat asing ini keluar dari bibir pemuda tinggi besar itu dengan kaku. “Siapakah dua orang sahabat yang gagah ini?”

“Hayo kuperkenalkan! Mereka ini adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, dua orang pemuda sakti putera dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, adik-adik dari Puteri Milana, cucu dari Kaisar....”

“Cukuplah semua kementerengan itu, Kao-goanswe!” Kian Bu berteriak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.

“Saudara Kao Kok Cu, terimalah ucapan selamat kami!” Kian Lee berkata.

Kok Cu balas memberi hormat dan ketika ayahnya menceritakan akan pertolongan kedua orang pemuda itu ketika ayahnya terancam bahaya, dia pun menghaturkan terima kasihnya. Pemuda tinggi besar ini sikapnya tenang, agak kasar karena tidak biasa berbasa-basi, bahkan hampir buta huruf, akan tetapi memiliki pribadi yang menarik, jujur, terbuka, dan tidak berpura-pura, sungguhpun terlalu dalam untuk diukur, seakan-akan menyimpan rahasia yang gelap dengan sikap diamnya.

“Ibu, saya melihat persiapan sembahyang.... siapakah....”

“Hai, Kok Cu, ayahmu telah terlalu banyak menerima budi kebaikan orang!”

Jenderal Kao berkata sambil memegang tangan puteranya dan menariknya ke depan meja sembahyang.

“Kami sekeluarga sedang menyembahyangi arwah seorang penolong yang budiman. Engkau sebagai putera sulungku, harus mengetahui mereka yang telah melepas budi kepada kita, agar kelak kalau ayahmu tidak mampu membalas budi mereka, engkau sebagai anak sulungku akan selalu mengingatnya.”

Jenderal ini bersama isterinya dan tiga orang puteranya kini mulai bersembahyang, mengacungkan hio (dupa biting) dengan penuh hormat kepada gambar yang dipasang di meja sembahyang.

Melihat betapa gambar gadis yang amat menarik hatinya itu disembahyangi seperti telah mati, Kian Lee merasa jantungnya seperti ditusuk dan dia memejamkan matanya. Ketika tangan Kian Bu menyentuh lengannya, dia sadar dan membuka mata.

“Mereka itu salah duga....” Kian Bu berbisik. “Dia belum mati.”

Kian Lee mengangguk dan menghela napas panjang.
“Akan tetapi tidak perlu kita menyangkal dan berdebat dengan mereka....”

“Ahhh....!”

Semua orang terkejut melihat pemuda tinggi besar, Kok Cu, yang tadinya ikut bersembahyang meloncat ke belakang seperti diserang ular kakinya, mukanya pucat dan dia memandang kepada gambar diatas meja sembahyang.

“Hei, kau kenapa, Kok Cu?”

Jenderal Kao menegur. Mereka telah selesai bersembahyang dan tentu saja mereka terkejut menyaksikan sikap pemuda itu.

“Ayah, siapa.... siapa yang kita sembahyangi ini? Gambar siapa itu?” Dia menunjuk kearah gambar Ceng Ceng diatas meja.

“Aku belum menceritakan tentang dia kepadamu, Kok Cu. Mari duduk, akan kuceritakan padamu. Dia bernama Lu Ceng, seorang gadis perkasa yang telah tewas mengorbankan diri dalam usahanya menyelamatkan nyawa ayahmu. Kalau tidak ada dia ini, kiranya hari ini engkau tidak akan dapat bertemu dengan ayah kandungmu.”

Lalu Jenderal Kao menceritakan semua peristiwa yang terjadi di sumur maut. Setelah dia selesai bercerita, dia bertanya,

“Kenapa kau kelihatan kaget melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng?”

Kok Cu menundukkan mukanya. Hanya dia yang tahu betapa hatinya seperti diremas-remas, seperti ditusuki jarum-jarum beracun. Perih dan penuh penyesalan hebat, membuat dadanya sesak dan mukanya pucat. Terbayang di depan matanya peristiwa di dalam guha, tampak jelas olehnya betapa dia telah melakukan hal yang amat hina di luar kehendaknya, betapa di suatu saat dia seperti telah berubah menjadi seekor binatang buas, menjadi setan yang amat jahat.

Betapapun dia melawan, dia tidak dapat mengusai nafsu birahinya yang didorong oleh racun-racun amat hebatnya sehingga terjadilah perbuatannya yang amat keji, memperkosa seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa, dara yang muncul untuk menolongnya! Dia telah membalas pertolongan orang dengan perbuatan yang sejahat-jahatnya, sekeji-kejinya yang dapat diderita seorang wanita, yaitu memperkosa wanita yang menjadi penolongnya itu!

Kini, hatinya lebih parah lagi ketika mendapat kenyataan bahwa dara itupun telah menyelamatkan nyawa ayahnya tanpa mempedulikan keselamatan nyawanya sendiri! Manusia macam apa dia ini! Dan ayahnya adalah seorang panglima besar yang amat gagah, seorang yang dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat di utara, ibunya seorang wanita yang demikian lemah lembut dan halus budi pekertinya, kedua orang adiknya pun demikian tampan dan gagah. Dia.... ah, dia lebih keji dari binatang, lebih jahat daripada setan. Dia tidak layak menjadi putera Jenderal Kao Liang, tidak layak berada diantara keluarga terhormat itu!

“Kok Cu, kau kenapa? Mengapa wajahmu pucat begitu?” Ibunya bertanya.

“Kok Cu, kau tadi kelihatan kaget ketika melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng. Mengapa?” Jenderal Kao bertanya pula.

“Ayah, Ibu.... aku terkejut karena.... karena aku pernah bertemu dengan Nona ini....” jawabnya. “Dia.... dia belum mati, Ayah.”

“Nah, apa kata kami tadi, Kao-goanswe? Nona itu memang belum mati. Saudara Kao Kok Cu, ketahuilah bahwa baru saja nona itu malah muncul di kamar ini!”

Kian Bu berseru saking girangnya bahwa mereka berdua memperoleh teman untuk menjadi saksi bahwa nona itu belum mati!

Akan tetapi dia sendiri terkejut melihat betapa mata Kok Cu terbelalak liar dan memandang ke kanan kiri seolah-olah pemuda itu ketakutan mendengar bahwa gadis itu tadi berada di tempat itu!

Jenderal Kao Liang menghela napas panjang.
“Aku sendiri pun kalau bisa mohon kepada Thian agar dia masih hidup! Dan mudah-mudahan begitulah! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang dapat bertahan hidup setelah terjerumus ke sumur maut itu? Dan andaikata benar dia hidup, mengapa dia tadi tidak menjumpai aku? Antara dia dan aku sudah seperti ayah dan anak sendiri. Mengapa kalau dia masih hidup, dia bersikap demikian penuh rahasia?”

Tidak ada orang yang dapat menjawabnya, dan kedua saudara Suma terpaksa harus mengakui keanehan ini di dalam hati mereka. Akan tetapi Kok Cu mempunyai dugaan lain. Tentu saja nona itu berubah sikapnya setelah mengalami peristiwa terkutuk itu, setelah menderita karena kebiadabannya! Siapa tahu nona itu telah menjadi gila karenanya!

“Kok Cu, sekarang kau ceritakan pengalamanmu semenjak kau lenyap di dalam badai,” perintah Jenderal Kao.

Seperti orang dalam mimpi karena semua pikirannya masih hanyut terbawa lamunannya terhadap nona yang diperkosanya, Kok Cu menceritakan pengalamannya dengan singkat, betapa dia ditolong oleh seorang manusia sakti berjuluk Si Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, diambil murid dan baru sekarang diperkenankan meninggalkan istana itu.

“Selain berusaha mencari ayah dan ibu yang sudah kulupa namanya, akupun memikul tugas dari suhu untuk mencari kitab yang hilang tercuri orang. Dalam pengejaran mencari kitab itulah aku tertipu dan tertangkap di Lembah Bunga Hitam, dan aku bertemu dengan Nona Lu Ceng di sana....”

Pemuda itu menghentikan ceritanya, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan perbuatannya terhadap dara itu dan baru saja mendengar bahwa nona itu telah memasuki rumah orang tuanya.

“Kok Cu, kalau aku tidak salah menghitung, usiamu sudah dua puluh enam tahun sekarang. Engkau telah memiliki kepandaian tinggi, itu bagus sekali. Aku akan mengusahakan tempat bagimu di dalam barisan, dan setelah engkau memperoleh kedudukan, kami akan mencari jodoh untukmu.”

“Benar sekali ucapan ayahmu, Kok Cu. Aku sudah sering bermimpi menimang-nimang seorang cucu!” ibunya menambahkan.

“Maaf Ayah, dan Ibu. Terpaksa malam ini juga aku minta diri karena aku harus memenuhi dulu perintah Suhu. Setelah urusan ini selesai barulah aku akan kembali ke sini dan menghabiskan sisa usiaku untuk berbakti kepada Ayah dan Ibu.”

Ibunya hendak membantah, akan tetapi Jenderal Kao memberi isyarat kepada isterinya, lalu berkata,

“Engkau benar! Kalau tidak ada suhumu, tentu engkau sudah tewas di padang pasir. Budi suhumu sampai matipun takkan dapat dibalas lunas, maka satu-satunya perintah itu harus kau laksanakan dengan sebaiknya sampai berhasil. Akan tetapi...., besok pagi-pagi aku sendiri akan kembali ke utara bersama kedua orang Suma Siauw-sicu ini. Apakah engkau tidak bisa menanti sampai besok dan kita semalam ini bercakap-cakap di sini?”

“Maaf, Ayah. Karena harus mengikuti petunjuk dan jejak, malam inipun aku harus melanjutkan perjalanan mencari kembali kitab suhu itu....”

Akhirnya ayah dan ibunya tidak dapat mencegah lagi dan setelah memberi hormat kepada semua orang, sekali berkelebat lenyaplah tubuh tinggi besar itu melalui jendela. Semua orang, termasuk kedua orang kakak beradik Suma, merasa kagum sekali.

Seperti setan cepatnya, Kok Cu meninggalkan gedung orang tuanya. Hatinya tidak karuan rasanya. Dia girang dan merasa berbahagia sekali karena berhasil bertemu dengan ayah bunda dan adik-adiknya, akan tetapi perasaan ini bercampur dengan perasaan menyesal dan berduka.

Dia merasa tidak patut menjadi anggauta keluarga yang mulia dan terhormat itu, dia merasa telah mengotori nama besar dan kehormatan ayahnya dengan perbuatannya terhadap Lu Ceng, dara yang dianggap sebagai bintang penolong keluarganya! Dan baru saja, menurut ayahnya, Lu Ceng telah datang ke tempat orang tuanya. Hal ini berarti bahwa gadis itu telah berada di kota raja!

Dengan pikiran melayang-layang, pemuda itu meloncat dari genteng sebuah rumah ke genteng lain, tanpa tujuan namun hati dan pikirannya penuh dengan bayangan Lu Ceng!

**** 062 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar